PROPOSAL SKRIPSI
Oleh:
NORA SEPTIANI
K4216051
SURAKARTA
Maret 2020
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
teoretis maupun manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
mengenai ururt-urutan atau langkah tradisi tirakatan jelang HUT RI
dan yang paling mendasar adalah makna yang sesungguhnya dari
tradisi tersebut, sebab banyak diantara masyarakat yang memandang
negatif tradisi tersebut.
2. Manafaat Praktis
a. Bagi Peneliti
1) Dapat menambah pengetahuan menegnai makna tradisi yang
sesungguhnya.
2) Dengan pengetahuan tersebut, dapat memotivasi untuk
senantiasa melestarikan apa yang telah menjadi tradisi, agar
tetap berlangsung hingga masa yang akan datang.
b. Bagi Pembaca
1) Dapat menambah wawasan mengenai bagaimana tradisi bancaan
itu dan makna sesungguhnya dari tradisi bancaan itu sendiri.
2) Dapat meluruskan anggapan negative tentang tradisi tirakatan
jelang HUT RI (malem pitulasan).
3) Dapat termotivasi untuk senantiasa melestarikan tradisi tirakatan
jelang HUT RI (malem pitlasan) agar keberadaanya tetap terjaga
dari generasi ke generasi.
c. Bagi Guru
1) Dapat mengembangkan pengetahuan menganai tradisi tirakatan
jelang HUT RI (malem pitlasan).
2) Dapat menambah motivasi dalam pelestarian kebudayaan Jawa,
sebab tradisi tirakatan jelang HUT RI (malem pitlasan)
merupakan salah satu wujud kebudayaan Jawa.
3) Menambah referensi untuk bahan ajar di Sekolah Menengah
Atas di Jawa Timur yakni kompetensi dasar tentang peristiwa
budaya.
BAB II
A. Kajian Pustaka
1. Pengertian Tradisi
Hidup bermasyarakat memang tak lepas dari tradisi, terlebih
masyarakat yang hidup dimasa lampau. Sebagian kehidupan mereka
akan melekat pada tradisi. Berbicara mengenai tradisi, Syarifuddin
(2018:22) menyatakan:
Kata tradisi berasal dari Bahasa Latin “traditio”, kebiasaan, dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah
dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,
waktu, atau agama yang sama.
Hal yang paling mendasar dari pengertian tradisi adalah adanya
informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik secara tertulis
maupun lisan, sebagai upaya untuk menghindari kepunahan
(Syarifuddin, 2018:22).
Tidak hanya terbatas pada pengertian-pengertian di atas, Daud dkk
(2018:169) juga memberikan pendapat mengenai tradisi. Mereka
menyatakan bahwa:
Tradisi adalah sesuatu yang diwariskan tidak berarti harus di
terima, dihargai, diasmilasi atau disimpan sampai mati. Tradisi
merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah
berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun
dimulai dari nenek moyang.
Berbicara mengenai tradisi tentu saja terdapat ruang lingkup atau
wujud dari tradisi. Sendra, I Made dkk (2013:8) memberikan batasan
tradisi yaitu berupa kepercayaan dan adat istiadat. Tradisi dapat berupa
kepercayaan atau keyakinan dan perangkat dari suatu sistem
kepercayaan masyarakat. Tidak hanya itu, tradisi juga dapat berupa
adat-istiadat seperti tata cara atau langkah-langkah dalam melaksanakan
suesuatu beserta perangkat atau paeralatan yang dibutuhkan dalam
mengerjakan sesuatu yang sudah turun-temurun keberadannya
Berdasarkan beberapa pengertian tradisi seperti yang telah
diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tardisi merupakan sesuatu
baik berupa keyakinan, adat-istiadat atau tata cara melakukan suatu hal
yang telah dilakukan secara turun-temurun sejak nenek moyang yang
hendaknya kita jaga terutama apabila kita tidak dapat menerimanya.
