Anda di halaman 1dari 11

LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN

KONSELING LINTAS BUDAYA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Konseling Lintas Budaya

Disusun Oleh:
Kelompok 2
Cut Nisrina Zahirah 2006104030085
Keisya Ramadhanti 2006104030046
Qurrata Akyun 2006104030002
Reihan Febriana 2006104030078
Syakira Zharifa 2006104030027

Dosen Pembimbing:
Drs. Syaiful Bahri, M.Pd
Evi Rahmiyati, S.Pd., M.Ed

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Latar Belakang dan
Perkembangan Konseling Lintas Budaya”. Tak lupa pula shalawat beriring salam kami
sanjungkan kepangkuan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari
alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan..
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing Ibu Evi Rahmiyati, S.Pd.,
M.Ed, yang telah membantu kami untuk dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Kami
menyadari bahwa laporan makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa
menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan
para pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Banda Aceh, 23 Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 1
1.4 Manfaat......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 2
2.1 Landasan Konseling Lintas Budaya ............................................................................. 2
2.2 Muatan Budaya Dalam Konseling ............................................................................... 3
2.3 Relevansi Kebutuhan Akan Konseling Lintas Budaya ................................................ 5
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 7
3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 7
3.2 Saran ............................................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang merupakan negara kepualauan, terbentang dari Sabang sampai Merauke,
memiliki kekayaan berbagai ragam suku bangsa dan budaya. Keberagaman budaya yang
merupakan aset dan kekayaan Indonesia ini patut untuk dilestarikan. Keberagaman Budaya ini
ternyata juga membutuhkan pemahaman tersendiri bagi orang lain yang berasal di luar budaya
tersebut. Perbedaan Budaya menjadikan pula pemahaman dan cara tersendiri dalam menjalin
komunikasi, termasuk didalamnya dalam pemberian pelayanan bimbingan dan konseling.
Proses Konseling merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi yang berlangsung secara
intensif antara konselor dan klien. Dipandang dari perspektif budaya, situasi konseling adalah
sebuah perjumpaan kultural antara konselor dengan klien. Oleh karena itu, konselor perlu
memiliki kepekaan budaya agar dapat memahami dan membantu klien sesuai dengan konteks
budayanya. Konselor yang demikian adalah konselor yang menyadari benar bahwa secara
kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan dalam proses konseling akan
membawa karakteristik tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja landasan konseling lintas budaya?
2. Apa saja muatan budaya dalam konseling?
3. Bagaimana relevansi kebutuhan akan konseling lintas budaya?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui landasan konseling lintas budaya.
2. Untuk mengetahui muatan budaya dalam konseling.
3. Untuk mengetahui relevansi kebutuhan akan konseling lintas budaya.

1.4 Manfaat
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
untuk memperbanyak ilmu pengetahuan. Dan diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber
referensi dan informasi baru yang dapat digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai
latar belakang dan perkembangan konseling lintas budaya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Konseling Lintas Budaya


Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam
dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an.
Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang
memecah-belah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan
pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang
melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta
keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi
keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan
lintas budaya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioristik dan humanistik (Paul
Pedersen, 1991). Banyak yang menulis tentang konseling lintas budaya sering dari populasi
minoritas mereka sendiri, untuk menyebut jalan pergerakan dari suatu yang menegaskan
landasan pengetahuan Eurosentrik, yang sebelumnya melingkupi landasan pengetahuan
pluralistik. Pada akhirnya, pandangan lintas budaya ditandai oleh pendekatan holistik untuk
membantu dan penyembuhan, terfokuskan pada kelompok dan keluarga alih-alih pada
individu, dan menggunakan sudut pandang yang integral alih-alih yang linear. Suatu masalah
yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-
lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar.
Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-
beda, sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.

