laba.laksana@gmail.com fransiska.wawe.ngoramawo@gmail.com
Abstrak
Kata kunci: media, budaya lokal, aktivitas belajar, pemahaman konsep IPA
Abstract
This study aims to improve science learning using media based local genius to
improve the activity of learning and understanding the concept of elementary school
students. This a class action research, performed in Class grade 4 elementary school
Ngoramawo Ngada. The number of subjects are 32 students, which consisted of 14 male
students and 20 female students. Data collected used observation and test of understanding
science concepts. The research was conducted in June 2013. Data analyzed by descriptively
to describe the activity of learning and students' understanding of science concepts.
Research findings of science learning with the help of the media, especially the local genius
media showed satisfactory results. Accompanied learning activity increased by strengthening
students' understanding of science concepts. Based on observation of student learning
activities and understanding of science concepts, gained an average understanding of
science concepts cycle I reached was 70.44 with a percentage of 70.59% classical
completeness. While the observation of student learning activities first cycle with an average
score of 74.82. This score is in the category of less active. While the average achieved
understanding of science concepts cycle II reached was 80.59 with a percentage of 88.24%
classical completeness. While the observation of student learning activities first cycle with an
average score of 82.23. This score is in the active category.
PENDAHULUAN
Dalam standar isi Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 mengisyaratkan
dalam proses pembelajaran, guru harus menyusun bahan ajar yang kontekstual sesuai
dengan kebutuhan dan lingkungan masyarakat setempat (Depdiknas, 2003). Apalagi
pembelajaran yang dilakukan di sekolah dasar, sesuai dengan teori perkembangan Piaget,
bahwa anak usia 7-10 tahun (masa operasional konkret) harus belajar dari pengalaman yang
bersifat nyata untuk bisa dipahamai dan dimengerti dengan baik oleh siswa (Bredekamp &
Copple, 1997). Penguatan dari teori belajar ini dituangkan kembali oleh pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan uji publik sebagai pijakan lanjutan
dalam mengimplementasikan kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013. Esensi kurikulum ini
pada pendidikan dasar adalah penerapan pembelajaran dengan pendekatan tematik
integratif (pembelajaran terintegrasi) untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna
(Bafadal, 2013).
Pembelajaran bermakna akan dapat diperoleh jika anak belajar sesuai dengan
lingkungan sosialnya. Sehingga unsur budaya tidak bisa direduksi dalam merancang sebuah
pembelajaran di sekolah. Selain itu, dalam kerangka kurikulum 2013 juga disebutkan bahwa
dalam menyusun dan mengembangkan kegiatan pembelajaran harus memperhatikan
prinsip-prinsip penyusunan dan pengembangan sesuai dengan kondisi di satuan pendidikan
baik kemampuan awal peserta didik, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan
sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya,
norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik (Kemendikbud, 2013).
Pembelajaran terintegrasi merupakan pendekatan pembelajaran yang
mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran. Pengintegrasian
tersebut dilakukan dalam 2 (dua) hal, yaitu integrasi sikap, kemampuan/keterampilan dan
pengetahuan dalam proses pembelajaran serta pengintegrasian berbagai konsep dasar yang
berkaitan. Tema memberikan makna kepada konsep dasar tersebut sehingga peserta didik
tidak mempelajari konsep dasar tanpa terkait dengan kehidupan nyata. Dengan demikian,
pembelajaran memberikan makna nyata kepada peserta didik.Tema yang dipilih berkenaan
dengan alam dan kehidupan manusia. Keduanya adalah pemberi makna yang substansial
terhadap bahasa, PPKn, matematika dan seni budaya karena keduanya adalah lingkungan
nyata dimana peserta didik dan masyarakat hidup (Fogarty, 1991).
Namun pada prakteknya di lapangan, pembelajaran yang terjadi di Kabupaten Ngada
lebih umumnya di wilayah NTT masih banyak mengedepankan fungsi guru sebagai nakhoda
utama dan satu-satunya dalam kelas. Apalagi pada sekolah-sekolah yang berada di daerah
pinggiran. Sarana dan prasarana yang tersedia sangat minim. Selain itu, kegiatan
pembelajaran belum memanfaatkan teknologi informasi sebagai media pengantar
sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum 2013. Siswa yang bersekolah rata-rata berasal
dari keluarga menengah ke bawah. Sehingga guru hanya memanfaatkan buku sebagai
media dalam pembelajaran (Laksana, 2014).
Realitanya masih banyak guru yang menggunakan bahan ajar yang sudah jadi
seperti Buku Elektronik yang telah disediakan oleh pemerintah atau LKS yang merupakan
hasil dari suatu penerbit yang mungkin tidak sesuai dengan lingkungan di mana siswa
tersebut belajar. Kondisi ini tentunya dapat mempersulit siswa dalam memahami materi yang
seharusnya mereka kuasai. Bahan ajar cetak kurang mengedepankan unsur lingkungan dan
budaya lokal masyarakat setempat (Laksana, 2014). Sehingga guru sebagai pendidik yang
profesional harus menyiapkan media ajar. Media ajar tersebut harus memperhatikan kondisi
lingkungan dan budaya masyarakat setempat dan mengakomodasi teknologi pembelajaran.
Selain itu hasil temuan Laksana (2013) memperlihatkan pemahaman konsep IPA guru-guru
di Ngada masih rendah. Rata-rata pemahaman konsep ada pada kategori sedang. Bahkan
ditemukan, konsep-konsep IPA diajarkan dengan keliru sehingga menimbulkan miskonsepsi
pada siswa.
Selain itu, penggunaan bahan ajar jadi ini, tidak mengedepankan unsur budaya lokal.
Padahal unsur ini sangat penting untuk dimasukkan ke dalam proses pembelajaran melalui
penyusunan bahan ajar yang memiliki konten budaya lokal. Beberapa kearifan lokal yang
bisa masuk dalam konten pembelajaran antara lain: 1) Reba, yaitu rumah adat sebagai
bahan pembelajaran menjaga keseimbangan makluk hidup dan lingkungan, pemanfaatan
sumber daya alam. 2) Nalo-nalo, yaitu: konsep gotong royong. 3) Kasao, yaitu: tari jai
sebagai bahan gerakan dasar melompat, berputar, gerak. 4) Moke, yaitu: pembelajaran
perubahan wujud zat (menguap, mengembun, konsep volumen, debit). 5) Hui Wuu, yaitu:
sistem pengawetan daging dengan cara khas ngada (Laksana, 2014).
Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu diadakan inovasi dengan cara
memperbaiki pola pembelajaran agar dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Salah satu
inovasi tersebut adalah dengan memanfaatkan media ajar berbasis budaya lokal. Media
tersebut dapat berupa lembar kerja siswa berbasis budaya lokal. Lembar Kerja Siswa
merupakan lembaran kerja bagi siswa baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun kokurikuler
untuk mempermudah pemahaman terhadap materi pelajaran yang didapat Azhar (2006).
Dalam lembar kerja siswa akan mendapatkan uraian materi, tugas, dan latihan yang
berkaitan dengan materi yang diberikan. Di samping itu, penggunaan lembar kerja siswa
berbasis budaya lokal adalah untuk membantu siswa memahami makna materi ajar dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari yang ada dilingkungan terdekat siswa.
METODE PENELITIAN
Penelitian dirancang dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas yang bertujuan untuk
meningkatkan dan memperbaiki aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA siswa pada
kelas yang mempunyai permasalahan dalam pembelajaran. Penelitian dilaksanakan dalam
dua siklus di mana setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu tahap perencanaan tindakan,
pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi, serta refleksi (Kemmis & Taggart, 1990).
Penelitian dilaksanakan di SDI Ngoramawo, di mana siswa kelas IV dipilih untuk
menjadi subjeknya. Subjek yang digunakan sebanyak 34 siswa dengan rincian 14 siswa laki-
laki dan 20 siswa perempuan. Bentuk keterlibatan peneliti dalam penelitian ini adalah bentuk
kolaborasi antara peneliti dengan guru kelas yang mengajar mata pelajaran IPA kelas IV.
Objek dalam penelitian ini adalah, 1) objek tindakan yaitu pembelajaran dengan
menggunakan media berbasis budaya lokal, 2) objek dampak yaitu pemahaman konsep IPA
dan aktivitas belajar siswa. Pembelajara IPA dilakukan pada materi sumber daya alam.
Pada tahap Pelaksanaan Tindakan guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
RPP yang telah disusun dan disepakati pada tahap perencanaan. Kemudian peneliti
melakukan observasi yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai aktivitas
belajar selama kegiatan pembelajaran berlangsung dan memberikan tes pemahaman
konsep IPA. Langkah-langkah pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini
disesuaikan dengan sintaks pembelajaran langsung dengan menggunakan media LKS
berbasis budaya lokal.
Pelaksanaan pembelajaran pada tiap siklus diawali dengan menyampaikan indikator
dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai serta memberikan apersepsi dan motivasi
kepada siswa. Pada kegiatan inti dilakukan, 1) pembagian kelompok secara heterogen dan
pembagian LKS berbasis budaya lokal, 2) observasi yaitu beberapa orang murid
menyebutkan contoh sumber daya alam yang dapat diperbarui yang berada di lingkungan
sekolah siswa, 3) presentasi yaitu memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk
menyampaikan hasil pengamatan yang telah dilakukan, dan 4) diskusi secara klasikal.
