Anda di halaman 1dari 18

Peran Kapital Sosial Dalam Proses Destigmatisasi:

Studi Kasus Stigmatisasi Berbasis Etnis Terhadap Mahasiswa Papua Di


Yogyakarta
Rolan Parulian Sihombing1, Robert M.Z. Lawang2

1. Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail: rolan.parulian@ui.ac.id

Abstrak

Penolakan terhadap mahasiswa Papua yang mencari kos atau kontrakan di Yogyakarta, disebabkan oleh stereotip
dan diskriminasi yang merupakan komponen dari stigma. Meski banyak penelitian terkait hal ini telah berhasil
menunjukkan gambaran stigmatisasi terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta, namun masih sedikit penelitian
yang menggambarkan bagaimana proses dari destigmatisasi terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta dapat
terjadi. Berdasarkan kajian yang mendalam terkait teori kapital sosial, penelitian ini mencoba menemukan adanya
peranan kapital sosial melalui komponen kedekatan dengan tetangga, jaringan sosial dan partisipasi masyarakat
(Li, Pickles, & Savage, 2005) terhadap proses destigmatisasi mahasiswa Papua di Yogyakarta. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap 13 informan yang
didapatkan melalui penggunaan teknik snowball sampling. Setelah seluruh data temuan lapangan dianalisis
dengan menggunakan software analisis data qualitative RQDA, ditemukan bahwa kapital sosial dapat berperan
terhadap proses destigmatisasi. Cara-cara atau strategi yang dapat digunakan destigmatisasi terjadi adalah dengan
mendorong partisipasi aktif mahasiswa Papua dalam kegiatan masyarakat sehingga dapat menyebabkan adanya
hubungan yang akrab dengan masyarakat. Ditemukan juga aktor sosial dalam wujud beberapa orang kenalan yang
menjembatani hubungan kedua belah pihak, yang kemudian dapat menghasilkan suatu keadaan dimana
mahasiswa Papua mendapatkan kepercayaan dan penerimaan oleh masyarakat Yogyakarta.

The Role of Social Capital in the Destigmatization Process: A Case Study of Ethnic-
Based Stigmatization of Papuan Students In Yogyakarta

Abstract

The rejection of Papuan students whilst seeking a home stay in Yogyakarta is a result of stereotypes and
discrimination which are component of stigma. Although many studies have been conducted relate to this
phenomenon, unfortunately there is only less research which focus on how exactly the destigmatization process
can occur to Papuan students in Yogyakarta. Based on the in-depth study of social capital theory, this research
aims to find the role of social capital for stigma reduction through the components of neighborhood attachment,
social networks and civic participation (Li, Pickles, & Savage, 2005). This research uses qualitative research
methods and in-depth interviews of 13 informants found by using snowball sampling technique. The data findings
then were analyzed using a qualitative data analysis software, RQDA. The result shows social capital can
contribute to the destigmatization process. Way or strategy that can be used is to encourage the active participation
of Papuan students in community life which will result a strong and close relationship with the surrounding
neighborhood. Social actors are also found in the form of several acquaintances who bridge the relationship of
both parties, which then can produce a situation where Papuan students gain trust and acceptance fromthe
community.

Keywords: destigmatization; social capital; social inclusion; stigma; Papuan.

