MAKALAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Isu-isu Kontemporer BKI
Program Studi Bimbingan Konseling Islam
Dosen Pengampu :
Dr. H. Isep Zainal Arifin, M.Ag
Dr. Hajir Tajiri, M.Ag
Disusun oleh :
Rahmat Komala, S.Kom.I
NIM : 2220130032
A. Latar Belakang
Keberagaman (diverse) budaya dan agama dalam suatu masyarakat, menjadi
tantangan tersendiri bagi konselor dalam melaksanakan proses bimbingan dan
konseling. Menuntut kepekaan (sensitif), toleransi, dan responsif konselor memahami
perbedaan budaya dan agama konseli, sekaligus menjadi kunci keberhasilan konseling
dalam konteks lintas budaya dan agama. Berangkat dari pemahaman utuh konselor
mengenai multikulturalisme akan melahirkan rumusan baru dalam etika pelaksanaan
proses bimbingan dan konseling islam.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki aneka ragam budaya dan
agama. Berangkat dari sebuah keyakinan bahwa budaya dan agama mempengaruhi cara
pandang, pola pikir dan tingkahlaku individu. Untuk itu, selayaknya konselor dalam
memahami masalah yang sedang dihadapi oleh konseli, dapat dipahami secara obyektif
alias tidak subyektif dan holistik. Sehingga penguasaan konselor mengenai keberagaman
budaya yang terdapat dalam masyarakat, sangat menentukan efektifitas layanan
konseling. Salah satu sikap tidak etis konselor kepada konseli dalam konteks lintas
budaya dan agama adalah memaksakan nilai-nilai konselor pada konseli, konversi
agama, sikap diskriminasi dan lain-lain. (Masruri, 2016)
B. Ragam Permasalahan
1. Apa itu Konseling Lintas Budaya dan Agama
2. Bagaimana Model Konseling Lintas Budaya dan Agama
3. Apa Faktor Penghambat Konseling Lintas Budaya dan Agama
4. Bagaimana Teknik Konseling Lintas Budaya dan Agama
C. Tujuan
1. Mengetahui Apa itu Konseling Lintas Budaya dan Agama
2. Mengetahui Bagaimana Model Konseling Lintas Budaya dan Agama
3. Mengetahui Apa Faktor Penghambat Konseling Lintas Budaya dan Agama
4. Mengetahui Bagaimana Teknik Konseling Lintas Budaya dan Agama
Page | 1
BAB II
PEMBAHASAN
Page | 2
perbedaan-perbedaan di antara mereka, sehingga membuktikan bahwa budaya bisa
dipelajari.
Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika
berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya:
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu
citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.
Semetara itu, Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pengatur
(sistem) yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan keyakinan serta
pengabdian kepada Sang Pencipta Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata
"agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "Cara Hidup". Kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya
dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. (Wikipedia, 2023)
Ketika agama telah berada pada pemahaman, interpretasi dan pemikiran
manusia, dimana proses yang dilaluinya sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu,
maka ia telah berada dalam dataran kebudayaan. Meski demikian, setidaknya ada
empat pandangan mengenai hubungan antara agama dan kebudayaan yaitu :
a. Kebudayaan mencakup agama, artinya agama merupakan bagian dari
kebudayaan.
b. Agama mencakup kebudayaan, artinya kebudayaan merupakan bagian dari
agama.
c. Agama, Islam (al-din al-Islami) mencakup agama dan kebudayaan sekaligus.
