Anda di halaman 1dari 7

JESS 3 (2) (2014)

Journal of Educational Social Studies

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jess

PROSTITUSI KELING
(Konstruksi Sosial Masyarakat dan Stigmatisasi)

Septi Purfitasari 

Prodi Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Keling memiliki prostitusi baik di perantauan maupun lokal. Praktik prostitusi lo-
Diterima Agustus 2014 kal menunjukkan prostitusi terkait dengan sejarah dan budaya komunitas tersebut.
Disetujui September 2014 Hal ini juga memunculkan stigmatisasi terhadap perempuan Keling. Penelitian ini
Dipublikasikan November mengkaji konstruksi sosial masyarakat Keling terhadap prostitusi dan stigmatisasi
2014 terhadap perempuan Keling.Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik
pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi.
Keywords: Analisis data meliputi analisis tematis, analisis tekstual, dan analisis interpretatif.
Prostitutions;
Hasil penelitian menunjukkan konstruksi sosial prostitusi sebagai kesalahan perem-
Social Constructio;
Stigmatization puan yang terlalu tergiur materi dan mencoreng nama baik kyai, sebagai pekerjaan
berpenghasilan tinggi, sebagai perusak kualitas generasi muda, sebagai penyebab
penyebaran HIV/AIDS, dan sebagai hiburan yang bergengsi. (2) Stigmatisasi terha-
dap perempuan Keling, yaitu bukan perempuan baik-baik, cantik-cantik tetapi ban-
yak yang PSK. Tokoh masyarakat tidak sepenuhnya mengakui stigmatisasi. Pelaku
mengakui stigmatisasi, ada yang menyembunyikan, ada yang merasa bangga.Saran
yang direkomendasikan adalah lembaga pendidikan perlu mempertimbangkan latar
belakang sosial budaya siswa sehingga proses transfer of values dalam pendidikan
IPS lebih tepat dan dapat menghasilkan output yang baik. Tokoh kesehatan agar
melakukan pendampingan dan sosialisasi terhadap remaja mengenai prostitusi dan
resiko penularan penyakit. Tokoh agama agar memfasilitasi kegiatan keagamaan
bagi generasi muda, tokoh masyarakat agar menertibkan prostitusi berkedok kara-
oke

Abstract
Implementation of Curriculum 2013 brought a change in the learning process. Regulation of
the Minister of Education and Culture Number 65/2013 about Standard Process Primary
and Secondary Education hinted on the need for the learning process guided by the rules of
scientific approach. Scientific approach is applied to all subjects for all levels. The application
of scientific approach certainly can cause its own difficulties, especially in subjects such non
inexact social studies. This study sought to conduct a study of 2013 Implementation cur-
riculum in social studies in junior high schools Semarang region that already implement the
curriculum 2013 in the academic year 2013/2014.
This study uses a qualitative descriptive approac. Data collection methods used in this study
were interviews, observation and documentation. The results showed that the general imple-
mentation of Curriculum 2013 in social studies in junior high schools Semarang city region
approach Mutual Adaptation of curriculum implementation, teacher social studies teacher
and still having some problems adjusting to the real conditions in the field. This is evidenced
in conducting learning social studies teachers are already using a scientific approach, but most
are just learning social studies in the classroom so that less provide less tangible experince
learning on the learner.
© 2014 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2252-6390
Kampus Unnes Bendan Ngisor Semarang 50233
E-mail: v33tha@gmail.com
Septi Purfitasari / Journal of Educational Social Studies 3 (2) (2014)

Pendahuluan koranmuria.com) dan pada tahun 2012 untuk


AIDS, Jepara sempat menempati urutan pertama
Prostitusi merupakan permasalahan yang di provinsi Jawa Tengah (http://kpan.or.id). Ke-
kompleks dan telah ada sepanjang peradaban banyakan penderita di Kabupaten Jepara meru-
manusia. Tak jarang, prostitusi dipandang se- pakan orang-orang yang merantau ke luar kota
bagai “pekerjaan” tertua di dunia.Sejak awal dan pulang sudah dalam kondisi AIDS. Praktik
1980an, para ahli mulai membedakan antara per- prostitusi juga mendorong pemerintah kabupat-
ilaku sosial dengan identitas seksual dan mulai en Jepara merevisi Perda Nomor 09 Tahun 1954
mengakui adanya variasi dalam perilaku seksual Tentang Pemberantasan Pelacuran, dengan perda
serta perubahan makna seksual dari waktu ke Kabupaten Jepara Nomor 3 Tahun 2013 Tentang
waktu. Para ahli kemudian menentang kebijakan Pencegahan dan Pemberantasan Pelacuran.
konvensional yang menyatakan bahwa seksuali- Prostitusi selama ini menjadi permasala-
tas adalah hasil biologis atau dorongan psikologis han kompleks yang dikaji melalui berbagai pen-
semata, di luar jangkauan kekuatan sosial. Misal, dekatan. Penelitian ini mengkaji bagaimana kon-
Gayle Rubin (Rubin: 1984, Bernstein: 2013) yang struksi sosial dalam sebuah komunitas dengan
mengemukakan adanya hirarki dalam praktik praktik prostitusi yang berlangsung dari generasi
seksual. Menurut Rubin, beberapa praktik sek- ke generasi. Selain itu, prostitusi di Keling tidak
sual dianggap normal, alami dan baik, sementara hanya terjadi di perantauan, dimana sebagian
yang lain diberi label tidak wajar atau menyim- perempuan Keling terjun dalam prostitusi di ber-
pang. Hirarki ini menunjukkan bahwa praktik bagai kota besar. Prostitusi juga berkembang
seksual berada dalam ranah sosial dimana seba- dalam praktik lokal secara terselubung. Pulu-
gian praktik seksual dianggap baik dan diterima han tahun lalu, prostitusi lokal di Keling berupa
oleh masyarakat sementara sebagian yang lain warung-warung yang secara terang-terangan
ditolak dan dianggap menyimpang. menjajakan pelayana seks. Saat ini prostitusi
Koentjoro, melalui penelitiannya, yang lokal masih ada hanya saja lebih terselubung
kemudian dibukukan dengan judul On The Spot, berupa jaringan via SMS ataupun berkedok café
Tutur dari Sarang Pelacur (2004), telah melaku- dan karaoke. Menurut Ingleson, jika prostitusi
kan riset bertahun-tahun di sejumlah pedesaan tidak hanya terjadi di perantauan namun juga di
dan perkotaan yang ia kategorikan sebagai “dae- daerah asal para PSK maka menunjukkan bahwa
rah penghasil pelacur”. Koentjoro mengkatego- prostitusi di daerah tersebut sangat terkait dengan
rikan sejumlah daerah sebagai daerah penghasil sejarahnya sehingga prostitusi sudah menjadi ba-
pelacur karena berdasarkan risetnya pada tahun gian budaya dari komunitas tersebut (Ingleson,
1988, 1989, dan 1992 menunjukkan bahwa 65% 1986; Koentjoro, 2013).Analisis dalam penelitian
pekerja seks ternyata berasal dari sejumlah dae- ini dilakukan dengan mengacu pada dialektika
rah tertentu. Penelitian Koentjoro memasukkan Berger dan Luckmann mengenai konstruksi so-
Jepara sebagai salah satu daerah yang ia katego- sial yang tersirat dalam tiga momen yang saling
rikan sebagai penghasil pelacur (Koentjoro, 2004: berkaitan yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan
76), meskipun dalam bukunya ia menyamarkan internalisasi.
semua identitas wilayah penelitiannya sehingga Selain itu, adanya praktik prostitusi di Ke-
tidak diketahui secara detail lokasi tepatnya. ling juga memunculkan labeling atau stigmatisasi
Namun, setidaknya masuknya Jepara dalam terhadap perempuan Keling. Menurut Erving
kategori daerah penghasil pelacur pada peneli- Goffman (1963), stigma adalah segala bentuk
tian Koentjoro turut menempatkan posisi Jepara atribut fisik dan sosial yang mengurangi identi-
dalam pemetaan daerah penghasil pelacur di tas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang
Jawa Tengah. itu dari penerimaan masyarakat. Stigma yang
Jepara ditengarai menjadi daerah peng- diterima oleh perempuan Keling misal, bahwa
hasil pelacur untuk dikirim ke berbagai kota besar mereka rentan terlibat prostitusi, bukan perem-
ataupun adanya praktik prostitusi lokal. Hal ini puan baik-baik, perempuan gampangan. Pelaku
juga dapat dikaitkan dengan data statistik yang prostitusi bisa saja perempuan, laki-laki (gigolo),
menunjukkan tingginya kasus HIV/AIDS di atau transgender. Bahkan, dalam beberapa kasus
Jepara. Meskipun kabupaten Jepara bukan meru- prostitusi yang dilakukan oleh perempuan, pun
pakan daerah yang dilewati jalan utama antar- tetap melibatkan laki-laki sebagai klien ataupun
propinsi, namun kasus HIV/AIDS di Kabupaten germo. Namun, perempuan tetap menjadi pihak
Jepara sangat tinggi. Tahun 2013, Jepara meru- yang paling disalahkan, dianggap sebagai pe-
pakan kabupaten dengan kasus HIV & AIDS nyebab kemerosotan moral, dan paling banyak
peringkat ke 6 di Provinsi Jawa Tengah (http:// dikenai label buruk (stigma). Seperti dikemuka-

