Anda di halaman 1dari 13

“KONSELING DAN PSIKOTRAPI MULTIKULTURAL”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“BK MULTIKULTURAL”

DOSEN PEMBIMBING
Hj. ANIK FARIDAH, M.Pd

Disusun oleh :
Nur Rukayah (2020130320040)

PROGRAM STUDI BKPI


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NGAWI.
2022.
BAB I
PENDAHULUAN.

1.1 LATAR BELAKANG.


Dengan berkembangnya zaman perubahan sosial berubah dengan sangat
pesat, akibat dari globalisasi meningkatkan prefekuensi pertemuan antar lintas
budaya yang di fasilitasi dengan berkembangnya teknologi, transportasi, dan
banyaknya migrasi.
Banyaknya migrasi menyebabkan perubahan budaya yang sangat jelas dan
mengakibatkan banyak masalah psikologis di masyarakat yang membuat para
konselor dan trapis menerapkan terapi berbasis multikulturalisme. Terapi ini
diharapkan bisa membantu masyarakat dalam menghadapi globalisasi saat ini.
Konseling multikultural adalah hal baru di indonesia konseling ini baru
terkenal sekitar 20 tahun kebelakang. Dan hal ini di sambut positif karena
konseling multikulturalisme seperti mengambarkan rakya indonesia yang
majmuk.

1.2 RUMUSAN MASALAH.


A. Apa pengertian konseling dan psikotrapi multikulturalisme?
B. Apa saja bentuk bentuk konseling dan psikotrapi multikultural?
C. Apa saja hambatan konseling dan psikotrapi multikulturalisme?

1
BAB II
PEMBAHASAN.

A. Pengertian konseling dan psikotrapi multikulturalisme.


Menurut Prayitno konseling adalah pemberian bantuan oleh
profesional kepada individu atau kelompok untuk pengembangan KES dan
penanganan KES-T dengan menggunakan berbagai layanan dan kegiatan
pendukung melalui proses pembelajaran.1 Sedangkan Menurut Winkel
mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari
bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan
tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap
berbagai persoalan atau masalah khusus.2
Von tress mendevinisikan konseling multikulturalisme adalah
“konseling yang mana penasehat dan kliennya berbeda secara kultural, oleh
karena itu secara sosialisasi berbeda dalam memperoleh dalam budayanya,
subkultur, racial etnic, atau lingkungan sosial- ekonomi.3
Locke mendefinisikan konseling Multikultural sebagai bidang praktik
yang:
1. menekankan pentingnya dan keunikan (kekhasan) individu,
2. mengaku bahwa konselor membawa nilai nilai pribadi yang berasal
dari lingkungan kebudayaannya ke dalam setting konseling,
3. selanjutnya mengakui bahwa klien-klien yang berasal dari kelompok
ras dan suku minoritas membawa nilai-nilai dan sikap yang
mencerminkan latar belakang budaya mereka.4
Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling dan psikotrapi
multikulturalisme adalah konseling atau terapi yang dilakukan oleh

1
Prayitno, “Konseling Integritas”, Padang, UNP, 2013, hal 85.
2
W.S.Winkel, “Bimbingan dan Konseling”, Jakarta, Gramedia , 2005,hal 34.
3
Desi.ratna,”konseling multikultural”http//www.scrip.com/dokumen/371552800/KONSELING-
MULTIKULTURAL,13februari 2022.pukul 07.12 WIB
4
Brown. J. D,”Understunding Research In Second Language Learning1”,New York, Crambridge
University Press, 1988, hal 55

2
konselor dan konseling yang berbeda budaya sehingga perlunya pemahan
untuk keduanya terhadap konsep dan budaya agar proses konseling berjalan
dengan baik. Konseling multikultural, ialah proses bantuan kemanusiaan
pribadi yang memperhatikan bekerjanya faktor budaya dan bagaimana
menjadikan faktor budaya ini untuk kelancaran proses bantuan dan untuk
keberhasilan dalam pencapaian tujuannya, yaitu memajukan perkembangan
kepribadian individu.

