Anda di halaman 1dari 99

Universitas Singaperbangsa Karawang

2020
Daftar Isi

1. Pendidikan Karakter
1.1 Pengertian Karakter
1.2 Tujuan Pendidikan Karakter
1.3 Prinsip Pendidikan Karakter
1.4 Komponen-komponen Pendidikan
Karakter
1.5 Nilai-Nilai Karakter yang Harus
Ditanamkan
2. Berbudaya Bangsa
3. Undang-undang Pemajuan Kebudayaan
3.1 Pendidikan Budaya
3.2 Nasionalisme
4. Karakter Berbudaya Bangsa
4.1 Fungsi Karakter Berbudaya Bangsa
4.2 Tujuan Penanaman Nilai-nilai Pendidikan
Karakter Berbudaya Bangsa
5. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Pendidikan
Karakter Berbudaya Bangsa
6. Kearifan Lokal
6.1 Jenis-jenis Kearifan Lokal
6.2 Local Genius sebagai Kearifan Lokal
6.3 Dimensi Kearifan Lokal
6.4 Fungsi Kearifan Lokal
6.5 Contoh Kearifan Lokal
6.6 Ciri-ciri Kearifan Lokal
6.7 Manfaat Kearifan Lokal
6.8 Kearifan Lokal Karawang
Pendidikan Karakter
Berbudaya Bangsa

1. Pendidikan Karakter

Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan


sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik.
Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan
bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang
lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai
oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki
masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan
adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi
generasi muda dan juga proses pengembangan budaya
dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.
Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa,
secara aktif peserta didik mengembangkan potensi
dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan
nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di

1
masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat
yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan
bangsa yang bermartabat.

Berdasarkan pengertian budaya, karakter bangsa, dan


pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka
pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai
sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik
sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai
karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan
warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan
kreatif .

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20


tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang harus digunakan untuk mengembangkan
pendidikan nasional di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban

2
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, dengan tujuan dapat berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.

Tujuan pendidikan nasional itu merupakan


rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus
dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena
itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar
dalam pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa di sekolah, dengan berlandaskan pada Pancasila,
UUD 1945 dan kebudayaan kebangsaan Indonesia.

Pembangunan karakter yang merupakan upaya


perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan
yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum
dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat
kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai

3
Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran
terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi
bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku
Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter
Bangsa 2010-2025, dalam Puskurbuk, Januari 2011).

Untuk mendukung perwujudan cita-cita


pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi
permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah
menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu
secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di
mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan
untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu
“mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila” (Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Bangsa: Puskurbuk, Januari 2011).

4
Dengan terus bergulirnya proses globalisasi yang
diiringi dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi akan berpengaruh pada pola pikir dan pola
tindak masyarakat di berbagai pelosok kota maupun desa.
Secara sosiologis dan psikologis, selain berdampak pada
masyarakat luas, komunitas yang paling mudah terkena
pengaruh fenomena global adalah kalangan generasi
muda, khususnya para remaja, dimana pada fase ini
remaja sedang memasuki kehidupan masa peralihan dari
anak- anak ke masa remaja yang relatif masih labil kondisi
emosinya, disamping ia juga sedang mencari identitas
dirinya sebagai remaja. Masyarakat menilai bahwa potret
dunia pendidikan kita semakin buram. Pendidikan di
Indonesia akhir-akhir ini dinilai sarat dengan muatan-
muatan intelektualistik dan materialistik, yang
mengesampingkan nilai-nilai moral budaya dan budi
pekerti dalam membentuk karakter siswa, sehingga
menghasilkan siswa yang pintar tetapi tidak bermoral.
Fenomena ini sesungguhnya menjadi tantangan bagi para
pendidik, guru maupun para praktisi pendidikan, dan
tentunya juga menjadi tantangan bangsa Indonesia. Jati
diri bangsa Indonesia kini sedang diuji keampuhannya.

5
Apakah proses globalisasi ini akan berakibat pada
merosotnya nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada
generasi muda yang menjadi aset bangsa di masa depan.