45
Septi Purfitasari / Journal of Educational Social Studies 3 (2) (2014)

kan pula oleh Ditmore, bahwa pelacur adalah sesuai dengan sifat fenomena yang ia kaji, situ-
prototipe dari perempuan yang terstigmatisasi asi dan kondisi penelitian, karakter peneliti, dsb.
(Ditmore, 2006: 461). Kata “pelacur” bagaimana (Smith, Lewis-Beck, dkk: 2004). Mengacu pada
pun juga hanya mengacu pada pelacur. Pelacur keabsahan data yang ingin diperoleh, maka pe-
adalah yang “tidak suci”, wanita yang terlibat nelitian ini menggunakan teknik triangulasi
dalam hubungan seksual yang melanggar hu- sumber yaitu dengan melakukan checking data,
kum dan tidak bermoral, jauh dari kesucian, membandingkan data yang diperoleh dengan
keperawanan, kesopanan, pengendalian diri, data yang lain. Misal, membandingkan data
dan kesederhanaan (Pheterson, 1996; Ditmore, hasil wawancara dengan data hasil observasi,
2006). Stigma semacam ini juga dilekatkan pada membandingkan keadaan dan perspektif sese-
perempuan Keling.Maka, penelitian ini juga orang dengan berbagai pendapat dari perempuan
mengkaji bagaimana stigmatisasi yang dibangun pelaku prostitusi dan bukan pelaku, dari tokoh-
masyarakat terhadap perempuan Keling. tokoh masyarakat, dsb.
Analisis data dalam penelitian ini meng-
Metode gunakan teknik analisis tematis, analitis tek-
stual, dan analitis interpretatif. Analisis tematis
Penelitian ini merupakan penelitian kuali- dilakukan dengan mengorganisasi data sesuai
tatif sehingga menghasilkan data deskriptif un- tema-tema yang relevan dengan fokus peneli-
tuk memahami bagaimana masyarakat Keling tian sehingga ditemukan ungkapan-ungkapan,
memaknai prostitusi, pengalaman-pengalaman uraian, atau penjelasan yang spesifik mengenai
mereka terkait prostitusi, serta bagaimana gambaran konstruksi sosial masyarakat Keling
mereka menafsirkan dan mengambil pilihan se- terhadap prostitusi dan stigmatisasi terhadap
hingga dapat diperoleh gambaran konstruksi so- perempuan Keling. Analisis tekstual dilakukan
sial mereka terhadap prostitusi. Data deskriptif dengan mengkonfirmasikan data temuan dengan
juga dihasilkan untuk memperoleh pemaknaan teori konstruksi sosial menurut Peter L. Berger
masyarakat Keling atas stigmatisasi yang dile- dan Thomas Luckmann dan teori stigmatisasi
katkan pada mereka serta bagaimana mereka Erving Goffman. Melalui langkah ini dapat dili-
menanggapi stigmatisasi tersebut. hal ini sesuai hat apakah ada kesesuaian temuan dengan teori
dengan apa yang dikemukakan Mason bahwa atau perlu adanya kesenjangan antara temuan
penelitian kualitatif adalah strategi penyelidikan penelitian dengan teori yang digunakan ketika
yang ditujukan untuk membedakan bagaimana digunakan untuk menganalisis temuan penelitian
memahami manusia, pengalaman, menafsirkan, ini. Sementara analisis interpretatif dilakukan
dan menghasilkan dunia sosial (Mason, 1996; dengan melihat makna-makna yang terkandung
Sandelowski, 2004). dalam setiap data temuan.
Penelitian mengambil lokasi di kecamatan
Keling, Jepara, Jawa Tengah. Pengambilan Ke- Hasil dan Pembahasan
ling sebagai lokasi penelitian karena kawasan ini
memiliki riwayat praktik prostitusi yang panjang Konstruksi sosial masyarakat Keling terh-
dan masih berlangsung sampai sekarang. Selain adap prostitusi sebagai berikut: (1) Pada umumn-
itu, praktik prostitusi tidak hanya berlangsung di ya, masyarakat Keling mengkonstruksi prostitusi
perantauan namun juga dalam bentuk prostitusi sebagai hal yang sudah biasa, menjadi budaya
lokal di wilayah Keling. Teknik cuplikan dalam dalam masyarakat mereka, (2) Pihak-pihak yang
penelitian ini adalah teknik snowball sampling. terlibat dalam prostitusi yaitu perantara, pelaku,
Penggunaan snowball sampling digunakan karena dan fasilitator mengkonstruksi prostitusi sebagai
peneliti tidak banyak mengetahui tentang popu- cara untuk memperoleh penghasilan yang tinggi.
lasi penelitian. Peneliti hanya mengetahui sedikit Prostitusi sebagai pekerjaan yang layak dipilih
saja orang yang dapat dijadikan informan kunci demi meraih keuntungan secara ekonomi, (3)
(key informan), kemudian meminta mereka untuk Tokoh agama mengkonstruksi prostitusi sebagai
menunjukkan orang lain yang dapat dijadikan akibat dari kesalahan perempuan yang terlalu
informan selanjutnya. Teknik pengumpulan data tergiur pada materi hingga menghalalkan segala
dilakukan melalui wawancara mendalam, ob- cara, prostitusi juga dinilai mencoreng nama baik
servasi, dan dokumentasi. kyai di Keling, (4) Tokoh kesehatan mengkon-
Pada perkembangan penelitian kualitatif, struksi prostitusi Keling sebagai penyebab penye-
keabsahan penelitian saat ini mengacu pada se- baran penyakit, terutama HIV/AIDS, (5) Tokoh
berapa akurat penilaian yang dibuat oleh peneliti pendidikan mengkonstruksi prostitusi sebagai
perusak kualitas generasi muda Keling, (6) Klien