Konseling lintas budaya dipahami bukan semata-mata berkenaan dengan hubungan antara
konselor dengan klien dalam konteks mikro (Supriatna, M. 2009), melainkan meliputi juga
kekuatan-kekuatan lingkungan yang membentuk prilaku konselor-klien dan praktik
pendidikan (Adi, K. J. 2013; Rodliyah, A. I. 2009), konseling yang didasari kesadaran dan
pluralisme budaya dapat memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan pendidikan. Dengan
masuknya pengaruh globalisasi maka dirasakan kebutuhan Konseling Lintas budaya sebagai
suatu gerakan yang disebut dengan kekuatan keempat dalam konseling. Konseling lintas
budaya merupakan konseling yang dilaksanakan dalam budaya yang berbeda (Supriatna, M.

2
2009; Suhartiwi, S., & Musifuddin, M. 2013). Sue (1981) merumuskan bahwa konseling
lintas budaya adalah konseling yang diberikan pada kelompok-kelompok minoritas seperti
kelompok kulit hitam, hispanic, Indian, keturunan Asia-Amerika. Locke (1998) merumuskan
konseling lintas budaya terjadi bila suatu proses konseling terdapat perbedaan-perbedaan
budaya antara konselor dengan konseli.

2.2 Muatan Budaya Dalam Konseling


Apabila ditinjau dari dimensi kebudayaan dan dimensi konseling, maka seluruh dimensi
budaya mewarnai seluruh sistem konseling. Tidak ada bagian yang terkecil dalam konseling
tidak diwarnai oleh budaya. Berikut ini menurut Jumarin (2002: 61-63) penjelasan bagaimana
sistem budaya mewarnai dan mempengaruhi sistem konseling, beberapa diantaranya:
1) Budaya akan memberi warna dan arah bagi subsistem konsep dasar konseling yang
mencakup landasan filosofis, tujuan konseling, prinsip dan asas konseling, serta
kode etik konseling. Landasan filosofis konseling pada dasarnya adalah nilai-nilai
budaya. Tujuan konseling yang akan dicapai harus sejalan atau diwarnai nilai
budaya, orientasi nilai. Masyarakat Jawa mungkin lebih mementingkan keselarasan,
masyarakat ilmiah mungkin lebih menekankan pencerahan dan sebagainya.
2) Budaya memberikan warna terhadap subsistem konselor, baik yang berkaitan
dengan kualifikasi, pendidikan dan latihan, penempatan konselor. Kualifikasi
konselor di masyarakat Jawa akan berbeda dengan konselor untuk masyarakat
Eropa dan Amerika. Demikian pula dalam hal pendidikan dan latihan konselor,
akan diwarnai oleh budaya dimana pendidikan konselor diselenggarakan.
3) Budaya akan memberikan warna bagi subsistem subyek yang dibimbing. Konsep
orang yang bermasalah akan berbeda antara satu budaya dengan budaya lain.
Kriteria yang malladjusted akan berbeda pada setiap kebudayaan. Individualisme
bagi masyarakat Eropa mungkin dipandang baik, tetapi bagi masyarakat Jawa sikap
tersebut dipandang bermasalah.
4) Budaya juga menentukan dan mewarnai metode memahami individu dan
metode/teknik konseling. Pemahaman individu pada masyarakat ilmiah akan
menggunakan metode-metode ilmiah (pengamatan, tes, wawancara, dsb), sedang
pada masyarakat tradisional akan banyak menggunakan metode yang sifatnya non
ilmiah (perhitungan hari kelahiran, astrologi, meditasi, dsb.). Budaya juga akan
mewarnai dalam penggunaan teknik-teknik layanan konseling. Masyarakat
animisme dan dinamisme akan menggunakan teknik-teknik mistik, masyarakat

3
religius akan menggunakan metode-metode religius, masyarakat ilmiah akan
menggunakan metodemetode ilmiah.
5) Budaya akan memberikan arah bagi program-program konseling. Program-program
apa yang akan diberikan dalam layanan konseling tergantung pada budaya
masyarakat. Program meditasi tentu cocok bagi masyarakat yang memiliki budaya
meditasi. Program doa, zikir, puasa, cocok bagi masyarakat yang berbudaya
religius. Program training, studi banding dan sebagainya cocok bagi masyarakat
yang berbudaya keilmuan.
Dari beberapa hal tersebut di atas jelaslah bahwa dalam proses konseling lintas budaya
tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masing-masing individu. Bahkan kebudayaan
mempengaruhi teknik layanan konseling, tergantung dari daerah mana, ideologinya seperti
apa, serta tingkat intelektualnya

Dalam proses konseling, dimana konselor akan bertanya kepada klien, anda dari mana
dengan penuh rasa kebersamaan atau kekeluargaan merupakan cermin dari budaya timur,
melainkan dalam sub kultur masing-masing budaya tersebut. Sebagai contoh, ketika saling
berbicara, ukuran jarak fisik yang wajar antara orang Eropa dan Asia berbeda. bagi
masyarakat Barat kontak mata saat berbicara berarti kesantunan dan menunjukan sikap asertif,
sedangkan bagi sebagian budaya Timur adalah perilaku ”menantang” dan bahkan dianggap
tidak sopan

Penggunaan sentuhan sebagai cara untuk memotivasi klien dalam konseling dan
penggunaan komunikasi non verbal dengan menggunakan media vokal juga secara kental
mengandung muatan budaya. dalam proses konseling, konselor maupun klien membawa serta
karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan, bakat, sikap, motivasi, kehendak,
dan tendensi-tedensi lainnya. Sejauh ini, di Indonesia banyak perhatian diberikan terhadap
aspek-aspek psikologi tersebut (tertama pada pihak klien), dan masih kurang perhatian
diberikan terhadap latar belakang budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk
perilakunya dan menentukan efektifitas proses konseling.
Kegiatan komunikasi antar budaya merupakan kegiatan komunikasi yang terjadi antara
klien yang berbeda adat istiadat, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial atau
bahkan jenis kelamin (Mulyana dan Jalaluddin, 1998). Dengan memperhatikan batasan diatas
sepintas dapat dikatakan bahwa komunikasi antar budaya harus oleh para diplomat,
mahasiswa asing guru di sekolah internasional, pekerja sosial dan lain sebagainya. Namun

4
sebenarnya setiap komunikasi kita dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antar
budaya karena kita selalu berbeda “budaya” dengan orang tersebut, seberapapun kecilnya
perbedaan itu, jadi komunikasi antar budaya seyogyanya merupakan kepedulian siapa saja
yang ingin berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

Keefektifan konselor akan sangat tergantung pada keefektifan komunikasi dengan orang
lain (klien), adalah merupakan keharusan bagi konselor untuk mempelajari komunikasi antar
budaya, karena dalam proses konseling seorang konselor akan bertanya kepada klien tentang
daerah asal klien dengan penuh rasa kebersamaan atau kekeluargaan, ini merupakan cermin
dan budaya timur. Untuk dapat memahami lebih lanjut tentang komunikasi antar budaya serta
beberapa hambatan Yang Mempengaruhi keefektifan komunikasi antar budaya, Jant (1998)
mengemukakan hal berikut: (1) beberapa pendekatan komunikasi antar budaya, (2) hambatan-
hambatan komunikasi antar budaya, (3) bagaimana hambatan-hambatan tersebut mengganggu
komunikasi antar budaya.

2.3 Relevansi Kebutuhan Akan Konseling Lintas Budaya


Dengan semakin sering munculnya persoalan-persoalan yang bersumber dari
keberagaman budaya klien muncul dan sulit untuk dipecahkan dalam proses pendidikan dan
konseling disekolah. Perilaku malasuai (maladjustment) siswa untuk tingkat tertentu berkaitan
dengan darimana ia berasal dan kemana afiliasi kelompoknya, apakah itu etnik, ras, asal
daerah atau bahkan status social ekonomi keluarganya.
Pemerintah meluncurkan program rehabilitasi social melalui layanan konseling
berkerjasama dengan beberapa perguruan tinggi dan lembaga sosmasyarakat. Mereka
menyadari bahwa prinsisp-prinsip yang lazim digunakan dalam konseling dan psikologi saja
tidak cukup untuk menangani masalah yang besifat lintas budaya.

