Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

PSIKOLOGI BIMBINGAN DAN KONSELING

“Aspek Psikologis dalam Pelaksanaan Konseling”

Dosen Pembina
Prof. Dr. Prayitno, M.Sc, Ed
Dr. Yeni Karneli, M.Pd., Kons

Oleh Kelompok 3
Apri Kasman 161510
Rahmat Aryo 161510
Surya Manggala Elani 16151044
Fira Ramli 16151018
Hidayatul Hasanah 161510

PROGRAM STUDI S2 BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017
ASPEK PSIKOLOGIS DALAM PELAKSANAAN KONSELING

A. Suasana Hubungan Konselor dan Klien


1. Sikap dasar dalam hubungan konseling
a. Keyakinan konselor tentang kebaikan dan kecendrungan positif manusia
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah keyakinan atau pandangan konselor
tentang hakekat manusia. Manusia itu pada dasarnya adalah baik. Demikian
klien yang adalah manusia, pada dasarnya adalah baik. Harus diyakini bahwa
klien (yang adalah manusia)mengandung pada dirinya kebaikan-kebaikan yang
perlu dan dapat dikembangkan. Justru tugas konselorlah membantu klien
menemukan, mengungkapkan dan mengembangkan kebaikan-kebaikan yang
ada pada diri klien itu. Pada dasarnya manusia memiliki kecendrungan-
kecendrungan yang positif.
Kecendrungan yang positif itu kadang-kadang terganggu karena klien
mengalami sesuatu masalah. Dalam hal ini, sekali lagi, konselor bertugas
membantu meringankan beban klien dan membebaskannya dari gangguan
masalah itu. Jika klien terbebas dari gangguan itu, maka dasar-dasar kebaikan,
kecendrungan yang positif dapat dipastikan akan terwujudnya dalam bentuk-
bentuk yang baik dan positif pula.
b. Kemampuan menerima klien
Hal kedua adalah kemampuan konselor untuk benar-benar menerima klien
sebagaimana adanya. Dasar dari kemampuan ini ialah penghargaan terhadap
orang lain (dalam hal ini klien) sebagai seorang yang pada dasarnya baik. Dalam
menerima klien ini dua unsur yang perlu diingat:
Konselor berkehendak untuk membiarkan adanya perbedaan antara konselor
dan klien
Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dijalani oleh klien adalah
usaha penuh dengan perjuangan, pembinaan dan perasaan.
Penerimaan konselor terhadap klien secara langsung bersangkut paut dengan
kemampuan konselor untuk tidak memberikan penilaian tertentu terhadap klien.
Konselor tidak menerapkan sesuatu ukuran terhadap ciri-ciri ataupun keadaan
apapun dari klien. Juga konselor tidak menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi oleh klien sebelum konselor mau memberikan bantuannya.
Konselor tidak memakai ungkapan-ungkapan yang memakai “jika” misalnya
“jika kamu mau mematuhi saran saya”, “jika kamu belajar dengan baik”, “jika
kamu berhenti berbuat nakal”, “jika kamu menghormati saya ”, dan sebagainya,
sebagai syarat pengakuannya terhadap pribadi klien, atau sebelum konselor
bersedia memberikan bantuannya.
c. Penuh pengertian terhadap klien
Hal ketiga ialah bahwa setiap orang ingin dinegeri. Jika hubungan konselor akan
membuahkan sesuatu yang baik, maka konselor yang menyangkut klien harus
mencakup secara jelas, benar dan menyeluruh dari semua apa yang
dikemukakan oleh klien. Semua pernyataan dari klien, baik langsung atau tidak
langsung baik melalui kata-kata (verbal) maupun syarat dan gerakan (non
verbal) perlu dijangkau dan dimengerti oleh konselor.
d. Sikap konselor terhadap norma dan nilai-nilai
Hal keempat adalah mengenai norma dan nilai-nilai. Di dunia barat banyak
konselor yang menganggap bahwa konselor hendaknya tetap netral terhadap
norma dan nilai-nilai itu. Artinya konselor tidak boleh mengambil sikap tertentu
terhadap norma dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Di samping itu ada pula
konselor yang berpendapat lain. golongan konselor ini tidak bersifat netral
terhadap nilai-nilai yang dianut klien, melainkan siap membicarakan secara
terbuka dan terus terang tentang niali-nilai itu. Konselor ini berpendapat bahwa
sikap netral pada klien bisa berbahaya, terutama karena klien dapat beranggapan
bahwa konselor menerima atau bahkan menyetujui nilai-nilai itu tidak dapat
diterima oleh masyarakat.
Sebenarnya suka atau tidak suka, langsung atau tidak langsung konselor akan
menyertakan norma dan nilai-nilai yang dianutnya didalam hubungan konseling
dengan klien. Masalahnya sekarang ialah bolehkah konselor memaksakan
norma dan nilai-nilainya sendiri kepada klien? Jawabannya ialah tidak.
Konselor dapat membicarakan secara terbuka dan terus terang segala sesuatu
yang menyangkut norma dan nilai-nilai: bagaimana berkembangnya, bagaimana
penerimaan masyarakat, apa dan bagaimana akibat yang dapat timbul bila
norma dan nilai-nilai seperti ini teru s dianut, dan sebagainya. Jelaslah bahwa
norma dan nilai-nilai itu perlu dibahas dari segenap seginya agar klien memiliki
bahan yang cukup dalam mengambil keputusan tentang norma dan nilai-nilai
yang akan diambilnya.
Perlu dicatat, pada akhirnya klienlah yang hendaknya mampu mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini pemaksaan norma dan nilai-nilai
dari konselor berarti tidak memberikan hak kepada klien untuk memutuskan
sendiri apa yang penting bagi dirinya.
2. Kemampuan dasar dalam hubungan konseling
a. Kemampuan membina keakraban
Keakraban merupakan syarat yang sangat pokok demi terbinanya hubungan
yang nyaman dan serasi antar konselor dan klien. Keakraban ini akan tumbuh
dan terus menerus terjaga jika konseling benar-benar menaruh perhatian dan
menerima klien dengan baik. Perhatian dan penerimaan yang murni (tidak
palsu) ini sebenarnya tidak bisa dipaksakan, ataupun direncanakan, ataupun
dibuat-buat. Seorang konselor yang memaksakan dirinya menaruh perhatian dan
menerima klien, atau (atau terpaksa) dengan sengaja merencanakan bentuk-
bentuk perhatian dan penerimaan terhadap klien, maka wujud perhatian dan
penerimaan itu akan tidak wajar, dan ketidakwajaran iniakhirnya akan mewarnai
hubungan itu sendiri. Keakraban yang murni dan wajar ditandai oleh adanya
perhatian, tanggapan, dan keterlibatan perasaan secara tulus. Keakraban ini
adalah lebih dalam dari sekedar mengucapkan salam atau sekedar mengenakkan
hati klien saja. Lebih jauh dari itu, keakraban merupakan kesatuan suasana
hubungan yang ditandai oleh adanya rasa krasan, kesungguhan, dan ketulusan
hati dan perhatian. Susahnya, ciri-ciri kekraban seperti ini amat sukar diukur,
amat sulit diterjemahkan kedalam bentuk-bentuk tindakan yang nyata, dan amat
sukar dibuat petunjuk pelaksanaannya (resepnya). Dan lagi, keakraban yang
murni tidak mungkin dibina kalau usaha-usaha “yang palsu atau pun melihat
sembunyi-sembunyi”. Satunya-satunya “resep” yang dapat dikemukakan disini
ialah : konselor hendaknya memiliki kehendak hati yang kuat untuk menerima,
memperhatikan, dan mendengarkan orang lain (klien). Keakraban yang murni
adalah tanpa pemrih.
b. Kemampuan berempati
Empati pada dasarnya adalah mengerti dan dapat merasakanan perasaan dan
pikiran orang lain (klien) sebagaimana ia merasakan dan memikirkannya.
Empati ini akan lebih lengkap jika diiringi oleh pengertian dan penerimaan
konselor tentang kondisi klien umumnya. Empati adalah suasana psikologis
dalam saling hubungan antara dua orang; kuat-lemahnya empati itu tergantung
kepada saling oengertian dan penerimaan terhadap suasana pembicaraan/
penampilan klien. Suasana empati yang dapat dirasakan baik oleh klien maupun
konselor sendiri.
c. Kemampuan memperhatikan
Kemampuan memperhatikan menutur keterlibatan sepenuhnya dari konselor
terhadap segala sesuatu yang dikemukakan oleh klien. Kemampuan ini
memerlukan keterampilan dalam mendengarkan dan mengamati untuk dapat
mengetahui perasaan sebagaimana diungkapkan oleh klien. Melalui mendengar
dan mengamati itu konselor tidak hanya menangkap dan mengerti apa yang
dikemukakan oleh klien tetapi juga bagaimana dan mengapa klien
menyampaikan hal itu.
Bagaimana juga, suka atau tidak suka, klien menginginkan perhatian penuh dari
konselor. Untuk ini konselor perlu mencurahkan perhatian secara penuh
terhadap segenap pengutaraan klien baik melalui kata-kata (verbal) maupun
isyarat/kegiatan lainnya (non-verbal). Lebih dari itu, hal0hal yang
melatarbelakangi pengutaraan itu pun perlu dijangkau oleh konselor.
3. Beberapa hal praktis dalam hubungan konseling
a. Perbedaan antara Konseling dan Pembicaraan Biasa
Perbedaan antara Konseling dan Pembicaraan Biasa hendaknya disadari. Dalam
konseling pusat pembicaran hendaknya diarahkan kepada salah seorang peserta,
yaitu klien, sedangkan dalam pembicaraan biasa pusat pembicaraan diarahkan
kepada kedua belah pihak. Konselor hendaknya tidak memusatkan pembicaraan
kepada seseorang selain klien sendiri. Hendaknya juga harus diingat bahwa
didalam wawancara konseling tidak boleh ada omongan yang membicarakan
orang lain.
b. Klien adalah pusat pembicaraan dalam wawancara konseling
Dalam konseling, jika klien menyatakan bahwa ia telah pernah menghubungi
orang lain (misalnya guru, dokter, konseling lain, dan sebagainya) berkenaan
dengan masalah yang dihadapinya, maka konselor harus berusaha
menanggapinya dari sudut klien itu sendiri dan tidak dari sudut orang-orang
yang pernah dihubunginya itu. Misalnya, jika klien menyatakan bahwa ia
pernah mendatangi dan menceritakan masalahnya itu kepada seorang guru
dikelasnya dan guru itu menanggapi masalah klien dengan cara yang kurang
mengenakkan sehingga klien sama sekali tidak puas. Bagaimana sikap dan
tanggapan konselor? Ada dua kemungkinan, yaitu pertama membahas lebih jauh
tentang sikap dan tanggapan guru itu, sehingga sampai pada kesimpulan
“tampaknya guru itu memang seorang yang amat kurang menyenangkan”.
Kedua, membahas lebih jauh tentang perlakuan orang lain terhadapnya. Dalam
hal yang kedua ini konselo misalnya berkata “tampaknya kamu amat tidak suka
orang yang berperangai seperti itu”. Pilihan kedua adalah lebih baik karena
pilihan itu lebih dekat kepada tuhuan pokok usaha konseling yaitu
mengembangkan pengertian klien tentang dirinya sendiri.