46
Septi Purfitasari / Journal of Educational Social Studies 3 (2) (2014)

mengkonstruksi prostitusi sebagai sarana hiburan kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus ber-
yang bergengsi. dialektika (Marx). Titik temu inilah yang men-
Mengacu pada teori Peter L. Berger dan jadi dasar teori konstruksi sosial mereka, bahwa
Thomas Luckmann bahwa konstruksi sosial ter- sepanjang perjalanan sejarahnya, dari masa si-
bentuk melalui dialektika momen eksternalisasi, lam ke masa kini, kenyataan sosial sehari-hari
objektivasi, dan internalisasi maka dapat diana- ditata dan diterima, untuk melegitimasi kon-
lisis bahwa konstruksi sosial masyarakat Keling struksi sosial yang sudah ada dan memberikan
dibentuk oleh dialektika tersebut. Bagi pihak- makna pada berbagai bidang pengalaman indi-
pihak yang terjun dalam prostitusi seperti PSK, vidu sehari-hari.
perantara (germo), fasilitator (pemilik café dan Pada kasus Keling, memandang proses
karaoke), mereka mengalami proses eksternalisasi konstruksi sosial dengan cara demikian, dapat
berupa perolehan kebudayaan. Adanya rujukan menimbulkan ketidaktegasan stand point. Jika
di masa lalu, modeling atas pilihan mereka yang konstruksi selalu berupa benang merah realitas
meyakini bahwa prostitusi di Keling sudah ber- objektif dan subjektif dimana manusia pada
langsung lama dan dilakukan oleh banyak orang satu sisi adalah makhluk kreatif yang senan-
selain mereka. Perolehan budaya ini selanjutnya tiasi mengkonstruksi makna, sementara di sisi
memunculkan toleransi akan prostitusi dalam diri lain adalah berada di bawah struktur. Maka,
mereka sehingga mereka menyerap nilai-nilai pe- yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah
nyimpangan tersebut. Selanjutnya mereka men- masyarakat Keling mengkonstruksi prostitusi
galami proses habituasi, pembiasaan atas pilihan sebagai makhluk kreatif , yaitu sebagai will con-
dan tindakan mereka, sehingga prostitusi pun structor atau hanya sekedar sebagai penerima,
menjadi hal yang dianggap benar dan terlembaga receiver saja. Pada titik inilah, posisi tengah
dalam diri mereka. Mereka pun mengindentifi- ataupun benang merah yang diungkapkan Berg-
kasi pilihan tersebut sebagai bagian dari identitas er dan Luckmann tidak selamanya terjadi, dan
diri yang terinternalisasi, apakah sebagai peran- dapat menimbulkan sisi yang justru bersifat bias.
tara, sebagai PSK, sebagai pebisnis yang memiliki Misal, prostitusi yang dilakukan oleh
bisnis prostitusi dalam bentuk café dan karaoke, perempuan Keling dari generasi ke generasi,
ataupun sebagai klien yang memiliki banyak uang apakah sebagai bukti bahwa mereka makhluk
dan menjadikan prostitusi sebagai hiburan yang kreatif yang sepenuhnya membangun makna
bergengsi, karena laki-laki yang sanggup mem- tentang prostitusi atau sekedar menerima kead-
beli jasa pelayanan seks berarti laki-laki dengan aan saja. Pada kasus Susi, ia yang terpaksa
kondisi perekonomian yang mapan, kaya, atau menjalani 7 tahun bekerja sebagai PSK setelah
pengusaha. mengalami kegagalan dalam pernikahan. Meni-
Seperti digambarkan dalam rangkaian kah muda pada usia 16 tahun namun 2 tahun
analisis di atas, penelitian ini dianalisis meng- kemudian bercerai. Seorang janda muda dengan
gunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger satu anak, yang juga merupakan anak pertama,
dan Thomas Luckmann. Sesuai dengan apa yang kemudian menanggung beban sosial. Ia menjadi
dikemukakan kedua tokoh tersebut, konstruksi so- tulang punggung keluarga, memenuhi kebutu-
sial masyarakat Keling terhadap prostitusi dapat han anak laki-lakinya, seorang adik perempuan,
dianalisis melalui dialektika eksternalisasi, objek- seorang adik laki-laki dan kedua orangtua, sang
tivasi, dan internalisasi. Namun, menjadi bias ke- ayah yang tidak pernah memiliki pekerjaan yang
tika berbicara mengenai aspek proses. Berger dan jelas.
Luckmann secara teoritis membayangkan ketiga Orientasi materi keluarga, mendorong
momen sebagai proses dialektika yang selalu len- Susi sebagai anak perempuan harus bekerja
tur dan kontinu. Sementara pada kenyataannya, keras. Begitu pula ketika ia menjadi PSK di Ja-
tidak selalu demikian. karta, terjebak dalam pola kerja dengan germo
Berger dan Luckmann berusaha mencari yang sangat mengekang dan merugikan dirinya.
titik temu antara realitas objektif dan subjektif, di- Dikekang tanpa ada kebebasan untuk keluar
mana individu memiliki peran yang menentukan, rumah, bahkan tidak pernah tahu di hotel apa
namun di sisi lain, individu juga digerakkan dan tepatnya ia setiap hari bekerja karena selalu di-
dipengaruhi oleh struktur. Titik temu yang dibay- antar ke lokasi kerja dengan memutar jalan ter-
angkan oleh mereka dibangun berdasar pengaruh lebih dahulu. Setiap kali melayani klien, ia han-
pemikiran akan makna (common sense) yang ya memperoleh tarif 200 ribu dimana sebagian
dikemukakan Schutz, yang menghasilkan watak uang tersebut harus dihitung sebagai jatah ger-
ganda masyarakat yaitu masyarakat sebagai keny- mo. Artinya, dalam satu kali transaksi, ia hanya
ataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai memperoleh 100 ribu saja. Jadi, pada kasus ini