Contoh dalam konsteks yang relevan, kegagalan Indonesia untuk menjadikan orang-
orang timor leste sebagian dari bangsa Indonesia sehingga terlepas kembali. Bersumber pula
dari ketidak mampuan kita untuk memahami dan memperlakukan manusia timor leste secara
tepat. Mislanya untuk dan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, serta merta diperlakukan
anak-anak dibagian Indonesia lainnya yangs secara historis memang diikat oleh nasionalisme
Indonesia, sementara akar kesejarahan orang timor leste berbeda sehingga tidak ada
nasionalisme Indonesia di timor (rahardjo,1999. Dalam supriadi, 2001:67).

5
Mohamad surya (1997) mengemukakan bahwa bimbingan dalam suasana harmoni
budaya bangsa, pernyataan ini mempunyai implikasi bahwa kebudayaan hendaknya dijadikan
sebagai suatu pendekatan pelaksanaan bimbingan pola bimbingan yang ditawarkan adalah
bimbingan holistic dengan focus sasaran utamanya adalah pemeberdayaan pribadi, berpusat
pada keluarga berakar pada nilai religi bernuansa pendidikan, dan dalam harmoni budaya
bangsa adapun pola bimbingan yang di maksud ialah :
• Pertama, pola bimbingan holistic makna bahwa layanan yang diberikan merupakan
suatau keutuhan berbagai dimensi terkait.
• Kedua, focus sasaran bimbingan diarahi pada pemberdayaan pribadi sebagai sumber
kekuatan daya manusiawi,
• Ketiga, bimbingan yang berpusat pada keluarga
• Keempat, pola bimbingan yang bernuansa pendidikan dalam artian dilandasi oleh
paradigma dan nilai-nilai pendidikan karena pada hakekatnya bimbingan merupakan
proses pendidikan
• Kelima, bimbingan dalam suasana harmoni budaya bangsa

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioristik dan humanistik. Konseling
lintas budaya dipahami bukan semata-mata berkenaan dengan hubungan antara konselor
dengan klien dalam konteks mikro, melainkan meliputi juga kekuatan-kekuatan lingkungan
yang membentuk prilaku konselor-klien dan praktik Pendidikan.
Dalam proses konseling lintas budaya tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masing-
masing individu. Bahkan kebudayaan mempengaruhi teknik layanan konseling, tergantung
dari daerah mana, ideologinya seperti apa, serta tingkat intelektualnya. Keefektifan konselor
akan sangat tergantung pada keefektifan komunikasi dengan konselinya, itu merupakan
keharusan bagi konselor untuk mempelajari komunikasi antar budaya.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Untuk
saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan

7
DAFTAR PUSTAKA

Hansen, L. S. (1997). Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career Development and
Changing Life Patterns. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Supriatna, M. (2009). Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. Materi PLPG PPB, FIP,
UPI.
Iswari, M. (2017). Efektivitas Penyelenggaraan Konseling dengan Memahami Komunikasi
antar Budaya. Konselor, 6(1), 13-17.
Adi, K. J. (2013). Esensial Konseling: Pendekatan Traint and Factor dan Client Centered.
Penerbit Garudhawaca.
Rodliyah, A. I. (2009). Penerapan Konseling Individual dalam Mengembangkan Perilaku
Moral Siswa di MAN Denanyar Jombang (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel
Surabaya).
Supriatna, M. (2009). Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. Materi PLPG PPB, FIP, UPI.
Suhartiwi, S., & Musifuddin, M. (2013). Modus dan Format Pelaksanaan Pelayanan
Konseling dalam Memahami Klien Lintas Budaya. Jurnal Konseling dan Pendidikan,
1(1), 73-82.
Jumarin, 2002, Dasar-Dasar Konseling Lintas-Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai