Anda di halaman 1dari 20

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM UNTUK PROBLEMATIKA

KONSELING LINTAS BUDAYA DAN AGAMA

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Isu-isu Kontemporer BKI
Program Studi Bimbingan Konseling Islam

Dosen Pengampu :
Dr. H. Isep Zainal Arifin, M.Ag
Dr. Hajir Tajiri, M.Ag

Disusun oleh :
Rahmat Komala, S.Kom.I
NIM : 2220130032

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023 M / 1444 H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberagaman (diverse) budaya dan agama dalam suatu masyarakat, menjadi
tantangan tersendiri bagi konselor dalam melaksanakan proses bimbingan dan
konseling. Menuntut kepekaan (sensitif), toleransi, dan responsif konselor memahami
perbedaan budaya dan agama konseli, sekaligus menjadi kunci keberhasilan konseling
dalam konteks lintas budaya dan agama. Berangkat dari pemahaman utuh konselor
mengenai multikulturalisme akan melahirkan rumusan baru dalam etika pelaksanaan
proses bimbingan dan konseling islam.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki aneka ragam budaya dan
agama. Berangkat dari sebuah keyakinan bahwa budaya dan agama mempengaruhi cara
pandang, pola pikir dan tingkahlaku individu. Untuk itu, selayaknya konselor dalam
memahami masalah yang sedang dihadapi oleh konseli, dapat dipahami secara obyektif
alias tidak subyektif dan holistik. Sehingga penguasaan konselor mengenai keberagaman
budaya yang terdapat dalam masyarakat, sangat menentukan efektifitas layanan
konseling. Salah satu sikap tidak etis konselor kepada konseli dalam konteks lintas
budaya dan agama adalah memaksakan nilai-nilai konselor pada konseli, konversi
agama, sikap diskriminasi dan lain-lain. (Masruri, 2016)

B. Ragam Permasalahan
1. Apa itu Konseling Lintas Budaya dan Agama
2. Bagaimana Model Konseling Lintas Budaya dan Agama
3. Apa Faktor Penghambat Konseling Lintas Budaya dan Agama
4. Bagaimana Teknik Konseling Lintas Budaya dan Agama

C. Tujuan
1. Mengetahui Apa itu Konseling Lintas Budaya dan Agama
2. Mengetahui Bagaimana Model Konseling Lintas Budaya dan Agama
3. Mengetahui Apa Faktor Penghambat Konseling Lintas Budaya dan Agama
4. Mengetahui Bagaimana Teknik Konseling Lintas Budaya dan Agama

Page | 1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konseling Lintas Budaya dan Agama


Jika diruntut dari pengertian masing-masing kata yang menjadi judul pada makalah
ini, ada beberapa istilah atau kata yang memang harus kita samakan persepsi terlebih
dahulu.
1. Konseling
Konseling dapat diartikan sebagai bimbingan timbal balik antara dua individu,
dimana seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (konseli) untk mencapai
pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masala-masalah yang
dihadapi pada waktu yang akan datang.
Dalam hal ini, Prayitno mengemukakan bahwa konseling adalah pertemuan
empat mata antara konseli dan konselor yang berisi usaha yang lurus, unik, dan
humanis yang dilakukan dalam hubungan dengan masalah-masalah yang
dihadapinya pada waktu yang akan datang. Suasana keahlina didasarkan atas
norma-norma yang berlaku. (Nurodin, 2021)
Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara
dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-
kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini
konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan
kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan
potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat.
Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan
menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Ulfiah, 2020)

2. Budaya dan Agama


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia sehingga
banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Seseorang bisa
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan

Page | 2
perbedaan-perbedaan di antara mereka, sehingga membuktikan bahwa budaya bisa
dipelajari.
Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika
berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya:
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu
citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.
Semetara itu, Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pengatur
(sistem) yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan keyakinan serta
pengabdian kepada Sang Pencipta Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata
"agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "Cara Hidup". Kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya
dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. (Wikipedia, 2023)
Ketika agama telah berada pada pemahaman, interpretasi dan pemikiran
manusia, dimana proses yang dilaluinya sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu,
maka ia telah berada dalam dataran kebudayaan. Meski demikian, setidaknya ada
empat pandangan mengenai hubungan antara agama dan kebudayaan yaitu :
a. Kebudayaan mencakup agama, artinya agama merupakan bagian dari
kebudayaan.
b. Agama mencakup kebudayaan, artinya kebudayaan merupakan bagian dari
agama.
c. Agama, Islam (al-din al-Islami) mencakup agama dan kebudayaan sekaligus.
d. Agama wahyu (samawi) dan kebudayaan tidak saling mencakup, artinya agama
wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Masing-masing berdiri
sendiri. Keduanya dapat saja saling berhubungan dalam area kegiatan manusia,
dan dari saling berhubungan itu dapat melahirkan kebudayaan baru, yaitu
kebudayaan yang dijiwai dan diwarnai oleh agama wahyu tersebut. Sedangkan
agama budaya (ciptaan tokoh pendiri agam) adalah bagian dari kebudayaan.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi beragama

Page | 3
(dalam arti proses pemahaman, interpretasi dan pengalaman agama) termasuk
bagian dari kebudayaan. (Masturin, 2017)