47
Septi Purfitasari / Journal of Educational Social Studies 3 (2) (2014)

yang nampak justru sebuah ketidakberdayaan baik kyai di Keling. Sementara tokoh pendidikan
perempuan. memandang prostitusi juga sebagai kesalahan
Pada kenyataannya, seringkali kepent- perempuan yang berimbas pada rusaknya gen-
ingan tertentu mengarahkan pada satu metode erasi muda Keling, karena menurut mereka, ke-
penafsiran. Sehingga tanpa disadari, konstruksi luarga yang ibunya bekerja sebagai PSK otomatis
sosial yang terbentuk bukan sepenuhnya hasil di- akan menghasilkan generasi muda yang rusak.
alektika namun lebih sebagai sekedar menerima Hal ini menunjukkan konstruksi yang terbentuk
wacana yang diciptakan oleh negara ataupun belum tentu merupakan proses kreatif melalui
pihak yang berkuasa. Terkadang, proses ini tidak dialektika ketiga momen, tetapi bisa jadi hanya
begitu disadari, lebih dalam bentuk hegemoni sekedar proses menerima hegemoni wacana dari
wacana. Dalah hal ini, hegemoni wacana bahwa kekuasaan (negara).
prostitusi adalah kesalahan perempuan. Lebih lanjut, terkait stigmatisasi, muncul
Prostitusi diwacanakan sebagai penyim- stigmatisasi terhadap perempuan Keling sebagai
pangan sosial dimana pihak yang paling disalah- berikut: (1) Pemaknaan harfiah perempuan
kan adalah perempuan. Hal ini terkait konstruksi Keling sebagai keturunan Ratu Kalinyamat yang
sosial seksualitas laki-laki dan perempuan. Seks melakukan topo wudo wajar kalau bukan peremp-
menjadi lambang kekuasaan laki-laki, mencipta- uan baik-baik, apalagi lokasi mereka berdekatan
kan ruang bagi dominasi mereka terhadap perem- dengan petilasan Ratu Kalinyamat di gunung
puan. Jika laki-laki menggunakan jasa pelayanan Donorojo, (2) Perempuan Keling banyak yang
PSK bahkan bisa menjadi hal yang bergengsi, cantik namun bukan perempuan baik-baik ka-
simbol kekuasaan dan kemapanan status sosial rena gampangan dan rentan menjadi PSK, (3)
ekonomi. Sementara pihak perempuan sebagai Orang Jakarta belum tentu tahu Jepara tapi pasti
pekerja seks ditempatkan sebagai pihak yang pal- tahu Keling. Stigamtisasi ini muncul karena kebi-
ing bersalah dan menjadi penyebab kemerosotan asaan perempuan Keling merantau ke Jakarta un-
moral di masyarakat. Dan hegemoni ini dikukuh- tuk menjadi PSK. Selain itu juga disebabkan oleh
kan pula oleh negara (kekuasaan). Contoh kasus fakta bahwa keberangkatan bis Jepara-Jakarta
ini misal, pada bulan Oktober 2013 terjadi razia adalah dari Keling, yaitu terminal Sambungoyot.
terhadap sejumlah perempuan separuh baya yang Bis ini distigmatisasi sebagai angkutan yang men-
