Anda di halaman 1dari 36

PENDIDIKAN KARAKTER BAGI REMAJA

MELALUI SENI REYOG PONOROGO


(STUDI KASUS DI DESA SURU KECAMATAN SOOKO KABUPATEN
PONOROGO)

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH
INDAH AYU FEBRI LESTARI
NIM 180141601603

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
NOVEMBER 2021
KATA
PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. karena atas berkah,
rahmat, serta karunia-Nya, sehingga proposal skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Proposal skripsi ini disusun sebagai pemenuhan tugas akhir
dari mata kuliah Seminar Proposal dan salah satu syarat dalam menyelesaikan
program Sarjana Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Malang. Penulisan
proposal skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Pof. Dr. Bambang Budi Wiyono, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Malang yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian.
2. Dr. Zulkarnain Nasution, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Luar
Sekolah Universitas Negeri Malang yang telah memberikan dorongan untuk
menyelesaikan proposal skripsi.
3. Drs. H. Moh. Ishom, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus
pembimbing I dan Dr. Ica Purnamasari, M.Pd. yang telah memberikan
motivasi, bimbingan, masukan, dan arahan dalam menyelesaikan proposal
skripsi ini.
4. Prof. Dr. Supriyono, M.Pd., selaku Dosen Mata Kuliah Seminar Proposal
yang telah memberikan masukan dan arahan dalam menguji proposal skripsi.
5. Orang tua, keluarga, dan teman-teman seperjuangan yang sangat saya sayangi
yang tak henti-hentinya mendoakan dan menyemangati saya.

Malang, 1 November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Krisis yang melanda Indonesia bukan hanya dari sektor ekonomi dan
lingkungan yang semakin rusak, tetapi juga merosotnya jati diri sebagai bangsa.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia hanya tinggal nama, tidak lagi
menjadi ideologi masyarakatnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kondisi
tersebut diperparah oleh terjadinya krisis kebudayaan, kebudayaan tidak hanya
sebatas pada seni dan tradisi belaka tetapi juga mencakup berbagai ide dan
perilaku pada warga masyarakatnya. Pertikaian antara sesama anak bangsa
semakin menjadi-jadi. Berbagai tindak kekerasan, korupsi, kolusi, dan nepotisme
semakin meningkat. Sikap rukun dan hormat sebagai budaya luhur bangsa
semakin luntur. Persoalan-persoalan tersebut tidak hanya terjadi di lapisan elit
politik tetapi juga telah merambah di kalangan masyarakat. Berkaitan dengan hal
tersebut, muncullah pertanyaan, mengapa bangsa yang memiliki warisan nilai
luhur budaya adiluhung masih mengalami krisis yang sangat mengkhawatirkan,
apalagi krisis tersebut lebih disebabkan oleh persoalan nilai budaya.

Pembangunan watak bangsa terutama bagi anak usia remaja sangat


diperlukan di era globalisasi saat ini. Masa remaja merupakan masa peralihan dari
anak menuju dewasa. Kondisi globalisasi saat ini akan sangat mempengaruhi
karakter remaja dalam menentukan arah dan langkah mereka. Di era globalisasi
dengan mudahnya berbagai informasi dari berbagai penjuru dunia dapat diterima
dan ketidakmampuan remaja dalam menyaring berbagai informasi tersebut.
Dalam kesehariannya banyak remaja baik dari ucapan, sikap, dan perilaku tidak
mencerminkan karakter bangsa Indonesia. Lebih fantastis lagi, sering terjadi pula
sekolah-sekolah dapat melahirkan manusia cerdas tetapi kurang memiliki
kesadaran mengenai pentingnya nilai-nilai moral dan sopan santun dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat dari maraknya kasus kenakalan remaja
seperti tawuran, pergaulan bebas, bullying, alkohol, dan masih banyak lagi.

Pendidikan tidak boleh lebih mendahulukan dimensi kognitif dan lalai akan
dimensi afektif (humaniora). Dengan kata lain, prestasi lebih diutamakan dan

3
pembinaan manusia dilalaikan. Karakter bangsa yang lemah merupakan akibat
lebih dominannya kognitif daripada afektif. Padahal, bangsa yang maju adalah
bangsa yang berkarakter kuat. Pendidikan karakter bersumbangasih besar bagi
pembangunan bangsa yang kokoh. Pendidikan karakter yang kuat ditunjukkan
melalui sikap tertib aturan, menghormati orang lain, mandiri, perhatian dan kasih
sayang, adil, bertanggung jawab, dan mendahulukan kepentingan khalayak
daripada kepentingan pribadi.

Gencarnya desakan dan dorongan dari masyarakat tentang pendidikan


karakter dalam pendidikan nasional menunjukkan ketidakpuasan masyarakat
tentang kualitas lembaga pendidikan. Berlatar belakang dari hal inilah, diharapkan
lingkungan masyarakat termasuk segala organisasi dan komunitas yang ada
didalam masyarakat ikut berperan aktif dalam mengimplementasikan dan
mengembangan pendidikan karakter terutama bagi para remaja. Dalam konteks
ini, seni reyog tidak hanya berperan sebagai sebuah hiburan semata bagi
masyarakatnya, melainkan juga menjadi media dan sanggar seni reyog yang
menjadi wadah untuk berlangsungnya pendidikan karakter. Dengan demikian,
diharapkan pendidikan karakter yang kurang didapatkan pada sekolah formal
dapat teratasi dengan adanya sanggar khususnya dengan seni reyog tersebut.

Berpijak pada latar belakang yang telah dideskripsikan di atas, maka peneliti
memfokuskan permasalahan pada: (1) apa saja nilai-nilai karakter yang diterapkan
di sanggar seni reyog di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru? (2) Bagaimana proses
pembelajaran seni reyog di sanggar-sanggar di Desa Suru sebagai sarana
menanamkan pendidikan karakter? 3) Apa saja hambatan dalam praktik
pendidikan karakter melalui pembelajaran seni reyog di sanggar-sanggar di Desa
Suru?

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut:
1. Apa saja nilai-nilai karakter yang diterapkan di sanggar seni reyog di Dukuh
Gunung Tukul Desa Suru?
2. Bagaimana proses pembelajaran seni reyog di sanggar seni reyog di Dukuh

4
Gunung Tukul Desa Suru sebagai sarana menanamkan pendidikan karakter?
3. Apa saja hambatan dalam praktik pendidikan karakter melalui pembelajaran
seni reyog di sanggar seni reyog di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai karakter yang diterapkan di


sanggar seni reyog di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses pembelajaran seni reyog di
sanggar seni reyog di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru sebagai sarana
menanamkan pendidikan karakter bagi remaja.
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hambatan dalam praktik pendidikan
karakter bagi remaja melalui pembelajaran seni reyog di sanggar seni reyog di
Dukuh Gunung Tukul Desa Suru.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai


masukan pengetahuan maupun literatur ilmiah yang dapat digunakan sebagai
kajian bagi para akademisi maupun praktisi Pendidikan Luar Sekolah, khususnya
mengenai pendidikan karakter bagi remaja melalui seni reyog di sanggar seni
reyog di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru Kecamatan Sooko Kabupaten
Ponorogo.
1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan evaluasi


mengenai pendidikan karakter bagi remaja melalui seni reyog yang terjadi di
sanggar seni reyog di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru Kecamatan Sooko
Kabupaten Ponorogo.
1.4.2.2 Bagi Pembaca
Melalui penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai pendidikan

5
karakter bagi remaja melalui seni reyog yang terjadi di sanggar seni reyog di
Dukuh Gunung Tukul Desa Suru Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo.

1.4.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan
dan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai pendidikan karakter bagi remaja
melalui seni reyog Ponorogo.