2. Pengertian Upacara Adat
Sebelum masuk pada pembahasan perihal upacara adat, perlu kita
ketahui bahwa upacara tak hanya terbatas pada upacara-upacara dalam
lingkup pendidikan maupun lembaga pemerintahan. Upacara sendiri
dibedakan menjadi dua yaitu upacara umum dan upacara khusus. Daud
dkk (2018:170) menyatakan bahwa:
Upacara umum adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak
orang di instansi kantor pemerintah untuk memperingati sesuatu
atau karena diadakan acara tertentu. Upacara khusus adalah
upacara yang dilaksanakan secara khusus tanpa membutukan
kehadiran pejabat dan memiliki tata urutan upacara yang tidak
harus lengkap.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa upacara
adat termasuk ke dalam kategori upacara khusus. Dikatakan demikian
karena pelaksanaannya tidak berbentuk formal. Tidak berlangsung di
suatu tempat formal dan tidak membutuhkan kehadiran pejabat.
Berkaitan dengan hal upacara Sendra (2013:8) juga memberikan
definisi bahwa “Upacara merupakan peristiwa-peristiwa resmi, atau
keagamaan yang meliputi tingkah laku yang bersifat tradisi atau bersifat
formal.” Dengan demikian upacara yang meliputi tingkah laku yang
bersifat tradisi dapat dikatakan sebagai upacara tradisional.
Upacara tradisional ternyata juga memiliki fungsi tersendiri bagi
masyarakat. Upacara tradisional dapat digunakan sebagai alat
pemersatu masyarakat dimana komunikasi berperan dalam
pembentukannnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Chalid dkk
(1985:1) dimana upacara tradisional merupakan alat komunikasi antar
manusia maupun penghubung antar dunia nyata dan dunia gaib dengan
menggunakan simbol-simbol, yang mana simbol tersebut muncul
berdasarkan nilai dan cara atau sudut pandang manusia dalam
bermasyarakat.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya upacara tradisional
merupakan upacara adat karena di dalam upacara tradisional
mengandung unsur adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
3. Hakikat Upacara Adat di Jawa
Upacara adat di Indonesia antar masing-masing daerah sangatlah
beragam. Hal tersebut tergantung pada cara pandang dan cara hidup,
serta penyesuaian terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Misalnya
di Jawa yang kaya akan upacara-upacara khas daerah. Pada dasarnya
pelaksanaan upacara tersebut berdasarkan keperluan masyarakat.
Sebagian upacara adat di Jawa juga dilaksanakan berdasarkan
faktor alam. Misalnya sebagai wujud syukur terhadap alam atau wujud
kirim doa untuk keseimbanagn alam, sebagai contohnya adalah upacara
Labuhan Parangkusumo yang merupakan tradisi Kraton Yogyakarta
yang diselenggarakan pada tanggal 30 Rejeb dalam penanggalan Jawa
setiap tahunnya. Upacara tersebut sekaligus merupakan bentuk kirim
doa untuk keseimbangan alam tepatnya untuk gunung Merapi yang
sering kali meletus. Tidak hanya itu, upacara adat di Jawa juga
dilaksanakan sebagai wujud syukur, seperti misalnya wujud syukur
terhadap panen, wujud syukur terhadap kesehatan hewan peliharaan,
wujud syukur terhadap rejeki, baik berupa kesehatan ataupun yang
lainnya.
Upacara adat sebagai wujud syukur terhadap panen contohnya
adalah pada upacara Larung Sesaji Gunung Kelud tepatnya di Kediri
Jawa Timur. Upacara tersebut merupakan bentuk upaya kirim doa
terhadap Tuhan agar diberikan pertanian yang subur dan makmur.
Contoh upacara adat sebagai wujud syukur atas nikmat yang
diberikan Tuhan yaitu upacara adat Mangku Kucing di Desa Purworejo
Kabupaten Pacitan. Upacara adat tersebut sudah ada sejak tahung 1954
dan masih berlangsung hingga saat ini, tepatnya ketika terjadi kemarau
panjang, sebab pada dasarnya upacara Mangku Kucing merupakan
upacara yang dijadikan sebagai media penyampaian doa meminta
hujan. Alasan keberlangsungan upacra adat Mangku Kucing yaitu untuk
menjaga tradisi yang telah turun temurun tersebut.
Selain itu ada juga upacara adat Ngalungi Sapi di Desa Sekarsari,
Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang. Upacara tersebut
berlangsung secara turun temuruh, sehingga telah menjadi tradisi
masyarakat setempat. tradisi Ngalungi Sapi merupakan upaya sebagai
wujud syukur masyarakat setempat atas rezeki yang berupa kesehatan
hewan ternak khusunya sapi dan keberhasilah petani dalam mengolah
lahan, dalam hal tersebut khusunya hasil panen padi.
