Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ISSUE ETIK DALAM PERSPEKTIF LINTAS BUDAYA


Disusun untuk memenuhi tugas

Mata kuliah : Pengembangan Pribadi Konselor


Dosen Pengampu : Ikke Yuliani Dhian Puspitarini, M.Pd.

Oleh :
Kelompok 11

1. Mohammad Irfan NPM : 19.1.01.01.0008


2. Widya Ayu Safitri NPM : 19.1.01.01.0014
3. Reta Verira NPM : 19.1.01.01.0051

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI
2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, taufiq dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Issue Etik dalam
Perspektif Lintas Budaya Dalam Pengembangan Pribadi Konselor ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas 
pada mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor. Kami mengucapkan terima kasih kepada
Ikke Yuliani Dhian Puspitarini, M.pd selaku dosen pengampu mata kuliah Pengembangan
Pribadi Konselor yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat dan dapat menambah
wawasan untuk kita semua.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kediri, 30 November 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

JUDUL......................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................4


B. Rumusan Masalah........................................................................................................4
C. Tujuan Pembahasan.....................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pribadi Konselor dan Keterkaitannya dengan Konseling Sadar
Budaya.......................................................................................................................6
B. Pemusatan Pada Faktor Individu dan Fakor Lingkungan dalam
Konseling...................................................................................................................7
C. Menghindari Sikap - Sikap Prasangka dan
Sterotip.......................................................................................................................8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memicu lajunya perkembangan


peradapan manusia, yang berdampak pada mobilitas penduduk, modal nilai dan ideologi, dari
suatu tempat ke tempat yang lain. Akibatnya, terciptanya suatu pemukiman dengan beragam
budaya . Keragaman budaya ini pada kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan
hidup, namun dalam kondisi bermasalah dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi
dan penyesuaian antar budaya.

Adanya keragaman budaya merupakan realitas hidup, yang tidak dapat dipungkiri
mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia, yang termasuk di dalamnya
adalah aktivitas konseling. Karena itu, dalam melakukan konseling, sangat penting untuk
mempertimbangkan budaya yang ada. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran budaya dalam
praktek konseling masih sangat kurang. Hal ini sangat berbahaya, konseling yang tidak
mempertimbangkan budaya klien yang berbeda akan merugikan klien. Menurut Freize,
pendidikan yang tidak melihat budaya klien adalah pendidikan yang menindas. Kesadaran
budaya harus menjadi tujuan pendidikan, termasuk konseling yang lebih mengena.

Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik ( Paul
Pedersen, 1991 ). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang
mengartikannya secara berlain - lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui
maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah
diartikan secara beragam dan berbeda - beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya
yang memberi artinya.

Definisi - definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras,
etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoritis mutakhir cenderung untuk mendefinisikan
lintas budaya terbatas pada varibel - variabelnya ( Sue dan Sue, 1990 ). Namun, argumen -
argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pola seluruh bidang
dari kelompok - kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan

4
yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi
seksual, dan usia ( Triclett, Watts, dan Birman, 1994 ).

Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya
bias - bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif.
Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan
melepaskan diri dari bias - bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya,
dan memiliki ketrampilan - ketrampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian,
maka konseling dipandang sebagai " Perjumpaan Budaya " ( Cultural Encounter ) antara
konselor dan konseli ( Dedi Supriadi, 2001:6 ).

B. Rumusan Masalah
5
1. Bagaimana pribadi konselor dan keterkaitannya dengan konseling sadar budaya ?

2. Bagaimana pemusatan pada faktor individu dan faktor lingkungan dalam konseling ?

3. Bagaimana menghindari sikap - sikap prasangka dan streotip ?

 Prasangka dan streotip budaya.

 Perspektif etik dan etnik.

 Bias budaya: usia, gender, ras, etnis yang menghambat konseling.

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pribadi konselor dan keterkaitannya dengan konseling sadar


budaya.

2. Untuk mengetahui pemusatan pada faktor individu dan faktor lingkungan.

3. Untuk mengetahui cara menghindari sikap - sikap prasangka dan streotip.

BAB II
PEMBAHASAN
6
A. Pribadi Konselor dan Keterkaitannya Dengan Konseling Sadar Budaya.

Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang


mempunyai spesifikasi teertentu. ( Perdesen dalam Mcrae & Jhonson ) menyatakan bahwa
konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan
ketrampilan.

Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar - benar mengetahui perbedaan yang
mendasar antara konselor dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus
menyadari benar akan timbulnya konflik jika konselor memberikan layanan konseling kepada
klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.

Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan
memahami budaya di indonesia, terutama nilai - nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan
tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan
pasti nilai - nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai - nilai yang
dimiliki oleh konselor dan nilai - nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan
untuk melaksanakan konseling.

Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan


pengetahuannya mengenai budaya yang ada di indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki
oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosiopolitik dan sosiobudaya dari kelompok etnis
tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin
beragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai - nilai
budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja,
tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan
semakin mempermudah konselor untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya
tertentu.

Ketrampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan ketrampilan untuk


berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan
banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan
mendapatkan ketrampilan ( Perilaku ) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal konselor banyak
berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belajar bagaimana berperilaku

7
sebagaimana orang jawa. Jika konselor sering berhubungan dengan orang minangkabau,
maka konselor akan belajar bagaimana orang miangkabau berperilaku.

Tiga kompetensi diatas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan
dimilikinya ketiga kemampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa
berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya. Sementara itu menurut
konseling indonesia 2012 kompentensi lintas budaya meliputi:

a. Kesadaran nilai - nilai bias budaya.

b. Kesadaran konselor terhadap pandangan klien.

c. Strategi intervensi yang cocok berdasarkan kebudayaan.

B. Pemusatan Pada Faktor Individu dan Faktor Lingkungan Dalam Konseling.

Dalam pengkajian issue tentang budaya, locke dalam brown (1988), mengemukakan 3
issue pokok dalam konseling lintas budaya.

a. Individu adalah penting dan khas.

b. Konselor membawa nilai - nilai yang berasal dari lingkungan budayanya.

c. Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap
yang mencerminkan budayanya.

Selanjutnya brown menyatakan bahwa keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi


oleh faktor - faktor bahasa, nilai, streotip, kelas, sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut
sue, faktor - faktor budaya yang berpengaruh dalam konseling adalah pandangan mengenai
sifat hakikat manusia, orientasi waktu, dan hubungan dengan alam dan orientasi tindakan.

Dari paparan diatas dapat dianalisis bahwa unsur - unsur pokok yang perlu
diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah:

1. Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur - unsur budaya tertentu yang
berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai - nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.

2. Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsur budaya
seperti halnya klien yang dilayani.

8
3. Dalam hubungan konseling, konselor harus menyadari unsur - unsur tersebut dan
menyadari bahwa unsur - unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses
konseling.

C. Menghindari Sikap - Sikap Prasangka dan Stereotip.

1. Prasangka dan steorotip budaya.

Menerima dan menghargai perbedaan, konselor sadar bahwa latar belakang


kebudayaan yang dimilikinya, pengalaman sikap, nilai, dan bias mempengaruhi proses
psikologis. Konselor mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya. Konselor merasa
nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk ras, etnik
kebudayaan, dan kepercayaan.

 Konselor memiliki pengetahuan tentang ras dan kebudayaannya sendiri dan


bagaimana hal tersebut mempengaruhi secara pesonal dan
profesionalpandangannya tentang normal dan abnormal dan proses konseling.

 Konselor mengetahui dan memahami bahwa tekanan, ras, diskriminasi, dan


stereotip mempengaruhi mereka secara personal dan dalam pekerjaannya.

 Konselor mengetahui dampak sosialnya terhadap orang lain. Pengetahuan


mereka terhadap perbedaan komunkasi, bagai mana gaya komunikasi ini
mungkin akan menimbulkan perselisihan atau membantu perkembangan
dalam proses konseling pada klien minoritas, dan bagaimana cara
mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi pada orang lain.

2. Perspektif etik dan etnik.

Perbedaan etik melibatkan penelitian yang berasal dari budaya tertentu. Pendekatan
etnik mengacu pada pandangan bahwa data penelitian konseling lintas budaya harus dilihat
dari sudut pandang budaya subjek yang diteliti, atau budaya asli dan unik.