1.5 Definisi Operasional

a. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan sebuah inovasi pendidikan untuk mengatasi
permasalahan karakter di Indonesia dan sebagai bentuk reformasi pendidikan
yang perlu dilaksanakan di semua jalur pendidikan baik di jalur fomal, nonformal,
dan informal. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada
pendidikan moral. Karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan
benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan tentang hal-hal baik dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga anak atau peserta didik memiliki kesadaran,
pemahaman, dan kepedulian serta komitmen tinggi untuk menerapkan kebajikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, karakter selanjutnya merupakan
sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang diwujudkan
dalam tindakan nyata melalui perilaku baik, tanggung jawab, jujur, menghormati
orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya.
b. Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kehidupan anak-anak
dan masa kehidupan dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan fisiologis dan psikologis. Secara fisiologis ditandai dengan
bertambahnya berat dan tinggi badan, tulang dan otot menjadi lebih kuat serta
perubahan lainnya yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis.
Sedangkan secara psikologis ditandai dengan sikap dan perasaan, keinginan dan
emosi yang labil dan tidak menentu. Selain itu, masa remaja ditandai dengan
berbagai karakteristik penting lainnya meliputi pencapaian hubungan yang
matang dengan teman sebaya, menerima keadaan fisik dan mampu
menggunakannya secara efektif, dapat menerima dan menjalankan peran sosial

6
sebagai pria dan wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, memilih
dan mempersiapkan karier dimasa depan dan lain sebagainya.

c. Seni Reyog Ponorogo


Reyog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Kabupaten
Ponorogo Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Ponorogo terkenal dengan sebutan
“Kota Reyog” atau “Bumi Reyog”. Hal ini karena di kota ini kesenian Reyog
lahir, tumbuh, dan berkembang hingga saat ini. Reyog adalah salah satu budaya
daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik
dan ilmu kebatinan yang kuat. Seni reyog terdiri dari beberapa tokoh,
diantaranya yaitu Warok, Singo Barong (Dhadak merak), Bujang Ganong, Jathil,
dan Klono Sewandono.

7
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pendidikan Karakter


2.1.1 Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat terlepaskan dalam kehidupan
manusia. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jalur pendidikan terdiri dari
pendidikan formal, nonformal, dan informal yang saling melengkapi satu dengan
yang lainnya (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
Beberapa orang ahli mengartikan pendidikan ialah suatu proses pengubahan
sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam mendewasakan
melalui pengajaran dan latihan. Menurut Umar Tirtarahardja & La Sulo (1994)
pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistematik terarah
kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Sistematis oleh karena proses
pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap berkesinambungan (prosedural), dan
sistematik oleh karena berlangsung dalam semua situasi kondisi disemua
lingkungan yang saling mengisi (lingkungan ruma, sekolah, dan masyarakat).
Sedangkan menurut Wiji Suwarno (2017) pendidikan mengandung pembinaan
kepribadian, pengembangan kemampuan atau potensi yang perlu dikembangkan,
peningkatan kemampuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan ke arah mana
peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin.
Dalam pengertian yang sederhana, makna pendidikan adalah sebagai usaha
manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani
dan rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pendidikan

8
tersebut akan menimbulkan pengaruh dinamis dalam perkembangannya baik
jasmani maupun rohani (perasaan-perasaan sosial dan lain sebagainya) sebagai
suatu proses pengalaman yang sedang dialami.
Sedangkan karakter adalah akhlak atau kepribadian yang melekat pada diri
seseorang, dimulai dengan kesadaran seseorang pada keseluruhan tata perilaku
dan bertindak berdasarkan nilai moral yang berlaku di lingkungan tempat
tinggalnya. Pada umumnya karakter dikaitkan dengan watak, akhlak atau budi
pekerti yang dimiliki individu sebagai jati diri yang membedakannya dengan
individu lain (Sofyan dkk, 2018). Menurut Scerenko (1997) karakter sebagai
atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan
kompleksitas mental dari seseorang, kelompok atau bangsa (dalam Muchlas S. &
Hariyanto, 2013). Karakter dimaknai sebagai ciri khas yang dimiliki oleh suatu
benda atau seorang individu yang bersifat asli dan mengakar pada kepribadian
individu tersebut serta menjadi mesin pendorong untuk bagaimana seseorang
bersikap, bertindak, berujar dan merespon suatu hal. Ciri khas tersebutlah yang
diingat oleh orang lain tentang orang tersebut dan menentukan suka tidaknya
mereka terhadap sang individu. Dari uraian tersebut, karakter dipandang sebagai
cara berfikir setiap individu untuk mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan
dalam sebuah tindakan dan perilaku sehingga menjadi ciri khas bagi setiap
individu.
Menurut Thomas Lickona (1991) pendidikan karakter adalah pendidikan
untuk membentuk kepribadian seorang individu melalui pendidikan budi pekerti
yang hasilnya dapat dilihat dalam tindakan nyata individu tersebut, seperti tingkah
laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, kerja keras, menghormati hak orang
lain, dan lain sebagainya. Elkind dan Sweet (2004) juga mengemukakan
pendapatnya mengenai pendidikan karakter, menurutnya, pendidikan karakter
merupakan upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli
dan inti atas nilai-niai etis/susila. Dimana kita berpikir tentang bermacam-macam
karakter dan kita mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat peduli tentang
apa itu kebenaran/hak-hak, dan kemudian melakukan apa yang kita percaya
bahkan dalam menghadapi tekanan dari tanpa dan dalam godaan/tekanan (dalam
Heri Gunawan, 2012). Menurut Scerenko (1997) pendidikan karakter dapat

9
dimaknai sebagai upaya yang sungguh-sungguh dimana ciri kepribadian positif
didorong dan dikembangkan serta diberdayakan melalui keteladanan, kajian
(sejarah, dan biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi (usaha
maksimal unyuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan dipelajari
(dalam Muchlas S. & Hariyanto, 2013).
Sedangkan menurut Ramli (2003) pendidikan karakter memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah untuk membentuk pribadi seorang individu supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia
yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat/negaranya secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia itu sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi muda (dalam
Heri Gunawan, 2012).
Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan suatu usaha sadar dan
terencana untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kebaikan dalam
rangka memanusiakan manusia agar tercipta generasi berilmu dan berkarakter
yang dapat memberikan kebermanfaatan bagi lingkungan sekitar. Dalam
prosesnya, pendidikan karakter tidaklah instan, melainkan melalui usaha yang
terus menerus (pembiasaan).
2.1.2 Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter
Tidaklah sulit menemukan nilai-nilai luhur pendidikan karakter dalam
budaya kita, karena bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung
adat dan budaya luhur ketimuran. Nilai-nilai karakter itu dapat ditemukan dalam
adat dan budaya hampir disetiap suku bangsa di Indonesia. Nilai-nilai luhur itu
merupakan aspek utama yang diinternalisasikan kepada peserta didiknya melalui
pendidikan karakter. Menurut Djahiri (dalam Heri Gunawan, 2012) mengatakan
bahwa nilai adalah suatu jenis kepercayaan, yang letaknya berpusat pada sistem
kepercayaan seseorang, tentang bagaimana seseorang sepatutnya atau tidak
sepatutnya dalam melakukan sesuatu, atau tentang apa yang berharga dan tidak