B. Model atau bentuk konseling dan psikotrapi multikulturalisme.


Palmer and Laungani berpendapat bahwa ada tiga model konseling
lintas budaya, yakni: culture centred model, integrative model, dan
ethnomedical model.5
1. Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani berpendapat bahwa budaya-budaya barat
menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme,
sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme,
determinisme, dan spiritualisme. Oleh sebab itu pada model ini budaya
menjadi pusat perhatian.
Fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-
nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku
individu. Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan
konseling terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara
ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi
pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-
masing.

5
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu.”Counseling In A Multicultural Society”, London, Sage
Publisher,2008,Hal97-109.

3
2. Model Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika,
Jones merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan
konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
A. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial
oppression).
B. Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
C. Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
D. Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and
family experiences and endowments).
Menurut Jones, pada kenyataannya sungguh sulit untuk
memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang
menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat
terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu
sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud
adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan
baik secara disadari ataupun tidak.

3. Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)


Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser
pada tahun 1979 dan perkembangannya dilanjutkan oleh alladin pada
tahun 1993. Dengan ini konselor menempatkan konseling dalam
konsepsi sakit dalam budaya. yang di katakan sakit disini adalah:
A. Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
B. Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
C. Melakukan pelanggaran hukum
D. Mengalami masalah interpersonal

4
C. Hambatan konseling dan psikotrapi multikulturalisme.
Hambatan-hambatan yang menjadi tidak efektifnya proses konseling
yang terkait dengan budaya klien dan konselor adalah:6
1. Nilai budaya.
Seorang konselor profesional harus mempertimbangkan apakah
ada alasan-alasan sosial politik, budaya, atau biologis untuk gejala-
gejalanya yang melatar belakangi perilaku konseling.
Dalam beberapa studi ditemukan bahwa nilai budaya membuat
seseorang lebih diterima untuk beberapa populasi, misalnya jika kita
datang ke sebuah tempat dengan budaya yang berbeda namun kita tidak
bisa menyesuaikan diri maka kita akan sulit diterima.
kebanyakan konselor hanya mempertimbangkan aspek-aspek
internal dari klien saja tetapi mengabaikan beberapa aspek eksternal
klien salah satunya nilai budaya yang dianut klien. Nilai budaya
seseorang sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonominya, hal ini juga
yang menjadi salah satu hambatan dalam proses konseling,
Dapat dicontohnya misalnya masalah transportasi. Klien yang
status sosial ekonominya kurang dan dia tinggal di daerah yang jauh
dari perkotaan akan mengalami kesulitan dalam perjalanannya menuju
tempat konseling yang berada di perkotaan. Sebagai konselor
seharusnya dapat melakukan kunjungan rumah, namun banyak konselor
yang merasa segan, takut dan tidak nyaman karena dalam
pandangannya klienlah yang membutuhkan konselor sehingga dia yang
harus datang pada konselor.

2. Bahasa.
Dengan beragamnya bahasa, dianggap akan menyulitkan proses
konseling, karena di dalamnya membutuhkan verbalisasi pikiran dan
perasaan supaya klien dapat menerima bantuan yang diperlukan. Hal ini
6
Rubi.rimonda,”bimbingan dan konseling”,
http://rubirimonda11.blogspot.com/2015/07/konseling-lintas-budayahambatan-dalam.html?m=1,
11 februari 2022, pukul 10.01WIB

