Anda di halaman 1dari 8

RUANG KOLABORASI MODUL 1.

1
Kelas 06.01. B1
TUJUAN

Melalui ruang kolaborasi modul 1.1, peserta dapat menemukenali nilai-nilai


luhur kearifan budaya daerah asal yang relevan menjadi penguatan karakter
murid sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat.
Pertanyaan
Pemantik 1
Apa kekuatan konteks sosio-kultural di daerah Anda yang sejalan dengan pemikiran KHD?

Kekuatan konteks sosio-kultural di Jeneponto yang sejalan dengan pemikiran KHD adalah
proses proses memanusiakan manusia dalam mendidik dan mengajar yang berbasis kearifan
lokal sehingga ada rasa cinta dan bangga menjadi bagian dalam pertumbuhan dan
perkembangan sosio-kultural. Aspek tersebut sangat unik dan beragam di daerah kami yang
bisa menjadi kekuatan lahir dan batin murid. Penanaman nilai karakter sebelum
pemeblajaran dimulai bahkan sebelum memasuki gerbang sekolah dengan menerapkan
budaya ‘mappatabe’, ‘makkaraeng’, 3S, dan entitas penanaman karakter lainnya.
Kekuatan tersebut bisa dimaksimalkan dalam proses pembelajaran. Orientasinya bukan
semata agar anak bisa bersekolah, ujian hasilnya, lulus masuk PTN/PTS favorit, tetapi proses
yang menjadikan anak bangsa menjemput peradaban yang berbudi pekerti luhur di lingkungan
masyarakat.
Pertanyaan
Pemantik 2
Bagaiman pemikiran KHD dapat dikontekstualkan sesuai dengan nilai-nilai luhur kearifan budaya
daerah asal yang relevan menjadi penguatan karakter murid sebagai individu sekaligus sebagai
anggota masyarakat pada konteks lokal sosial budaya di daerah Anda?

1) Pendidikan itu adalah benih-benih kebudayaan yang dapat mengantarkan murid pada budi
pekerti (olah cipta, olah rasa, olah karsa, dan olahraga) yang luhur dan bijaksana.
 
Pemikiran positif ini dapat dilihat pada budaya di daerah kami yaitu Jeneponto. Daerah
Jeneponto yang termasuk dalam rumpun suku Makassar terkenal dengan kearifan lokal pada
entitas budaya yang begitu mendarah daging dan luhur. Keragaman budaya tersebut dapat
dikembangkan dan diintegrasikan dalam proses pembelajaran dalam berbagai jenjang (TK-
SMA). Salah satu budaya yang terkenal adalah budaya ‘Makkaraeng’ bagi semua kalangan.
‘Makkaraeng’ mampu mengarahkan peserta didik untuk melakukan olah cipta, olah rasa, olah
karsa, dan olahraga menuju murid yang bahagia, luhur, dan bijaksana.
2) Trilogi Pendidikan
 
Pemikiran positif dari Ki Hadjar Dewantara yang dikenal dengan Trilogi Pendidikan, yaitu: Ing
Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso. Tut Wuri Handayani. Trilogi ini berusaha
diterapkan oleh pendidik dan rekan sejawat dalam proses pembelajaran maupun aktivitas
yang menyertainya di lingkungan sekolah. Pendidik berusaha memberikan teladan yang baik
jika berada di depan, memberikan semangat ketika berada di tengah, dan memberikan
dorongan kerika berada dibelakang. Entitas tersebut dapat tercermin dalam giat yang sering
dilakukan di sekolah kami saat menjemput murid masuk belajar pada pagi hari dengan istilah
(3S), yaitu: Senyum, Salam, dan Sapa.

3) Pendidikan hendaknya memerdekakan anak atau memberikan kebebasan anak dalam


belajar.
 