10
berharga untuk dicapai. Sedangkan menurut Heri Gunawan (2007) nilai
merupakan rujukan untuk bertindak. Nilai merupakan standar untuk
mempertimbangkan dan meraih perilaku tentang baik atau tidak baik dilakukan.
Lokalitas menjadi penting dikedepankan dalam pendidikan karakter agar
peserta didik tidak tercabut dari akar dan budayanya. Sebagai contoh dalam
masyarakat Jawa nilai-nilai “adiluhung” dalam adat dan budaya Jawa seperti tepo
seliro, menghormati orang yang lebih tua, menghormati alam dan lingkungan
hidup, dan sebagainya hendaknya lebih diutamakan untuk internalisasikan kepada
peserta didik.
Melansir dari Kemendikbud (2017) melalui kebijakan Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) memprioritaskan pada lima nilai utama karakter
dengan mengacu kepada Pancasila. Adapun kelima nilai utama yang dimaksud
antara lain, yaitu:
1. Nilai karakter religius, mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha
Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan
kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi
sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup
rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Implementasi nilai karakter
religius ini ditunjukkan dalam sikap cinta damai, toleransi, menghargai
perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama
antar pemeluk agama dan kepercayaan, anti perundungan dan kekerasan,
persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan,
melindungi yang kecil dan tersisih.
2. Nilai karakter nasionalis, merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa,
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. Sikap nasionalis ditunjukkan melalui sikap apresiasi budaya
bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, dan
berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin,
menghormati keragaman budaya, suku, dan agama.
3. Adapun nilai karakter integritas, merupakan nilai yang mendasari perilaku

11
yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, memiliki komitmen
dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Karakter integritas
meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam
kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan
kebenaran. Seseorang yang berintegritas juga menghargai martabat individu
(terutama penyandang disabilitas), serta mampu menunjukkan keteladanan.
4. Nilai karakter mandiri, merupakan sikap dan perilaku tidak bergantung pada
orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu untuk
merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Siswa yang mandiri memiliki etos
kerja yang baik, tangguh, berdaya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan
menjadi pembelajar sepanjang hayat.
5. Nilai karakter gotong royong, mencerminkan tindakan menghargai semangat
kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan persoalan bersama, menjalin
komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang
yang membutuhkan. Diharapkan siswa dapat menunjukkan sikap menghargai
sesama, dapat bekerja sama, inklusif, mampu berkomitmen atas keputusan
bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, memiliki empati dan rasa
solidaritas, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.

2.2 Remaja

2.2.1 Pengertian Remaja

Kata remaja berasal dari bahasa Latin yaitu adolescence yang berarti
tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Lebih lanjut kematangan ini
mencakup kematangan emosional, mental, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Shaw
dan Castanzo (dalam Faizah Noer Laela, 2017) mengatakan bahwa remaja juga
sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi
intelektual dari cara berpikir remaja memungkinkan remaja tidak hanya mampu
mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat dewasa tetapi juga merupakan
karakteristik yang paling menonjol dari semua periode perkembangan. Menurut
Monks F.J. & AMP Roney (2006) remaja berada diantara anak dan orang dewasa,
sehingga mereka seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri”. Remaja masih

12
belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal baik fisik maupun
psikisnya. Namun yang perlu ditekankan bahwa fase remaja merupakan fase
perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial baik dilihat pada
aspek fisik, kognitif, dan emosi. Sehingga di fase inilah seorang individu sangat
memerlukan pendidikan yang membantu dan mengarahkan seluruh potensi anak.

Menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011) masa remaja
merupakan masa transisi pertumbuhan dan perkembangan antara masa kanak-
kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun
dan berakhir di usia belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Sedangkan Anna
Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses
perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan
perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan
orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses
pembentukan orientasi masa depan.

2.2.2 Ciri-ciri Remaja

Menurut Hurlock (1993) terdapat berbagai ciri remaja. Ciri-ciri tersebut


antara lain yaitu:

1. Masa remaja sebagai periode yang penting

Perkembangan fisik dan perkembangan mental yang begitu cepat, terutama


pada masa awal remaja menyebabkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya
membentuk sikap, nilai, dan minat baru. Sehingga baik akibat langsung maupun
akibat jangka panjang pada masa remaja tetaplah penting.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Dalam fase ini, remaja bukan seorang anak dan bukan sebagai orang
dewasa. Status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status
memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan
menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar

13
dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik
terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat.
Remaja akan selalu mencoba sesuatu hal baru terkait dengan perubahan fisiknya
tersebut. Hal ini biasanya akan sejajar antara perubahan fisik yang pesat dengan
kegiatan atau hobby yang baru dari sebelumnya.

4. Masa remaja sebagai usaha bermasalah

Setiap periode perkembangan mempunyai masalahnya sendiri-sendiri,


namun masalah masa remaja sering menjadi persoalan yang sulit diatasi baik oleh
anak laki-laki maupun anak perempuan. Ketidakmampuan mereka untuk
mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja
akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan
mereka.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas


Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri terhadap kelompok
masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka
mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama
dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya. Status remaja yang
mendua ini menimbulkan suatu dilema yang menyebabkan remaja mengalami
“krisis identitas” atau masalah-masalah identitas-ego pada remaja.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja suka berbuat semaunya sendiri


atau “semau gue”, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku
merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi
kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik
terhadap perilaku remaja yang normal.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Masa remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamata berwarna


merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia
inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal harapan dan cita-cita.

14
Harapan dan cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri
tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi
yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Remaja akan sakit hati dan kecewa
apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan
yang telah ditetapkannya sendiri.

8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi


gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang
dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri
pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-
minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks
bebas yang cukup meresahkan. Mereka menganggap bahwa perilaku yang seperti
ini akan memberikan citra yang sesuai dengan yang mereka harapkan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja berada


pada batas peralihan kehidupan anak dan dewasa. Jika remaja masih berperilaku
seperti anak-anak, maka akan dibimbing dan diarahkan untuk merubah kekanak-
kanakannya tersebut. Pengalamannya mengenai alam dewasa juga masih belum
banyak, hal ini terlihat pada remaja dengan adanya kegelisahan, kebingungan,
pertentangan, dan konflik pada diri sendiri. Bagaimana remaja memandang
peristiwa yang dialami akan menentukan perilakunya dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa tersebut.

2.3 Reyog Ponorogo

2.3.1 Pengertian Reyog

Reyog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur
bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reyog yang
sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua
sosok yang ikut tampil pada saat reyog dipertunjukkan. Reyog adalah salah satu
budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau
mistik dan ilmu kebatinan yang kuat. Kesenian Reyog adalah salah satu kesenian

15
tradisi yang lahir dan berkembang di Ponorogo Jawa Timur. Kesenian Reyog
Ponorogo merupakan suatu kekayaan kebudayaan Jawa yang masih terjaga
kelestariannya sampai sekarang.

Menurut Rismayanti (dalam Muhammad F.Z, 2005) Reyog Ponorogo


memiliki sejarah, agama, dan filosofis nilai-nilai yang berharga dan dapat
digunakan sebagai pedoman atau kehidupan panduan untuk melawan masuknya
budaya asing. Ketertarikan masyarakat Ponorogo akan kesenian Reyog yang
secara sistematis membuat kesenian tersebut masih terjaga kelestariannya dan
eksistensinya. Kesenian Reyog Ponorogo diyakini mempunyai kekuatan yang
cukup besar guna untuk mengumpulkan masa atau warga dalam setiap
pertunjukannya. Hartono (1980) pada waktu Reyog dipentaskan pada area pentas,
maka darimanapun berkumpulah orang-orang datang dan sedangkan bilamana
Reyog berjalan, maka berbondong-bondong orang mengikutinya dengan tiada
berkeputusan. Kesenian Reyog Ponorogo diaktualisasikan dalam bentuk tarian
massal yang di dalamnya terdapat beberapa komponen seni meliputi musik, tari
dan drama. Tarian massal Reyog Ponorogo ini dilaksanakan dengan berkelompok.
Kesenian reog Ponorogo sebagai kesenian berkelompok meliputi: pemimpin
rombongan (warok), penari tokoh raksasa (barongan/singo barong/dhadak merak),
penari topeng (ganongan/bujang ganong), penari kuda kepang (jathil), penari
Kelana (Klono Sewandono), dan penabuh alat-alat gamelan (gong, kenong,
terompret kayu, angklung, jaran kepang atau eblek, kendang dan ketipung (dalam
Muhammad F.Z, 2005).