c. Siapakah yang menetapkan pokok pembicaraan


Biarkanlah klien menetapkan sendiri pokok-pokok pembicaraan yang akan
dibahas dalam wawancara konseling. Konselor tidak perlu memulai
pembicaraan dengan meminta klien menceritakan sesuatu yang khusus. Klien
hendaklah diberi kesempatan penuh untuk memulai sendiri wawancara
konseling. Jika konselor yang memulai, lebih-lebih dengan sesuatu pertanyaan
yang khusus, jangan-jangan pertanyaan itu kurang berharga atau kurang
mengena terhadap apa yang hendak dikemukakan klien. Pada umumnya waktu
datang kepada konselor klien telah membawa sesuatu yang hendak disampaikan
kepada konselor. Sekali lagi, berilah kesempatan kepada klien untuk
mengemukakan apa yang penting baginya.
d. Masalah klien lain
Adalah tidak seyogyanya membawa pembicaraan tentang masalah klien yang
terdahulu kedalam proses konseling yang sekarang sedang berlangsung,
meskipun masalah yang dialami oleh kedua klien itu tampaknya sama. Besar
kemungkinan masalah yang tampaknya sama itu sebenarnya banyak sekali
perbedaannya sehingga cara penyelesaiannya yang dipakaikan terhadap klien
yang terdahulu itu tidak dapat dipakaikan terhadap klien yang sekarang.
Disamping itu, membawa masalah klien kedalam pembicaraan konseling boleh
jadi menimbulkan hal-hal yang kurang menyenangkan pada diri klien. Klien
boleh jadi menduga-duga “wah, jangan jangan bapak ini menceritakan masalah-
masalah seperti ini kepada orang-orang lain. saya ragu apakah perlu bercerita
lebih lanjut kepadanya tentang diri saya jika nantinya masalah saya akan
diceritakan kepada orang lain juga”.
e. Tidak membangkitkan sikap mempertahankan diri
Konselor hendaknya tidak membangkitkan sikap mempertahankan diri pada
klien. Penggunaan kata-kata “bodoh”, “lamban”, “penakut”, dan sebagainya
hendaknya dihindari, kecuali kalau klien mempergunakan untuk dirinya sendiri.
Perhatikanlah dua kalimat berikut:
“kamu sebenarnya kurang bersungguh-sungguh dalam usaha itu”,
“ternyata kamu sama sekali tidak mempunyai keberanian mencobanya”.
Kedua kalimat diatas merupakan pernyataan tentang sikap (perasaan) tidak puas
dari konselor dan kalimat kedua berangka dapat menimbulkan sikap
mempertahankan diri secara lebih kuat dari pada kalimat pertama. Kata-kata
tertentu boleh jadi menimbulkan sikap mempertahankan diri pada klien.
Misalnya, seorang klien tiba-tiba meradang ketika konselor mempergunakan
kata “perasa” dalam merefleksikan perasaan klien. Misalnya konselor berkata:
“tampaknya anda adalah seorang yang perasa”. Klien tiba-tiba menyahut: “saya
tidaklah perasa yang seperti bapak katakan. Saya selalu berusaha
mempergunakan pikiran dalam menanggapi setiap masalah. Jadi tuduhan bapak
bahwa saya perasa adalah tidak benar”. Dalam hal ini klien merasa tersinggung
karena konselor mempergunakan kata-kata “perasa” terhadap klien. Klien
berusaha mempertahankan diri dengan ucapan-ucapannya yang cukup keras.
Suasana ini mengingatkan agar konselor selalu berhati-hati dalam penggunaan
kata-kata. Kata-kata yang dipergunakan konselor itu boleh jadi justru
menjauhkan dan merusak hubungannya dengan klien.
B. Jenis Layanan dan Kegiatan Pendukung
1. Jenis Layanan Konseling
a. Layanan orientasi, layanan yang di tujukan untuk peserta didik atau siswa baru
guna memberikan pemahaman dan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekolah
yang baru dimasuki. Hasil yang diharapkan dari layanan ini adalah peserta didik
dapat menyesuaikan diri terhadap pola kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan
kegiatan lain yang mendukung keberhasilannya.
b. Layanan informasi. Layanan yang bertujuan untuk membekali peserta didik
dengan berbagai pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai hal yang berguna
untuk mengenal diri, merencanakan, dan mengembangkan pola kehidupan
sebagai pelajar, anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Layanan informasi
berupaya memenuhi kekurangan seseorang akan informasi yang dibutuhkan.
c. Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu serangkaian kegiatan bimbingan dan
konseling yang membantu peserta didik agar dapat menyalurkan/menempatkan
dirinya dalam berbagai program sekolah, kegiatan belajar, penjurusan, kelompok,
belajar,pilihan pekerjaan, dll. Sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, serta
kondisi fisik dan psikisnya.
d. Layanan penguasaan konten, yaitu layanan bantuan kepada individu atau
kelompok untuk menguasai kemampuan atau kompetensi tertentu melalui
kegiatan belajar.
e. Layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang memungkinkan peserta didik
memperoleh pelayanan secara pribadi melalui tatap muka dengan konselor atau