3. Konseling lintas Budaya dan Agama


Dalam konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal
dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat
rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan
konseling tidak berjalan efektif. Lebih lanjut, dikemukakan pula agar berjalan
efektif maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan
diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan
memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan
demikian, konseling dipandang sebagai perjumpaan budaya (cultural encounter)
antara konselor dan klien. (Supriadi, 2001)
Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa dalam konseling lintas budaya dan
agama perlu adanya pemahaman yang luas tentang budaya dan agama, yang
dimiliki oleh konselor dalam menangani konseli yang berbeda baik berkenaan
dengan budaya maupun agamanya. (Subhi, 2017)
Konseling lintas budaya mewarisi berbagai perinsip keilmuan dari psikologi,
antropologi, sosiologi, psikologi sosial dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Pelayanan
konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan
prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi
hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal
ini individu tersebut berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya
masing-masing. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari
adanya keterkaitan unsur-unsur budaya. Keragaman budaya dapat menimbulkan
konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan komunikasi. Etnosetrisme
mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena kebudayaan atau
cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan bahasa adalah
simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk
mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi
perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol verbal dan nonverbal diantara
dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan timbul persoalan.
(Masturin, 2017)

Page | 4
B. Model Konseling Lintas Budaya
Tiga model konseling lintas budaya menurut Palmer dan Laungani (2008), yakni:
(Triningtyas, 2019)
1. Model berpusat pada budaya (culture centered model)
Model ini didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi
budaya konselor dan konseli. Seringkali, terjadi ketidak-sejalan antara asumsi
konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam
budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang
fundamental konselornya, demikian juga konselor tidak memahami keyakinan-
keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan, keduanya tidak memahami dan tidak
mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
Pada model ini, budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama model
ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi
keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini, penemuan dan
pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting.
Dengan cara ini, mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi
pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.

2. Model integratif (integrative model)


Yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat
terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber
perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala
pengalaman yang memfasilitasi individu berkembang baik secara disadari ataupun
tidak. Yang tidak disadari, disebut dengan istilah colective uncosious
(ketidaksadaran kolektif), yakni nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke
generasi. Oleh sebab itu, kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan
mengakses nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu.

3. Model etnomedikal (ethnomedical model)


Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser pada tahun
1979, yang dalam perkembangannya diteruskan oleh Alladin pada tahun 1993.
Model ini menempatkan individu dalam beberapa konsepsi, yakni:
a) Konsepsi sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit, apabila
1) melakukan penyimpangan norma-norma budaya,

Page | 5
2) melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa,
3) melakukan pelanggaran hukum,
4) mengalami masalah interpersonal.
b) Causal/healing beliefs
1) Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling,
2) Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
3) Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor,
4) Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagai
(share) tentang keyakinan yang sama.
c) Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri
dengan alam. Artinya bahwa fungsi-fungsi pribadinya adaptif dan secara penuh
dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya
1) mampu menentukan sehat dan sakit,
2) memahami permasalahan sesuai dengan konteks
3) mampu memecahkan ketidak-berfungsian interpersonal,
4) menyadari dan memahami budayanya sendiri.
d) Body function beliefs
1) perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna,
2) sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari,
3) muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli
e) Health practice efficacy beliefs
Implementasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-
keyakinan yang sehat dari konseli.

Model-model konseling lintas budaya di atas, dapat dijadikan sebagai pedoman


konselor dalam mengimplementasikan konseling pada populasi yang beragam secara
kebudayaan. Di sisi lain, terdapat tiga pendekatan dalam melaksanakan konseling lintas
budaya yaitu :
1. Pendekatan universal atau etik, yaitu suatu pendekatan yang menekankan kepada
inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.
2. Pendekatan emik (kekhususan budaya), yaitu suatu pendekatan yang memfokuskan
pada karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
konseling mereka.

Page | 6
3. Pendekatan transcultural, yaitu suatu pendekatan yang menekankan bahwa
keterlibatan dalam konseling. (Masruri, 2016)

Menurut Zulfa & Suryadi (2021), terdapat beberapa komponen dalam pedekatan ini,
antara lain:
1. Kepekaan yang dimiliki oleh konselor dalam menanggapi penyimpangan budaya
dan variasi-variasi yang digunakan dalam pendekatan konseling lintas budaya.
2. Konselor memahami latar belakang budaya konseli.
3. Komitmen dan konselor memiliki kemampuan dalam mengembangkan pendekatan
konseling sesuai dengan kebutuhan latar belakang budaya konseli.
4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.

Dalam praktiknya, konseling lintas budaya juga menggunakan tahapan-tahapan


konseling secara umum karena tahapan ini penting untuk dilakukan. Tahapan-tahapan
dalam konseling yaitu tahapan persiapan dan permulaan, tahapan klarifikasi, tahapan
menentukan struktur, tahapan hubungan, tahapan eksplorasi, tahapan konsolidasi,
tahapan merencanakan, dan tahapan terminasi. (Afifatuz Zakiyah, 2022)