1
Pendahuluan
Setiap tahunnya, kota Yogyakarta menjadi destinasi pelajar dan mahasiswa dari seluruh
Indonesia, baik yang melanjutkan jenjang pendidikan Diploma, S1, S2 dan juga S3.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2017), pada tahun ajaran 2014-2015 terdapat 351.293
mahasiswa yang menempuh studi di Kota Yogyakarta. Dari keseluruhan mahasiswa yang
melanjutkan studi di Yogyakarta, 70 persen di antaranya adalah mahasiswa pendatang dari
pelbagai provinsi di Indonesia (Kantor Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2017). Dari 70 persen mahasiswa pendatang tersebut, sebanyak 1.075 mahasiswa
dari Papua yang menempuh studi di PTN/PTS di Yogyakarta (Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, 2017).
Meskipun Yogyakarta menjadi salah satu kota destinasi bagi mahasiswa Papua untuk
melanjutkan studinya, fenomena penolakan dari sebagian masyarakat Yogyakarta terhadap
mahasiswa Papua yang hendak kos atau mengontrak ternyata cukup marak terjadi. Dalam suatu
berita yang dilansir situs web BBC Indonesia (Ulya, 2016), Benediktus Fatubun mahasiswa
berusia 23 tahun asal Papua, selama satu bulan (pada saat berita tersebut dimuat) belum
mendapatkan kos atau kontrakan, meskipun ia telah diterima menjadi mahasiswa di salah satu
perguruan tinggi di Yogyakarta, karena banyak kos yang tidak menerima anak Papua. Ia
menyatakan penolakan yang ia dapatkan dikarenakan kos tersebut tidak menerima mahasiswa
Papua.
Dalam beberapa penelitian lain seperti Abbas (2016), Pratiwi (2016), Tripambudi
(2014) dan Angelika (2013), penolakan terhadap mahasiswa Papua oleh masyarakat
Yogyakarta, khususnya oleh para pemilik kos, pada umumnya dikarenakan oleh kebiasaan
mahasiswa Papua yang sering terlambat membayar kos, memiliki kebiasaan mabuk-mabukan,
berbuat onar ketika sudah mabuk, memiliki temperamen yang kasar, emosinya mudah tersulut,
kerap berkelahi satu sama lain ataupun dengan warga, dan kerap melanggar peraturan seperti
mengendarai kendaraan bermotor tanpa mengenakan helm. Penelitian terbaru yang dilakukan
oleh Masyitoh (2017, p. 2), mahasiswa Papua tidak hanya menghadapi masalah sulitnya
mendapatkan kos, tetapi juga menemui kesulitan dalam menyewa motor, mengalami
pembatasan akses pada transportasi seperti ojek atau taksi, menghadapi pengucilan dalam
pergaulan sosial, atau menerima tatapan “selidik/jijik” dari masyarakat.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya suatu proses stigmatisasi atau pemberian
stigma dari sebagian masyarakat Yogyakarta terhadap mahasiswa Papua. Link & Phelan (2001)
dan Link, Yang, Phelan, & Collins (2004) mengembangkan dengan lebih rinci konsep Goffman
(1963) mengenai stigma, yaitu dengan stigmatisasi sebagai “suatu proses yang eksis ketika
2
komponen-komponen yang saling terkait seperti pelabelan, stereotip, pemisahan secara
kognitif, reaksi emosional, diskriminasi dan penghilangan status, terjadi secara bersamaan
dalam suatu situasi adanya kekuasaan yang memungkinkan semua komponen tersebut
berkembang.” Dengan kata lain, stigmatisasi tidak hanya ditunjukkan lewat adanya praktik
diskriminasi saja, tetapi juga ditunjukkan dengan adanya komponen-komponen lain seperti
pelabelan, stereotip, pemisahan secara kognitif (kita vs mereka, ataupun pribumi dan
nonpribumi), reaksi emosional, diskriminasi dan penghilangan status.
Keabsahan adanya proses stigmatisasi berbasis etnis terhadap mahasiswa Papua di
Yogyakarta, dapat ditemukan secara mencolok pada peristiwa pengepungan asrama mahasiswa
Papua di Kamasan I pada tanggal 15-16 Juli 2016. Pengerahan aparat keamanan yang
berlebihan selama dua hari tersebut, sementara ormas-ormas intoleran juga meneriakkan kata-
kata penghinaan seperti monyet, biadab, hitam dan pelbagai sumpah serapah lainnya, dicatat
sebagai temuan oleh Komnas HAM (2016) sebagai suatu temuan yang terindikasi merupakan
bentuk pelanggaran HAM.
Namun di tengah panasnya suasana pengepungan tersebut, sebagian kecil warga justru
menolak aksi berlebihan aparat keamanan yang mengepung asrama mahasiswa Papua tersebut.
Selain bingung, mereka juga menganggap mahasiswa Papua di asrama Kamasan I telah
menjalin hubungan yang dekat dan baik dengan masyarakat sekitar (Kusumadewi & Gumilang,
2016). Beberapa kelompok masyarakat lainnya yang turut bergotong-royong memberikan
bantuan makanan kepada mahasiswa Papua yang sudah terkepung selama dua hari tanpa makan
dan minum tersebut (Maharani, 2016). Aksi solidaritas yang ditunjukkan sekelompok kecil
warga, aktivis dan beberapa LSM menyuarakan kepeduliannya menentang tindakan semena-
mena aparat keamanan pada saat peristiwa pengepungan tahun lalu tersebut, merupakan balas
jasa terhadap partisipasi aktif mahasiswa Papua dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di
Yogyakarta, termasuk kegiatan advokasi ataupun demonstrasi menentang pembangunan hotel
yang membuat kering sumur warga (Kusumadewi, 2016).
Aksi simpatis masyarakat yang memberikan bantuan makanan, kecaman dan dukungan
moral dari pelbagai LSM yang peduli pada nasib mahasiswa Papua, ataupun tokoh-tokoh
nasional yang turut menyuarakan kecamannya pada aksi respresif aparat keamanan dan
provokasi rasisme yang dilontarkan oleh ormas-ormas anti-separatis, menjadi sinyal kuat
bahwa mahasiswa Papua di Yogyakarta tidak sekedar menanggung beban berat stigmatisasi
berbasis etnis, tetapi ada potensi dukungan secara sosial terhadap upaya destigmatisasi yang
bisa didapatkan oleh mahasiswa Papua baik melalui masyarakat sekitar, atau jejaring LSM atau
pula tokoh-tokoh nasional yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap Papua.
3
Meski banyak penelitian telah dilakukan terkait stigma, namun umumnya penelitian-
penelitian tersebut masih sekedar memaparkan gambaran dari praktik stigmatisasi pada
individu penyandang stigma, serta terkait pada dampak dari stigma yang diberikan oleh
masyarakat atau kelompok pemberi stigma. Hal ini dinyatakan pula oleh Claire, Daniel &
Lamont (2016) yang membangun argumen penelitiannya dengan mengemukakan bahwa
intervensi-intervensi untuk destigmatisasi hanya menyasar pada perubahan keyakinan dan
perilaku pemberi stigmatisasi yang potensial, bahkan kerapkali dilakukan dengan sekedar
menolak stereotip, mengalihkan penyebab pelabelan, dan/atau mengurangi perasaan merasa
berbeda seperti dalam penelitian Cook, Purdie-Vaughns, Meyer & Busch (2014), Corrigan &
Kosyluk (2013), dan Paluck & Green (2009). Dalam konteks Indonesia, penelitian yang
dilakukan Parker, Riyani & Nolan (2016) sudah cukup lebih maju jika dikaitkan dengan apa
yang dinyatakan oleh Claire, Daniel & Lamont (2016) tersebut. Para peneliti melakukan
penelitian kepada janda (status janda cerai dan mati) di Bandung dan Pulau Wawonii, dan
menemukan bahwa dengan dukungan keluarga besar sebagai salah satu bentuk kapital sosial,
dan dengan bergabung kelompok pengajian yang menghasilkan jejaring sosial dan juga status
saleha sebagai bentuk kapital kultural dan simbolik, menjadi strategi yang efektif bagi janda-
janda dalam proses destigmatisasinya.
Penelitian ini meski memiliki sedikit kemiripan secara konsep teori yang
melatarbelakangi, tetap memiliki perbedaan yang juga signifikan. Yang pertama, penelitian ini
tidak sekedar meneliti penyandang stigma yang dikategorikan oleh Goffman (1963) sebagai
stigma yang diberikan kepada individu yang dianggap memiliki perilaku asusila dan
menyimpang—karena status janda dan stereotip pemabuk dan pembuat onar sama-sama
berdasarkan suatu suatu perilaku yang menyimpang dan tidak sesuai dengan norma-norma
sosial—tetapi juga juga terkait dengan stigma kategori tribal, yaitu suatu stigma yang
berdasarkan keanggotaan yang secara umum diwariskan di dalam ras dan etnis. Begitu
mendalamnya stigma berbasis tribal ini terhadap etnis Papua s sehingga Filep Karma, tokoh
yang sangat dihormati di Papua menyatakan “selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari
Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi
dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Mereka (mahasiswa di Solo)
memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai ‘monyet atau ketek’ (2014,
p. 8).
Perbedaan yang kedua, penelitian ini menggunakan tiga komponen kapital sosial yang
dihasilkan oleh penelitian Li, Pickles & Savage (2005), yaitu kedekatan dengan tetangga
(neighborhood attachment), jaringan sosial yang dimiliki (social networks), dan partisipasi di
4
tengah masyarakat (civic participation). Komponen-komponen ini tidak hanya menekankan
pada daya dukung secara sosial dari luar melalui aktor atau kelompok sosial dalam bentuk
jaringan sosial dan partisipasi sukarela dalam organisasi kemasyarakatan, tetapi juga
mendorong pengurangan stigmatisasi melalui upaya penguatan hubungan sosial antara
mahasiswa Papua dan masyarakat sekitar, khususnya dalam lingkungan tetangga yang
merupakan ruang lingkup pengaruh paling dekat dalam keseharian mahasiswa Papua.
Atas dasar uraian yang sudah dipaparkan tersebut, maka penelitian ini pun bertujuan
untuk:
1. Bagaimana gambaran stigmatisasi yang disandang oleh mahasiswa yang berasal dari Papua
di Yogyakarta yang diberikan oleh masyarakat di sekitar rumah kos atau kontrakan yang
mereka tempati?
2. Bagaimana gambaran peran kapital sosial melalui neighborhood attachment, social
networks, dan civic participation terhadap proses destigmatisasi yang terjadi di antara
mahasiswa asal Papua di Yogyakarta dengan masyarakat di sekitar rumah kos atau
kontrakan?

Kapital Sosial dan Stigma


Topik mengenai stigma mulai mendapat tempat dalam ilmu perilaku modern pada tahun
1963 melalui buku Erving Goffman yang berjudul, Stigma: Notes on the Management of
Spoiled Identity. Goffman (1963, p. 2-5) menyatakan stigma sebagai “suatu atribut yang
mendiskreditkan (menjelek-jelekkan ataupun memperlemah wibawa seseorang) secara
mendalam, dan yang menurunkan nilai penyandang stigma dari pribadi yang utuh dan normal
menjadi pribadi yang hina dan tidak diperhitungkan.” Jones et.al (1984) kemudian
menambahkan lagi stigma merupakan “suatu tanda atau atribut yang menghubungkan
seseorang pada karakteristik yang tidak dikehendaki (stereotip). Stafford & Scott (1986, pp.
80-81) memberikan usulan definisi yang lain yaitu bahwa stigma merupakan suatu karakteristik
dari seseorang yang dinilai bertolak-belakang dengan norma yang dianut masyarakat pada
umumnya, dimana norma tersebut ditentukan sebagai sebuah keyakinan bersama dan
mewajibkan setiap orang dalam kelompok tersebut untuk memiliki perilaku-perilaku yang
sesuai dengan norma yang ada. Definisi lain yang dinyatakan oleh Crocker, Major & Steele
(1998, p. 505) yaitu bahwa: individu-individu yang menyandang stigma diyakini oleh
masyarakat memiliki beberapa atribut atau karakteristik yang menunjukkan suatu identitas
sosial yang dianggap tidak baik dan dinilai rendah dalam suatu konteks sosial tertentu.

5
Karena stigma terjadi dalam konteks hubungan sosial, maka stigma sepenuhnya
bergantung pada kekuasaan sosial, ekonomi dan politik. Link & Phelan (2001, p. 375)
menyatakan untuk melakukan stigmatisasi, dibutuhkan kekuasaan. Kelompok yang memiliki
kekuasaan secara sosial, ekonomi dan politik, memegang kendali dan berhak
mengklasifikasikan, memisahkan, memberi label, mendiskreditkan individu atau kelompok
tertentu dalam posisi inferior, dan menentukan siapa yang memiliki hak untuk menjadi bagian
dari kelompok mayoritas dan juga mengakses sumber daya yang ada di suatu konteks wilayah
tertentu.
Peneliti menggunakan kapital sosial sebagai pisau analisis proses destigmatisasi
terhadap mahasiswa Papua dengan menggunakan dimensi kapital sosial yang dinyatakan oleh
Li, Pickles, & Savage (2005), yaitu kedekatan dengan tetangga, jejaring sosial, dan partisipasi
dalam masyarakat. Kedekatan dengan tetangga dapat diartikan sebagai tingkat kedekatan
dengan tetangga mengacu pada seberapa dekat seorang individu memiliki kedekatan dengan
lingkungan pertetanggaannya. Li, Pickles, & Savage (2005) mengatakan tipe kapital sosial
yang satu ini dapat dikatakan sebagai indeks penting dari jaringan situasional atau weak ties
(Granovetter, 1973). Pernyataan mencakup baik aspek kedekatan lokal secara sikap, seperti
‘Saya bagian dari lingkungan tetangga X’, dan juga aspek kedekatan lokal secara perilaku,
seperti “saya bisa mendapatkan nasehat dari tetangga” dapat berfungsi untuk mengukur
kedekatan dan ketertanaman seorang individu dalam komunitas terdekat (Harper, 2001).
Jaringan sosial merupakan suatu pola pertemanan, pemberian anjuran, komunikasi atau
dukungan yang terdapat di antara para anggota dalam suatu sistem sosial seperti yang
disampaikan Knoke & Kuklinski (1982), Burt & Minor (1983), Wellman (1988), Scott (1991)
dalam Lin (2001). Di dalam jaringan sosial yang diukur adalah tingkat interaksi individu secara
intim dengan individu yang lain di luar keluarga terdekat, dan sejauh mana individu merasa
bahwa mereka memiliki jaringan pendukung; atau dengan kata lain tipe ini berusaha
memetakan taraf dari ikatan kuat (Li, Pickles, & Savage, 2005). Beberapa bentuk ikatan tidak
selalu berbasis lokasi tertentu, dan tidak memerlukan asumsi apapun terkait kedekatan secara
geografis. Pernyataan secara perilaku misalkan “saya memiliki orang selain keluarga terdekat
yang dapat saya andalkan jika saya terpaksa harus meminjam uang untuk membayar tagihan
penting seperti listrik, atau sewa rumah”, atau pernyataan secara sikap misalkan “saya memiliki
orang dekat yang dengannya saya dapat menjadi diri saya sendiri”, dapat digunakan untuk
mengukur komponen kapital sosial ini. Tingkatan kapital sosial yang tinggi dalam tipe ini,
secara jangkauan dan kedalaman hubungan sosial yang dimiliki, dapat berfungsi untuk
mengintegrasikan aktor dalam struktur sosial masyarakat (Pahl, 2000).
6
Dimensi yang ketiga, partisipasi dalam masyarakakat dapat dirujuk pada penelitian
Putnam (1993) di Italia yang menunjukkan kelompok masyarakat yang telah
mengakumulasikan kapital sosial dalam hal interaksi sosial, norma bersama dan jaringan, dapat
menggunakan sumber daya tersebut untuk memecahkan konflik yang ada dengan lebih mudah.
Kapital sosial menjadi penting untuk pelbagai isu-isu sosial kolektif seperti proyek di
lingkungan tetangga dan menjadi relawan, sebagaimana juga interaksi dengan orang-orang di
luar lingkaran intim yang dimiliki seseorang. Sebaliknya menurut Putnam, jika dalam suatu
wilayah para warganya tidak memiliki kepercayaan dengan orang asing, para penduduk akan
menghadapi kesulitan yang lebih besar pada saat mereka mencoba bekerjasama dalam mencari
solusi sosial. Apa yang dilakukan Putnam, juga dipertegas oleh Paxton (2002, p. 258) yang
menyatakan keanggotaan formal dalam perkumpulan sukarela dapat menolong meningkatkan
jumlah partisipasi politik secara kuantitas. Partisipasi seseorang dalam perkumpulan sipil akan
menghasilkan perasaan kewajiban menjalan tugas, meningkatkan perasaan saling
ketergantungan dengan yang lain, dan menghasilkan kebiasaan untuk berpartisipasi.