5
sejalan dengan teknik pendekatan psikoanalisis oleh Frued tentang
konseling bicara, dimana klien harus mengungkapkan apa yang ada di
pikirannya melalui bicara. Hal ini juga menjadi kendala jika klien tidak
dapat berbahasa nasional, dan hanya menguasai bahasa daerahnya
sendiri. Namun kendala ini dapat diminimalisir dengan adanya seorang
penerjemah, namun diharapkan yang mampu memberikan terjemahan
yang akurat, dan juga diharapkan proses wawacara yang dilakukan
konselor tidak menyalahi aturan keluarga klien misalnya ada garis
patriarkis yang sangat kuat pada budaya keluarga tersebut.
Bahasa menjadi faktor penghambat dalam Konseling Lintas
Budaya apabila:
A. Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam
menyusun kosa kata dan tata bahasa umum yang dipakai banyak
orang, sehingga terkadang orang lain kurang mengerti akan apa
yang diucapkannya dan menimbulkan persepsi yang berbeda.
Contoh: konseling yang menyusun kata-kata kurang tepat, misalnya
“makan dia sudah”, maka akan menimbulkan kebingungan bagi
konselor untuk mengartikan ucapan konseli tersebut.

B. Miskin dalam kosa kata


Seseorang yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata.
Contoh: Seorang konseling yang tidak bisa merangkai kosa kata
dalam mengungkapkan apa yang akan dia katakana akan membuat
konselor atau pun orang lain bingung dalam menerima ataupun
mengartikan kata-katanya tersebut.

3. Komunikasi Nonverbal
Meskipun faktor bahasa, kelas, dan budaya semua berinteraksi
untuk menciptakan masalah dalam komunikasi antara klien dan

6
konselor minoritas, daerah lain sering diabaikan adalah bahwa perilaku
nonverbal dan konvensi percakapan.
Sebuah gerakan, nada, infleksi, postur, atau kontak mata dapat
meningkatkan atau meniadakan pesan. Konselor mungkin menganggap
bahwa perilaku atau aturan berbicara tertentu bersifat universal dan
memiliki arti yang sama. Ruang pribadi, kontak mata, dan konvensi
mengenai interaksi adalah contoh utama.
Pada umumnya orang tidak menyadari pentingnya bahasa non
verbal. namun, berbagai pengalaman orang-orang sukses dan kajian
ilmiah telah menjelaskan bahwa bahasa tubuh penting untuk dipelajari.
Menurut pakar komunikasi Allan dan Barbara Pease mengatakan
bahwa “seseorang yang melipat tangan ketika mendengar orang lain
berbicara sebenarnya sedang mengirim pesan bahwa dia tertarik untuk
mendengarnya”.7 Sehingga bahasa non verbal berperan sebagai
penyempurna proses komunikasi verbal, membantu memahami lawan
bicara secara mendalam saat terjadinya “Face to face communication”,
dan dapat juga sebagai pengganti pesan verbal.
Contoh komunikasi non verbal ialah menggunakan gerak isyarat,
bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek
seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta
cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi,
dan gaya berbicara.
Budaya asal seseorang amat menentukan bagaimana orang
tersebut berkomunikasi secara nonverbal. Perbedaan ini dapat meliputi
perbedaan budaya Barat-Timur, budaya konteks tinggi dan konteks
rendah, bahasa, dsb. Contohnya, orang dari budaya Oriental cenderung
menghindari kontak mata langsung, sedangkan orang Timur Tengah,
India dan Amerika Serikat biasanya menganggap kontak mata penting
untuk menunjukkan keterpercayaan, dan orang yang menghindari
kontak mata dianggap tidak dapat dipercaya.

7
Alan pease,“The Definitive of Body Languanger”, india, manjul publising house pvt, 2017.

7
4. Stereotipe
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau
golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice)
yang biasanya tidak tepat. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan
yaitu menyebabkan seorang konselor memandang sesuatu (khususnya
orang lain) menurut kemauan orang yang memandangnya itu
berdasarkan anggapan-anggapan yang sudah tertanam pada dirinya dan
orang tersebut biasanya tidak mau menerima kenyataan-kenyataan yang
berbeda dari anggapan-anggapannya, sehingga hal ini akan mempersulit
proses konseling berjalan dengan baik.

