Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TEKNIK KONSELING REFRAMING

Oleh:

Andreas Dani T.H/17010664106

Fahmi/

Haikal/

PSIKOLOGI

2017 D
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Manusia tidak hanya terdiri dari tubuh atau organ - organ dalam saja, melainkan
manusia juga memiliki pikiran dan hati itulah yang membedakan manusia dengan
binatang. Alasan mengapa manusia disebut sebagai makhluk yang mulia karena
mereka mampu berpikir dan merasakan emosi, pikiran dan emosi ini yang
menggerakkan manusia untuk bertindak maupun memutuskan sesuatu dalam
hidupnya. Bukti bahwa manusia itu memiliki emosi adalah mereka akan marah ketika
dipukul atau mereka akan bahagia ketika mendapat hadiah dan bukti bahwa manusia
memiliki pikiran adalah mereka memiliki sudut pandang yang berbeda sekalipun
mereka berada di sekolah yang sama dan berada di tempat yang sama.

Pikiran manusia menurut psikologi kognitif adalah pusat segala sesuatu dari
manusia itu sendiri, jadi apapun yang menggerakkan manusia dan bagaimana perilaku
manusia itu dipengaruhi oleh pikiran manusia itu sendiri, maka dari itu psikologi
kognitif mempercayai bahwa perilaku manusia dapat diubah kalau pikirannya diubah.
Melalui hal inilah ada salah satu teknik konseling dari kognitif yaitu reframing yang
akan dibahas dalam tulisan ini. Penulisan akan membahas dari pengertian, jenis - jenis
reframing, tahapan dalam teknik reframing, serta langkah pengaplikasiannya secara
ringkas namun tidak mengurangi maknanya.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian reframing

Reframing adalah teknik konseling yang digunakan untuk membingkai ulang


pikiran seseorang atas pengalaman yang dialami oleh seseorang tersebut, terutama
mengarahkan pikiran irasional menjadi pikiran yang lebih rasional. Sebab terjadinya
masalah pada diri seseorang seringkali disebabkan oleh pikiran - pikiran irasional dan
pikiran irasional ini tidak hanya berbicara masalah pobia saja, pikiran negatif ataupun
asumsi - asumsi negatif yang tidak masuk akal termasuk ke dalam pikiran irasional.
Teknik reframing membingkai kembali pikiran tersebut dan mengubahnya ke pikiran
yang lebih rasional serta memberikan berbagai macam sudut pandang agar diri orang
tersebut mampu memprosesnya melalui kognitifnya dengan lebih baik dan
mengarahkannya kepada sudut pandang yang positif.

Reframing hanya memberikan sudut pandang baru tanpa merubah kejadian


tersebut, jadi dengan pengalaman yang sama namun sudut pandang yang dimiliki
berbeda, sebab pikiran irasional itu timbul karena pengalaman tersebut dibubuhi
dengan emosi yang tak pernah dilupakan dan biasanya emosi ini adalah emosi negatif.
Untuk melihat lebih rinci mengenai reframing, ada beberapa pendapat ahli menegnai
reframing:
1. Cormier dkk
Reframing adalah menjelajah lebih jauh tentang bagaiaman terjadinya suatu peristiwa
atau insiden serta menawarkan sudut pandang yang baru pada terhadap insiden
tersebut
2. Bandler, Grinder dan Andreas
Reframing adalah pemberian sudut pandang yang lebih luas dan positif kepada orang
- orang yang berpikiran sempit serta negatif terhadap dunia mereka dan sekitarnya.
3. Wiwoho
Reframing adalah membingkai ualng suatu kejadian tanpa merubah kejadian itu
sendiri
4. Watzlawick
Reframing adalah membingkai ulang suatu peristiwa atau insiden tanpa mengabaikan
fakta namun dengan memberikan fakta konkret yang baik atau bahkan lebih baik.
Jadi dari semua pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa teknik reframing adalah
pembingkaian ulang atau mengubah suatu sudut pandang negatif terhadap suatu
inseden maupun peristiwa dengan sudut pandang yang positif dan masuk akal.