Metode
Pada penelitian ini, hal yang dikaji adalah peranan kapital sosial dalam proses
destigmatisasi (pengurangan stigma) pada mahasiswa Papua di Yogyakarta, yaitu di wilayah-
wilayah dekat kampus-kampus yang banyak menyewakan rumah kos atau kontrakan di
Yogyakarta seperti daerah Babarsari, Umbulharjo, Gondokusumo, Depok, Kalasan, dan
Caturtunggal yang merupakan letak kampus favorit mahasiswa dari Indonesia bagian timur,
khususnya mahasiswa dari Papua seperti Universitas Katolik Atmajaya, Sekolah Tinggi
Teknologi Nasional, Sekolah Tinggi Pembangunan Desa APMD, Universitas Proklamasi 45,
Universitas Teknologi Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Darma
dan Universitas Gadjah Mada. Di wilayah-wilayah ini pun selain rumah kos atau kontrakan
sangat mudah dijumpai, bisnis jasa penyediaan dan pemenuhan kebutuhan mahasiswa
pendatang seperti warung makan, kafe, penyewaan motor, binatu hingga tempat fotokopi juga
menjamur di sekitar kawasan kampus dan rumah-rumah kos.
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian di atas, maka jenis penelitian ini
adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sebagaimana yang dinyatakan oleh Creswell
(2009, p. 4) sebagai: Penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami makna
individu-individu atau kelompok-kelompok yang menjadi penyebab masalah sosial ataupun
manusia. Proses penelitian melibatkan munculnya pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-

7
prosedur pengumpulan data melalui partisipan; analisis data secara induktif; membangun dari
kekhususan kepada tema yang umum; dan menginterpretasi makna dari data.
Terkait genre yang digunakan atau pendekatan khusus dalam melakukan penelitian ini
adalah studi kasus, yang menurut definisi Saldana (2011, p. 8) sebagai: Suatu studi yang
berfokus pada sebuah unit tunggal dalam melakukan analisis—satu orang, satu kelompok, satu
kegiatan, satu organisasi dan seterusnya. Genre ini berfungsi sebagai proyek menyeluruh yang
mudah dikelola oleh pemula dalam penelitian kualitatif untuk mempelajari metode-metode
mendasar dari pekerjaan lapangan, pengumpulan data, dan analisis. Tujuannya tidak hanya
untuk mengembangkan suatu argumentasi mengenai bagaimana satu kasus tunggal dapat
merepresentasikan atau mencerminkan individu atau lokasi yang sebanding. Tidak seperti
penelitian-penelitian yang mengkaji banyak kasus atau partisipan untuk mengumpulkan
spectrum perspektif yang lebih luas dan lebih representative, studi kasus dapat dinilai sebagai
suatu unit yang mengizinkan pengujian yang mendalam).
Penelitian ini juga menggunakan jenis penelitian deskriptif yang merupakan salah satu
dari tiga tujuan utama dari penelitian kualitatif yang membangun deskripsi-deskripsi yang kaya
dari pelbagai keadaan yang kompleks yang belum tereksplorasi dalam literatur. Jenis penelitian
deskriptif acapkali berfokus pada individu, kelompok, proses ataupun organisasi (Marshall &
Rossman, 2014). Sedangkan menurut Neuman (2006), penelitian deskriptif adalah penelitian
yang memiliki tujuan memberikan gambaran guna menjawab pertanyaan seperti siapa, kapan,
dimana dan bagaimana.
Dikarenakan kasus stigmatisasi berbasis etnis merupakan salah satu isu yang sensitif di
Yogyakarta, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan salah satu teknik dalam teknik
sampling non-probabilitas yaitu teknik snowball sampling, yang merupakan metode untuk
mengidentifikasi, memilih dan mengambil sampel dalam suatu jaringan atau rantai hubungan
yang dimulai dari seseorang yang masuk dalam kriteria penelitian. Kemudian berdasarkan
hubungan keterkaitan langsung maupun tidak langsung dalam suatu jaringan sosial, dapat
ditemukan responden berikutnya atau unit sampel berikutnya. Demikian seterusnya proses
sampling ini berjalan sampai didapatkan informasi yang cukup dan jumlah sampel yang
memadai dan akurat untuk dapat dianalisis guna menarik kesimpulan penelitian. Pada
pelaksanaannya, teknik sampling snowball adalah suatu teknik yang multitahapan, didasarkan
pada analogi bola salju, yang dimulai dengan bola salju yang kecil kemudian membesar secara
bertahap karena ada penambahan salju ketika digulingkan dalam hamparan salju (Neuman,
2006).

8
Dalam penentuan kriteria informan dari kelompok mahasiswa, peneliti hanya
membatasi informan yang telah tinggal di Yogyakarta lebih dari tiga tahun, dan pernah
memiliki pengalaman ditolak oleh pemiliki kos baik secara langsung ataupun tidak langsung
pada saat mencari kos untuk dirinya ataupun untuk teman. Sedangkan kriteria informan dari
kelompok masyarakat, peneliti membatasi informan dalam kategori pelaku usaha, baik sebagai
pemilik kos ataupun warung makan, dan tokoh masyarakat. Jumlah keseluruhan informan
penelitian yang direncanakan pada awalnya adalah berkisar 13-18 orang, namun pada akhirnya
peneliti hanya berhasil mendapatkan 13 informan yang terdiri dari 7 orang mewakili kelompok
mahasiswa Papua dan 6 orang mewakili kelompok masyarakat.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Guest, Bunce & Johnson (2006, pp. 73-78),
ditemukan bahwa 94 persen tema sudah teridentifikasi dalam 6 wawancara pertama, dimana
kemudian dalam wawancara ke-12 saturasi data penelitian hanya bertambah menjadi 97 persen
tema yang berhasil diidentifikasi. Berdasarkan itu, ukuran sampel dalam penelitian ini dapat
dikatakan cukup memadai untuk dianalisis dan kemudian dilakukan generalisasi. Pada saat
reduksi data dengan menggunakan RQDA, sebuah software analisis data kualitatif, pada
verbatim informan ke 6 dalam penelitian, data sudah mengalami saturasi sebesar 90 persen
yang dapat dinilai dari jumlah open code yang sudah dilakukan adalah sebanyak 25 open code
dari keseluruhan 31 open code pada tiap-tiap bagian pertanyaan penelitian yang diajukan
peneliti. Proses pengambilan data mulai dilakukan sejak pertengahan Oktober 2017 hingga
akhir November 2017. Setelah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, didapati bahwa
informan penelitian ini terdiri dari 13 orang yang dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu
kelompok mahasiswa Papua yang melanjutkan studi di Yogyakarta yang terdiri dari 7
mahasiswa, dan kelompok masyarakat yang merupakan penduduk di sekitar tempat kos dan
kontrakan dari para informan mahasiswa yang terdiri dari 6 orang. Rentang usia informan
penelitian ini adalah 21-50 tahun.

Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil analisis data, ada beberapa open code yang ternyata paling sering
muncul dalam proses reduksi data yang dilakukan. Open code yang memiliki frekuensi
kemunculan yang cukup signifian tersebut, lalu dikelompokkan dalam beberapa tema utama
sesuai pertanyaan penelitian ini. Terdapat 6 tema utama di tiap kelompok pertanyaan
penelitian, dan open code yang paling sering muncul terkait dengan pertanyaan penelitian
mengenai gambaran peranan kapital sosial dalam proses destigmatisasi yaitu: (a) Penerimaan
dengan kemunculan sebanyak 60 kali; (b) Dipercaya/Trust dengan kemunculan sebanyak 57
9
kali; (c) Hubungan Akrab dengan kemunculan sebanyak 48 kali; (d) Kenalan dengan
kemunculan sebanyak 38 kali; (e) Sahabat dengan kemunculan sebanyak 34 kali; dan (f)
Partisipasi Dalam Masyarakat dengan kemunculan sebanyak 27 kali. Beberapa open code yang
juga memiliki kemunculan di atas 20 kali adalah antara lain percakapan informal, hubungan
informal, teman yang berbeda etnis, dan aktif dalam organisasi di kampus.
Pada pertanyaan penelitian terkait gambaran stigmatisasi, terdapat 6 open code yang
juga secara signifikan sering muncul dalam proses reduksi data dengan bantuan RQDA dalam
penelitian ini. 6 open code tersebut antara lain: (a) Eksklusi dengan kemunculan sebanyak 53
kali; (b) Diskriminasi dengan kemunculan sebanyak 32 kali; (c) Konsensus Mayoritas dengan
kemunculan sebanyak 32 kali; (d) Tidak Dipercaya dengan kemunculan 31 kali; (e) Stereotip
dengan kemunculan sebanyak 29 kali; dan (f) Standarisasi/Norma dengan kemunculan
sebanyak 26 kali. Terdapat 2 open code lainnya yang juga memiliki kemunculan secara
signifikan di atas 20 kali dalam kelompok pertanyaan penelitian mengenai gambaran
stigmatisasi, yaitu konstruksi kultur, dan peran kekuasaan.
Setelah ditemukan beberapa open code yang sering muncul dalam proses reduksi data,
tahap selanjutnya adalah melakukan proses axial coding yang dapat merujuk pada tema kunci
yang menjadi hasil temuan penelitian lapangan yang dilakukan. Di bawah ini adalah tabel yang
dapat memperlihatkan proses reduksi data dari open code, axial code sehingga menjadi
kategori utama penelitian.

Tabel 1. Kategori Utama Penelitian

RQ terkait Kategori Utama RQ terkait Kategori Utama


Kapital Sosial Stigmatisasi
Tujuan
Penerimaan Penolakan
Tujuan Stigmatisasi
Destigmatisasi Konsensus
Dipercaya
Mayoritas
Instrumen
Hubungan Akrab Standarisasi/Norma
Cara untuk Stigmatisasi
Partisipasi Dalam
Destigmatisasi Peran Kekuasaan
Masyarakat
Kenalan Aktor Diskriminasi
Cara Stigmatisasi
Sahabat Destigmatisasi Stereotip