C. Faktor Penghambat Konseling Lintas Budaya dan Agama


Menurut Maliki (Maliki, 2016), terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat
dalam pelaksanaan konseling lintas budaya, diantaranya adalah:
1. Bahasa
Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam
konseling lintas budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang
paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling.
2. Nilai
Nilai ikatan budaya merupakan suatu penghambat pada konseling lintas
budaya. Konselor secara tidak sadar memaksa nilai-nilai mereka pada klien
minoritas. Misal, perbedaan nilai budaya tentang sikap terbuka, pengungkapan diri,
antara nilai yang ada pada konselor dengan nilai klien.
3. Stereotip
Stereotip adalah opini yang terlalu di sederhanakan dan tidak disertai
penilaian/kritikan. Stereotip merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari
kelompok lain dimana seseorang memberi definisi dahulu baru mengamati.
Stereotip merupakan kendala konseling karena terbentuk secara lama dan berakar

Page | 7
sehingga sulit diubah. Hal ini dapat dipahami karena stereotip itu sebagai hasil
belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Ungkapan stereotip,
misalnya orang Solo itu halus, Madura itu keras, anak itu malas. Stereotip bisa
berupa kelompok dan bisa perorangan.
4. Kelas sosial
Di dalam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah, atas-
bawah); menengah (menengah-atas, menengah-menengah, menengah-bawah); dan
bawah (bawah-atas, bawah-menengah, bawah-bawah) Pada proses konseling,
tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan
mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial
menengah (mungkin) kurang paham terhadap kebiasaan klien dari kelas sosial
bawah atau atas.
5. Suku atau bangsa
Perbedaan suku seringkali merupakan penghambat proses konseling karena
masing-masing suku memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda, hal ini yang
perlu dipahami oleh konselor.
6. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan
penghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka muncul stereotip terhadap
jenis kelamin tertentu.
7. Usia
Usia merupakan penghambat karena pada dasarnya pada usia tertentu ada
kebutuhan, karakteristik, atau hal-hal yang perlu dipahami oleh konselor. Misal,
konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan
berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani anak-anak usia muda.
8. Keadaan orang-orang cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi proses konseling. Keadaan
cacat yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi perilaku, sikap, kepekaan
perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan.
9. Gaya hidup
Gaya hidup ini terbagi menjadi gaya hidup tradisional dan gaya hidup
alternatif. Ada banyak gaya hidup yang merupakan penghambat proses konseling,
terutama gaya hidup alternatif yang sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat
umum termasuk konselor.

Page | 8
D. Teknik Konseling Lintas Budaya dan Agaama
Perbedaan budaya yang terjadi di masyarakat menjadi tantangan konselor agar
dapat memiliki kemampuan dan teknik yang tepat dalam melakukan konseling. Hal
yang terpenting lagi yang perlu dimiliki konselor pada saat proses konseling adalah
"hadir" (be present), perhatian, peduli, dukungan emosional, tidak menghakimi, empati,
mendengarkan dan juga cinta (Geilenn et al, 2008).
Terdapat beberapa teknik konseling yang dikemukakan Thompson (2003) dan
sekiranya dapat digunakan oleh konselor agar dapat tetap memiliki kesadaran budaya
dan diaplikasikan dalam konseling adalah:
1. Teknik Listening with empathy and listening with awareness. Mendengarkan
dengan penuh empati dan penuh kesadaran bertujuan untuk memahami hal-hal yang
ada dibalik ungkapan atau ucapan dari konseli seperti nada suara, penekanan,
ekspresi wajah dan ketidaksesuaian antara ekspresi dan konten. Terdapat empat
langkah agar dapat mendengarkan penuh empati, yaitu: 1) mendengarkan perasaan
baik itu secara verbal maupun non verbal; 2) mengakui perasaan dan mampu
mengidentifikasi apa yang dilihat dan didengar dari konseli; 3) memperjelas apa
yang dirasakan oleh konseli terhadap perbedaan yang ada; dan 4) mengecek
kebenaran dari apa yang diungkap konseli.
2. Teknik the use of "I-Messages". Teknik ini bertujuan untuk memberikan respon
yang asertif untuk mengatasi konflik dalam diri konseli yang berbeda budaya
dengan konselor. Alberti dan Emmons (Thompson, 2003) mengidentifikasi tiga
langkah empati yang asertif, yaitu: 1) membiarkan konseli tahu bahwa konselor
memahaminya; 2) membiarkan konseli tahu posisi konselor; dan 3) memberitahu
konseli tentang apa yang Anda inginkan dari proses konseling ini. Hal ini bertujuan
agar terjadi komunikasi yang tepat dan sesuai dengan apa yang konseli butuhkan.
3. Teknik companion. Teknik ini membantu konseli agar dapat merasakan bahwa
kehadiran konselor sebagai pendamping, yang peduli dan penuh kasih agar konseli
dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya Kesadaran konselor untuk meyakinkan
dan mendengarkan konseli meskipun terdapat perbedaan antara mereka dapat
menjadi pendukung bagi konseli.
4. Teknik repeating the obvious. Teknik ini bertujuan untuk mengklarifikasi pikiran
dan perasaan konseli secara langsung terhadap permasalahan yang dihadapinya.
Schriner (Thompson, 2003) mengemukakan dua jenis pernyataan yang penting,
yaitu kalimat: "l understand" dan "l can". Kedua kalimat itu sangat membantu