Langkah terakhir setelah dilaksanakan pembelajaran yaitu mengerjakan soal tes bagian
akhir yang berupa pilihan ganda dan isian berstruktur untuk mengetahui seberapa besar
aktivitas belajar dan pemahaman konsep IPA setelah menggunakan lembar kerja siswa
berbasis budaya lokal sebagai sumber belajar.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk menperolah data aktivitas belajar dan
pemahaman konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
pembelajaran. Tes akhir siklus I terdiri dari 10 (sepuluh) soal pilihan ganda dan 5 (lima) soal
isian.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa dan pemahaman
konsep IPA, diperoleh rata-rata pemahaman konsep IPA siklus I mencapai adalah 70,44
dengan persentase ketuntasan klasikalnya 70,59%. Sedangkan hasil observasi aktivitas
belajar siswa siklus I dengan rata-rata skor 74,82. Skor ini ada pada kategori kurang aktif.
Hasil refleksi siklus I menemukan beberapa hambatan dalam pembelajaran sehingga
belum mendapatkan hasil sesuai dengan indicator pencapaian penelitian. Hambatan-
hambatan yang dihadapi dalam proses pembelajaran siklus I antara lain. 1) Pemanfaatan
lembar kerja siswa berbasis budaya lokal dalam proses pembelajaran belum optimal. Hal ini
disebabkan karena siswa belum terbiasa dengan lembar kerja siswa yang berbasis budaya
lokal dalam kegiatan pembelajaran. Ini terlihat ketika siswa diberikan kebebasan untuk
belajar secara nyata dilingkungan sekolah, siswa masih terlihat bingung dan ragu untuk
melakukan kegiatan belajar di lingkungan sekolah. 2) Kegiatan diskusi kelompok yang masih
didominasi oleh beberapa siswa yaitu siswa yang pandai. Interaksi dalam karya kelompok
baru terlihat ketika siswa dalam kelompok belum mengerti tugas kelompok yang diberikan.
Sehingga siswa cenderung terlihat bekerja sendiri-sendiri dengan sedikit interaksi untuk
membahas tugas kerja kelompok yang diberikan. 3) Kurang adanya kemauan siswa untuk
mengajukan atau menjawab pertanyaan. 4) Siswa masih kurang mampu menyampaikan
simpulan materi yang telah dipelajari dengan bahasa yang baik dan benar.
Deskripsi pembelajaran siklus II
Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan dengan materi sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui. Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan dengan memperhatikan
hambatan-hambatan yang terjadi pada pembelajaran sebelumnya. Perbaikan yang dilakukan
pada siklus II adalah sebagai berikut. 1) Memberikan penjelasan kepada siswa mengenai
kegiatan pembelajaran yang dilakukan sebelum pembelajaran berlangsung. Berdasarkan
kegiatan tersebut siswa memiliki kesiapan dalam mengikuti pembelajaran dengan
pemanfaatan media LKS berbasis budaya lokal. 2) Agar kegiatan pembelajaran tidak
dominasi oleh siswa yang pandai dalam kerja kelompok siswa dikelompokan secara merata.
Setiap anggota kelompok diarahkan untuk mengerti hasil dari kerja kelompok yang telah
mereka kerjakan secara bersama-sama. 3) Guru membimbing siswa dalam menjawab
pertanyaan ataupun mengajukan pertanyaan. Hal ini dilakukan adalah dengan mengaitkan
kembali penjelasan yang telah disampaikan dan memberikan kesempatan kepada siswa
yang kurang aktif untuk menjawab pertanyaan dan mengulang kembali jawaban yang telah
disampaikan oleh temannya. 4) Guru memberikan contoh nyata dalam menyimpulkan materi
yang telah dipelajari dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar.
disertai dengan penguatan pemahaman konsep IPA siswa. Melalui pemanfaatan media
berbasis budaya lokal ini terlihat hubungan siswa dengan guru sangat signifikan karena guru
tidak dianggap sosok yang menakutkan, tetapi sebagai fasilitator dan mitra untuk berbagi
pengalaman. Guru hanya mengarahkan strategi yang efektif dan efisien yaitu bagaimana
cara belajar dalam hal ini guru hanya sebagai pemberi arah/petunjuk untuk membantu siswa
jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan lembar kerja siswa yang berbasis budaya
lokal.
Studi para ahli yang telah menghasilkan temuan bagaimana memperkuat
pembelajaran sains melalui budaya lokal pada kehidupan tematik dan lingkungan. Untuk
hidup dalam komunitas mereka, belajar IPA harus mengembangkan kemampuan untuk
memecahkan masalah, berpikir global bertindak lokal, dan membawa ilmu pengetahuan
untuk melayani hidup (Hadzigeorgiou & Konsolas, 2001).
Hal ini didukung pula oleh temuan Nuangchalerm (2008) yang menyatakan bahwa
lingkungan belajar IPA berdasarkan budaya lokal dapat melayani siswa dalam membangun
pengetahuan ilmiah. Siswa dapat mengkombinasikan pengetahuan ilmiah dari budaya
mereka sendiri dengan penyelidikan yang mereka lakukan. Belajar harus memiliki
keseimbangan antara pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah modern. Siswa dapat
belajar dan memahami hal-hal penting untuk melayani kebutuhan riil mereka. Mereka dapat
melestarikan lingkungan dan hidup bersama dengan alam melalui budaya lokal mereka
masing-masing (Na Thalang, 1991).
Studi yang terkait bagaimana penguatan belajar IPA melalui budaya lokal. Ini
memberikan cara untuk mengenalkan pembelajaran IPA dan studi budaya lokal. Guru dapat
membawa suasana tersebut ke dalam kelas dengan menciptakan kurikulum pendidikan
berdasarkan sekolah dan konteks budaya masyarakat setempat. Peserta didik akan
membangun pengetahuan tentang dunia alam dan fisik. Budaya lokal dan IPA tidak bisa
lepas dari kehidupan sehari-hari. Hal ini seiring dengan cara berkomunikasi, berlatih, dan
berpikir mereka (Kawagley et al., 1998).
Melalui pembelajaran berbasis budaya lokal, siswa bukan sekedar meniru atau
menerima saja informasi yang disampaikan tetapi siswa menciptakan makna, pemahaman,
dan arti dari informasi yang diperolehnya. Transformasi menjadi kunci dari penciptaan makna
dan pengembangan pengetahuan. Dimana proses pembelajaran berbasis budaya lokal
bukan sekedar mentransfer atau menyampaikan budaya atau perwujudan budaya tetapi
menggunakan budaya lokal untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna,
menembus batas imajinasi dan kreativitas untuk mencapai pemahaman yang mendalam
tentang mata pelajaran yang dipelajarinya.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, terlihat adanya perubahan pembejaran yang
awalnya berpusat pada guru menjadi lebih memberikan kebebasan siswa belajar, bertanya
dan mengemukakan pendapat dalam pembelajaran. Siswa mampu mempelajari konsep baru
melalui budaya sehari-hari.
Pembelajaran IPA dapat memanfaatkan media LSK berbasis budaya lokal sebagai
salah satu alternatif strategi penyampaian materi di sekolah dasar. Melalui memanfaatkan
lembar kerja siswa berbasis budaya lokal guru dapat dengan mudah merespon potensi
siswa. Dengan demikian guru dapat lebih efektif dan efisien dalam melakukan kegiatan
proses belajar, serta dengan mudah dapat merespons perbedaan-perbedaan potensi yang
dimiliki peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Bafadal, I. (2013). Panduan Teknis Pembelajaran Tematik Terpadu dengan Pendekatan
Saintifik di Sekolah Dasar. Jakarta: Kemendikbud.
Bredekamp, S.,& Copple, C. (1997). Developmentally appropriate practice in early childhood
program (Rev. Ed.) Washinton, DC: National Association for the Education of Young
Children
Fogarty, R. (1991). Ten ways to integrated curriculum. Educational Leadership, Oktober
1991 , 61-65.
Hadzigeorgiou, Y. and Konsolas, M. (2001). Global Problems and the Curriculum: Toward a
Humanistic and Constructivist Science Education. Curriculum and Teaching. 16(2): 39-
49.
Kawagley, A.O., Norris-Tull, D. and Norris-Tull, R.A. (1998). The Indigenous Worldview of
Yupiaq Culture: Its Scientific Nature and Relevance to the Practice and Teaching of
Science. Journal of Research in Science Teaching. 35(2): 133-144.
Kemmis, S. & Taggart, R. (1990). The Action Research Planner. Melbourne: Deakin
University.
Laksana, D.N.L. (2013). Profil Pemahaman Konsep IPA Guru-Guru Kelas Sekolah Dasar di
Kabupaten Ngada. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti, 1(1), 15-26.
Laksana, D.N.L. (2014). Identifikasi Konten dan Konteks Kearifan Lokal Masyarakat Ngada
untuk Diintegrasikan dalam Bahan Ajar Tematik SD Kelas IV. Laporan Penelitian (tidak
diterbitkan). Program Studi PGSD, STKIP Citra Bakti Ngada.
Na Thalang, E. Education and Culture. In Na Thalang, E. (1991). Cultural Understanding.
Bangkok : Amarint Printing Group. (in Thai)
Nuangchalerm, P. (2008). Reinforcement of Science Learning through Lokal Culture: A
Delphi Study. [online]. http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED501192.pdf diunduh tanggal 18
Pebruari 2015.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 tentang Standar Pendidikan
Indonesia. Jakarta: Lembaran Negara.