2. Tujuan Refreming

1. Membantu individu mengambil sudut pandang yang lain secara positif dari
suatu peristiwa yang salah secara nilai
2. Menemukan alternative pemecahan masalah yang dihadapi individu.
3. Mengubah perilaku atau respon yang ditimbulkan akibat perspektif klien
yang sempit

3. Manfaat Refreming

a) Dapat mengubah kerangka berfikir konseli yang awalnya negative menjadi


postif.
b) Dengan adanya frame berfikir yang baru akan memunculkan tindakan dan
perilaku baru yang dikehendaki
c) Menghilangkan rasa rendah diri konseli.
d) Meningkatkan kepercayaan diri konseli untuk melakukan sesuatu tindakan
yang awalnya tidak berani ia lakukan.
e) Membiarkan adegan muncul di sudut pandang lain (frame) sehingga
seseorang merasa lega atau mampu mengatasi situasi lebih baik.
f) Reframing dapat digunakan pada peristiwa atau kejadian yang kita alami
sehari-hari yang terkadang menurut kita tidak memberdayakan agar lebih mampu
menjadikan kita berdaya dan tentunya dengan cara yang lebih menyenangkan

4. Jenis – jenis Refreming dan Tahap Reframing (Cormier dkk, 2008)

Reframing dibagi menjadi dua jenis, yaitu :


Reframing Meaning
Konselor akan membantu atau mendorong klien untuk melihat masalah dari klien
dengan perspektif atau sudut pandang yang berbeda, reframing meaning itu sendiri
akan berusaha mengubah makna masalah yang terjadi dari situasi atau perilaku
kepada diri klien menjadi makna yang positif. Sebagai konselor akan berjuang untuk
mematahkan makna negatif atau suatu satu pandang yang negatif terhadap hal
tersebut, karena yang paling sulit adalah ketika klien telah terpatri pada satu sudut
pandang tertentu dan itu negtif. Pada tahap ini akan diusulkan cara yang lebih
sistematis untuk konselor melakuan reframe kepada klien.
1. Treatment rationale: tujuan dan gambaran umum prosedur
Pada tahap ini konselor meyakinkan klien bahwa persepsi atau atribusi yang negatif
terhadap suatu masalah hanya akan berdampak negatif pada diri klien dan
menimbulkan tekanan emosi, hal ini bisa menjadi alasan untuk memperkenalkan
reframe kepada klien seperti sebagai berikut: ketika kita berada dalam situasi sulit
atau masalah, seringkali kita terpaku kepada hanya pada satu sudut pandang dan
mengabaikan sudut pandang yang lain. Ketika situasi tersebut datang kembali, maka
kita akan melakukan hal yang sama dan tidak pernah memikirkan sudut pandang serta
aspek lain yang lain dan kemudian hanya memnimbulkan emosi yang tidak nyaman
seperti yang anda alami saat ini, maka dari itu melalui reframe ini akan membantu
anda untuk melihat aspek lain yang mungkin belum terpikirkan oleh anda dan itu bisa
menjadi opsi yang lebih baik serta tidak menimbulkan emosi yang tidak nyaman
tersebut, jadi ketika nanti situasi ini datang kembali anda memiliki berbagai aspek dan
sudut pandang yang dimiliki melalui reframe ini dan itu mengubah perasaan anda
serta respon anda kepada situasi itu, jadi apakah ada pertanyaan?
2. Identifikasi persepsi dan perasaan dari klien
Setelah klien menerima alasan rasional konselor maka tahap berikutnya adalah
membantu klien menyadarkan perilaku yang secara otomatis dia lakukan ketika dalam
situasi masalah tersebut. Sebab seringkali klien sering tidak mengetahui apa yang
telah dia lakukan secara detail serta pikiran apa yang muncul ketika berada dalam
situasi tersebut, sebagai contoh seorang yang takut kepada air dalam, karena dia tidak
dapat/mampu melihat dalamnya air tersebut dia telah mengasumsikan bahwa dia akan
tenggelam. Jadi untuk mengatasi hal ini, selama wawancara konselor membantu klien
untuk menemukan apa yang biasa klien hadapi ketika berada dalam situasi tersebut
dengan cara membayangkan situasi tersebut atau bermain peran untuk menghidupkan
situasi tersebut agar klien sadar apa yang selama ini telah diperhatikan dan ditafsirkan
oleh klien terhadap masalah tersebut, untuk membantu klien sadar saat bermain peran
atau membayangkan tadi, bisa sambil diajukan pertanyaan seperti ini:
"Apa yang kamu hadirkan sekarang sekarang?"
"Apa yang kamu ketahui sekarang?"
"Apa yang kamu perhatikan tentang situasinya?"
Untuk menghubungkan perasaan dengan persepsi individu, pertanyaan-pertanyaan ini
bisa diikuti dengan selanjutnya pertanyaan, seperti ini:
"Apa yang kamu rasakan saat ini?"
"Apa yang kamu rasakan di tubuhmu?"
tahap ini harus dilakukan beberapa kali sebab untuk mendapatkan identifikasi yang
sempurna perlu melibatkan seluruh indera dari klien, maka dari itu di taha ini harus
dilakukan beberapa kali.
3. Pemberlakuan Sengaja terhadap Fitur Perseptual Terpilih
Setelah klien melakukan identifikasi atas fitur apa saja yang dihadirkan secara
otomatis ketika berhadapan dengan situsi tersebut, maka klient diminta melakukan
menghadirkan fitur yang disengaja ketika berada di situasi tersebut. Sebagai contoh
orang yang pobia dengan air tadi, dia harus melihat dalamnya air saat bermain peran
atau membayangkan tadi dengan dan sampai di tahap klien mampu mengendalikan
fitur yang disengaja tersebut hingga akhirnya dijadikan sebagai kebiasaan. Maka dari
itu taha ini juga memerlukan waktu dan dilakukan dalam beberapa kali.
4. Identifikasi Persepsi Alternatif
Persepsi alternatif diberikan apabila pemberlakuan fitur yang di sengaja tadi begitu
efektif, maksud dari persepsi aleternatif adalah sebagai contoh tadi klien yang pobia
air dialihkan untuk tidak memperhatikan ke dalaman air melainkan memperhatikan
hal yang lain dari air itu sperti basah, jernih, dan bersih. Syaratnya adalah fitur
tersebut harus bersifat netral atau positif, konselor juga bisa bertanya kepada klien
fitur mana yang membuat dirinya merasa lega, taha ini akan menjadi efektif apabila
klienpun mau menerima, maka dari itu persepsi alternatif ini harus disesuaikan
dengan klien
5. Modifikasi dan persepsi dalam situasi masalah
Konselor dapat membimbing klien dengan mengarahkan klien pada titik perhatian
lain dari situasi masalah ketika sedang melakukan role play atau membayangkan tadi.
Tujuannya adalah agar klien dapat menciptakan respon dan pengamatan baru yang
didesain untuk memecahkan perumusan model lama dan meletakkan draf untuk
perumusan baru yang lebih efektif. Beralih dari pikiran-pikiran klien dalam situasi
yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dirasakan
mengganggu klien ke pikiran yang tidak menimbulkan kecemasan. Langkah ini akan
memerlukan beberapa kali dalam penerapannya agar menjadi efektif dan
memunculkan respon persepsi baru
6. Pekerjaan rumah dan perkembangannya
Konselor dapat menyarankan yang diikuti konseli selama situasi ini format yang sama
dengan yang digunakan dalam terapi. Konseli diinstruksi menjadi lebih waspada akan
fitur-fitur terkode yang penting atau situasi profokatif dan penuh tekanan, untuk
menggabungkan perasaan yang tidak nyaman, untuk melakukan uraian peranan atau
kegiatan praktik dan mencoba membuat pergantian perceptual selama situasi-situasi
ini ke fitur-fitur lain dari situasi yang dulu diabaikan. Tahap ini ilakukan terus
menerus hingga menjadi kebiasaan dari klient.