Page | 9
konseli dalam menghadapi masalah atau perasaan tidak bahagianya. Pengulangan
terhadap kalimat tersebut oleh konseli dapat mengatasi dan menjadi kekuatan
baginya.
5. Teknik communicating to enhance relationship. Teknik ini bertujuan untuk
mengidentifikasi keterampilan komunikasi yang dapat meningkatkan hubungan
antar pribadi secara aktif dan penuh perhatian. Menjaga hubungan melalui berbagai
perasaan dan bersama meraih apa yang diinginkan dalam proses konseling yang
dilakukan serta bagaimana aplikasinya di luar proses konseling.
6. Teknik positive affirmations. Teknik ini merupakan teknik yang dapat
meningkatkan kesejahteraan pribadi dan harga diri konseli. Dalam proses konseling,
teknik ini digunakan Oleh konselor untuk menyakinkan konseli bahwa hal-hal yang
positif dapat membuatnya merasa nyaman baik dengan dirinya sendiri maupun
lingkungannya.
7. Teknik turning You-Statement into I-Statement. Teknik ini bertujuan untuk
mengungkapkan perasaan dan emosi yang tertekan dari konseli. Penekanan dan
penolakan terhadap apa yang dirasakan dapat berakibat meningkatnya iritabilitas
dan konflik dengan orang lain, kesulitan menyelesaikan masalah interpersonal,
persepsi yang terdistorsi. Penggunaan I-Statement dapat membantu konseli untuk
tidak menghakimi dan menyalahkan orang lain ataupun lingkungannya tentang apa
yang dirasakannya.

E. Bimbingan dan Konseling Islam dalam Lintas Budaya dan Agama


Pluralisme adalah upaya membangun tidak saja kesadaran bersifat teologis tetapi juga
kesadaran sosial. Hal itu berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di tengah
masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman sosial
lainnya. Karena dalam pluralisme mengandung konsep teologis dan konsep sosiologis.
Dengan pengertian yang telah disampaikan bahwa pluralism adalah terdapat banyaknya
ragam latar belakang (agama) dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai eksistensi
hidup berdampingan, saling be kerja Sama dan saling berinteraksi antara penganut satu
agama dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian yang lain, setiap penganut
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati hak agama lain, tetapi
juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan
bersama.

Page | 10
Pluralisme agama menjadi fenomena yang sangat spesifik hingga saat ini, karena
prluralisme menjanjikan kehidupan damai dan rukun antar sesama masyarakat yang berbeda
agama. Ada tiga prinsip umum dalam melihatpluralisme agama diantaranya yaitu:
1. Bahwa pluralisme dapat dipahami dengan prinsip paling baik dalam kaitannya
dengan logika yang melihat satu yang berwujud banyak, yaitu realitas transendental
yang menggejala dalam bermacam- macam agama
2. Bahwa ada pengakuan bersama mengenai kualitas pengalaman agama
3. Bahwa spritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada
agama-agama lain
Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang
sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama
adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa
agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena
kerelatifannya maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa
agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya
agamanya sendiri yang benar.
Pluralisme dalam agama Islam merupakan sikap Saling menghargai atau toleransi
terhadap agama lain, tetapi bukan berarti semua agama san-la. Namun islam tetap mengakui
adanya pluralisme agama yaitu dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-
masing, disini pluralisme diorientasikan konflik, perbedaan dan identitas agama-agama yang
ada. Islam dalam Al-Qur'an telah disebutkan untuk menghormati agama lain dan melarang
mencelanya, hal ini tersurat dalam QS. Al-An’am : 108
ُ َ َ ُ ّ ُ ‫ْ َ ٰ َ َﱠﱠ‬ َ ْ َ َ ََ ُ ْ َ ْ ُ ْ َْ ‫ََ َُ ﱡ ﱠ‬
‫ اﱠﻣ ٍﺔ ﻋ َﻤﻠ ُﻬ ْﻢۖ ﺛﱠﻢ‬3ِ 45ِ ‫ﺎ‬78‫ﻚ ز‬5ِ ‫اﷲ "ﺪ ًواۢ ِﺑﻐ ْ( ِ' ِ"ﻠ ٍﻢۗﻛﺬ‬ ‫اﷲ ﻓ ُﺴ ﱡﺒﻮا‬ِ ‫َﻳﺪﻋﻮن ِﻣﻦ د ْو ِن‬ ِ ‫ﺒﻮا ا‬ ‫و‬
َ ُ ْ ُ َ َ ُ ََُ ُ ّ ٰ
١٠٨ ‫ ﱠﻣ ْﺮ ِﺟﻌ ُﻬ ْﻢ ﻓ ﻨ ّ ِﺒﺌ ُﻬ ْﻢ ِﺑﻤﺎ @?ﻧ ْﻮا َﻳﻌ َﻤﻠ ْﻮن‬Eْ Fِ Gِ ‫ َر‬I<‫ِا‬

Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan.
Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Dalam dalam QS. Al-Ankabut : 46


َ ْ ُ ْ ‫َ ْ َ ُ ﱠ ﱠ ْ َ َ َ ْ ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ ْ ٰ َﱠ ﱠ‬ ‫َ َُ ُْ َْ َ ْ ٰ ﱠ ﱠ‬
‫ي اﻧ ِﺰل‬ ‫ﺎ‬
ٓ ِ ِ ‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬ _ ‫ﻣ‬ ‫ا‬ ‫ا‬ٓ ‫ﻮ‬‫ﻟ‬‫ﻮ‬‫ﻗ‬ ‫و‬ ‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬ ‫ﻣ‬
ِ ‫ا‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬ُ ‫ﻠ‬‫ﻇ‬ ِ ‫ا‬ ‫ا‬ِۖ‫ﻦ‬ ‫ﺴ‬‫ﺣ‬ ‫ا‬ Wَ Xِ ِ ‫ ِﺐ ِا ِﺑ‬R‫ ِﻜ‬5‫ ِﺎدﻟﻮٓا اﻫﻞ ا‬PQ ‫۞ َو‬
ْ
Y Z ‫ﺎﻟ‬
َ َْ ٌ ُ ٰ ٰ ُ ُ َ
َ ٗ
٤٦ ‫ ُﻣ ْﺴ ِﻠ ُﻤ ْﻮن‬e ‫ ُﻦ‬fg‫ﺪ ﱠو‬i‫ا‬ ‫و‬َ ‫ﻜ ْﻢ َواِ ﻟ ُﻬ َﻨﺎ َواِ ﻟ ُﻬﻜ ْﻢ‬bْ cَ ‫اﻟ ْ َﻨﺎ َوا ْﻧﺰ َل ا‬
ِ ِ ِ ِ

Page | 11
Janganlah kamu mendebat Ahlulkitab melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali
terhadap orang-orang yang berbuat zalim di antara mereka. Katakanlah, “Kami beriman
pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan
Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.”

Lantas bagaimana Solusi Konseling dalam Mengatasi Masalah Pluralisme Agama di


Indonesia? Sesuai dengan asas konseling yang harus dinamis. Konselor haruslah
menyesuaikan dan mengikuti perkembangan zaman. Indonesia merupakan negara
multikultural yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, bahasa dan agama. Hal inilah yang
membuat konselor kini harus peka dan memberikan perhatian yang lebih kepada para
kliennya.
Dalam mengatasi konflik yang terjadi, maka ditawarkan konsep konseling multibudaya.
Konsep ini menitik beratkan pada penanaman pemahaman bahwa Indonesia merupakan
negara dengan keberagaman yang mengharuskan kaum mayoritas untuk menghargai kaum
minoritas dan sebaliknya. Tetapi kemudian, konsep ini diperluas lagi dengan pemahaman
bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing yang harus dihargai.
Pada dasarnya, setiap agama memiliki nilai-nilai khusus atau nilai partikular dan nilai
umum yang berlaku dan dipercaya oleh semua agama. Perlu juga bagi konselor untuk
menerapkan karakter religius, netral, toleransi, tulus, disiplin, peduli sosial, bersahabat, adil,
luwes/tidak kaku, demokrasi, dan rasa ingin tahu. Karena karakter-karakter tersebut akan
menguatkan respon konseli terhadap konselor sehingga proses konseling akan berjalan
dengan baik
Pendekatan birnbingan dan konseling menggunakan konsep multibudaya ini tidak
menghapus nilai-nilai partikular dalam suatu agama, karena pendekatan multibudaya ini
berfokus pada bagaimana mempertahankan nilai-nilai partikular tersebut untuk berada di
wilayah-wilayah yang mempercayainya. Sedangkan untuk komunitas yang berada diluar
tetap mempercayai nilai umum dengan tetap menghormati nilai partikularnya.
Dengan melakukan konseling lintas agama dan budaya konselor memberikan
pemahaman mendalam dalam pendekatan kepada Tuhan mengenai kepercayaan, budaya dan
keyakinan masing-masing individu serta memunculkan sikap toleransi antar suku, ras dan
agama. (Puji Prihwanto, 2021)

Page | 12
F. Asas-asas Bimbingan Konseling Islam Multikultural (Lating, 2022)
1. Asas Kesadaran tentang Nilai dan Budaya sendiri (QS. Al-Hujurat: 13)
ُ ْ َ ُ ُ َ ُ
ْ‫ﻞ ﻟ َﺘ َﻌ َﺎر ُﻓ ْﻮاۚ اﱠن اﻛ َﺮ َﻣﻜﻢ‬wَ ‫ َو َﺟ َﻌ ْﻠ ٰﻨﻜ ْﻢ ُﺷ ُﻌ ْﻮﺑًﺎ ﱠو َﻗ َﺒﺎۤﯨ‬noٰ ‫ َﻠ ْﻘ ٰﻨﻜ ْﻢ ّﻣ ْﻦ َذﻛﺮ ﱠوا ْﻧ‬rَ ‫ﺎس اﱠﻧﺎ‬ ‫َ ﱡ َ ﱠ‬t
ُ _c‫ا‬ ‫ﻳﺎﻳﻬﺎ‬
ِ ِ ٍ ِ ِ
ٌ ْ َ ٌ ْ َ َ ‫َْ ٰ ُ ْ ﱠ‬ َ ْ
١٣ '(‫ۗان اﷲ " ِﻠﻴﻢ ﺧ ِﺒ‬ ِ ‫اﷲ اﺗﻘﯩﻜﻢ‬ِ ‫ِﻋﻨﺪ‬

Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Mahateliti.

a. Sikap dan Keyakinan.