d. Agama wahyu (samawi) dan kebudayaan tidak saling mencakup, artinya agama
wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Masing-masing berdiri
sendiri. Keduanya dapat saja saling berhubungan dalam area kegiatan manusia,
dan dari saling berhubungan itu dapat melahirkan kebudayaan baru, yaitu
kebudayaan yang dijiwai dan diwarnai oleh agama wahyu tersebut. Sedangkan
agama budaya (ciptaan tokoh pendiri agam) adalah bagian dari kebudayaan.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi beragama
Page | 3
(dalam arti proses pemahaman, interpretasi dan pengalaman agama) termasuk
bagian dari kebudayaan. (Masturin, 2017)
Page | 4
B. Model Konseling Lintas Budaya
Tiga model konseling lintas budaya menurut Palmer dan Laungani (2008), yakni:
(Triningtyas, 2019)
1. Model berpusat pada budaya (culture centered model)
Model ini didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi
budaya konselor dan konseli. Seringkali, terjadi ketidak-sejalan antara asumsi
konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam
budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang
fundamental konselornya, demikian juga konselor tidak memahami keyakinan-
keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan, keduanya tidak memahami dan tidak
mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
Pada model ini, budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama model
ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi
keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini, penemuan dan
pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting.
Dengan cara ini, mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi
pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
Page | 5
2) melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa,
3) melakukan pelanggaran hukum,
4) mengalami masalah interpersonal.
b) Causal/healing beliefs
1) Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling,
2) Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
3) Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor,
4) Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagai
(share) tentang keyakinan yang sama.
c) Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri
dengan alam. Artinya bahwa fungsi-fungsi pribadinya adaptif dan secara penuh
dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya
1) mampu menentukan sehat dan sakit,
2) memahami permasalahan sesuai dengan konteks
3) mampu memecahkan ketidak-berfungsian interpersonal,
4) menyadari dan memahami budayanya sendiri.
d) Body function beliefs
1) perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna,
2) sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari,
3) muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli
e) Health practice efficacy beliefs
Implementasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-
keyakinan yang sehat dari konseli.
Page | 6
3. Pendekatan transcultural, yaitu suatu pendekatan yang menekankan bahwa
keterlibatan dalam konseling. (Masruri, 2016)
Menurut Zulfa & Suryadi (2021), terdapat beberapa komponen dalam pedekatan ini,
antara lain:
1. Kepekaan yang dimiliki oleh konselor dalam menanggapi penyimpangan budaya
dan variasi-variasi yang digunakan dalam pendekatan konseling lintas budaya.
2. Konselor memahami latar belakang budaya konseli.
3. Komitmen dan konselor memiliki kemampuan dalam mengembangkan pendekatan
konseling sesuai dengan kebutuhan latar belakang budaya konseli.
4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Page | 7
sehingga sulit diubah. Hal ini dapat dipahami karena stereotip itu sebagai hasil
belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Ungkapan stereotip,
misalnya orang Solo itu halus, Madura itu keras, anak itu malas. Stereotip bisa
berupa kelompok dan bisa perorangan.
4. Kelas sosial
Di dalam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-menengah, atas-
bawah); menengah (menengah-atas, menengah-menengah, menengah-bawah); dan
bawah (bawah-atas, bawah-menengah, bawah-bawah) Pada proses konseling,
tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan
mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial
menengah (mungkin) kurang paham terhadap kebiasaan klien dari kelas sosial
bawah atau atas.
5. Suku atau bangsa
Perbedaan suku seringkali merupakan penghambat proses konseling karena
masing-masing suku memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda, hal ini yang
perlu dipahami oleh konselor.
6. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan
penghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka muncul stereotip terhadap
jenis kelamin tertentu.
7. Usia
Usia merupakan penghambat karena pada dasarnya pada usia tertentu ada
kebutuhan, karakteristik, atau hal-hal yang perlu dipahami oleh konselor. Misal,
konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua usianya. Hal ini bukan
berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani anak-anak usia muda.
8. Keadaan orang-orang cacat
Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi proses konseling. Keadaan
cacat yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi perilaku, sikap, kepekaan
perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan.
9. Gaya hidup
Gaya hidup ini terbagi menjadi gaya hidup tradisional dan gaya hidup
alternatif. Ada banyak gaya hidup yang merupakan penghambat proses konseling,
terutama gaya hidup alternatif yang sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat
umum termasuk konselor.
Page | 8
D. Teknik Konseling Lintas Budaya dan Agaama
Perbedaan budaya yang terjadi di masyarakat menjadi tantangan konselor agar
dapat memiliki kemampuan dan teknik yang tepat dalam melakukan konseling. Hal
yang terpenting lagi yang perlu dimiliki konselor pada saat proses konseling adalah
"hadir" (be present), perhatian, peduli, dukungan emosional, tidak menghakimi, empati,
mendengarkan dan juga cinta (Geilenn et al, 2008).
Terdapat beberapa teknik konseling yang dikemukakan Thompson (2003) dan
sekiranya dapat digunakan oleh konselor agar dapat tetap memiliki kesadaran budaya
dan diaplikasikan dalam konseling adalah:
1. Teknik Listening with empathy and listening with awareness. Mendengarkan
dengan penuh empati dan penuh kesadaran bertujuan untuk memahami hal-hal yang
ada dibalik ungkapan atau ucapan dari konseli seperti nada suara, penekanan,
ekspresi wajah dan ketidaksesuaian antara ekspresi dan konten. Terdapat empat
langkah agar dapat mendengarkan penuh empati, yaitu: 1) mendengarkan perasaan
baik itu secara verbal maupun non verbal; 2) mengakui perasaan dan mampu
mengidentifikasi apa yang dilihat dan didengar dari konseli; 3) memperjelas apa
yang dirasakan oleh konseli terhadap perbedaan yang ada; dan 4) mengecek
kebenaran dari apa yang diungkap konseli.
2. Teknik the use of "I-Messages". Teknik ini bertujuan untuk memberikan respon
yang asertif untuk mengatasi konflik dalam diri konseli yang berbeda budaya
dengan konselor. Alberti dan Emmons (Thompson, 2003) mengidentifikasi tiga
langkah empati yang asertif, yaitu: 1) membiarkan konseli tahu bahwa konselor
memahaminya; 2) membiarkan konseli tahu posisi konselor; dan 3) memberitahu
konseli tentang apa yang Anda inginkan dari proses konseling ini. Hal ini bertujuan
agar terjadi komunikasi yang tepat dan sesuai dengan apa yang konseli butuhkan.
3. Teknik companion. Teknik ini membantu konseli agar dapat merasakan bahwa
kehadiran konselor sebagai pendamping, yang peduli dan penuh kasih agar konseli
dapat memenuhi kebutuhan emosionalnya Kesadaran konselor untuk meyakinkan
dan mendengarkan konseli meskipun terdapat perbedaan antara mereka dapat
menjadi pendukung bagi konseli.
4. Teknik repeating the obvious. Teknik ini bertujuan untuk mengklarifikasi pikiran
dan perasaan konseli secara langsung terhadap permasalahan yang dihadapinya.
Schriner (Thompson, 2003) mengemukakan dua jenis pernyataan yang penting,
yaitu kalimat: "l understand" dan "l can". Kedua kalimat itu sangat membantu
Page | 9
konseli dalam menghadapi masalah atau perasaan tidak bahagianya. Pengulangan
terhadap kalimat tersebut oleh konseli dapat mengatasi dan menjadi kekuatan
baginya.
5. Teknik communicating to enhance relationship. Teknik ini bertujuan untuk
mengidentifikasi keterampilan komunikasi yang dapat meningkatkan hubungan
antar pribadi secara aktif dan penuh perhatian. Menjaga hubungan melalui berbagai
perasaan dan bersama meraih apa yang diinginkan dalam proses konseling yang
dilakukan serta bagaimana aplikasinya di luar proses konseling.
6. Teknik positive affirmations. Teknik ini merupakan teknik yang dapat
meningkatkan kesejahteraan pribadi dan harga diri konseli. Dalam proses konseling,
teknik ini digunakan Oleh konselor untuk menyakinkan konseli bahwa hal-hal yang
positif dapat membuatnya merasa nyaman baik dengan dirinya sendiri maupun
lingkungannya.