Sampai saat ini juga masih banyak dijumpai upacara adat di Jawa
yang pelaksanaannya berdasarkan kematian salah satu anggota
keluarga, misalnya selametan kematian yang masih berlangsung di
Desa Jaweng Kabupaten Boyolali. Upacara kematian yang masih sering
dilaksanakan yaitu Surtanah (upacara setelah pemakaman), nelung dina
(upacara setelah tiga hari meninggal), pitung ndinteni (uacara setelah
tujuh hari meninggal), ngawandasa ndinten (upacara setelah empat
puluh hari meninggal), nyatus (upacara setelah seratus hari meninggal),
mendhak pisan (peringatan satu tahun meninggal), mendha kaping kalih
(peringatan setelah dua tahun meinggal), dan nyewu (upacara
peringatan setelah tiga tahun meninggal).Upacara tersebut merupakan
upaya kirim doa untuk anggota keluarga yang sudah meninggal dengan
dihadiri banyak orang, baik tetangga maupun saudara. Wujud kirim doa
tersebut biasanya berupa tahlilan.
Tidak hanya pada peringatan kematian seseorang, di Jawa juga
melaksanakan upacara adat sebagai wujud syukur atas kelahiran bayi,
misalnya seperti yang masih berlangsung di Pati, Jawa Tengah.
Masyarakat Pati hingga saat ini masih melaksanakan tardisi mitoni.
Mitoni sendiri yaitu peringatan tujuh bulanan bagi wanita yang sedang
mengandung, salah satu tujuan dari pelaksanaan tradisi tersebut adalah
untuk mendidik anak sejak dalam kandungan dan juga untuk
mendoakan calon bayi agar kelak dapat tumbuh menjadi anak yang
berbakti, menjadi pribadi yang baik dan terjauh dari mara bahaya. Hal
tersebut seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Ulya pada tahun
2018 di Pati, Jawa Tengah.
Jadi pada dasarnya pelaksanaan upacara adat, khusunya upacara
adat di Jawa sangat fleksibel, sesuai kepentingan masyarakat.
Berdasarkan contoh-contoh upacara adat di Jawa seperti yang telah
diuraikan pada pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa salah satu ciri khas upacara adat di Jawa yaitu dalam setiap
pelaksanaannya dihadiri oleh orang banyak dan merupakan upaya kirim
doa sesuai kepentingan atau tujuan masing-masing yang mana
mayoritas masyarakat menggunakan sesajen sebagai medianya.
Mengenai sesajen sebagai media kirim doa pada mayoritas pelaksanaan
upacara adat di Jawa sejalan dengan pendapat Anam dalam
penelitiannya yang berjudul “Sesaji sebagai Titik Temu Budaya Islam
Jawa Perspektif Masyarakat Desa Ngebong Kecamatan Pakel
Kabupaten Tulungagung” pada tahun 2017.
4. Hakikat Tradisi Tirakatan
Kata tirakatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mempunyai arti menahan hawa nafsu seperti berpuasa atau juga bisa
diartikan mengasingkan diri ke tempat yang sunyi dan juga dapat
diartikan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu. Tirakatan dilakukan
berdasarkan kebutuhan dan tujuan masing-masing individu.
Dalam hal menahan hawa nafsu biasanya dilaksanakan karena
menginginkan suatu hal yang sedang dibutuhkan dalam kehidupan.
Agar hal tersebut terkabul atau terealisasi dalam hidupnya, oleh karena
itu manusia tersebut harus bertirakat dengan cara menahan hawa nafsu,
wujud dari menahan hawa nafsu tersebut biasanya dengan berpuasa
dengan harapan apa yang diminta akan terkabul.
Dalam hal mengasingkan diri ke tempat yang sunyi, hal ini
biasanya juga dilakukan untuk tujuan mendapatkan sesuatu atau hal
yang diinginkan, biasanya keinginan tersebut merupakan keinginan
yang besar, sehingga butuh usaha yang besar untuk mendapatkannya,
oleh karena itu bertirakat mengasingkan diri adalah usahanya.