Konselor Islam multikultural harus memiliki sikap dan keyakinan meliputi:
1) Terampil secara budaya, percaya bahwa kesadaran diri akan budaya dan
kepekaan terhadap warisan budaya sendiri adalah sikap dan keyakinan yang
penting.
2) Menyadari bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman mereka telah
memengaruhi sikap, nilai dan kecenderungan untuk percaya bahwa klien
berusaha untuk lebih baik dari yang lain/bisa tentang psikologi proses.
3) Sebagai pembimbing yang memiliki keterampilan budaya, mampu
mengenali batas kompetensi dan keahlian multikultural mereka.
4) Mengenali sumber ketidak nyamanan mereka dengan perbedaan yang ada
antara mereka dan klien dalam hal ras, etnis, dan budaya. Sehingga konselor
Islam multikultural meniadakan kebencian antar sesama melalui konselor
dengan klien (QS. Al-Maidah: 54).
‫ُ َ ْ ﱡ‬ ْ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ ‫ َ ﱡ َ ﱠ ْ َ ٰ َ ُ ْ َ ْ ﱠ ْ َﱠ‬t
ْ‫ ﱡﺒ ُﻬﻢ‬f~ َ ْ ْ
ِ ‫ اﷲ ِﺑﻘﻮ ٍم‬I€ِ‫اﻣ_ﻮا ﻣﻦ ﻳﺮﺗﺪ ِﻣﻨﻜﻢ ﻋﻦ ِدﻳ ِﻨ ٖﻪ ﻓﺴﻮف ﻳﺄ‬ ِ ‫ﻳﺎﻳﻬﺎ ا‬
ََ ْ َ َ ْ ُ َ ُ َ ْ ٰ ْ َ َ ‫َ ُ ﱡ ْ َ ٗ َﱠ َ َ ْ ُ ْ ْ َ َ ﱠ‬
‫اﷲ و‬ ْ
ِ ‫ ﺳ ِ…ﻴ ِﻞ‬W‡ِ ‫ﺎﻫﺪون‬ ِ P~ ۖ‫ﻜ ِﻔ ِﺮﻳﻦ‬5‫ ا‬‰Š" ‫ ا ِﻋﺰ ٍة‬Œ(‫ اﻟﻤﺆ ِﻣ ِﻨ‬‰Š" Žٍ ‫ﺒﻮﻧﻪٓۙا ِذ‬f~
ِ ‫و‬
ٌ ْ َ ٌ َ ُ َ ُ َ‫ُْ ْ َ ْﱠ‬ ُ ْ َ َ ٰ َ َ ََْ َ ُْ َ َ
٥٤ ‫اﺳﻊ " ِﻠﻴﻢ‬ ِ ‫اﷲ ﻳﺆ ِﺗﻴ ِﻪ ﻣﻦ •”ﺎۤءۗ واﷲ و‬
ِ ‫ﻚ ﻓﻀﻞ‬5ِ ‫ﻢۗذ‬wٍ ‫~‘ﺎﻓﻮن ﻟﻮﻣﺔ ۤﯨ‬

Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang
kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang
yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang
Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Page | 13
b. Pengetahuan.
Selain memiliki sikap dan keyakinan konselor multikultural juga harus
memiliki pengetahuan, adalah: (QS. 58:11. Al-Mujaadilah:11)
َ َ ْ ُ َ ُ َ َْ ْ ُ َ ْ َ ٰ َْ ْ ُ ‫ َ ﱡ َ ﱠ ْ َ ٰ َ ُ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ َﱠ‬t
‫ﻜﻢۚ واِ ذا‬5 ‫ اﻟﻤﺠ ِﻠ ِﺲ ﻓﺎﻓﺴﺤﻮا ﻳﻔﺴ ِﺢ اﷲ‬I‡ِ ‫ﻜﻢ ﺗﻔﺴﺤﻮا‬5 ‫ﻳﺎﻳﻬﺎ ا ِ اﻣ_ﻮٓا ِاذا ِﻗﻴﻞ‬
ْ ُ ‫ُ ﱠ‬ ٰ ‫ﱠ‬
ُ‫اﷲ ا ْ َ ا َﻣ ُ_ ْﻮا ﻣ ْﻨﻜ ْﻢ َوا ْ َ ا ْو ُﺗﻮا اﻟﻌ ْﻠ َﻢ َد َر ٰﺟﺖ َواﷲ‬ ُ ‫ ْوا َﻳ ْﺮ َﻓﻊ‬œُ •ُ ْ ž‫ ْوا َﻓﺎ‬œُ •ُ ْ ž‫ﻗ ْﻴ َﻞ ا‬
ٍۗ ِ ِ ۙ ِ ِ ِ ِ
َ َ ُ َْ َ
١ 'ٌ (ْ ‫ِﺑﻤﺎ ﺗﻌ َﻤﻠ ْﻮن ﺧ ِﺒ‬

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah


kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu)
berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

1) Terampil secara kultural memiliki pengetahuan khusus tentang warisan, ras,


dan budaya mereka sendiri. Dari sini muncullah pribadi baru mengenai
normalitas proses konseling.
2) Terampil secara budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang
bagaimana penindasan, rasisme, diskriminasi, dan stereotip memengaruhi
mereka. Ini memungkinkan individu untuk mengakui sikap rasis, keyakinan,
perasaan akhir mereka sendiri.
3) Konselor yang terampil secara budaya memiliki pengetahuan tentang
dampak sosial mereka terhadap orang lain. mereka memiliki pengetahuan
tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gaya mereka dapat
berbenturan dengan atau mendorong proses konseling dengan orang kulit
berwarna atau orang lain yang berbeda dari diri mereka sendiri berdasarkan
A, B dan C, Dimensi, dan bagaimana mengantisipasi dampak yang mungkin
ditimbulkannya pada orang lain.
c. Skills/Keterampilan.
Konselor harus memiliki keterampilan, meliputi:
1) Terampil secara budaya mencari pengalaman pendidikan, konsultatif, dan
pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan keefektifan mereka dalam
bekerja dengan populasi yang berbeda secara budaya. mampu mengenali
batasan kompetensi mereka, mereka (a) mencari konsultasi, (b) mencari
pelatihan atau pendidikan lebih lanjut, (c) merujuk pada individu atau
sumber daya yang lebih berkualitas, atau (d) terlibat dalam kombinasi
Page | 14
2) Terampil secara budaya terus berupaya memahami diri mereka sendiri
sebagai makhluk ras dan budaya dan secara aktif mencari identitas non rasis.

2. Asas Kesadaran tentang Pandangan Dunia Klien (QS. An-Najm: 23)


‫ْ ﱠﱠ ُ ْ َ ﱠ‬ ْٰ ُ ْ َ ُ َ َ َْ ‫ﱠ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َْ ُ ْ َ َٰ ُ ُ ْﱠ‬ ْ
‫ ِﺒﻌﻮن ِا‬R‫ ِا ٓ اﺳﻤﺎ ٌۤء ﺳﱠﻤ ﺘ ُﻤﻮﻫﺎٓ اﻧﺘﻢ واﺑﺎۤؤﻛﻢ ﻣﺎٓ اﻧﺰل اﷲ ِﺑﻬﺎ ِﻣﻦ ﺳﻠﻄ ٍﻦۗ ِان ﻳ‬Wَ Xِ ‫ِان‬
ٰ ْ ّ ُ َ ْ ََ َُْ ْ َ ‫ﱠ‬
٢٣ ۗ‫ اﻟ ُﻬﺪى‬Eُ Fِ Gِ ‫ﺎ َۤءﻫ ْﻢ ِّﻣ ْﻦ ﱠر‬¢ ‫اﻟﻈﱠﻦ َو َﻣﺎ ﺗ ْﻬ َﻮى ا ﻧﻔ ُﺲۚ َوﻟﻘﺪ‬

(Berhala-berhala) itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu ada-adakan. Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk
(menyembah)-nya. Mereka hanya mengikuti dugaan dan apa yang diinginkan oleh
hawa nafsu. Padahal, sungguh, mereka benar-benar telah didatangi petunjuk dari
Tuhan mereka.

a. Sikap dan Keyakinan


1) Terampil secara budaya menyadari reaksi emosional negatif dan positif
mereka terhadap kelompok ras dan etnis lain yang dapat merusak hubungan
konseling.
2) Menyadari stereotip dan prasangka mereka yang mungkin mereka pegang
terhadap kelompok minoritas ras dan etnis lainnya.
b. Pengetahuan
1) Terampil secara budaya memiliki pengetahuan dan informasi khusus tentang
kelompok tertentu tempat mereka bekerja. Mereka sadar akan pengalaman
hidup, warisan budaya, dan latar belakang sejarah klien mereka yang
berbeda secara budaya. Kompetensi khusus ini sangat terkait dengan "model
pengembangan identitas minoritas" yang tersedia dalam literatur.
2) Memahami bagaimana ras, budaya, etnis, dan sebagainya dapat
memengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan pekerjaan, manifestasi dari
gangguan psikologis, perilaku pencarian bantuan, dan kesesuaian atau
ketidaksesuaian pendekatan konseling.
3) Memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosio-politik yang
memengaruhi kehidupan minoritas ras dan etnis. Masalah keimigrasian,
kemiskinan, rasisme, stereotip, dan ketidakberdayaan dapat memengaruhi
harga diri dan konsep diri dalam proses konseling.

Page | 15
c. Skills/Keterampilan
1) Konselor multikultural terampil harus membiasakan diri dengan penelitian
yang relevan dan temuan terbaru tentang kesehatan mental dan gangguan
mental yang memengaruhi berbagai kelompok etnis dan ras.
2) Terampil secara budaya menjadi aktif terlibat dengan individu yang
minoritas di luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, fungsi
sosial dan politik, perayaan, persahabatan, kelompok lingkungan, dan
sebagainya) sehingga perspektif mereka tentang minoritas lebih dari sekedar
akademis atau membantu latihan.

3. Asas Strategi Intervensi yang sesuai dengan Budaya


a. Keyakinan dan Sikap
1) Konselor Multikultural yang terampil secara budaya menghormati
keyakinan dan nilai-nilai agama dan / atau spiritual klien, termasuk atribusi
dan tabu, karena mereka memengaruhi pandangan dunia, fungsi psikososial,
dan ekspresi kesusahan.
2) Menghormati praktik membantu penduduk asli dan menghormati jaringan
pemberi bantuan komunitas kulit berwarna.
3) Menghargai perbedaan bahasa dan tidak memandang di antara bahasa lain
sebagai hambatan untuk konseling.
b. Pengetahuan
1) Konselor multikultural yang terampil secara budaya memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum dari
konseling dan terapi (terikat budaya, terikat kelas, dan monolingual) dan
bagaimana mereka dapat menggolongkan nilai budaya dari berbagai
kelompok budaya.
2) Menyadari hambatan kelembagaan yang mencegah minoritas menggunakan
layanan kesehatan mental.
3) Memiliki pengetahuan tentang potensi bisa dalam instrumen penilaian dan
prosedur penggunaan serta menafsirkan temuan dengan mengingat
karakteristik budaya dan bahasa klien.
4) Memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga, hierarki, nilai, dan
kepercayaan dari berbagai perspektif budaya.