Reframing Context
Reframing konteks adalah reframinga yang dilakukan terhadap konteks masalah,
reframing ini diliakukan karena ada anggapan bahwa semua perilaku berguna namun
tidak pada semua konteks dan kondisi, reframing ini lebih mengkhususkan membantu
klien untuk mengeksplorasi reframing konteks masalahnya untuk memutuskan kapan,
di mana, dan dengan siapa diberikan perilaku, misalnya, bermanfaat atau sesuai tidak
pemikiran atau perilaku seperti itu. Reframing konteks lebih kepada orang yang suka
menyamaratakan segala sesuatu seperti “saya selalu tidak punya waktu” atau “saya
tidak pernah senang” pada tahap reframing konteks peryataan tersebut akan
dipertanyakan kemabli serta dieksplorasi, sebagai contoh “apa penyebab kamu tidak
mempunyai waktu?” atau “di saat seperti apa kamu merasa tidak senang?”. teknik
reframing konteks ini selalu berhasil dengan orang-orang yang suka menyamaratakan
segala situasi dan masalah karena persepsinya sendiri
.5. Tahap-Tahap Refreming (Bandler dkk, 1982: 114)
Ada beberapa tahap dalam reframning yaitu:
1. Identifikasi masalah, perilaku, respon yang akan diubah.
2. Membangun komunikasi pada bagian yang bertanggunjawab untuk perilaku,
masalah atau respon.
3. Menanyakan pada diri, apakah bisa diterima atau tidak jika dilakukan
pengubahan perspektif terhadap suatu hal yang menyebabkan masalah,
perilaku, respon tersebut
4. Meminta orang lain untuk memberikan berbagai macam alternative
perspektif.
5. Menanyakan pada diri sendiri apakah diri setuju atau sepakat jika
menerapkan alternative perspektif lain terhadap suatu hal.
6. Memeriksa kembali apakah ada bagian dari dalam diri yang keberatan dengan
menerapkan alternative perspektif lain.
6. Elemen Keberhasilan
Ada dua elemen inti keberhasilan penerapan dari reframe (pembingkaian) dalam
psikoterapi (Frederick T. L. Leong, 2008), yaitu:
1. Presenting the problem in a positive context. This is known as a positive
connotation (Menyajikan masalah dalam konteks positif. Disebut juga konotasi
positif).
2. Reframing is moving from an individual to a systemic framework
(pembingkaian kembali yang bergerak dari individu ke sebuah kerangka sistemik).
Kerangka sitemik adalah dimana satu pernyataan menangkap dinamika dari kedua
mitra dalam suatu hubungan yang positif.