Pembahasan
Kapital Sosial Sebagai Sumber Daya Bagi Mahasiswa Papua di Yogyakarta
Sumber daya (stok) kapital sosial yang melimpah dalam suatu jaringan sosial yang
berfungsi baik, ditandai dengan kedekatan seseorang individu lain dalam ruang lingkup
10
tetangga, yang merupakan unit sosial terkecil dan paling terjangkau yang memungkinkan setiap
individu dapat menjalin hubungan yang akrab. Stok kapital sosial juga semakin melimpah
ketika setiap anggota dalam jaringan sosial tersebut aktif berpartisipasi dalam pelbagai kegiatan
bersama, dan menyetujui aturan main yang telah disepakati di dalam kelompok sebagai asas
bersama yang dapat menjamin keberlangsungan suatu hubungan sosial. Hubungan yang
berkualitas seperti ini akan menjadi ekosistem yang sehat bagi setiap anggotanya, dimana
perbedaan yang ada bukanlah sesuatu yang menjadi dasar penolakan oleh kelompok mayoritas
tetapi menjadi insentif yang mendorong hubungan sosial yang semakin berkualitas.
Sedangkan jaringan sosial yang berfungsi dengan baik adalah jaringan sosial yang
beranggotakan individu-individu yang dengan luwes berperan sebagai ikatan yang kuat dalam
wujud sahabat atau teman dekat, dan ikatan yang lemah dalam wujud kenalan atau teman yang
tidak terlalu akrab. Namun ikatan yang lemah (anggap saja D) ini punya peranan yang bahkan
jauh lebih kuat bagi A daripada sahabat atau ikatan yang kuat (anggap saja B dan C), pada saat
ia dapat mendistribusikan informasi yang dibutuhkan A dan menghubungkan A dengan E yang
dapat menyediakan sumber daya yang dibutuhkan namun berada di luar jaringan sosial A-B-
C-D.

1. Kedekatan Antara Mahasiswa Papua Dengan Tetangga Sekitarnya


Kedekatan dengan tetangga akan tercapai jika diawali dengan upaya berbaur dengan
masyarakat, yang ditandai dengan berpartisipasi aktif dalam kegiatan di masyarakat seperti
mengikuti kerja bakti membersihkan lingkungan, menjaga keamanan lingkungan dengan ikut
ronda, atau berinisiatif untuk menawarkan bantuan kepada tetangga tanpa disindir apalagi
diberi perintah. Upaya-upaya tersebut akan membentuk suatu ikatan kuat dan hubungan yang
akrab antara mahasiswa Papua dan masyarakat sekitarnya. Ketika sudah terbentuk ikatan yang
kuat, maka lambat laun tingkat kepercayaan dari masyarakat ke mahasiswa Papua, dan juga
sebaliknya dari mahasiswa Papua ke masyarakat di lingkungan pertetanggaan tersebut, akan
menguat dan pada akhirnya terjadilah suatu penerimaan sosial, hubungan yang inklusif,
merangkul satu sama lain, dan menerima satu sama lain.

11
Penerimaan

Hubungan
Akrab

Dipercaya

Berbaur
Berpartisipasi

Gambar 1. Proses Terjadinya Kedekatan Dengan Tetangga

2. Jaringan Sosial Mahasiswa Papua Yang Bermanfaat Pada Proses Destigmatisasi


Dalam penelitian ini, mahasiswa Papua yang berada di Yogyakarta pada umumnya
memiliki ikatan dengan jaringan sosial yang cukup terbatas. Dikarenakan pada umumnya
adalah mahasiswa, maka hampir sebagian besar tersambung dengan organisasi-organisasi
kampus seperti BEM, ataupun unit-unit kegiatan mahasiswa seperti taekwondo, sepakbola dan
pelbagai unit kegiatan yang memang membutuhkan kemampuan atletis yang jadi ciri khas etnis
Papua. Mahasiswa Papua di Yogyakarta juga terlibat sangat aktif dalam organisasi kedaerahan.
Dalam organisasi-organisasi keadaerahan ini tak jarang selain mereka melakukan kegiatan-
kegiatan pembekalan rohani, diskusi, atau kegiatan makrab (malam keakraban). Salah satu
organisasi mahasiswa Papua yang cukup kuat adalah Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua
(IPMAPA). Untuk lebih lengkapnya mengenai jaringan sosial mahasiswa Papua di Yogyakarta
dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

12
Gambar 2. Jejaring Sosial Mahasiswa Papua Di Yogyakarta

Untuk terjadinya proses destigmatisasi, mahasiswa Papua memerlukan kekuatan dari


ikatan-ikatan lemah yang ada dalam jejaring sosial mereka. Salah satu ikatan lemah yang
memiliki kekuatan adalah yang menjadi temuan penelitian ini adalah Ketua RT di suatu
wilayah tempat kos salah seorang informan. Ketua RT tersebut menjadi ikatan lemah karena
natur hubungan di antaranya dengan informan penelitian hanya sepintas lalu, tetapi karena
kedudukannya yang sangat strategis karena peran kekuasaan yang dimilikinya, beliau juga
menjadi middlemen yang menjadi corong informasi bagi warga-warganya bahwa tidak semua
mahasiswa Papua itu pemabuk, pembuat onar, atau tidak tahu aturan. Berdasarkan penelitian
ini, didapati juga bahwa seorang middlemen juga bisa merupakan seseorang dengan status dan
kelas sosial yang sama. Tetapi yang terutama untuk dapat berperan sebagai seorang
middlemen, terlepas dari status dan kelas sosialnya yang sama, individu tersebut menjalankan
fungsinya meredistribusikan sumber daya, khususnya informasi, yang dibutuhkan oleh
individu tertentu yang dikenalnya tetapi individu tersebut tidak memiliki akses pada informasi
tersebut.