guru pembimbing dalam rangka pembahasan dan pengentasan masalah yang di
hadapi peserta didik.
f. Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika
kelompok memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu.
g. Layanan konseling kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik memperoleh kesempatan untuk membicarakan dan
menyelesaikan permasalahan yang dialami melaui dinamika kelompok, terfokus
pada masalah pribadi.
h. Layanan konsultasi, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang di berikan
kepada seseorang untuk memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang
perlu dilaksanakan dalam menangani atau membantu pihak lain.
i. Layanan mediasi, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan
konselor terhadap dua pihak yang sedang dalam keadaan tidak menemukan
kecocokan sehingga membuat mereka saling bertentangan dan bermusuhan.
j. Layanan advokasi, yaitu layanan yang dilaksanakan tehadap individu atau
kelompok yang hak-haknya terkekang atau tercederai
2. Kegiatan Pendukung
a. Aplikasi instrumentasi, yaiitu kegiatan pendukung berupa pengumpilan data dan
keterangan tentang peserta didik dan lingkungan yang lebih luas yang dilakukan
baik dengan tes maupun non tes.
b. Himpunan data, yaitu kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan
yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik.
c. Konferensi kasus, yaitu kegiatan bimbingan dan konseling untuk membahas
permaslahan yang dialami oleh peserta didik dalam suatu forum pertemuan yang
dihadiri oleh berbagai pihak yang diharapkan dapat meberikan penyelesaian.
d. Kunjungan rumah, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data,
keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi pemecaha masalah yang dialami
peserta didik melalui kunjungan rumahnya.
e. Alih tangan kasus, yaitu kegiatan bimbingan dan konseling untuk mendapatkan
penanganan yang lebih tepat dan tuntas terhadap masalah yang di alami peserta
didik dengan memindahkan penanganan ke pihak yang lebih kompeten dan
berwenang.
f. Tampilan kepustakaan, yaitu kegiatan bimbingan dan konseling untuk membantu
klien dalam memperkaya atau memperkuat diri berkenaan dengan masalah yang
dialami. Klien secara mandiri mengunjungi perpustakaan untuk mencari dan
memanfaatkan sendiri bahan-bahan yang ada di sana sesuai dengan keperluan
C. Tahap Layanan: 5an/ 5in
1. Tahap pengantaran atau introduksi dalam konseling
Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien Kunci keberhasilan
membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan
konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
2. Tahap penjajakan atau investigasi dalam konseling
Pada tahap ini konselor mendalami permasalahan yang dialami klien, konselor
melakukan diagnosis terhadap masalah yang diungkapkan klien
3. Tahap penafsiran atau interpretasi dalam konseling
Konselor menafsirkan apa yang disampaikan oleh klien, konselor menafsirankan
penyebab permasalahan yang dialami klien.
4. Tahap pembinaan atau intervensi dalam konseling
Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.Hal ini bisa terjadi jika : Klien
merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau wawancara konseling, serta
menampakKan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah
yang dihadapinya.
Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi
dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap
klien.
5. Tahap penilaian atau inspeksi dalam konseling
a. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling
b. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang
telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
c. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
d. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
D. Format Layanan
a. Individual, yaitu format kegiatan BK yang melayani siswa secara perorangan.
b. Kelompok, yaitu format kegiatan BK yang melayani sejumlah siswa melalui suasana
dinamika kelompok.
c. Klasikal, yaitu format kegiatan BK yang melayani sejumlah siswa dalam satu
kelas.
d. Lapangan, yaitu format kegiatan BK yang melayani seorang atau sejumlah siswa
melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan.
e. Pendekatan Khusus/Kolaboratif, yaitu format kegiatan BK yang melayani
kepentingan siswa melalui pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat
memberikan kemudahan.
f. Jarak Jauh, yaitu format kegiatan BK yang melayani kepentingan siswa melalui
media dan/atau saluran jarak jauh, seperti surat dan sarana elektronik.
KEPUSTAKAAN

Prayitno. 2012. Seri Panduan Layanan dan Kegiatan Pendukung Konseling. Padang: UNP.

Prayitno. 2012. Dasar dan Dinamika Hubungan Konseling. Padang: UNP.

Anda mungkin juga menyukai