2.3.2 Asal-muasal Kesenian Reyog

Cerita dalam asal-muasal Reyog Ponorogo dibagi menjadi tiga versi.


Penjelasan mengenai cerita Reyog Ponorogo, yaitu :

1. Klono Sewandono raja kerajaan Bantarangin ingin melamar putri raja Kediri
yaitu Dewi Songgolangit. Syarat lamaran tersebut adalah dibuatkan
seperangkat gamelan model baru yang belum pernah ada di dunia dan diarak
bersama hewan-hewan seluruh isi hutan untuk mengisi taman sari kerajaan
Kediri, dimana salah satunya adalah seekor hewan yang terdiri dari dua jeis
hewan tetapi satu tubuh. Dengan kesaktian adik sekaligus Patih dari Klono

16
Sewandono yang bernama Klono Wijoyo atau Bujang Ganong, akhirnya
segala persyaratan dari Dewi Songgolangit mampu terpenuhi. Keberangkatan
Prabu Klono Sewandono ke Kerajaan Kediri diiringi 144 pasukan berkuda
yang semuanya berwajah tampan. Ia juga membawa seperangkat gamelan
berupa gong, kenong, kendang, angklung dan slompret yang ditabuh
sepanjang perjalanan untuk mengiringi langkah raja dan pasukannya.
Gamelan tersebut sebagai cikal bakal kesenian reyog saat itu disebut
gumbung. Ditengah perjalanan rombongan Kerajaan Bantarangin dihadang
oleh Patih Singolodra alias Singobarong yang ternyata diam-diam jatuh hati
kepada Putri Songgolangit. Setelahnya terjadilah pertempuran dikedua belah
pihak. Dalam pertempuran tersebut, Prabu Klono Sewandono dengan
kesaktian senjata pusaka berupa pecut yang mampu membelah gunung dan
samudra serta dibantu oleh Patih Klono Wijoyo yang memiliki kemampuan
dapat berubah wujud. Saat bertempur Patih Singolodra berubah wujud
menjadi macan dan Patih Klono Wijoyo berubah wujud menjadi merak yang
selalu mengembangkan ekornya yang indah. Saat bertempur inilah tampak
dua hewan yang menjadi satu dengan bentuk burung merak yang berkepala
macan. Dengan kekalahan Patih Singolodra maka rombongan Raja
Bantarangin mengarak Patih Singolodra yang masih berwujud manusia
berkepala macan ke Kerajaan Kediri.

2. Sebagai bentuk protes kepada Prabu Brawijaya V yang tidak dapat


memerintah kerajaan karena lebih dikuasai permaisurinya yang bernama Putri
Campa yang beragam Islam, Demang Suryongalam atau Demang Kutu atau
Ki Ageng Kutu yang merupakan abdi raja Brawijaya V memilih
meninggalkan Majapahit dan pergi menuju daerah Wengker. Ki Ageng Kutu
mendirikan padepokan yang diberi nama Surukubeng. Di padepokan tersebut
Ki Ageng Kutu mengumpulkan dan melatih para pemuda untuk dilatih ilmu
kanuragan (ilmu kebal dibacok, ditusuk, dan ditombak) dengan permainan
barongan. Latihan ini diiringi musik dari terompet, ketipung, kendhang,
kempul, dan kenong. Adegan latihan ini kemudian ditampilkan dengan
fragmen pertunjukan reyog yang disebut dengan tari warok. Barongan
tersebut tidak hanya sebagai hiburan juga sebagai bentuk sindiran terhadap

17
raja Brawijaya V yang disimbolkan dengan kepala harimau yang dapat
ditundukkan oleh rayuan seorang perempuan yang dalam hal ini adalah Putri
Campa yang disimbolkan dengan dhadhak merak. Kemudian Ki Ageng Kutu
sendiri disimbolkan sebagai pujangga Anom atau Bujang Ganong, seorang
ksatria yang bijaksana walaupun mempunyai wajah yang buruk rupa.

3. Prabu Brawijaya V yang beragam Hindu mengijinkan putra-putranya untuk


mengikuti agama ibunya dan memperbolehkan mereka berguru pada Wali
Songo. Kemudian putra tertua dari Prabu Brawijaya V dan Putri Campa yang
bernama Lembu Kenanga yang kemudian dikenal dengan Raden Patah
mendirikan kerajaan Islam Demak Bintoro. Adiknya yang bernama Lembu
Kanigoro juga mengembara mengikuti jejak sang kakak dengan berguru
kepada Wali Songo di Demak. Kekuatan Ki Agung Kutu yang menguasai
wilayah Ponorogo ini dianggap sebagai ancaman oleh Kerajaan Majapahit
dan Kesultanan Demak. Berbagai cara dilakukan oleh Raden Patah untuk
merebut wilayah tersebut, salah satunya dilakukan oleh Sunan Kalijaga
bersama Muridnya yang bernama Kiai Muslim atau Ki Ageng Mirah dimana
keduanya mencoba melakukan pengamatan terhadap kekuatan Ki Ageng
Kutu. Selanjutnya Raden Patah mengutus perwira terbaiknya sekaligus yang
merupakan adiknya yang dikenal dengan nama Bathoro Katong yang dibantu
oleh seorang santri bernama Selo Aji dan 40 orang santri pilihan untuk
menetap di wilayah tersebut. Karena kekuatan dan kesaktian Bathoro Katong
tidak dapat menandingi Ki Ageng Kutu, Bathoro Katong kemudian
mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini. Melalui Niken
Gandini inilah Bathoro Katong dapat mengambil Pusaka Koro Welang yang
merupakan pusaka sakti milik Ki Ageng Kutu. Setelah berhasil memiliki
pusaka Koro Welang, akhirnya Bathoro Katong dapat dengan mudah
mengalahkan Ki Ageng Kutu. Sebelumnya Ki Ageng Kutu berhasil
menciptakan barongan yang menjadi permainan para warok. Setelah Raden
Bathoro Katong berhasil mengalahkan Ki Ageng Kutu, Raden Katong
memandang perlu melestarikan barongan sebagai salah satu media dakwah
Islam. Nama barongan kemudian diganti dengan nama reyog. Kata reyog
berasal dari kata riyokun yang artinya husnul khatimah. Maksudnya adalah

18
perjuangan Raden Bathoro Katong dan kawan-kawannya diharapkan menjadi
perjuangan yang diridhai Tuhan. Dengan demikian ada keterkaitan unsur
perjuangan Raden Bathoro Katong melakukan Islamisasi pada wilayah
Ponorogo. Unsur ideologi Islam dalam kesenian Reyog Ponorogo seakan
menjadi hal yang utama setelah Raden Katong mengalahkan Ki Ageng Kutu
dan melestarikan barongan sebagai media dakwah. Keterkaitan kesenian
dengan nilai religiusitas ditunjukkan pada cerita sejarah Reyog Ponorogo.
Penjelasan-penjelasan yang muncul seakan memperkuat bahwa kesenian
Reyog Ponorogo mempunyai sisi kesenian daerah yang mempunyai nilai
religius yang tinggi.

2.3.3 Pemain Reyog


Dalam kesenian Reyog terdapat beberapa pemain antara lain, yaitu:
1. Barongan (Dhadhak Merak), bertugas memainkan dhadak merak. Pemain ini
biasanya mempunyai kekuatan tubuh yang prima, terampiI dan luwes
memainkan dhadhak merak sehingga gerakannya enak dipandang.

2. Jathil, yaitu penari yang menggambarkan pasukan kerajaan yang tampan.


Mereka menari dengan tidak memakai eblek. Mereka mengenakan celana
tanggung berhias sulaman dan manik-manik warna emas. Jathilan merupakan
gambaran dari para prajurit berkuda pengawal Raja Klono Sewandono.
Jathilan merupakan sosok yang diperankan oleh kelompok penari gemblak,
yang saat ini lebih sering dibawakan oleh beberapa perempuan dengan
gerakan yang elegan sambil menunggang kuda kepang (jaran eblek).

3. Klono Sewandono, yaitu penari dengan tarian yang menggambarkan sosok


raja dari Kerajaan Bantarangin, sebuah kerajaan yang merupakan cikal bakal
Kota Ponorogo. Penari ini mengenakan topeng dan mahkota, dengan
membawa Pecut Samandiman, sebuah senjata sakti yang menjadi andalan
Klono Sewandono. Pecut ini berbentuk tongkat lurus dari rotan berhias jebug
dari sayet warna merah diseling kuning sebanyak 5 atau 7 buah. Pecut ini
kalau disabetkan akan mengeluarkan suara yang sangat nyaring dan menjadi
ciri khas pertunjukan reyog.

19
4. Warok, yaitu pemain yang memakai pakaian khas Ponorogo, memiliki
tampang yang terkesan gagah, garang dengan kumis melintang. Mereka selalu
membawa tali besar berwarna putih. Warok berasal dari kata wewarah.
Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok
karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang
hidup yang baik. Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam Iaku
hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin. Seorang Warok konon harus
menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan
sejati. Sehingga di mata masyarakat Ponorogo, warok dianggap sebagai
manusia berkualitas dan mempunyai kelebihan dibanding anggota masyarakat
lain. Warok menggambarkan para pengawal Raja Klono Sewandono yang
merupakan pasukan pembela kebenaran yang selalu memerangi kejahatan.
Warok tua adalah tokoh pengayom, sedangkan warok muda adalah warok
yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Pada setiap pertunjukan reyog, pada
barisan pemain, tokoh warok menempati posisi di depan, yang menunjukkan
bahwa warok adalah pemimpin atau panglima perang dalam pasukan
kerajaan. Tokoh warok tersebut terlihat menyeramkan dan angker sehingga
disegani oleh musuh-musuhnya. Karena posisinya sebagai panglima
rombongan maka warok harus memiliki kesaktian, ketangguhan, dan
berwibawa.

5. Bujang Ganong adalah penari yang menggambarkan sosok patih muda yang
cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti. Sosok ini mengenakan topeng berwajah
raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang besar
tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang Iebat warna hitam menutup
pelipis kiri dan kanan. Bujang Ganong ini menggambarkan Patih Klono
Wijoyo yang cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti. Saat menari ia sering
melakukan gerakan lucu dan akrobatik sehingga mengundang tawa penonton.
Patih Bujang Ganong disebut juga Penthulan. Penarinya tidak memakai baju,
hanya rompi berwarna merah dan topeng yang juga berwarna merah.

6. Senggakan, yaitu pengiring reyog yang bertugas memberikan semangat


kepada pemain agar menari Iebih semangat. Senggakan terdiri dari 5-10

20
orang. Teriakan yang keluar dari mulut senggakan biasanya berbunyi: ”Hok’e
... hok’e... hok’e..... hok’e.....”.

7. Pengrawit, yaitu penabuh gamelan pengiring reyog. Pemain gamelan ini


terdiri dari beberapa orang yang masing-masing memegang alat. musik
sendiri-sendiri. Mereka memainkan alat musik yang mereka bawa sesuai
arahan dalang reyog atau pemimpin rombongan. Karena irama musiknya
riang, pengrawit ini dalam menabuh alat musik juga terlihat riang gembira.
Pakaian yang mereka kenakan juga pakaian khas Ponorogo.

2.3.4 Aspek Filsafat dari Kesenian Reyog Ponorogo


Kesenian Reyog Ponorogo tidak hanya dipandang sebagai bentuk kesenian
pertunjukan semata, tetapi juga mempunyai nilai filosofi yang sangat dalam. Hal
ini dapat dilihat dari pemikiran yang disampaikan oleh para tokoh filsafat, seperti
Walter G. Everett, Frondizi, Notonagoro, dan sebagainya. Teori nilai yang dipakai
dalam menelaah filosofi kesenian Reyog Ponorogo adalah teori nilai dari Max
Scheler yang terbagi menjadi empat tingkatan (dalam Herry Lisbijanto, 2013).
Reyog Ponorogo mempunyai nilai-nilai sebagai berikut:
1. Nilai kerohanian yang meliputi nilai dakwah, nilai kelestarian, nilai
kepercayaan, dan nilai magis.
a. Nilai dakwah, nilai ini tergambarkan pada gamelan reyog. Gamelan
dipakai sebagai media dakwah saat Bathoro Katong menyebarkan agama
Islam ke masyarakat Ponorogo yang saat itu masih menganut agama
Hindu. Gamelan reyog, atau sering disebut gumbung pada zaman dahulu
digunakan di Kadipaten Wengker untuk mengiringi pasukan perang
dalam berlatih. Cara Raden Bathoro Katong dalam menyebarkan agama
Islam tampak seperti cara yang dahulu digunakan oleh Wali Songo dalam
berdakwah, khususnya Sunan Kalijogo, yang menggunakan media
kesenian dalam dakwahnya.
b. Nilai kelestarian, yang mana nilai ini dapat dilihat dari strategi Batoro
Katong untuk menaklukkan Ki Ageng Kutu, yaitu dengan melakukan
pendekatan kultural.
c. Nilai kepercayaan, yang mana nilai ini terlihat jelas pada perlengkapan

21
sembahyang dan doa yang telah menjadi tradisi dan persyaratan sebelum
dimulainya pertunjukan reyog. Tujuan kelengkapan sembahyang atau
sesaji adalah agar pertunjukan reyog bisa terhindar dari gangguan orang
yang tidak senang maupun makhluk halus, serta pemainnya diberi
keselamatan. Biasanya kelengkapan sembahyang atau sesaji diletakkan di
depan barongan dan tempat yang dianggap keramat di desa tersebut.
d. Nilai kesejarahan, yang mana nilai ini terdapat pada sejarah dan asal-usul
berdirinya Kabupaten Ponorogo yang menyatu dengan tokoh Batoro
Katong yang melegenda. Keberadaan kesenian reyog dan sejarah
Ponorogo tidak terlepas dari keberadaan tokoh sentral Raden Bathoro
Katong. Saat ini Raden Bathoro Katong, Warok, Klono dan tokoh-tokoh
reyog Iain sudah menjadi ikon Kota Ponorogo, sudah diabadikan dalam
bentuk patung maupun monumen.
e. Nilai magis, yang mana nilai ini terlihat pada pemberian unsur magis
dalam setiap pertunjukannya kesenian reyog. Unsur magis ini terutama
terlihat pada barongan. Tujuan dari pemberian unsur magis ini adalah
untuk menambah daya kekuatan pembarong dan juga memberikan daya
pikat pada masyarakat yang menonton pertunjukan.
2. Nilai spiritual meliputi nilai budaya, nilai keindahan, nilai moral, nilai seni,
nilai simbolik, dan nilai superioritas.
a. Nilai budaya, yang mana di dalam nilai ini terdapat unsur spiritual
kesenian reyog yang memuat nilai-nilai Jawa yang adiluhung. Kesenian
reyog menjadi tontonan dan tuntunan bagi masyarakat. Kesenian reyog
menjadi salah satu seni budaya tradisional khas Ponorogo sehingga
menjadi ciri khas dan sekaligus sebagai sumber niIai bagi masyarakat
Ponorogo.
b. Nilai keindahan, yang terdapat pada: 1). gerakan tari yang dimainkan para
pemain, seperti tarian oleh para warok, tarian jathil yang dinamis, tarian
Bujang Ganong yang lincah dan gerakan barongan yang memukau). 2).
Keindahan yang terdapat pada tata busana yang dikenakan para pemain,
berwarna hitam, merah, kuning, dan putih yang memberi kesan cerah. 3).
Keindahan dalam tata rias, khususnya tata rias penari jathil dan tata rias