bekerja sebagai PSK di Pasar Hewan Keling pada gangkut perempuan-perempuan Keling menuju
malam hari. Berdasarkan penuturan dari Kepala Jakarta untuk menjadi PSK.
Pasar Hewan, bahwa ia tidak dapat membubar- Menurut Goffmann (1963), stigma ada-
kan praktik prostitusi tersebut karena merupakan lah atribut yang sangat negatif yang dilekatkan
prostitusi yang diorganisir sekelompok preman, oleh orang “normal” kepada orang-orang yang
dimana ia pun nyaris dihajar oleh mereka. Ke- dianggap menyimpang dari ekspektasi warga
mudian, bagian dari kekuasaan negara yaitu sat- masyarakat pada umumnya, dalam konteks in-
pol PP merazia tempat tersebut di malam hari teraksi sosial secara langsung maupun tidak lang-
dengan mengejar para PSK yang berlarian me- sung. Pada kasus prostitusi, stigmatisasi lebih
nyelamatkan diri agar tidak tertangkap. banyak dilekatkan pada perempuan. Meskipun
Kasus di atas, menunjukkan bahwa pros- prostitusi merupakan kegiatan antara kedua be-
titusi masih berada dalam bayang-bayang he- lah pihak yaitu PSK dan klien, namun pada
gemoni wacana oleh penguasa bahwa yang pal- kenyataannya yang mendapat stigmatisasi ada-
ing berhak disalahkan adalah perempuan, yang lah perempuan PSK. Hal ini berkaitan dengan
harus ditangkap adalah PSK. Padahal ada akar seksualitas laki-laki dan perempuan yang berbe-
permasalahan yang lebih tepat untuk disentuh. da secara normatif. Perempuan secara normatif
Begitu pula germo ataupun klien, seringkali tidak dituntut untuk menjaga seksualitasnya, bukan
tersentuh. Penelitian ini juga menemukan waca- mengumbarnya apalagi menjadikannya seba-
na semacam ini dalam pemikiran sejumlah tokoh gai komoditas dalam prostitusi.Oleh karena itu,
masyarakat, seperti tokoh agama dan tokoh pen- sudut pandang masyarakat terfokus pada perem-
didikan. Mereka memandang prostitusi sebagai puan. Bukan kepada siapa laki-laki yang mem-
penyimpangan yang disebabkan oleh kesalahan beli pelayanan seks atau siapa yang menyalurkan
perempuan. Dikemukakan oleh tokoh agama tetapi lebih kepada siapa “perempuan” yang bek-
bahwa prostitusi muncul karena adanya perem- erja sebagai pekerja seks komersial, sebagai pela-
puan yang tidak tahu bersyukur, tidak menerima cur. Dengan demikian, prostitusi dilihat sebagai
keadaannya sehingga tergoda gemerlap duniawi pelanggaran norma yang dilakukan oleh perem-
dan mencari jalan pintas. Keberadaan para per- puan sehingga stigma pun lebih dilekatkan pada
empuan PSK juga dianggap mencoreng nama perempuan.