Page | 16
5) Harus menyadari praktik diskriminasi yang relevan di tingkat sosial dan
komunitas yang dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis populasi yang
dilayani.
c. Skills/Keterampilan
1) Konselor Multikultural yang terampil secara budaya dapat terlibat dalam
berbagai tanggapan membantu verbal dan nonverbal. Mereka mampu
mengirim dan menerima pesan verbal dan nonverbal secara akurat dan tepat.
2) Memiliki keterampilan budaya mampu melatih keterampilan intervensi
institusional atas nama klien mereka. Mereka dapat membantu klien
menentukan apakah suatu "masalah" berasal dari rasisme atau bisa pada
orang lain (konsep paranoia sehat) sehingga klien tidak mempersonalisasi
masalah secara tidak tepat.
3) Tidak segan mencari konsultasi dengan tabib tradisional atau pemimpin dan
praktisi agama dan spiritual dalam perawatan klien yang berbeda secara
budaya jika diperlukan.
4) Bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta oleh klien
dan, jika tidak memungkinkan, membuat rujukan yang sesuai. Masalah
serius muncul ketika keterampilan linguistik konselor tidak sesuai dengan
bahasa klien. Oleh karena itu, konselor harus (a) mencari penerjemah
dengan pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai, atau
(b) merujuk pada konselor bilingual yang berpengetahuan dan kompeten.
5) Memiliki pelatihan dan keahlian dalam penggunaan instrumen penilaian dan
pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami aspek teknis dari
instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan budaya. Ini memungkinkan
mereka menggunakan instrumen pengujian untuk kesejahteraan klien yang
berbeda secara budaya.
6) Harus memperhatikan serta bekerja untuk menghilangkan bisa, prasangka,
dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan memberikan
intervensi, mengembangkan kepekaan terhadap masalah penindasan,
seksisme, heteroseksisme, elitisme dan rasisme.
7) Bertanggung jawab untuk mendidik klien mereka pada proses intervensi
psikologis, seperti tujuan, harapan, hak hukum, dan orientasi konselor.

Page | 17
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konselor sensitif agama dan
budaya adalah konselor harus mempunyai kesadaran dalam mengenal kebudayaannya
sendiri dalam segala hal. Dapat memahami bahwa yang dapat memengaruhi pola pikir,
tindakan dan perasaan seorang konseli dapat berasal dari setiap budaya. Seorang konselor
harus bisa mencari pendekatan yang tepat atau sesuai dengan karakteristik konseli dan tidak
boleh memaksakan konseli agar mengikuti nilai-nilai kebudayaan yang konselor inginkan.
Oleh karena itu, maka peran konselor harus benar-benar memahami karakteristik konseli dari
segi agama dan budayanya.
Seorang konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus budaya dan Agama konseli
dalam melakukan konseling, sehingga dapat menangani konseli lebih terampil dengan
variabel budaya. Dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling, tidak ada budaya dan
ras yang diunggulkan, semua budaya maupun ras dipandang sama. Karakter yang dimiliki
oleh individu terpengaruh dari kondisi lingkungan masyarakat di tempat individu tersebut
berinteraksi.

Page | 18
DAFTAR PUSTAKA

Afifatuz Zakiyah, d. (2022). Peran Konselor Lintas Agama dan Budaya sebagai Problem
Solving Masyarakat Multibudaya. Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of
Counseling and Social Research, 54.
Lating, A. D. (2022). Bimbingan Konseling Islam Multikultural. In d. Aep Kusnawan,
Kapita Selekta Bimbingan dan Konseling Islam Narasi Ragam Kompetensi (p. 434).
Malang : Intelegensia Media.
Maliki. (2016). Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana.
Masruri. (2016). Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama. Jurnal At-
Tazkiah, 140.
Masturin. (2017). Konseling Islam dalam Lintas Budaya pada Masyaraat Pantura Timur
Jawa Tengah. Journal IAIN Kudus, 417.
Nurodin, S. M. (2021). Bimbingan dan Konseling Populasi Khusus. Bandung: Refika
Aditama.
Puji Prihwanto, d. (2021). Konseling Lintas Agama dan Budaya Strategi Konseling di Era
Modern. Yogyakarta: Guepedia.
Subhi, M. R. (2017). Implementasi Konseling Lintas Budaya dan Agama di Sekolah. Jurnal
Madaniyah, 93.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia.
Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Triningtyas, D. A. (2019). Konseling Lintas Budaya. Magetan: CV. AE Media Grafika.
Ulfiah. (2020). Psikologi Konseling Teori dan Implementasi. Jakarta: Kencana.
Wikipedia. (2023, 1 5). Retrieved from Wikipedia Enslikopedia Bebas:
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama

Page | 19

Anda mungkin juga menyukai