Dalam hal melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu, hal ini
biasanya berbentuk suatu kegiatan, misalnya saja dalam hal
memperingati hari ulang tahun Republik Indonesia (HUT RI). Untuk
memperingati HUT RI, setiap malam jelang HUT RI atau tepatnya
malam tujuh belas Agustus masyarakat melaksanakan suatu kegiatan
tirakatan dengan berbagai rangakaian atau tahapan dan juga
perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan tersebut.
5. Hakikat Malem Pitulasan
Malem Pitulasan adalah salah satu bagian dari upacara adat di
Jawa yang dilaksanakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun
Republik Indonesia (HUT RI). Tradisi ini masih berlangsung di Jawa,
biarpun tidak semua daerah di Jawa masih aktif menyelenggarakan.
Misalnya saja seperti di Kabupaten Ngawi yang terdiri dari beberapa
kecamatan. Dari beberapa kecamatan tersebut sebenarnya masih ada
beberapa yang masih menyelenggarakan tradisi ini, walaupun dari
beberapa desa yang ada di masing-masing kecamatan tersebut bisa
dihitung mana yang masih melaksanakan tradisi tersebut. Hal ini seperti
yang terjadi di Desa Manisharjo, walaupun terdiri dari beberapa dusun,
namun yang masih aktif menyelenggarkan tradisi hanyalah masyarakat
Dusun Ngariboyo.
6. Hakikat Antropologi Budaya
a. Pengertian Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata anthropos
yang berarti manusia dan logos yang berarti ilmu. Mahjunir (1967:25)
memberikan definisi mengenai antropologi yakni suatu ilmu yang studi
sasarannya berupa manusia dan kebudayaan. Antropologi adalah suatu
ilmu yang mengkaji sifat-sifat manusia, Ihromi (2013:ix) menyatakan
bahwa tidak hanya sifat-sifat manusia yang menjadi kajian antropologi,
melainkan tentang siapa diri (manusia), tentang manusia lain yang
berbeda dengan dirinya. Dengan adanya perbedaan tersebut akan
berpengaruh terhadap cara mereka berinteraksi dengan manusia lain.
Perbedaan cara berinteraksi tersebut akan membentuk suatu pola yang
berwujud kebudayaan dalam masyarakat, sehingga dengan adanya hal
tersebutlah yang membuat kebudayaan dalam masyarakat sangat
melimpah dan beragam.
b. Pengertian Antropologi Budaya
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa antropologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia dan
kebudayaannya. Menurut Warsito (2015:12) antropologi budaya adalah
ilmu yang mempelajari manusia dari segi budayanya. Kebudayaan
terdiri atas bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan,
agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan pekerjaan,
larangan-larangan (Ihromi, 2013:7).
Berdasarkan pengertian di atas mengenai apa yang dimaksud
tentang antropologi budaya, pada kesempatan ini penulis akan mengkaji
tentang salah satu upacara adat di Jawa Timur, yaitu tradisi tirakatan
jelang HUT RI atau malem pitulasan di Dusun Ngariboyo, Desa
Manisharjo, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi dengan
menggunakan pendekatan antropologi budaya.
Pada kesempatan sebelumnya, Verulitasari dan Cahyono telah
melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan antropologi
budaya pada tahun 2016 di Aceh. Hasil penelitian tersebut dimuat
dalam jurnal yang berjudul “Nilai Budaya dalam Pertunjukan Rapai
Geleng Mencerminkan Identitas Budaya Aceh”. Penelitian tersebut
berhasil mengungkap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
pertunjukan Rapai Geleng.
c. Ruang Lingkup Antropologi Budaya
Seiring majunya perkembangan ilmu pengetahuan, antropologi
budaya termasuk salah satu bidang ilmu yang semakin hari semakin
mengalami perkembangan dalam penerapan suatu disiplin ilmu.
Antropologi budaya berkembang menjadi tiga cabang dalam kajiannya.
Ketiga cabang tersebut seperti yang dikemukakan oleh Al Sedais dalam
Kompasiana Beyond Blogging yaitu sebagai berikut:
1) Arkeologi
Arkeologi merupakan salah satu cabang ilmu antropologi
budaya. Siregar berpendapat, “Arkeologi merupakan ilmu yang
mempelajari masa lampau melalui benda yang ditinggalkannya”
(2019:200). Sejalan dengan hal tersebut Ma’aruf (2018:13) juga
menyatakan bahwa ilmu arkeologi itu mempelajari tentang
kebudayaan yang berupa peninggalan yang berwujud benda.