22
pemain ganongan. 4). Aransemen gamelan reyog juga menunjukkan
keindahan, seperti pada gendhing kebogiro, gendhing panaragan,
gendhing sampak, gendhing patrajayan, gendhing objog dan gending lain
yang mengiringi pertunjukkan reyog.
c. Nilai moral, yang terungkap pada setiap pertunjukan kesenian reyog, yang
membangun jiwa kebersamaan, menjalin kerukunan, menciptakan
kegotong royongan. Salah satu ajaran dalam kesenian reyog adalah ojo
dumeh, ojo gumun, ojo pangling, selalu tekun beribadah dengan
menghindari mo-limo yang berarti menghindari minuman keras, main
perempuan, serakah, main judi, dan mencuri. Ajaran yang diwariskan oleh
para leluhur ini dimaksudkan agar hidup memberi manfaat bagi
masyarakat.
d. Nilai seni, yang dapat dilihat dalam kesenian reyog, mempakan hasil seni
budaya masyarakat Ponorogo. Kesenian reyog dipandang sebagai seni
panggung/pentas yang terus dikembangkan melalui pembinaan dan
pengadaan festival tahunan, arak-arakan atau karnaval.
e. Nilai simbolik, yang dapat dilihat dalam kesenian reyog sebagai simbol
atau perlambang dari suatu peristiwa, seperti perlambang saat Klono
Sewandono melamar Dewi Sanggalangit, penari penthul yang menggoda
barongan yang melambangkan bahwa manusia selalu dikelilingi para
penggoda yang ingin menjerumuskan hidupnya, tokoh warok yang
melambangkan sifat yang bersemangat, keteladanan, pemberani, kokoh
kuat, berwibawa, siap berkorban, jiwa ksatria, dan lain sebagainya.
f. Nilai superioritas, yang mana nilai ini terlihat pada kesenian reyog yang
harus memiliki warok yang sakti, dan memiliki ilmu kanuragan yang
mumpuni, mempunyai daya linuwih dibandingkan orang lain.
3. Nilai kehidupan yang meliputi nilai kepahlawanan, nilai keadilan, dan nilai
kesejahteraan.
a. Nilai kepahlawanan, terdapat pada kesenian reyog yang memiliki tokoh
pahlawan, seperti warok yang oleh masyarakat Ponorogo dianggap
sebagai tokoh masyarakat yang memiliki beberapa kelebihan. Warok
memiliki ilmu yang tinggi, memiliki kesaktian/ ilmu kanuragan sehingga

23
disebut sebagai orang sakti, mempunyai sifat rela berkorban, bertindak
sebagai pengayom, dan tanpa pamrih.
b. Nilai keadilan, terdapat pada hakikat yang menjadi tujuan akhir kesenian
reyog. Pelaku kesenian reyog mempunyai misi adil, tidak memihak atau
berat sebelah. Menerapkan keadilan dalam bermasyarakat dengan
pemenuhan hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban manusia
menurut hakikat dan kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu,
sebagai makhluk sosial, dan sebagai makhluk Tuhan. Setiap tindakan
harus dapat memberikan keseimbangan dan keselarasan dalam hidup, baik
lahir maupun batin.
c. Nilai kesejahteraan, terdapat dalam kesenian reyog yang selalu memuat
aspek kesejahteraan bagi para pemain dan pihak-pihak yang terlibat dalam
kesenian ini. Nilai kesejahteraan dimaknai dengan kehidupan yang
tenteram, makmur, dan aman. Nilai kesejahteraan ini lebih penting dari
aspek ekonomi mengingat kesenian reog pada zaman dahulu tidak begitu
komersial.
4. Nilai kesenangan yang meliputi nilai hiburan, nilai kepuasan, nilai kompetisi,
nilai material, dan nilai pertunjukan.
a. Nilai hiburan, terdapat pada kesenian reyog yang memiliki daya tarik
yang menghibur penontonnya. Kesenian reyog yang dinamis, lucu, Iincah
dan kadangkala mendebarkan mampu memberikan kepuasan bagi
penonton.
b. Nilai kompetisi, yang mana kesenian reyog ini mampu menghadirkan
kemauan untuk berkompetisi bagi grup reyog dalam suatu kesempatan.
Kompetisi ini ada yang positif dan kadangkala negatif. Kompetisi positif
terjadi pada saat festival tahunan tingkat nasional dan festival tahunan
reyog mini. Kompetisi negatif terjadi saat kesenian reyog bersaing dengan
menggunakan cara-cara yang tidak sehat untuk mengalahkah grup lain.
c. Nilai material, ada pada cara membuat perangkat kesenian reyog yang
membutuhkan berbagai material. Material yang dibutuhkan meliputi alat-
alat kesenian, seperti dhadak merak, gamelan, kuda kepang atau eblek,
dan pakaian pemain yang jumlahnya cukup banyak.

24
2.4 Nilai Kesenian Reog dan Karakter Remaja

Jika dilihat lebih dalam lagi, kesenian reyog juga dapat dikaitkan dengan
pembentukan karakter bangsa yang mana dalam konteks ini adalah remaja,
karakter sebagai sistem daya juang meliputi daya dorong, daya gerak, dan daya
hidup, dan berisi tata nilai kebajikan moral yang terpatri dalam diri manusia.
Karakter yang diharapkan tumbuh adalah karakter remaja yang tangguh, bukan
karakter yang Iemah walau mengadapi banyak tekanan dan cobaan. Dengan
banyaknya nilai-nilai karakter yang melekat pada seni Reyog, tentu saja tidak
semua nilai itu akan diambil dan dilaksanakan. Setiap lembaga/organisasi
masyarakat dan lain sebagainya, dapat mengambil nilai inti yang akan
dikembangkan masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat tradisi
budaya setempat, kehendak para pemegang kepentingan, dan sebagainya.
Herry Lisbijanto (2013) menyatakan bahwa bila hal ini dikaitkan dengan
nilai-nilai kesenian reyog maka sesuai sifat tokoh-tokoh reyog seperti klono,
jathil, bujang ganong, barongan, dan warok, maka akan muncul lima kebajikan
esensial. Kelima sifat tersebut merupakan refleksi dari kesenian reyog yang
menggambarkan masing-masing sifat peran reyog, yang kemudian akan dijadikan
acuan atau fokus dalam pembentukan karakter bagi remaja. Refleksi tersebut
adalah:
a. Refleksi dari nilai-nilai kepahlawanan, sebagai upaya membangun karakter
remaja. Yang menjadi sifat utama seorang pahlawan adalah bersedia
mengorbankan jiwa dan raga tanpa mengharap balas jasa atau tanpa pamrih.
Seorang pahlawan akan mendahulukan kewajiban daripada menuntut apa
yang menjadi haknya.
b. Refleksi dari nilai-nilai kewiraan dalam upaya membangun karakter remaja,
yaitu sifat pemberani dan pantang menyerah. Seorang ksatria mempunyai
sifat utama pemberani dan pantang menyerah, selain kemauan untuk
berkorban bagi sesama. Seorang ksastria harus berani mengambil risiko
terhadap apa yang dilakukan dan pantang menyerah dalam meraih cita-cita
perjuangan.
c. Refleksi dari nilai-nilai kepribadian, sebagai upaya membangun karakter
remaja, yang meliputi sifat jujur, disiplin, dan berkomitmen. Dalam sifat jujur