13
Gambar 3. Peran Middlemen Dalam Jaringan Sosial Mahasiswa Papua

3. Partisipasi Mahasiswa Papua Dalam Masyarakat


Partisipasi dalam masyarakat sebagai mana kewajiban warga di suatu wilayah, terkait
erat dengan keaktifan seseorang secara sukarela dalam perkumpulan ataupun organisasi di
tengah masyarakat. Putnam (2000, p. 19) menyatakan individu-individu yang aktif dalam suatu
perkumpulan atau organisasi dalam masyarakat secara sukarela, akan mendapatkan manfaat
individu dan juga secara kolektif. Ia menyatakan lebih lanjut manfaat-manfaat individu dan
kolektif yang ada di masyarakat tersebut merupakan hasil langsung dari ketersediaan kapital
sosial, yang didefinisikan sebagai jejaring sosial dan norma-norma resiprokal dan saling
percaya yang muncul mengemuka dari orang-orang tersebut.
Proses destigmatisasi dapat terjadi ketika kelompok penyandang stigma, secara aktif
melibatkan diri dalam kerja kolektif warga masyarakat lain dalam suatu wilayah. Namun
dikarenakan kelompok penyandang stigma adalah individu yang dianggap hina oleh mayoritas
individu dalam masyarakat, maka tidaklah mudah bagi individu penyandang stigma
berpartisipasi secara aktif. Namun ketika individu penyandang stigma diajak oleh middlemen
untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan juga tergabung dalam suatu perkumpulan
atau organisasi, maka individu dan kelompok penyandang stigma tersebut akan merasakan
suatu penerimaan dari masyarakat.

14
Verba, Lehman Schlozmen & Brady (Verba, Lehman Schlozman , & Brady, 1995)
mengatakan keterlibatan secara sukarela dalam perkumpulan, organisasi atau forum tertentu,
dapat berkontribusi pada pembentukan jaringan sosial yang berguna bagi kelompok yang
membutuhkan suatu hubungan strategis dengan jaringan sosial yang baru. Ketika mahasiswa
Papua secara aktif dan sukarela berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat, ataupun aktif
mengikuti asosiasi, perkumpulan, atau forum bersama masyarakat, maka akan bertambah daya
mahasiswa Papua untuk mengurangi stigmatisasi yang disandangnya.

Kesimpulan Dan Saran


Kesimpulan yang didapatkan adalah kapital sosial memiliki peranan dalam
pengurangan stigmatisasi yang dialami oleh mahasiswa Papua. Dengan memiliki hubungan
yang dekat dengan tetangga, jaringan sosial yang berfungsi baik dengan keberadaan ikatan
yang kuat dalam bentuk sahabat dan ikatan lemah yang dapat menjembatani hubungan antara
mahasiswa Papua dan masyarakat Yogyakarta, serta dengan keaktifan berpartisipasi dalam
kegiatan dan organisasi di masyarakat, proses destigmatisasi dapat terjadi dengan menguatnya
kepercayaan dan penerimaan yang diberikan oleh masyarakat Yogyakarta terhadap mahasiswa
Papua.
Sebagai saran bagi mahasiswa Papua, agar membangun hubungan yang baik dengan
masyarakat sekitar dan aktif berpartisipasi dalam pelbagai kegiatan di masyarakat sehingga
lewat partisipasi tersebut dapat menjadi suatu peluang masyarakat sekitar mengenal kualitas
pribadi dan karakter mahasiswa Papua. Bagi masyarakat Yogyakarta, diharapkan dapat juga
membuka diri agar dapat tercipta hubungan yang baik dengan mahasiswa Papua. Bagi para
aktivis kemanusiaan, pekerja sosial, rohaniwan, seniman, masyarakat Papua yang sudah
menjadi warga Yogyakarta, dan orang-orang yang peduli dengan Papua, diharapkan dapat
menjadi individu-individu yang bersedia menjembatani kesenjangan hubungan antara
mahasiswa Papua dan masyarakat Yogyakarta dengan mendistribusikan informasi,
narahubung, ataupun peluang-peluang lainnya. Bagi Pemerintah Pusat, maupun daerah,
khususnya Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Pemerintah Provinsi Papua, diharapkan
dapat membuat regulasi yang dapat mendukung terjadinya destigmatisasi pada mahasiswa
Papua di Yogyakarta. Dan bagi para peneliti yang sudah dan akan melakukan penelitian terkait
stigma, kapital sosial atau peneliti yang terkait mendalami isu Papua, diharapkan melakukan
penelitian-penelitian lain mengenai topik kapital sosial, proses destigmatisasi, dan topik-topik
yang saling bersinggungan lainnya dengan lokus yang berbeda, metodologi yang berbeda,
penggunaan teori dan konsep yang berbeda, melalui angle yang berbeda, dan pisau analisis

15
yang berbeda, agar semakin banyak khasanah pengetahuan yang berkualitas seputar topik-topik
terkait penelitian yang sudah dihasilkan ini.

KEPUSTAKAAN

Abbas, M. (2016). Konstruksi Identitas Ke-Papua-an di Kota Multi Kultural: Refleksi Kota
Yogyakarta dalam Kajian Identitas. JPP (Jurnal Politik Profetik), 4(1), 98-116.
Angelika, V. (2013). Penyesuaian Diri Mahasiswa Papua Dalam Interaksi Dengan
Masyarakat Jawa Di Yogyakarta (Master's Thesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Badan Pusat Statistik. (2017, Maret 3). Jumlah Perguruan Tinggi , Mahasiswa, dan Tenaga
Edukatif (Negeri dan Swasta) di Bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Menurut Provinsi 2013/2014-2014/2015. Retrieved from Badan Pusat Statistik:
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1839
Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. (2017, 21 October). Badan Pusat
Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. Retrieved from
https://yogyakarta.bps.go.id/dynamictable/2017/08/02/32/jumlah-penduduk-menurut-
kabupaten-kota-di-d-i-yogyakarta-jiwa-.html
Clair, M., Daniel, C., & Lamont, M. (2016). Destigmatization and health: Cultural
constructions and the long-term reduction of stigma. Social Science & Medicine, 165,
223-232.
Cook, J. E., Purdie-Vaughns, V, V., Meyer, I. H., & Busch, J. T. (2014). Intervening within
and across levels: A multilevel approach to stigma and public health. Social Science
& Medicine, 103, 101-109.
Corrigan, P. (2004). How stigma interferes with mental health care. American Psychologist,
59(7), 614.
Corrigan, P. W., & Kosyluk, K. A. (2013). Erasing the stigma: Where science meets
advocacy. Basic and applied social psychology, 35(1), 131-140.
Cresswell, J. W. (2014). Research design qualitative, quantitative & mixed methods
approaches (4th ed.). Los Angeles: SAGE Publication.
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta. (2017, September 13).
Retrieved from http://pendidikan-diy.go.id/dikti/statistik-mahasiswa.html
Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti. (2017, Oktober 23). Retrieved from Kopertis Wilayah
V – D.I Yogyakarta: http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/kopertis-wilayah-
v-d-i-yogyakarta/
Fukuyama, F. (1995). Trust : The social virtues and the creation of prosperity. NY: Free
Press.
Goffman, E. (1963). Stigma: Notes on the management of spoiled identity. Englewood Cliffs,
N.J: Prentice-Hall, Inc.
Granovetter, M. (1973). The strength of weak ties. American Journal of Sociology, 78(6),
1360–1380.
Guest, G., Bunce, A., & Johnson, L. (2006, February). How Many Interviews Are Enough?
An experiment with data saturation and variability. Field Methods, 18(1), 59-82.
Harper, R. (2001). Social Capital: A review of the literature. London, UK: Office for
National Statistics, Social Analysis and Reporting Division.
Jones, E., Farina, A., Hastorf, A., Markus, H., Miller, D., & Scott, R. (1984). Social Stigma:
The Psychology of Marked Relationships. New York: Freeman.

16
Karma, F. (2014). Seakan kitorang setengah binatang: Rasialisme Indonesia di tanah Papua.
Penerbit Deiyai.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2016, Juli 28). Pernyataan Sultan
Hamengkubawana X Patut Disayangkan. Retrieved from
https://www.komnasham.go.id:
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2016/07/28/28/pernyataan-sultan-
hamengkubawana-x-patut-disayangkan.html
Komnas Perempuan. (2010). Stop Sudah: Kesaksian perempuan Papua korban kekerasan
dan pelanggaran HAM 1963–2009. Jakarta: Komnas Perempuan.
Kusumadewi , A., & Gumilang, P. (2016, Juli 19). Kala Warga Kampung Bingung Lihat
Asrama Papua Dikepung. Retrieved from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160719101551-20-145526/kala-warga-
kampung-bingung-lihat-asrama-papua-dikepung/
Kusumadewi, A. (2016, Agustus 10). Berlimpah Cinta Dari Yogya Untuk Papua. Retrieved
from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808204823-20-
150017/berlimpah-cinta-dari-yogya-untuk-papua/
Kusumadewi, A. (2016, July 19). Cerita mahasiswa Papua dukung perjuangan warga Yogya.
Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160719132553-20-
145593/cerita-mahasiswa-papua-dukung-perjuangan-warga-yogya/
Kusumadewi, A. (2016, July 19). Cerita mahasiswa Papua dukung perjuangan warga Yogya.
Retrieved from CNN Indonesia:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160719132553-20-145593/cerita-
mahasiswa-papua-dukung-perjuangan-warga-yogya/
Kusumadewi, A. (2016, Agustus 10). CNN Indonesia. Retrieved from Mahasiswa, Simbiosis
Mutualisme Yogya-Papua:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808210326-20-150020/mahasiswa-
simbiosis-mutualisme-yogya-papua/
Kusumadewi, A., & Gumilang, P. (2016, July 19). Kala warga kampung bingung lihat
asrama Papua dikepung. Retrieved from
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160719101551-20-145526/kala-warga-
kampung-bingung-lihat-asrama-papua-dikepung/
Link, B. G., & Phelan, J. C. (2001). Conceptualizing stigma. Annual Review of Sociology,
27(1), 363-385.
Link, B., Yang, L., Phelan, J., & Collins, P. (2004). Measuring mental illness stigma.
Schizophrenia Bulletin, 30(3), 511–541.
Maharani, S. (2016, Juli 16). Mahasiswa Papua Dikepung Warga Kampung Yogya Kirim
Makanan. Retrieved from https://www.tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/788008/mahasiswa-papua-dikepung-warga-kampung-
yogya-kirim-makanan
Major, B., & O'Brien, L. T. (2005). The social psychology of stigma. Annual Review of
Psychology, 56, 393-421.
Masyitoh, M. (2017). Adaptasi mahasiswa Papua di Yogyakarta. Yogyakarta: Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada.
Neuman, W. L. (2006). Social research methods: Qualitative and quantitavie approaches
(6th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
Pahl, R. (2000). On Friendship. Cambridge, UK: Polity.
Paluck, E. L., & Green, D. P. (2009). Prejudice reduction: what works? A review and
assessment of research and practice. Annual Review. Psychology, 60, 339-367.

17
Parker, L., Riyani, I., & Nolan, B. (2016). The stigmatisation of widows and divorcees
(janda) in Indonesia, and the possibilities for agency. Indonesia and the Malay World,
44(128), 27-46.
Parker, R., & Aggleton, P. (2003). HIV and AIDS-related stigma and discrimination: A
conceptual framework and implications for action. Social. Science, Medicine, 57(1),
13-24.
Paxton, P. (1999). Is Social Capital Declining in the United States? A Multiple Indicator
Assessment. American Journal of Sociology, 105, 88–127.
Paxton, P. (2002). Social capital and democracy: An interdependent relationship. American
Sociological Review, 67(2), 254-277.
Phelan, J. C., Link, B. G., & Dovidio, J. F. (2008). Stigma and prejudice: One animal or two?
Social Science & Medicine, 67(3), 358-367.
Putnam, R. (1993). Making Democracy Work. Civic Traditions in Modern Italy. Princeton:
Princeton University Press.
Putnam, R. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New
York: Simon & Schuster.
Saldaña, J. (2011). Fundamentals of qualitative research. New York: Oxford University
Press, Inc.
Stafford, M., & Scott, R. (1986). Stigma, deviance, and social control. In S. C. Ainlay, G.
Becker, & L. M. Coleman (Eds.), The Dilemma of Difference: A Multidisciplinary
View of Stigma (pp. 77-91). New York: Springer US.
Tripambudi, S. (2014). Interaksi Simbolik Antaretnik di Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi
(JIK), 10(3).
Ulya, Y. (2016, June 14). Mereka tidak menerima kos untuk anak Papua. Retrieved from
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160714_trensosial_papua
Verba, S., Lehman Schlozman , K., & Brady, H. E. (1995). Voice and equality: Civic
voluntarism in American politics. Cambridge: Harvard University Press.
Wartonah, P. (2015). Stigma dan diskriminasi klien tuberkolosis . Jurnal Keperawatan, 1(2),
103-111.

18

Anda mungkin juga menyukai