Peninggalan yang berwujud benda dalam hal ini seperti bangunan
yang dahulu digunakan untuk kepentingan hidup atau alat-alat yang
digunakan untuk perlengkapan sehari-hari. Berkaitan dengan
arkeologi, Saputra (2016:1) menyatakan bahwa dalam mengkaji
peninggalan kebudayaan masa lampau tersebut dapat melalui kajian
sistematis yang berupa penemuan, dokumentasi, analisis, dan
interpretasi data berupa artepak contohnya budaya bendawi, kapak
dan bangunan candi. Jadi arkeologi merupakan ilmu yang
mempelajari tentang benda peninggalan manusia di masa lalu yang
dapat dikaji secara sistematis misalnya melalui penemuan
dokumentasi analisis dan interpretasi data.
2) Antropologi Linguistik
Antropologi linguistik merupakan salah satu cabang ilmu
antropologi budaya. Mengenai hal tersebut Astrea memusatkan
pengkajian ilmu antropologi linguistik pada penyebaran bahasa
manusia di seluruh dunia (2017:52). Sejalan dengan hal tersebut,
Suci (2017:5) menambahkan bahwa antropologi linguistik itu
mempelajari asal mula timbulnya bahasa dan variasi bahasa dalam
kurun waktu yang sangat lama, bahkan hingga berabad-abad serta
juga mempelajari peran bahasa dalam masyarakat yang
mempengaruhi cara berkomunikasi manusia sesuai dengan budaya
yang berkembang dalam lingkungannya. Selanjutnya Perangin-angin
dan Sibarani berpendapat bahwa antropologi linguistik terbagi
menjadi tiga, yaitu 1) perfomansi, adalah kemampuan berbahasa
manusia yang ditunjukkan melalui perkataan, 2) indeks, adalah tanda
atau simbol yang digunakan sebagai penunjuk sesuatu dengan
konvensi atau sesuai dengan kesepakatan dan persetujuan
masyarakat, 3) partisipasi, merujuk pada entitas yang terlibat dalam
bahasa, entitas yang terlibat disini adalah unsur kemasyarakatan,
kolektivitas, dan interaktif yang akan membentuk suatu budaya
(2016:65).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antropologi
linguistik merupakan studi tentang bagaimana timbulnya bahasa dan
variasinya, serta bagaimana peran bahasa dalam masyarakat sesuai
kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat tersebut.
Antropologi linguistik terbagi menjadi tiga bidang yaitu perfomansi,
indeks, dan partisipasi.
3) Etnologi
Berbicara mengenai etnologi Murtono dan Ahsin (2019:218)
menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
Etnologi perupakan ilmu tentang unsur atau masalah
kebudayaan suku bangsa dan masyarakat pendidikan suatu
daerah di seluruh dunia secara komparatif dengan tujuan
mendapatkan pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta
penyebaran kebudayaan umat manusian di muka bumi.
Berbicara mengenai etnologi Nur Susanti (2019:4-5) juga
berpendapat bahwa etnologi membahas tentang bangsa, suku bangsa
dan kebudayaannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa etnologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan bangsa
maupun suku bangsa dalam suatu masyarakat.
B. Kerangka Berpikir
Pada dasarnya kerangka berpikir merupakan gambaran peneliti dalam
mengkaji sebuah masalah sebagai objek kajian peneliti. Pada kesempatan
ini peneliti akan mengkaji sebuah tradisi yaitu tradisi tirakatan malem
pitulasan di Dusun Ngariboyo yang di dalamnya termasuk tata cara
pelaksanaan dan makna dari setiap prosesi tersebut. Dengan pengkajian
terhadap tiga komponen tersebut diharapkan dapat mengungkap makna
yang sesungguhnya dari sebuah tradisi tirakatan malem pitulasan. Setelah
itu barulah peneliti berupaya mencari informasi apakah pengkajian
terhadap tradisi tersebut memiliki relevansi sebagai bahan ajar di Sekolah
Menengah Atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah
ini.
Materi Ajar Seblumnya
menggunakan Apa?
Relevansi sebagai
bahan ajar di SMA
Tabel 2.2 Kerangka Berpikir dalam Penelitian tentang Tradisi Tirakatan jelang
HUT RI di Dusun Ngariboyo
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Pendahuluan
Pada tahap ini kegiatan yang peneliti lakukan pertama kali yaitu
penyusunan judul, ketika judul sudah disusun selanjutnya judul
dikonsultasikan kepada pembimbing. Ketika judul sudah disetujui
pembimbing, peneliti segera menyusun proposal. Setelah proposal
selesai peneliti segera konsultasi kepada pembimbing.
2. Pengembangan Instrumen
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan peneliti yaitu menetapkan
instrumen penelitian yang meliputi tujuan penelitian, sumber data
penelitian, teknik sampling, teknik pengumpulan data, teknik uji
validitas data, dan teknik analisis data yang akan digunakan oleh
peneliti dalam melakukan penelitian. Kemudian melakukan seminar
proposal.
3. Pengumpulan Data
Pada tahap ini peneliti melakukan observasi secara langsung di
Dusun Ngariboyo, Desa Manisharjo, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten
Ngawi. Peneliti mengamati makanan apa saja yang tersaji saat bancaan
dan bagaimana langkah-langkah bancaan. Peneliti juga melakukan
wawancara terhadap sesepuh desa berkaitan dengan makanan yang
tersaji saat bancaan, makna filosofis dari setiap makanan tersebut dan
langkah-langkah bancaan termasuk di dalamnya kata atau doa yang
dilantunkan. Peneliti juga melakukan wawancara dengan guru terkait
relevansi kajian terhadap tradisi bancaan sebagai bahan ajar di SMP.
4. Penulisan Laporan
Pada tahap ini peneliti mendeskripsikan apa yang telah diobservasi,
apa yang telah ditanyakan kepada informan. Pendeskripsian tersebut
dituangkan dalam wujud kata-kata. Pendeskripsian ditulis secara
menyeluruh, tidak ada yang dihilangkan, tidak ada yang dikurangi, apa
adanya seperti apa yang telah diperoleh dari observasi dan wawancara.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/daishg/56fe814da123bd2d091a9db5/ruang
-lingkup-antropologi-dan-pentingnya-antropologi?page=all
Alfianika, N. (2018). Buku ajar metode penelitian pengajaran bahasa
Indonesia. Deepublish.
Anam, A. K. (2017). SESAJI SEBAGAI TITIK TEMU BUDAYA ISLAM
JAWA PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA NGEBONG
KECAMATAN PAKEL KABUPATEN TULUNGAGUNG. Diperoleh
pada 29 April 2020, dari
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/6270/
Astrea, K. (2017). HIPOTESIS SAPIR-WHORF DALAM PROSES
TOPONIMI KABUPATEN TUBAN (KAJIAN ANTROPOLOGI
LINGUISTIK). Bahasa dan Sastra Indonesia, 4(1), 49-56. Diperoleh
pada 8 Mei 2020, dari
http://jurnal.appibastra.or.id/index.php/bastra/article/view/100
Baal, J. Van. (1988). Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya
(Hingga Dekade 1970). Jakarta: Gramedia.
Cathrin, S. (2017). Tinjauan Filsafat Kebudayaan Terhadap Upacara Adat
Bersih-Desa Di Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi,
Jawa Timur. Jurnal Filsafat, 27(1), 30-64. Diperoleh pada 18 Maret 2020,
dari
Chalid, S.H, dkk. (1985). Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan
Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Tengah. Sulawesi
Tengah: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Daud, W., Arifin, S., & Dahlan, D. (2018). ANALISIS TUTURAN TRADISI
UPACARA LADUNG BIO’SUKU DAYAK KENYAH LEPO’TAU DI
DESA NAWANG BARU KECAMATAN KAYAN HULU
KABUPATEN MALINAU: KAJIAN FOLKLOR. Ilmu Budaya (Jurnal
Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya), 2(2), 167-174.
Djamarah, S.B & Zain,A. (2010). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Fatimah, R., Arum, P. D. A., Ratnasari, T. A., & Dewi, S. (2019). Nilai-Nilai
Pancasila Dalam Budaya Larung Sesaji Gunung Kelud Sebagai Harapan
Untuk Menciptakan Pertanian Gemah Ripah Loh Jinawi Di Kediri Jawa
Timur. Studi Budaya Nusantara, 3(2), 109-116.