7. Teknik turning You-Statement into I-Statement. Teknik ini bertujuan untuk
mengungkapkan perasaan dan emosi yang tertekan dari konseli. Penekanan dan
penolakan terhadap apa yang dirasakan dapat berakibat meningkatnya iritabilitas
dan konflik dengan orang lain, kesulitan menyelesaikan masalah interpersonal,
persepsi yang terdistorsi. Penggunaan I-Statement dapat membantu konseli untuk
tidak menghakimi dan menyalahkan orang lain ataupun lingkungannya tentang apa
yang dirasakannya.
Page | 10
Pluralisme agama menjadi fenomena yang sangat spesifik hingga saat ini, karena
prluralisme menjanjikan kehidupan damai dan rukun antar sesama masyarakat yang berbeda
agama. Ada tiga prinsip umum dalam melihatpluralisme agama diantaranya yaitu:
1. Bahwa pluralisme dapat dipahami dengan prinsip paling baik dalam kaitannya
dengan logika yang melihat satu yang berwujud banyak, yaitu realitas transendental
yang menggejala dalam bermacam- macam agama
2. Bahwa ada pengakuan bersama mengenai kualitas pengalaman agama
3. Bahwa spritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada
agama-agama lain
Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang
sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama
adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa
agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena
kerelatifannya maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa
agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya
agamanya sendiri yang benar.
Pluralisme dalam agama Islam merupakan sikap Saling menghargai atau toleransi
terhadap agama lain, tetapi bukan berarti semua agama san-la. Namun islam tetap mengakui
adanya pluralisme agama yaitu dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-
masing, disini pluralisme diorientasikan konflik, perbedaan dan identitas agama-agama yang
ada. Islam dalam Al-Qur'an telah disebutkan untuk menghormati agama lain dan melarang
mencelanya, hal ini tersurat dalam QS. Al-An’am : 108
ُ َ َ ُ ّ ُ ْ َ ٰ َ َﱠﱠ َ ْ َ َ ََ ُ ْ َ ْ ُ ْ َْ ََ َُ ﱡ ﱠ
اﱠﻣ ٍﺔ ﻋ َﻤﻠ ُﻬ ْﻢۖ ﺛﱠﻢ3ِ 45ِ ﺎ78ﻚ ز5ِ اﷲ "ﺪ ًواۢ ِﺑﻐ ْ( ِ' ِ"ﻠ ٍﻢۗﻛﺬ اﷲ ﻓ ُﺴ ﱡﺒﻮاِ َﻳﺪﻋﻮن ِﻣﻦ د ْو ِن ِ ﺒﻮا ا و
َ ُ ْ ُ َ َ ُ ََُ ُ ّ ٰ
١٠٨ ﱠﻣ ْﺮ ِﺟﻌ ُﻬ ْﻢ ﻓ ﻨ ّ ِﺒﺌ ُﻬ ْﻢ ِﺑﻤﺎ @?ﻧ ْﻮا َﻳﻌ َﻤﻠ ْﻮنEْ Fِ Gِ َرI<ِا
Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan.
Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Page | 11
Janganlah kamu mendebat Ahlulkitab melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali
terhadap orang-orang yang berbuat zalim di antara mereka. Katakanlah, “Kami beriman
pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan
Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.”
Page | 12
F. Asas-asas Bimbingan Konseling Islam Multikultural (Lating, 2022)
1. Asas Kesadaran tentang Nilai dan Budaya sendiri (QS. Al-Hujurat: 13)
ُ ْ َ ُ ُ َ ُ
ْﻞ ﻟ َﺘ َﻌ َﺎر ُﻓ ْﻮاۚ اﱠن اﻛ َﺮ َﻣﻜﻢwَ َو َﺟ َﻌ ْﻠ ٰﻨﻜ ْﻢ ُﺷ ُﻌ ْﻮﺑًﺎ ﱠو َﻗ َﺒﺎۤﯨnoٰ َﻠ ْﻘ ٰﻨﻜ ْﻢ ّﻣ ْﻦ َذﻛﺮ ﱠوا ْﻧrَ ﺎس اﱠﻧﺎ َ ﱡ َ ﱠt
ُ _cا ﻳﺎﻳﻬﺎ
ِ ِ ٍ ِ ِ
ٌ ْ َ ٌ ْ َ َ َْ ٰ ُ ْ ﱠ َ ْ
١٣ '(ۗان اﷲ " ِﻠﻴﻢ ﺧ ِﺒ ِ اﷲ اﺗﻘﯩﻜﻢِ ِﻋﻨﺪ
Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang
kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut pada celaan orang
yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang
Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Page | 13
b. Pengetahuan.
Selain memiliki sikap dan keyakinan konselor multikultural juga harus
memiliki pengetahuan, adalah: (QS. 58:11. Al-Mujaadilah:11)
َ َ ْ ُ َ ُ َ َْ ْ ُ َ ْ َ ٰ َْ ْ ُ َ ﱡ َ ﱠ ْ َ ٰ َ ُ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َ َﱠt
ﻜﻢۚ واِ ذا5 اﻟﻤﺠ ِﻠ ِﺲ ﻓﺎﻓﺴﺤﻮا ﻳﻔﺴ ِﺢ اﷲI‡ِ ﻜﻢ ﺗﻔﺴﺤﻮا5 ﻳﺎﻳﻬﺎ ا ِ اﻣ_ﻮٓا ِاذا ِﻗﻴﻞ
ْ ُ ُ ﱠ ٰ ﱠ
ُاﷲ ا ْ َ ا َﻣ ُ_ ْﻮا ﻣ ْﻨﻜ ْﻢ َوا ْ َ ا ْو ُﺗﻮا اﻟﻌ ْﻠ َﻢ َد َر ٰﺟﺖ َواﷲ ُ ْوا َﻳ ْﺮ َﻓﻊœُ •ُ ْ ž ْوا َﻓﺎœُ •ُ ْ žﻗ ْﻴ َﻞ ا
ٍۗ ِ ِ ۙ ِ ِ ِ ِ
َ َ ُ َْ َ
١ 'ٌ (ْ ِﺑﻤﺎ ﺗﻌ َﻤﻠ ْﻮن ﺧ ِﺒ
(Berhala-berhala) itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu ada-adakan. Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk
(menyembah)-nya. Mereka hanya mengikuti dugaan dan apa yang diinginkan oleh
hawa nafsu. Padahal, sungguh, mereka benar-benar telah didatangi petunjuk dari
Tuhan mereka.
Page | 15
c. Skills/Keterampilan
1) Konselor multikultural terampil harus membiasakan diri dengan penelitian
yang relevan dan temuan terbaru tentang kesehatan mental dan gangguan
mental yang memengaruhi berbagai kelompok etnis dan ras.
2) Terampil secara budaya menjadi aktif terlibat dengan individu yang
minoritas di luar pengaturan konseling (misalnya, acara komunitas, fungsi
sosial dan politik, perayaan, persahabatan, kelompok lingkungan, dan
sebagainya) sehingga perspektif mereka tentang minoritas lebih dari sekedar
akademis atau membantu latihan.
Page | 16
5) Harus menyadari praktik diskriminasi yang relevan di tingkat sosial dan
komunitas yang dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis populasi yang
dilayani.
c. Skills/Keterampilan
1) Konselor Multikultural yang terampil secara budaya dapat terlibat dalam
berbagai tanggapan membantu verbal dan nonverbal. Mereka mampu
mengirim dan menerima pesan verbal dan nonverbal secara akurat dan tepat.
2) Memiliki keterampilan budaya mampu melatih keterampilan intervensi
institusional atas nama klien mereka. Mereka dapat membantu klien
menentukan apakah suatu "masalah" berasal dari rasisme atau bisa pada
orang lain (konsep paranoia sehat) sehingga klien tidak mempersonalisasi
masalah secara tidak tepat.
3) Tidak segan mencari konsultasi dengan tabib tradisional atau pemimpin dan
praktisi agama dan spiritual dalam perawatan klien yang berbeda secara
budaya jika diperlukan.