Kesimpulan
Reframing adalah teknik konseling yang digunakan untuk membingkai ulang
pikiran seseorang atas pengalaman yang dialami oleh seseorang tersebut, terutama
mengarahkan pikiran irasional menjadi pikiran yang lebih rasional. Sebab terjadinya
masalah pada diri seseorang seringkali disebabkan oleh pikiran - pikiran irasional dan
pikiran irasional ini tidak hanya berbicara masalah pobia saja, pikiran negatif ataupun
asumsi - asumsi negatif yang tidak masuk akal termasuk ke dalam pikiran irasional.
Tujuan dari teknik reframing adalah untuk membantu mengubah sudut pandang
individu ke arah yang lebih positif dan meninggalkan sudut pandang yang negatif.

Contoh aplikasi
Agar reframe menjadi efektif, itu harus masuk akal dan mudah diakses. diterima
klien. Faktor demografis klien seperti usia, jenis kelamin, ras atau etnis, seksualitas,
dan kecacatan adalah penting komponen portan untuk dipertimbangkan dalam
mengembangkan reframe dengan beragam kelompok klien. Contoh yang sangat baik
dari budaya reframe makna yang relevan diberikan oleh Oppenheimer (1992) di
bekerja dengan Latina 67 tahun yang sangat tertekan. Itu Wanita bisa meningkat
hanya setelah dia bisa membingkai ulang depresi dalam konteks keyakinan spiritualis
Latinnya. Penolongnya, juga seorang Latina, tidak hanya menahan diri untuk tidak
memberi label sebagai patologis kepercayaan klien pada hal-hal supranatural, tetapi
dia menggunakan keyakinan ini untuk menciptakan makna ulang bingkai yang valid
dengan mengambil referensi klien untuk "roh intranquil atau hantu "untuk
membingkai ulang rasa sakitnya di sekitar kerugian. Serupa contoh reframe yang
sensitif secara budaya telah digunakan dengan remaja Asia-Amerika untuk
bernegosiasi konflik nilai-nilai budaya (Huang, 1994), dengan laki-laki HIV-positif
membingkai ulang stres di sekitar ancaman AIDS (Leserman, Perkins, & Evans,
1992), dan dengan orang tua untuk membingkai ulang ketergantungan dence
(Motenko & Greenberg, 1995).
Contoh yang baik dari penataan ulang multikultural adalah feminis gagasan
tentang arti resistensi. Daripada merujuk ke resistensi sebagai upaya sadar dan tidak
sadar klien “untuk hindari kebenaran dan hindari perubahan, ”Brown (1994)
menyarankan bahwa itu berarti “penolakan untuk bergabung dengan dominan norma
budaya dan memperhatikan suara dan integritas sendiri ” (hal. 15). Arti resistensi
bergeser dari sesuatu yang ada patologis terhadap sesuatu yang sehat dan diinginkan.
Di dalam akal, perlawanan berarti "mempelajari cara kita masing-masing rusak oleh
kami atau partisipasi tanpa disadari dominan norma atau dengan cara di mana norma
tersebut telah didorong atas kita ”(Brown, 1994, hlm. 25). Contohnya mungkin apa
yang kita lakukan ketika kantor kami kompeten, teliti, dan setia Ager berada dalam
bahaya kehilangan pekerjaannya karena organisasi restrukturisasi dan perampingan.
Apakah kita melihat ke arah lain, bukan? abaikan saja, atau apakah kita berbicara atas
namanya atau kepada orang yang memegangnya kekuatan dalam struktur sosial
organisasi yang dominan? Dan sebagai pembantu manajer kantor, apakah kami
berusaha untuk menenangkannya manajer dan minta dia menyesuaikan, atau kita
berusaha membantu orang untuk menyuarakan kemarahan dan kemarahannya?
Dalam pengertian ini, menolak berarti mengatakan kebenaran seperti yang kita
lihat ini tentang apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang mungkin dan tersedia untuk
setiap klien sebagai "jalan untuk perubahan" (Brown, 1994, hlm. 26). Klien gay,
lesbian, dan biseksual dihadapkan dengan perlawanan semacam ini setiap hari dalam