48
Septi Purfitasari / Journal of Educational Social Studies 3 (2) (2014)

Mengacu pada teori Goffmann, stigmati- di besar-besarkan karena realitas ini jamak ada di
sasi terhadap perempuan Keling mengacu pada berbagai masyarakat, bukan hanya Keling. Selain
stigma discredit, yaitu stigma yang sudah diketa- itu, tokoh agama juga meyakini bahwa stigmati-
hui oleh orang banyak. Sudah diketahui secara sasi terhadap perempuan Keling telah mencoreng
luas oleh masyarakat Keling maupun di luar nama baik kyai di wilayah tersebut. Salah satu
Keling bahwa terdapat praktik prostitusi di Ke- persamaan dalam menanggapi stigmatisasi ada-
ling yang telah berlangsung sekian lama. Strategi lah baik tokoh aparat desa, tokoh kesehatan mau-
masyarakat Keling dalam menanggapi stigma- pun tokoh agama berusaha mengontrol informasi
tisasi ini berupa teknik covering, yaitu mereka atas stigmatisasi dengan menyatakan bahwa stig-
yang terstigmatisasi sudah diketahui oleh publik matisasi terhadap perempuan Keling hanyalah
dan ia menerima stigma tersebut sebagai bagian warisan masa lalu, atas kejayaan prostitusi Keling
dari dirinya. Covering bertujuan untuk memini- di masa lalu sehingga banyak perempuan pelaku
malisir agar stigma tidak tampak jelas sehingga prostitusi dari berbagai daerah mengaku berasal
tidak mengganggu interaksi sosial antara pemilik dari Keling demi mendongkrak citra mereka.
stigma dengan kelompok “normal”. Pada be- Seluruh informan perempuan dalam pe-
berapa kasus PSK yang beroperasi secara terse- nelitian ini mengakui adanya stigmatisasi terha-
lubung, meliputi stigma discreditable, yaitu yang dap perempuan Keling yang terkenal tidak baik,
belum diketahui oleh orang banyak, atau hanya gampangan, rentan menjadi PSK. Sebagian mer-
sedikit orang yang mengetahui. Stigmatisasi ini asa malu, namun ada pula yang merasa bangga.
ditanggapi oleh keduanya melalui strategi yang Misal, seorang remaja yang berperan sebagai
disebut Goffmann sebagai passing, yaitu upaya germo, ia merasa bangga atas stigmatisasi bahwa
untuk menyamarkan/menyembunyikan stigma perempuan Keling cantik-cantik namun banyak
dari sekelompok orang yang tidak mengetahui yang menjadi PSK. Ia menanggapi stigmatisasi
stigma yang dimiliki. Passing dilakukan dengan tersebut justru sebagai hal yang membanggakan
cara melakukan perpindahan dari satu kelompok karena perempuan Keling memiliki kualitas yang
ke kelompok yang lain, yaitu ke kelompok yang bagus daripada perempuan dari daerah lain. Hal
stigmanya kurang atau tidak memiliki stigma. ini menjadi prestise dan pamor tersendiri dalam
Passing hanya dapat dilakukan jika pihak lain be- dunia prostitusi.
lum mengetahui tentang atribut stigma ataupun Pada masyarakat Keling sendiri prosti-
hanya sedikit pihak yang mengetahui. tusi dikonstruksi sebagai hal yang sudah biasa,
Stigmatisasi terhadap perempuan Keling sehingga stigmatisasi terhadap pelaku prostitusi
sepenuhnya disadari oleh warga Keling. Mereka di dalam masyarakat Keling tidak begitu kentara.
mengakui dan menyadari bahwa stigmatisasi Seorang PSK dapat diterima dengan baik, teru-
tersebut telah tersebar luas di luar masyarakat Ke- tama mereka yang bekerja sebagai PSK di peran-
ling, dan diyakini pula oleh sebagian masyarakat tauan, akan diterima lebih baik dibandingkan
Keling sendiri. Perbedaan terletak bagaimana dengan perempuan PSK yang beroperasi pada
mereka menanggapi stigmatisasi tersebut. Bagi prostitusi lokal. Hal ini karena ada sebagian war-
pihak-pihak yang terlibat seperti perantara, ga yang mengkonstruksikan prostitusi sebagian
pelaku, dan fasilitator stigmatisasi tidak dilihat bagian budaya yang sudah mengakar dan mereka
sebagai hal yang perlu sepenuhnya disembunyi- piker tidak ada yang dapat mereka lakukan selain
kan. Meski mereka melakukan sejumlah upaya menerima eralitas. Selanjutnya, mereka memilih
untuk mengontrol informasi dalam mengantisi- untuk lebih mentoleransi prostitusi di peran-
pasi dampak stigmatisasi, namun mereka tidak tauan, karena tidak begitu kentara, dibandingkan
sepenuhnya khawatir jika stigmatisasi terhadap prostitusi lokal. Selain itu, juga terdapat contoh
diri mereka sepenuhnya terbongkar. Misal, pada para mantan PSK yang bertransformasi menjadi
kasus pelaku, mereka mengakui adanya stigmati- tokoh masyarakat dan masa lalu mereka tidak
sasi terhadap perempuan Keling dan menyadari pernah diungkit lagi. Mereka menjadi orang ter-
bahwa mereka menjadi bagian dari yang terstig- pandang dalam masyarakat setelah menikah den-
matisasi. Mereka melakukan upaya yaitu mengu- gan laki-laki terhormat di masyarakat, menjadi
rangi interaksi terbuka di sekolah untuk melind- ibu kaji (haji) yang disegani.
ungi status mereka yang bekerjasama dalam Hal ini menunjukkan bahwa stigmatisasi
menjalankan aktivitas prostitusi. terhadap perempuan PSK dalam masyarakat Ke-
Sementara tokoh agama, meski mengakui ling sendiri tidak begitu jelas. Apa yang dibayang-
stigmatisasi terhadap perempuan Keling, namun kan oleh Goffman tentang pelaku penyimpangan
juga berusaha keras menutupi stigma dengan sosial akan mengalami stigmatisasi, didiskredit-
menyatakan bahwa prostitusi Keling tidak perlu kan dari penerimaan masyarakat ternyata tidak

49
Septi Purfitasari / Journal of Educational Social Studies 3 (2) (2014)

sepenuhnya berlaku pada kasus prostitusi Keling. perantara, pelaku, dan fasilitator mengkonstruksi
Bukannya terstigmatisasi, perempuan pelaku prostitusi sebagai sumber pendapatan. Tokoh
prostitusi di Keling meski tidak menyembunyi- kesehatan mengkonstruksi prostitusi sebagai pe-
kan identitasnya tetap diperlakukan dengan baik nyebab tingginya kasus HIV/AIDS, dan klien
di masyarakat. Perempuan PSK juga masih me- mengkonstruksi prostitusi sebagai sarana hiburan
miliki peluang memperoleh jodoh yang berkuali- dan prestise.Sementara terkait dengan stigmatisa-
tas, menjadi tokoh terpandang di masyarakat, si, masyarakat Keling mengakui adanya stigma,
menjadi aktivis pengajian, menjadi “ibu kaji” sebagian berusaha menutupi stigma, sementara
yang dihormati di masyarakat.Suatu penyimpan- pihak perantara justru merasa bangga dengan
gan sosial tidak selalu menempatkan pelakunya stigmatisasi, yang baginya justru menunjukkan
dalam posisi terstigmatisasi, atau didiskreditkan
“kualitas“ perempuan Keling lebih baik daripada
oleh orang-orang di sekitarnya. Hal ini terjadi bi-
perempuan di daerah lain.
lamana suatu masyarakat justru mengkonstruksi
penyimpangan sosial sebagai hal yang lumrah.
Daftar Pustaka
Oleh karena itu, stigmatisasi, perlakuan diskredit
terhadap individu yang menyimpang menjadi
Berger, L. Peter & Thomas Luckmann. 2013. Tafsir
tidak begitu kentara. Sosial Atas Kenyataan. Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3S
Simpulan Bernstein, Mary. 2013. The Sociology of Sexualities: Tak-
ing Stock of the Field. Contemporary Sociology: A
Konstruksi sosial masyarakat Keling ter- Journal of Reviews 2013 42: 22. Diakses melalui
hadap prostitusi yaitu masyarakat Keling meng- http://csx.sagepub.com/content/42/1/22, 21
konstruksi prostitusi sebagai realitas sosial yang September 2013
telah ada sejak lama, menjadi bagian dari budaya Ditmore, Melissa Hope (Editor). 2006. Encyclopedia of
mereka. Tokoh agama mengkonstruksi prostitusi Prostituion and Sex Work, Volumes 1&2. London
sebagai kesalahan perempuan akibat tergiur ge- : Greenwood Press. Diakses melalui bookos.org,
20 September 2013
merlap duniawi dan mencoreng nama baik kyai
Goffman, Erving. 1963. Stigma, Notes on the Manage-
setempat. Aparat desa mengkonstruksi prostitusi
ment of Spoiled Identity. London: Penguin.
sebagai konsekuensi pemaknaan harfiah terkait
Diakses melalui bookos.org, 20 September 2013
leluhur mereka yaitu Ratu Kalinyamat yang mel- Koentjoro. 2004. On The Spot: Tutur dari Sarang Pela-
akukan topo wudo. Pihak-pihak yang terlibat yaitu cur. Yogyakarta: Tinta

50

Anda mungkin juga menyukai