GANJAR NUGRAHA, M. O. C. H. A. M. A. D., & Irianto, D. (2018).
KELAYAKAN MEDIA MINIATUR PONDASI DAN PERANGKAT
PEMBELAJARAN PADA MATA PELAJARAN KONSTRUKSI
BANGUNAN KELAS X TGB DI SMK. Jurnal Kajian Pendidikan
Teknik Bangunan, 2(2/JKPTB/18).
Hamdani. (2011). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka Setia.
Diperoleh pada 15 April 2020, dari
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/6270/
Ihromi, T.O. (Ed). (2013). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Iskandarwassid & Sunendar,D. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Diperoleh pada 20 Maret 2020, dari
journal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/22841
Koentjaraningrat. (1996). Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. (2002). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kusuma, C. N. I. A. N. (2019). Grebeg Maulud sebagai Upacara Labuhan
Gunung Merapi di Yogyakarta.
Mahjunir. (1967). Mengenal Pokok-pokok Antropologi dan Kebudajaan.
Jakarta: Bharata.
Majid,A. (2008). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ma'ruf, A. (2018). Wayang golek sebagai warisan budaya Islam Sunda
perspektif arkeologis: studi protoype, pakem, karakteristik dan ketokohan
(Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
http://digilib.uinsgd.ac.id/id/eprint/15704
Muliani, M., Khaeruman, K., & Dewi, C. A. (2019). Pengembangan
Perangkat Pembelajaran Predict Observe Explain (POE) Berorientasi
Green Chemistry Untuk Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa Pada Materi
Asam Basa. Hydrogen: Jurnal Kependidikan Kimia, 7(1), 37-45.
Murtono, M., & Ahsin, M. N. (2019). PENGEMBANGAN MODEL
PEMBELAJARAN ETNOLINGUISTIK BERBASIS NILAI-NILAI
ISLAM NUSANTARA UNTUK MAHASISWA PGSD. Refleksi
Edukatika: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 9(2). Diperoleh pada 10 Mei
2020, dari
https://jurnal.umk.ac.id/index.php/RE/article/view/3197
Nadia, Z. (2017). Tradisi Tirakatan Bagi Masyarakat Santri Yogyakarta:
Studi atas Tradisi Malam Tirakatan dalam Rangka Tujuh Belas Agustus
pada Masyarakat Kauman dan Mlangi Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Citra
Ilmu, 13(25), 61-76. Diperoleh pada 10 Mei 2020, dari
http://ejournal.stainutmg.ac.id/index.php/JICI/article/view/16
NUR SUSANTI, S. U. R. U. R. I. (2019). Tradhisi Kebo-Keboan ing Desa
Alasmalang lan Tradhisi Keboan ing Desa Aliyan Kabupaten
Banyuwangi. BARADHA, 7(2).
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/baradha/article/view/
28507
Patilima, H. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Perangin-angin, A. B., & Sibarani, R. (2018). Teori Duranti dalam Tradisi
Mengket Rumah Mbaru pada Masyarakat Karo. Jurnal Penelitian
Pendidikan Sosial Humaniora, 1(2), 115-122. Diperoleh pada 10 Mei
2020, dari
http://www.umnaw.ac.id/jurnal/index.php/pendidikan/article/download/
57/50
Pradanta, S. W., Sudardi, B., & Subiyantoro, S. (2015). KAJIAN NILAI-
NILAI BUDAYA JAWA DALAM TRADISI BANCAAAN WETON DI
KOTA SURAKARTA (Sebuah Kajian Simbolisme dalam Budaya Jawa).
LINGUA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 12(2), 155-172.
Purwatiningsih, A. P., Adinugraha, H. H., & Anas, A. (2018). Peran Tingkat
Pendidikan dan Keikutsertaan Kajian Fiqih pada Praktik Filantropi. Al-
Urban: Jurnal Ekonomi Syariah dan Filantropi Islam, 2(1), 24-31.
Raco, J. R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Grasindo.
Rukajat, Ajat. (2018). Pendekatan Penelitian Kualitatif. Deepublish:
Yogyakarta.
Ruswanto, W. (2014). Pengantar Antropologi. Diperoleh pada 30 April 2020,
dari
http://repository.ut.ac.id/4295/2/ISIP4210-TM.pdf
Saputra, M. D. T. (2016). Peta Digital Situs-Situs Arkeologi di Daerah
Yogyakarta (Doctoral dissertation, UII). Diperoleh pada 10 Mei 2020,
dari
https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/3783
Sari, D. A. A. (2017). Selametan Kematian di Desa Jaweng Kabupaten
Boyolali. Haluan Sastra Budaya, 1(2), 147-161.
Sawitri, S. (2017). PAKET MENU MAKANAN KEMBUL BUJANA
(BANCAAN) DI ERA GLOBALISASI SEBAGAI SARANA
PELESTARIAN KULINER PENDIDIKAN KARAKTER. Jurnal
Bahtera-Jurnal Pendidikan Bahasa Sastra dan Budaya, 4(8).
Sendra, I Made, dkk. (2013. Fungsi dan Makna Upacara Ngusaba Gede
Lanang Kapat di Desa Adat Trunyan Kecamatan Kintamani Kbupaten
Bangli. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
SENI, F. P. B. D. BAHAN AJAR ANTROPOLOGI. Diperoleh pada 30 April
2020, dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPSD/JUR._PEND._SENI_RUPA/19650111
1994121-TASWADI/BAHAN_AJAR.pdf
Sholikhah, U. N., & Mardikantoro, H. B. (2020). Satuan-Satuan Lingual
Dalam Tradisi Ngalungi Di Desa Sekarsari Kecamatan Sumber
Kabupaten Rembang. Jurnal Sastra Indonesia, 9(1), 28-37.
Siregar, S. M. (2019). PARADIGMA DALAM ILMU ARKEOLOGI.
ISTORIA: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 15(2). Diperoleh pada 8 Mei
2020, dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/istoria/article/view/26781
Suci, A. P. (2017). POLA BERTUTUR ANAK KEPADA ORANG TUA
(Studi Antropologi Linguistik Pada IV Keluarga Minangkabau di Kota
Solok) (Doctoral dissertation, Universitas Andalas). Diperoleh pada 10
Mei 2020, dari
http://scholar.unand.ac.id/28088/
Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Syarifuddin, D. (2018). PASAR TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF
NILAI DAYA TARIK WISATA. Jurnal Manajemen Resort Dan Leisure,
15(1), 19-32.
Tri, M., Khoiriyah, H., & Ag, M. (2017). NILAI-NILAI KESALEHAN
SOSIAL DALAM TRADISI SUMUR KAWAK DI MASYARAKAT
DUSUN JETAK TANI DUYUNGAN SIDOHARJO SRAGEN
(Doctoral dissertation, IAIN Surakarta).
Typo Online. (2016). Diperoleh pada 8 Mei 2020, dari
https://typoonline.com/kbbi/tirakatan
Ulya, I. (2018). Nilai Pendidikan dalam Tradisi Mitoni: Studi Tradisi
Perempuan Jawa Santri Mendidik Anak dalam Kandungan di Pati, Jawa
Tengah. Edukasia Islamika, 116-130. Diperoleh pada 29 April 2020, dari
Urwatun, N. (2018). Pemanfaatan Barang Bekas sebagai Bahan Ajar (APE)
untuk Meningkatkan Kreatifitas Siswa pada Mata Pelajaran IPA Materi
Pengelompokan Hewan Berdasarkan Makanan. Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo.
Van Peursen, C. A., van Peursen, C. A., & Hartoko, D. (2000). Strategi
kebudayaan. Kanisius.
Verulitasari, E., & Cahyono, A. (2016). Nilai Budaya Dalam Pertunjukan
Rapai Geleng Mencerminkan Identitas Budaya Aceh. Catharsis, 5(1), 41-
47. Diperoleh pada 8 Mei 2020, dari
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/catharsis/article/view/13118
Wardani, T. S. (2017). Upacara Adat Mantu Kucing di Desa Purworejo
Kabupaten Pacitan (Makna Simbolis dan Potensinya Sebagai Sumber
Pembelajaran Sejarah). AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN
PEMBELAJARANNYA, 7(01).
Warsito. (2015). Antropologi Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Widagdho, D. (2015). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Wijaya, H. (2018). Analisis Data Kualitatif Model Spradley (Etnografi).
Wiranata, I. G. A., & SH, M. (2011). Antropologi Budaya. Citra Aditya