proses "keluar". Smith (1992) mencatat bahwa sebagai gadis Afrika-Amerika dia
dibesarkan untuk menjadi "penentang": untuk jujur dan mandiri dan untuk membela
diri, pengalaman menggema dalam penelitian itu banyak anak perempuan Afrika-
Amerika memiliki perasaan yang kuat resistensi sehat (Taylor, Gilligan, & Sullivan,
1995). Robinson dan Ward (1992) telah membuat kontribusi terhadap gagasan
resistensi sehat dengan membedakan- antara strategi resistensi untuk bertahan hidup
versus resistensi strategi untuk pembebasan. Mereka membedakan strategi resistensi
untuk bertahan hidup sebagai metode yang berorientasi krisis, jangka pendek itu
termasuk mencemarkan diri sendiri, otonomi yang berlebihan dengan mengorbankan
keterhubungan dengan budaya kolektif seseorang, dan "perbaikan cepat" seperti
kehamilan awal dan tidak terencana, penggunaan narkoba, dan kegagalan sekolah dan
/ atau putus sekolah. Strategi perlawanan untuk pembebasan termasuk strategi di
mana masalah penindasan diakui, kolektivitas dihargai, dan tuntutan untuk perubahan
diberdayakan. Robinson dan Ward (1991) mendasarkan mereka strategi untuk
pembebasan pada sistem Nguzo Sabavalue yang berpusat di Afrika (Karenga, 1980),
sebagaimana dirangkum dalam Tabel 12.1, meskipun paralel dengan kelompok lain
dan sejarah jelas.
Membingkai ulang dalam kerangka keragaman dan kritis kesadaran membantu
kita melihat bahwa "kerangka referensi" dapat melibatkan berbagai tingkat analisis
dan kontekstualisasi. Untuk contoh, Soo-Hoo (1998) menjelaskan cara-cara di mana
berdiri perbedaan dalam kerangka referensi orang dari berbagai latar belakang budaya
dan peran partisipatif penting untuk memberikan yang efektif, efisien, dan inovatif
solusi untuk konsultasi sekolah dalam lingkungan multikultural. Larson (1998)
memberikan gambaran yang menarik tentang bagaimana internal ketegangan dalam
perspektif seseorang dan emosi di sekitarnya adalah- Gugat perlu dipahami untuk
membingkai ulang menjadi bermakna- ful. Ini melibatkan penggunaan metafora
kehidupan, pelukan paradoks, untuk membantu mengelola konflik internal ibu
mengasuh anak-anak penyandang cacat (mis., mencintai anak seseorang karena
mereka versus ingin menghapus cacat, berurusan dengan tidak dapat disembuhkan
sambil mencari solusi, mempertahankan harapan dalam menghadapi informasi dan
ketakutan negatif). Pada kasus ini, Membingkai ulang diperlukan untuk
menggabungkan kedua rasa internal kekuatan yang berlawanan dan faktor kontekstual
yang terkait dengan budaya dan sosial ekonomi (ibu-ibu dari Meksiko asal yang
tinggal di atau dekat kondisi tingkat kemiskinan).

DAFTAR PUSTAKA

Bandler, R., Grinder, J., & Andreas, S. (1982). Neuro-linguistic programming™


and the transformation of meaning. Real People, Moab.

Cormier, S., Nurius, P. S., & Osborn, C. J. (2008). Interviewing and Change
Strategies for Helpers: Fundamental Skills and Cognitive Behavioral Interventions,
6th. Cengage Learning.

Cottone, Rocco. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Pshycotherapy.


Boston: Allyn and Bacon

George, Rickey., Cristiani, Theresse.1990.Counseling Theory and Practice ( ed).

Leong, T.L Fredderick. 2008. Encyclopedia Of Counseling. Online Books: SAGE


Knowledge
Watzlawick, P. A. U. L. (1976). The psychotherapeutic technique of
‘reframing’. Successful psychotherapy, 119-127.

Wiwoho, R. H. (2004). Reframing kunci hidup bahagia 24 jam sehari. Gramedia


Pustaka Utama.

Komalasari, Gantina. Dkk. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT.
Indeks

Anda mungkin juga menyukai