25
dia harus mampu berupaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, sikap dan perilaku. Sifat disiplin dengan
perilaku tertib dan patuh pada peraturan. Dia juga harus mempunyai sifat
komitmen tinggi dalam melakukan suatu hal.
d. Refleksi dari nilai-nilai moral dalam upaya membangun karakter remaja yang
berupa sifat keteladanan. Dia harus bisa menjadi teladan bagi masyarakat
sekeliling seperti menjalin kerukunan, menciptakan kegotong royongan,
selalu tekun beribadah dengan menghindari mo-limo yang berarti
menghindari minuman keras, main perempuan, serakah, main judi, dan
mencuri. Ajaran yang diwariskan oleh para leluhur ini dimaksudkan agar
hidup memberi manfaat bagi masyarakat.
e. Refleksi dari nilai-nilai superioritas, dalam upaya untuk membangun karakter
remaja, yang meliputi sifat lebih atau linuwih. Daya linuwih mengandung
makna sebagai sifat yang dimiliki oleh seorang yang lebih unggul
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia kebanyakan.
Nilai kebangsaan dan patriotisme dalam kesenian Reyog Ponorogo dapat
direfleksikan ke arah pembangunan karakter remaja. Fungsi ekspresi dan
instrumental dalam kesenian Reyog Ponorogo mempunyai peran yang sangat
penting dalam menumbuhkan karakter, khususnya bagi para pemainnya. Pada
pertunjukan reyog, para pemain dituntut untuk tekun berlatih, bergotong royong,
kebersamaan, menghargai orang lain dan selalu menjunjung tinggi budaya. Fungsi
ekspresi menunjukkan bahwa kesenian reyog memiliki peran sebagai pelestari
budaya, sedangkan fungsi instrumental menunjukkan bahwa kesenian reyog dapat
dijadikan media penyampaian pesan yang terkait dengan nilai-nilai kebajikan dan
pesan moral yang baik lainnya. Dengan demikian kesenian reyog dapat
memberikan konstribusi terhadap penegakan nilai-nilai masyarakat dalam
berbangsa dan menumbuhkan jiwa patriotisme.

26
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Menurut Sugiyono (2014) penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru
karena popularitasnya belum lama, dan berkenaan dengan interpretasi terhadap
data yang ditemukan di lapangan, serta penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah yang ditemukan di lapangan.
Pada penelitian ini peneliti mengumpulkan data sesuai dengan keadaan
lapangan serta kondisi asli lapangan. Menurut Moloeng (2007) menyatakan
bahwa metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan yaitu
menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan
kenyataan ganda, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara
peneliti dan responden serta metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan
diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai
yang dihadapi.

27
Penelitian ini menggunakan jenis studi kasus, menurut Amirin (2000) studi
kasus merupakan penelitian yang mendalam atau intens mengenai suatu kasus.
Studi kasus hanya pada satu orang atau pada satu unit tertentu saja, tetapi harus
pula diperhatikan bahwa studi kasus tidaklah harus menggali beberapa aspek
kasus itu sendiri namun bisa saja hanya terhadap aspek-aspek variabel yang
relevan dengan tujuan penelitian jadi terbatas.
Peneliti melakukan penelitian di sanggar seni reyog yang ada di Dukuh
Gunung Tukul Desa Suru dengan mengikuti berbagai aktivitas yang dilakukan
dan dapat melakukan penelitian di sanggar tersebut. Peneliti memilih
menggunakan pendekatan kualitatif jenis studi kasus karena pada subjek
penelitian di sanggar seni reyog ini memiliki kasus yang sesuai dengan topik
penelitian yang dipilih oleh peneliti yaitu terjadinya pendidikan karakter bagi
remaja yang tergabung dalam sanggar seni reyog ponorogo tersebut.
3.2 Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti disini yaitu sebagai instrumen dan pengumpul data
utama. Peneliti mengumpulkan data baik berupa lisan, tulisan, gambar, dan
perilaku yang diamati. Semua kegiatan pengumpulan data sampai dengan
penyusunan hasil dilakukan oleh peneliti. Peneliti menentukan data yang harus
didapatkan dari teknik observasi, kemudian dalam teknik pengumpulan data
wawancara, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada
narasumber.
Hal-hal yang perlu dilakukan peneliti disini yaitu (1) melakukan studi awal
ke sanggar seni reyog yang ada di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru dengan
melihat kondisi bahwa tempat tersebut layak untuk dijadikan penelitian oleh
peneliti sesuai dengan topik penelitian yang sudah dipilih serta meminta izin
kepada para narasumber untuk melakukan penelitian; (2) melakukan
pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi dari kedua
sanggar tersebut; (3) menyusun rekaman data; (4) menganalisis data penelitian;
(5) menyusun laporan penelitian.
3.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan penelitian. Pada
penelitian ini, peneliti meneliti subjek yang berlokasi di Desa Suru tepatnya di

28
sanggar seni reyog yang berada di Dukuh Gunung Tukul. Alasan peneliti
melakukan penelitian di tempat tersebut yaitu untuk mengetahui dan
mendeskripsikan praktik dan proses pendidikan karakter bagi remaja yang
tergabung dalam sanggar seni reyog tersebut.
3.4 Sumber Data
Sumber data adalah sumber dimana dalam melakukan penelitian, peneliti
mendapatkan dan memperoleh data mengenai subjek penelitian.
1. Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data, seperti sumber data yang diberikan oleh narasumber
kepada pengumpul data. Adapun data primer yang diteliti oleh peneliti yaitu ketua
sanggar seni reyog.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan
data kepada pengumpul data, seperti pengamatan atau observasi langsung
terhadap subjek penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada saat berlangsungnya
penelitian di lapangan. Dengan melakukan pengamatan langsung oleh peneliti
pada subjek penelitian, peneliti akan mendapatkan data dari apa yang diperoleh
pada saat pengamatan berlangsung.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Wawancara
Wawancara didefinisikan sebagai interaksi antara dua orang atau lebih
dengan tujuan tertentu. Pada penelitian ini peneliti memilih wawancara tidak
terstruktur yang mewawancarai narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan
tertentu secara garis besar berkaitan dengan praktik dan proses pendidikan
karakter bagi remaja yang tergabung di sanggar seni reyog tersebut beserta
hambatan-hambatannya. Menurut Sugiyono (2013) wawancara tidak terstruktur
yaitu jenis wawancara yang dimana dalam pelaksanaanya lebih bebas dengan
tujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang
diwawancara diminta menyampaikan pendapat, dan ide-idenya. Saat melakukan
wawancara, peneliti dapat menggunakan alat perekam berupa handphone untuk

29
merekam setiap keterangan dari narasumber yang pada akhirnya akan diolah lebih
lanjut oleh peneliti.
3.5.2 Observasi
Menurut Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2013) mengemukakan bahwa
observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari
berbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah
proses-proses pengamatan dan ingatan. Menurut Nasution (dalam Sugiyono,
2013) observasi dilakukan guna memperoleh informasi tentang berbagai kelakuan
manusia seperti terjadi dalam kenyataan, dengan observasi dapat diperoleh
gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial yang sukar diperoleh oleh
metode lain. Observasi juga dilakukan jika data tentang masalah yang diselidiki
masih belum banyak keterangan yang dimiliki.
Pada penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data observasi
partisipatif. Menurut Sugiyono (2013) observasi partisipatif merupakan suatu
bentuk observasi yang menuntut keterlibatan tangan pertama (peneliti) dalam
dunia sosial yang dipilih untuk penelitian. Idealnya, peneliti turut berpartisipasi
dan menghabiskan lebih banyak waktu guna mempelajari secara lebih tuntas
kegiatan para partisipan.