Dikotomio etik dan etnik merupakan berbedaan cara mendeskripsikan suatu


kebudayaan, dipandang dari dalam budaya klien atau dari luatr budaya klien.

3. Bias budaya, usia, gender, ras, etnis yang menghambat konseling.


9
Konseling antar budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3 dimensi
kemampuan yaitu dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan dan sikap pengetahuan dan
keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang akan dilayani. Konselor tidak
mempersiapkan secara khusus unruk menangani klien – klien yang latar budaya, suku atau
ras, dan kelompok – kelompok sosial dan ekonomi tertentu, akan tetapi menangani klien yang
bersifat antar budaya atau bahkan multi budaya.

Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia makin terasa, mengingat


penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka corak dan sub-
kultur yang berbeda – beda karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu tidak
dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling.
Pelayanan BK yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuandan meingkatkan mutu
kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia
sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan BK harus dilandasi dan mempertimbangakan
keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, disamping kesaadaran akan
dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.(Adhipura,2010.190).

Ketika konselor dan klien secara bersama dalam budaya yang sama, konselor
mempercayakan intuitievely atas penerimaan secara bersama – sama untuk menyempurnakan
diluar tujuan klien, dan atas pemahaman pribadinya untuk memenuhi jurang pemisah dalam
latar belakang diri klie. Ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor sering
kurang menyimpulkan secara implicit untuk menciptakan image coherent pada diri klien.
Seperti aspek – aspek yang signifikan pada persepsi, ingatan, dan sisa sejarah yang membisu.
Waktu yang mengiris pada sesi konseling akan memperluas horyzontally yang meliputu
sejarah dan masa depan klien, serta ketegak lurusan ke penggabungan makna budaya itu.

Interaksi antar konselor dan klien mungkin dapat dilihat dari intervensi disengaja
dalam aktivitas klien, konstruk wawasan dan pemahamannya,serta kebaikannya untuk
memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki. Para partisipan semestinya menciptakan
setiap interface akan menompang hubungan konselingan dan menompang manfaat
penerimaan interface klien yang begitu luas adalah dibutuhkan dengan sungguh – sungguh
dan kehangatan, serta membangkitkan rasa empatinya. Konsep akhirnya adalah mengkritisi
komunikasi antar budaya, semenjak di sarankan empati ketentuan pertalian dan hubungan

10
berdasarkan atas kesamaan antar kedua partisipan konseling antar budaya, kita selalu melihat
kebutuhan yang serupa untuk menompang empati.

Membangun proses berbaris psikologi, budaya belajar (cultural learning) mungkin


menentukan seprangkat persepsi persamaan yang lebih menemukan perbedaannya. Jika
laboratory ditemukan akan bias memperluas level persepsi social, kita dapat melakukan
hipotesis yaitu sebagian masyarakat Amerika, sebagai contoh, budaya belajar mendorong
persepsi yang sama dengan yang lain, orang Perancis (French) mungkin predisposition untuk
menerima suatu perbedaan. Pengamatan secara umum yang dibutuhkan adalah untuk
memperkuat atau juga untuk menolaknya.

BAB III

11
PENUTUP
A. Kesimpulan.

Kesadaran konselor lintas budaya harus benar - benar mengetahui adanya perbedaan
yang mendasar antara konselor dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus
menyadari benar akan timbulnya konflik jika konselor memberikan layanan konseling kepada
klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.

Dalam pengkajian issue tentang budaya, locke dalam brown (1988), mengemukakan 3
issue pokok dalam konseling lintas budaya.

a. Individu adalah penting dan khas.

b. Konselor membawa nilai - nilai yang berasal dari lingkungan budayanya.

c. Nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.

Landasan sosial budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada
konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seseorang individu pada dasarnya merupakan
produk lingkungan sosial budaya dimana ia hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku - suku bangsa di
Indonesia. Surabaya: Pelangi.

BK | Bimbingan dan Konseling Indonesia | Pusat Referensi Konseling |


http://konselingindonesia.com Menggunakan Joomla! Generated: 7 May, 2012,2

Carter. RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and implications for
counseling. Journal of Counseling & Development. 70: 164 - 173.

Koentjaraningrat. 198. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselo. Jakarta: Depdikbud.

12

Anda mungkin juga menyukai