4) Bertanggung jawab untuk berinteraksi dalam bahasa yang diminta oleh klien
dan, jika tidak memungkinkan, membuat rujukan yang sesuai. Masalah
serius muncul ketika keterampilan linguistik konselor tidak sesuai dengan
bahasa klien. Oleh karena itu, konselor harus (a) mencari penerjemah
dengan pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai, atau
(b) merujuk pada konselor bilingual yang berpengetahuan dan kompeten.
5) Memiliki pelatihan dan keahlian dalam penggunaan instrumen penilaian dan
pengujian tradisional. Mereka tidak hanya memahami aspek teknis dari
instrumen tetapi juga menyadari keterbatasan budaya. Ini memungkinkan
mereka menggunakan instrumen pengujian untuk kesejahteraan klien yang
berbeda secara budaya.
6) Harus memperhatikan serta bekerja untuk menghilangkan bisa, prasangka,
dan konteks diskriminatif dalam melakukan evaluasi dan memberikan
intervensi, mengembangkan kepekaan terhadap masalah penindasan,
seksisme, heteroseksisme, elitisme dan rasisme.
7) Bertanggung jawab untuk mendidik klien mereka pada proses intervensi
psikologis, seperti tujuan, harapan, hak hukum, dan orientasi konselor.
Page | 17
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konselor sensitif agama dan
budaya adalah konselor harus mempunyai kesadaran dalam mengenal kebudayaannya
sendiri dalam segala hal. Dapat memahami bahwa yang dapat memengaruhi pola pikir,
tindakan dan perasaan seorang konseli dapat berasal dari setiap budaya. Seorang konselor
harus bisa mencari pendekatan yang tepat atau sesuai dengan karakteristik konseli dan tidak
boleh memaksakan konseli agar mengikuti nilai-nilai kebudayaan yang konselor inginkan.
Oleh karena itu, maka peran konselor harus benar-benar memahami karakteristik konseli dari
segi agama dan budayanya.
Seorang konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus budaya dan Agama konseli
dalam melakukan konseling, sehingga dapat menangani konseli lebih terampil dengan
variabel budaya. Dalam melaksanakan layanan bimbingan konseling, tidak ada budaya dan
ras yang diunggulkan, semua budaya maupun ras dipandang sama. Karakter yang dimiliki
oleh individu terpengaruh dari kondisi lingkungan masyarakat di tempat individu tersebut
berinteraksi.
Page | 18
DAFTAR PUSTAKA
Afifatuz Zakiyah, d. (2022). Peran Konselor Lintas Agama dan Budaya sebagai Problem
Solving Masyarakat Multibudaya. Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of
Counseling and Social Research, 54.
Lating, A. D. (2022). Bimbingan Konseling Islam Multikultural. In d. Aep Kusnawan,
Kapita Selekta Bimbingan dan Konseling Islam Narasi Ragam Kompetensi (p. 434).
Malang : Intelegensia Media.
Maliki. (2016). Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana.
Masruri. (2016). Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama. Jurnal At-
Tazkiah, 140.
Masturin. (2017). Konseling Islam dalam Lintas Budaya pada Masyaraat Pantura Timur
Jawa Tengah. Journal IAIN Kudus, 417.
Nurodin, S. M. (2021). Bimbingan dan Konseling Populasi Khusus. Bandung: Refika
Aditama.
Puji Prihwanto, d. (2021). Konseling Lintas Agama dan Budaya Strategi Konseling di Era
Modern. Yogyakarta: Guepedia.
Subhi, M. R. (2017). Implementasi Konseling Lintas Budaya dan Agama di Sekolah. Jurnal
Madaniyah, 93.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia.
Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Triningtyas, D. A. (2019). Konseling Lintas Budaya. Magetan: CV. AE Media Grafika.
Ulfiah. (2020). Psikologi Konseling Teori dan Implementasi. Jakarta: Kencana.
Wikipedia. (2023, 1 5). Retrieved from Wikipedia Enslikopedia Bebas:
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama
Page | 19