3.5.3 Studi Dokumentasi


Menurut Sugiyono (2013) yang mengemukakan bahwa studi dokumentasi
merupakan catatan peristiwa yang dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-
karya monumental dari seseorang. Dokumentasi berguna jika peneliti mengalami
kesulitan ataupun memperkaya informasi mengenai suatu peristiwa dari
narasumber. Sebuah dokumen ditulis dan dibaca. Lebih lanjut, si pembaca
mungkin akan mengambil atau menyalin keseluruhan isi dokumen dan kemudian
mengedit atau mengubahnya.
3.6 Analisis Data
Menurut Bogdan (dalam Sugiyono, 2013) menyatakan bahwa analisis data
merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari hasil wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat lebih mudah dipahami. Analisis data dilakukan dengan

30
mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,
dan membuat kesimpulan yang dapat diinformasikan kepada orang lain. Pada
penelitian ini teknik analisis data adalah sebagai berikut:
3.6.1 Reduksi Data
Reduksi data adalah proses analisis data yang dilakukan untuk mereduksi
dan merangkum hasil-hasil penelitian dengan menitikberatkan pada hal-hal yang
dianggap penting oleh peneliti. Reduksi data bertujuan untuk mempermudah
pemahaman terhadap data yang telah terkumpul sehingga data yang direduksi
memberikan gambaran lebih rinci.
3.6.2 Penyajian Data
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013) menyatakan bahwa yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif. Dengan penyajian data maka akan memudahkan
untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan
apa yang telah dipahami tersebut.
3.6.3 Verifikasi (Penarikan Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan merupakan analisis lanjutan setelah reduksi data dan
penyajian data. Sugiyono (2013) menjelaskan bahwa kesimpulan dalam penelitian
kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya
belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek
yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti
menjadi jelas.
3.7 Uji Keabsahan Data
Pada penelitian ini, uji keabsahan data dilakukan dengan triangulasi.
Sugiyono (2013) triangulasi adalah pemeriksaan atau pengecekan keabsahan data
dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu. Peneliti menggunakan
triangulasi sebagai berikut:
3.7.1 Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data yang telah diperoleh
melalui beberapa sumber. Triangulasi sumber berarti membandingkan dan
mengecek kembali keterpercayaan data yang diperoleh melalui waktu dan alat

31
yang berbeda.
3.7.2 Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda seperti
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
3.7.3 Triangulasi Waktu
Menurut Sugiyono (2013) waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas
data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat
narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang
lebih valid sehingga lebih kredibel. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas
data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara,
observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda.
3.8 Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti antara lain, yaitu:
3.8.1 Tahap Pra Penelitian
Langkah awal yang dilakukan peneliti yaitu dengan menentukan fokus
permasalahan dan subjek serta objek penelitian, konsultasi judul dan fokus
permasalahan kepada dosen pembimbing, menyusun proposal, melakukan
seminar proposal, dan setelahnya mengurus perizinan ke berbagai pihak terkait.
Lokasi penelitian yang ditentukan oleh peneliti yaitu di sanggar seni reyog
ponorogo yang ada di Dukuh Gunung Tukul Desa Suru.
3.8.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini peneliti menggunakan teknik wawancara, observasi, dan
dokumentasi untuk mengumpulkan data. Wawancara dilakukan dengan informan
yang memberikan informasi terkait kebutuhan penelitian. Sedangkan observasi
dilakukan dengan mengamati kegiatan yang terjadi dilapangan sesuai dengan
objek penelitian. Sementara itu, dokumentasi didapatkan dari dokumen-dokumen
baik dalam bentuk tulisan maupun gambar-gambar.
3.8.3 Tahap Pasca Penelitian
Tahap pasca penelitian dilakukan dengan menyusun laporan penelitian.
Laporan penelitian berupa Skripsi yang disusun secara sistematis berdasarkan
Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah Universitas Negeri Malang. Pada tahap ini

32
juga, laporan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing 1 dan dosen pembimbing
2. Setelah mendapatkan saran dan masukan dari dosen pembimbing 1 dan
pembimbing 2, peneliti merevisi laporan sampai laporan benar-benar sempurna
dan dapat dipertanggung jawabkan.

DAFTAR RUJUKAN

Amirin, Tatang M. 2000. Menyusun Rencana Penelitian Edisi 1. Cetakan


Keempat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Anwar, Muhammad. 2015. Filsafat Pendidikan. (Cetakan ke 2). Jakarta: Kencana.

Depdiknas. 2003. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Djaali. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Edy, Riyanto, dkk. 2019. Implementasi Pendidikan Agama dan Pendidikan


Karakter. (Cetakan Pertama). Tangerang: Media Edukasi Indonesia
(Anggota IKAPI).

Fauzanafi, Muhammad Zamzam. 2005. Reog Ponorogo Menari di antara


Dominasi dan Keragaman. Yogyakarta: Kepel Press.

33
Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta.

Hurlock, E.B. 1991. Psikologi Perkembangan suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Konsep Dasar Penguatan


Pendidikan Karakter. Diunduh pada tanggal 4 Juli dari
http://alihfungsi.gtk.kemdikbud.go.id/assets/konsep_karakter.pdf

Khamim, Z.P. 2017. Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja.
Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 17(1), 26-31. Dari
http://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/aplikasia/article/view/1362. Diakses
tanggal 10 Oktober 2021.

Khoirul, B.H. & M. Farid. 2016. Konsep Diri, Adversity Quotient dan
Penyesuaian Diri pada Remaja. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 5(2),
137-139. Dari
http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/persona/article/view/730. Diakses
tanggal 10 Oktober 2021.

Laela, Faizah Noer. 2017. Bimbingan Konseling Keluarga dan Remaja. Edisi
Revisi. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press Anggota IKAPI.

Lisbijanto, Herry. 2013. Reog Ponorogo. (Cetakan Pertama). Yogyakarta: Graha


Ilmu.

M. Dimyati M. 2017. Psikologi Pendidikan-Edisi Terbaru. Yogyakarta: Andi


Offset.

Mappiare, A. 2000. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Moleong L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:


Remaja Rosdakarya

Monks, F.J. & AMP Roney. 2006. Psikologi perkembangan: Pengantar dalam
Berbagai Bagian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muchlas S. & Hariyanto. 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.

34
(Cetakan Ketiga). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mustoip, Sofyan dkk. 2018. Implementasi Pendidikan Karakter. Surabaya: CV.


Jakad Publishing.

Naomi D.B.S. 2018. Budaya Lokal di Era Global. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan
Karya Seni, 20(2), 103-105. Dari
https://journals.isi-padangpanjang.ac.id/index.php/Ekspresi

Norrattri. 2018. Ganongan Cilik Bumi Ponorogo. Jakarta Timur: Badan


Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Peta Jalan Penguatan Pendidikan Karakter. 2017. Jakarta: Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan.

Pramono, Muh. Fajar. 2006. Radeh Bathoro Katong Bapak E Wong Ponorogo.
Ponorogo: Lembaga Penelitian Pemberdayaan Birokrasi Dan Masyarakat.

Purnomo, Halim. 2019. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian,


Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

Putro, K.Z. 2005. Orangtua Sahabat Anak dan Remaja. Yogyakarta: Cerdas
Pustaka.

Samiaji S. & M. Info. 2017. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar, Edisi Kedua.


Jakarta Barat: Indeks.

Sarlito S.W. 2006. Psikologi Remaja, Jakarta: PT Rajawali Press.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarwono, W.S. 2011. Psikologi Remaja Edisi Revisi. Jakarta: PT. Grafindo
Persada.

Sedarmayanti & Syarifudin H. 2011. Metodologi Penelitian. (Cetakan Kedua).


Bandung: Mandar Maju
Sinambela, Lijan Poltak. 2014. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press

35
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cetakan Ke-
19. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kuantitatoif. Bandung: Alfabeta.
Suwarno, Wiji. 2017. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Cetakan II. Jogyakarta: Ar-
Ruzz Media.

Thomas, L. Mendidik untuk Membentuk Karakter. Terjemahan J.A. Wawaungo.


Jakarta: Bumi Aksara. 2013.

Tirtarahardja, Umar & La Sulo. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Proyek


Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Umami, Ida. 2019. Psikologi Remaja. (Cetakan 1). Yogyakarta: Idea Press

Wibowo, Agus. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan


Praktik Implementasi). Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wirawan, S. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

36

Anda mungkin juga menyukai