5. Kecenderungan menilai
Penilaian terhadap orang lain memang sering dilakukan oleh
individu-individu yang berkomunikasi. Kecenderungan menilai ini baik
yang menghasilkan penilaian positif ataupun negatif, seringkali
didasarkan pada standar objektif, dan sering pula merangsang
timbulnya reaksi-reaksi baik positif maupun negatif dari pihak yang
menilai. Contohnya: Masih banyak guru-guru pembimbing disekolah
yang mengahdapi siswanya yang melakukan kesalahan kemudian
langsung memberikan penilaian terhadap siswanya tersebut tanpa
mencari tahu apa yang menyebabkan permasalahan itu timbul.

6. Kecemasan.
Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan
budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yang
berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju
ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa,
dimana dan kapan harus berbuat sesuatu.

8
Pada saat melakukan proses konseling masih ada konselor yang
mengalami kecemasan karena hambatan komunikasi dan penyesuaian
dengan kliennya yang berbeda latar belakang budayanya, hal ini
menimbulkan permasalahan sehingga proses konseling akan berjalan
kaku tanpa komunikasi yang lancar.
Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat
terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu
diantisipasi.

7. Isu budaya.
Dalam proses konseling, konselor harus berhati-hati dalam
interaksinya dengan klien, karena banyak isu-isu budaya yang dijunjung
tinggi oleh klien dan itu berpengaruh pada lingkungan klien.
Contohnya: klien dengan budaya patriarkis yang sangat kuat, akan
sangat menyinggung atau membuat salah paham pada salah seorang
kepala keluarga karena konselor hanya akrab dengan anaknya yang
mampu berbahasa nasional. Ini dinilai ”lancang” atau “pamali” karena
melangkahi otoritas kepala keluarga.

8. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling.


Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya
kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana
konseling itu dilaksanakan.

9. Keadaan demografi
Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat
tinggal, dan variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi,
serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai.

9
BAB III
PENUTUP.

A. KESIMPULAN.
 Konseling dan psikotrapi multikulturalisme adalah konseling atau terapi yang
dilakukan oleh konselor dan konseling yang berbeda budaya sehingga perlunya
pemahan untuk keduanya terhadap konsep dan budaya agar proses konseling
berjalan dengan baik. Konseling multikultural, ialah proses bantuan
kemanusiaan pribadi yang memperhatikan bekerjanya faktor budaya dan
bagaimana menjadikan faktor budaya ini untuk kelancaran proses bantuan dan
untuk keberhasilan dalam pencapaian tujuannya, yaitu memajukan
perkembangan kepribadian individu.
 Model konseling lintas budaya dibagi menjadi tiga, yakni:
1. culture centred model,
2. integrative model, dan
3. ethnomedical model.
 Hambatan-hambatan yang menjadi tidak efektifnya proses konseling yang
terkait dengan budaya klien dan konselor adalah:
1. Nilai budaya.
2. Bahasa.
3. Komunikasi Nonverbal
4. Stereotipe
5. Kecenderungan menilai
6. Kecemasan
7. Isu budaya.
8. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling
9. Keadaan demografi

10
DAFTAR PUSTAKA

Prayitno,2013, “Konseling Integritas”, Padang, UNP

Winkel.S.W,2005, “Bimbingan dan Konseling”, Jakarta, Gramedia.

Ratna.desi,”konseling multikultural”
http//www.scrip.com/dokumen/371552800/KONSELING-MULTIKULTURAL,
13februari 2022.pukul 07.12 WIB

D, Brown.J,1988”Understunding Research In Second Language Learning1”,New


York, Crambridge University Press.

Palmer, Stephen & Laungani, Pittu.2008”Counseling In A Multicultural Society”,


London, Sage Publisher.

Rimonda.rubi,”bimbingan dan konseling”,


http://rubirimonda11.blogspot.com/2015/07/konseling-lintas-budayahambatan-
dalam.html?m=1, 11 februari 2022, pukul 10.01WIB

Alan pease,2017,“The Definitive of Body Languanger”, india, manjul publising house


pvt.

11

Anda mungkin juga menyukai