Kemerdekaan belajar yag kami maksud adalah pembelajaran yang berpusat pada murid.
Murid bukanlah objek dalam pembelajaran tetapi menjadi subjek. Artinya, pembelajaran
harus didesain berdasarkan kebutuhan, karakteristik, kodrat, dan potensi anak-anak.
Berorientasi pada kebutuhan anak-anak, maka relevansinya dengan khazanah budaya yang
ada di daerah kami yaitu budaya ‘Ammaca’. Budaya yang sudah terkonstruksi dengan baik
sejak zaman dahulu pada peradaban orang tua kita yang terbiasa ‘Ammaca’ baik berupa
surah-surah pendek, ayat suci Alquran dan kegiatan ‘Ammaca’ lainnya yang sesuai kebutuhan.
Oleh karena itu, kebiasaan tersebut yang secara terminologi diartikan sebagai literasi bisa
diterapkan pada murid di kelas terutama literasi Alquran bagi yang beragama Islam.
4) Pendidikan itu adalah taman bermain (kodrat anak adalah bermain).
 
Pemikiran ini dapat dilihat pada konteks budaya di daerah Jeneponto. Murid memiliki
kecenderungan suka bermain baik melakukan permainan tradisonal maupun permaina berbasis
digital. Potensi ini dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran yaitu pembelajaran
berbasis permainan. Relevansinya dengan penguatan karakter murid pada konteks sosial-
budaya di sekolah seperti ‘gandrang bulo’, ‘akmancak’, ‘akkelong’, dan berbagai entitas
kearifan lokal lain yang memiliki nilai permainan.

5) Anak adalah sehelai kertas yang masih samar-samar dan pendidik berfungsi untuk
mengarahkan serta menebalkan bagian yang samar sehingga anak-anak berkembang sesuai
kodratnya.
 
Pada pemikiran tersebut, pendidikan pada anak disesuaikan dengan kodrat alam dan kodrat
zaman. Di daerah Jeneponto terkenal masyarakatnya menganut budaya ‘Samaturu’ atau
gotong royong. Artinya, secara alam, murid-murid telah tumbuh, lahir, dan berkembang
dalam lingkungan pendidikan dan budaya yang berazaskan gotong royong. Semangat murid-
murid untuk belajar juga sangat baik didukung oleh orang tua dan keluarga sehingga iklim
kondusif terbangun dengan dengan. Murid sebagai individu memiliki sikap gotong royong
dalam segala aspek di lingkungan sekolahnya negitu halnya pada lingkungan masyarakat pada
konteks yang lebih luas.
Pertanyaan
Pemantik 3
Sepakati satu kekuatan pemikiran KHD yang menebalkan laku murid di kelas atau sekolah Anda
sesuai dengan konteks lokal sosial budaya di daerah Anda yang dapat diterapkan?

Hal positif pemikiran KHD yang akan kami terapkan dalam konteks kelas/sekolah adalah
pendidikan itu adalah benih-benih kebudayaan yang dapat mengantarkan murid pada budi
pekerti luhur dan bijaksana dengan berorientasi pada kebudayaan daerah/kearifan lokal.
Penjabaran

Mengantarkan murid pada budi pekerti yang luhur dan bijaksana akan berorientasi pada
budaya ‘Makkaraeng’ atau menghormati dengan lisan bahasa verbal dan gestur (bahasa
tubuh). Secara etimologi, ‘makkaraeng’ dideskripsikan sebagai upaya menjaga lisan dn
menbalkan laku murid untuk menghoramati dan menghargai orang yang lebih tua. Siapa pun
dan di mana pun berada, maka kebiasaan untuk memberikan penghargaan (bukan dalam
konteks memuja) kepada orang yang lebih tua baik kakak, saudara, guru, orang tua, dan
entitas peranan lainnya. Penerapan tersebut dapat memberikan pondasi budi pekerti yang
kuat pada murid apalagi jika diterapkan sedini mungkin dari jenjang TK-SMA maupun dari
lingkungan keluarga, sekolah, sampai masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai