Anda di halaman 1dari 10

PERKEMBANGAN BUDAYA, ETNIS, RAS (SUKU), DAN

KELOMPOK MINORITAS DALAM KONSELING


MULTIBUDAYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Konseling Multibudaya
Dosen Pembimbing: Dr. Naharus Surur, M.Pd.

MAKALAH

Kelompok 1 / 6B

Nama Anggota:

1. Clauria Widya N (K3117018/6B)


2. Ghandi Muhammad T.K (K3117030/6B)
3. Radhita (K3117058/6B)
4. Sesar Novia (K3117066/6B)
5. Wahyu Aulia R (K3117074/6B)
6. Yulinda Ningrum )K3117078/6B)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah konseling multibudaya ini dengan baik dan tepat waktu.
Kami juga mengucapkan terimakasih untuk Dr. Naharus Surur, M.Pd selaku dosen
pembimbing mata kuliah konseling multibudaya serta dukungan teman-teman
kelompok 1 semester 6 kelas B yang sudah bersedia membantu menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan bertanggung jawab atas tugas yang sudah diberikan.

Tak lupa, kami juga mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang sudah
membantu kami untuk menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
untuk pembaca dan bisa dijadikan referensi, serta menambah wawasan khususnya
mengenai edukasi bagi orang yang membaca. Akhir kata, mohon maaf jika terdapat
salah kata dan kata-kata yang tidak berkenan. Sekian dan terima kasih.

Surakarta, 17 Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia tumbuh dan berkembang dipengaruhi dengan berbagai faktor


dibelakangnya salah satunya budaya. Individu hidup berkelompok dan
mempunyai tujuan yang sama disebut masyarakat, yang dimana setiap
kelompok masyarakat memiliki tata cara atau kebiasaan. Secara individual
manusia memiliki kompetensi didalam dirinya, dimana mereka dapat
menciptakan hal-hal yang baru didalam kelompok mereka masing-masing.
(Shue, 2000)
Mereka selalu ingin tahu sesuatu hal yang baru sehingga kompetensi-
kompetensi yan mereka miliki dapat berguna untuk semua masyarakat.
Konseling pada umumnya dipertimbangkan sebagai hubungan dua orang yaitu
konselor dan klien. Menurut Evey, allen E., mengatakan bahwa selama ini
ada suatu kepercayaan, bahkan hal itu telah dipercaya bertahun-tahun bahwa
adanya empati ke arah klien adalah salah satu kunci untuk hubungan
konseling yang efektif. Keefektifan konseling bergantung pada banyak faktor,
tetapi salah satu faktor yang tepenting adalah relasi satu sama lain dan saling
mengerti antara konselor dan klien. Samuel T Gladding mengatakan bahwa
seorang konselor harus peka terhadap latar belakang klien dan kebutuhan
khsusnya, karena jika tidak mereka dapat salah memahami dan membuat klien
frustasi, bahkan dapat menyakiti klien. Konseling sebagai profesi selalu
dipengaruhi oleh masyarakat dimana ia dipraktekkan.
Untuk memahami nuansa konseling, perlu bagi seseorang untuk
menghargai konteks sosial yang berlaku yang mempengaruhi teori dan
praktek. Di Amerika Serikat pada abad ke-21, konseling sebagai profesi harus
dipahami dalam konteks keragaman budaya. Hal ini karena masyarakat
Amerika telah mengalami perubahan yang sangat besar selama lima dekade
terakhir. Perubahan sosial pada paruh terakhir abad ke-20 memberikan
kontribusi terhadap pengakuan yang lebih luas bahwa negara-negara bersatu
adalah benar-benar sebuah bangsa yang majemuk secara budaya. Pemahaman
tentang dinamika pluralisme budaya ini harus di bawah skor teori dan praktek
konseling dalam realitas beragam abad ke-21. Untuk sepenuhnya menghargai
konseling dan pembangunan manusia dalam konteks keragaman budaya
masyarakat Amerika, kita harus memahami bahwa gagasan keragaman secara
dramatis dipengaruhi oleh perubahan demografi. Selama bertahun-tahun,
keragaman budaya dianggap dalam batas-batas rasial perbedaan ras atau etnis.
Namun, dalam realitas demografis abad ke-21, keragaman sebagai sebuah
konsep yang harus dipertimbangkan dalam konteks yang lebih luas.
Keragaman yang luas ini harus menjadi dasar untuk konseling multikultural
yang efektif.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan budaya dalam pelaksanaan konseling
multibudaya
2. Bagaimana perkembangan ras (suku) dalam pelaksanaan konseling
multibudaya
3. Bagaimana perkembangan etnis dalam pelaksanaan konseling
multibudaya
4. Bagaimana perkembangan kelompok minoritas dalam pelaksanaan
konseling multibudaya

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan budaya dalam pelaksanaan konseling
multibudaya
2. Untuk mengetahui perkembangan ras (suku) dalam pelaksanaan konseling
multibudaya
3. Untuk mengetahui perkembangan etnis dalam pelaksanaan konseling
multibudaya
4. Untuk mengetahui perkembangan kelompok minoritas dalam pelaksanaan
konseling multibudaya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Budaya dalam Konseling Multibudaya

Istilah budaya merupakan sesuatu yang kompleks. Apalagi jika ditelusuri dari
asal usul kata di Indonesia, yang berasal dari budi dan daya. Budi berarti pikiran,
cara berpikir, atau pengertian; sedangkan daya merujuk pada kekuatan, upaya-
upaya, dan hasil-hasil. Jika saja budaya diterjemahkan sebagai produk berpikir
dan berkarya, maka jelaslah bahwa budaya memang merupakan sesuatu yang
amat luas. Bahkan apapun yang nampak di dunia ini, asalkan bukan ciptaan
Tuhan pastilah disebut budaya.
Adanya keragaman budaya dalam masyarakat merupakan realitas hidup yang
tidak dapat di hindari. Globalisasi atau sisi dapat melahirkan budaya universal
(global), namun disisi lain mendorong setiap kelompok budaya berjuang untuk
meneguhkan identitas budaya (cultural identity) sehingga keragaman budaya
semakin berkembang. Menurut Kuntajaraningrat budaya mengandung tiga
komponen penting yaitu: sistem nilai, sistem sosial dan kebudayaan fisik. Hal
tersebut akan menentukan atau mewarnai perilaku individu atau kelompok
pendukung suatu budaya. Berry menyatakan “budaya adalah kepribadian atau
suatu masyarakat” dengan demikian seluruh unsur budaya akan membentuk
unsur-unsur subyektifpada diri individu atau kelompok yang meliputi berbagai
konsep dan asosiasi, sikap keprcayaan, harapan, pendapat, persepasi dan
sebagainya.
Dalam pelayanan konseling, ada komponen penting yaitu klien dan konselor
dengan latar belakang budayanya masing-masing klien dengan konselor tersebut
akan mempengaruhi konsep dasar, strategi, tehnik dan sebagainya dalam
konseling. Di samping itu lingkungan di mana konseling dilakukan, dan teori
yang digunakan sangat diwarnai oleh kebudayaan. Suatu pelayanan konseling
tidak akan efektif jika tidak memperhatikan budaya klien.
Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir
(framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali
terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok
konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti
keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula
konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan
keduanya tidak memahami dantidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya
mereka. Oleh sebab itu budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama
model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah
menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini
penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi
sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing
sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang
masing-masing (Supriatna, 2009).
Konseling berlangsung dalam hubungan antar pribadi antara konselor dan
klien. Menurut ensiklopedi (Nuzliah, 2016) untuk keberhasilan layanan
bantuannya konselor perlu memiliki kepekaan dan kesadaran akan adanya
perbedaan budaya antara dirinya dan kliennya. Dalam hal ini konseling
multikultural terkadang istilah tersebut sama artinya dengan konseling lintas
budaya, ialah proses bantuan kemanusiaan pribadi yang memperhatikan faktor
budaya dan bagaimana menjadikan faktor budaya ini untuk kelancaran proses
bantuan untuk keberhasilan dalam pencapaian tujuan, yaitu memajukan
perkembangan kepribadian individu.
Dalam pengimplementasiannya, konselor sekolah yang responsif secara
budaya harus berupaya menggunakan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-
keterampilan multibudaya di dalam konteks pertemuan yang terfokus pada
perkembangan akademik, karier, pribadi dan atau sosial, serta kebutuhan para
siswa dari lingkungan yang secara budaya berbeda.

B. Perkembangan Ras (suku) dalam Konseling Multibudaya

C. Perkembangan Etnis dalam Konseling Multibudaya

D. Perkembangan Kelompok Minoritas dalam Konseling Multibudaya


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

. N. (2016). Counseling Multikultural. JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan


Konseling, 2(2), 201. https://doi.org/10.22373/je.v2i2.816

Shue, S. (2000). Konseling Multikultural. Wiley, 5(1), 1–13.

Supriatna, M. (2009). Bimbingan dan konseling lintas budaya. PLPG Sertifikasi


Guru, 4.

Anda mungkin juga menyukai