Kita semua menyadari bahwa pendidikan


sesungguhnya bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) melainkan sekaligus juga transfer
nilai (transfer of value). Untuk itu, penanaman nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa dalam pendidikan merupakan
pilar penyangga demi tegaknya pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu, persoalan budaya dan karakter bangsa
tersebut kini menjadi sorotan tajam masyarakat di
berbagai aspek kehidupan, baik di keluarga, sekolah dan
masyarakat. Media massa, para pemuka masyarakat, para
ahli, dan para pengamat pendidikan, serta sosial berbicara
tentang persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai
forum seminar dan lokakarya, baik di tingkat lokal,
nasional maupun internasional.

Dalam proses pendidikan, pendidikan budaya dan


karakter bangsa merupakan salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya degradasi nilai-nilai etika dan moral

6
di kalangan remaja. Rasa kepedulian ini didasarkan pada
kenyataan bahwa dewasa ini ada kecenderungan semakin
merebaknya sikap perilaku remaja yang menyimpang dari
tatanan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, yang
akhirnya membawa remaja tersebut tersesat hidupnya.

Keberhasilan dalam membangun karakter siswa,


secara otomatis akan membantu keberhasilan
membangun karakter bangsa. Oleh karena itu kemajuan
suatu bangsa juga akan tergantung bagaimana karakter
orang-orangnya, kemampuan intelegensinya, keunggulan
berpikir warganya, sinergi para pemimpinnya, dan lain
sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter adalah penting dalam membangun
moral dan kepribadian bangsa.

1.1 Pengertian Karakter

Menurut Ki Hadjar Dewantara (484-489:1967),


yang dimaksud pengajaran budi pekerti atau pendidikan
karakter adalah upaya untuk membantu perkembangan
jiwa yang sifatnya umum. Menganjurkan atau kalau perlu
menyuruh anak untuk: duduk yang baik, jangan berteriak-

7
teriak agar tidak mengganggu anak lain, bersih badan dan
pakaiannya, hormat terhadap ibu-bapak dan orang lain,
menolong teman yang perlu ditolong, demikian
seterusnya. Ini semua sudah merupakan pengajaran budi
pekerti.

Menurut Michael Novak karakter merupakan


“campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang
diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum
bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada
dalam sejarah.” Lickona, Thomas. Mendidik Untuk
Membentuk Karakter: BagaimanaSekolah dapat
Memberikan Pendidikan Sikap Hormat dan
Bertanggung Jawab.
Sementara itu, Masnur Muslich (84:2014)
menyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

8
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu
benda atau individu. Ciri khas tersebut asli dan mengakar
pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan
merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang
bertindak, bersikap, berujar, dan merespon sesuatu.
(Asmani, 23:2011).
Selanjutnya, menurut Maksudin yang dimaksud
karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan
dengan jati dirinya (daya qalbu), yang merupakan saripati
kualitas batiniah/rohaniah, cara berpikir, cara berperilaku
(sikap dan perbuatan lahiriah) hidup seseorang dan
bekerja sama baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa
maupun negara. (Maksudin, 3:2013).
Suyanto mengemukakan bahwa pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Asmani, 31:2011).
Sementara itu, Masnur Muslich menyatakan bahwa
pendidikan karakter adalah suatu sistem pemahaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik

9
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga
menjadi manusia insan kamil. (Muslich, 84:2011).
Selanjutnya Bagus Mustakim menyatakan bahwa
pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai suatu
proses internalisasi sifat-sifat utama yang menjadi ciri
khusus dalam suatu masyarakat ke dalam diri peserta
didik sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi
manusia dewasa sesuai dengan nilai-nilai budaya
masyarakat setempat. (Mustakim, 29:2011).
Sependapat dengan Bagus Mustakim, menurut
Dony Kusuma pendidikan karakter merupakan
dinamika pengembangan kemampuan yang
berkesinambugan dalam diri manusia untuk
mengadakan internalisasi nilai-nilai sehingga
menghasilkan disposisi aktif, stabil dalam diri individu.
(Mustakim, 29:2011).
Sri Judiani juga mengemukakan bahwa
pendidikan karakter ialah pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik
sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai

10
karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan
warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan
kreatif. (Fadlillah dan Khorida, 23:2013).
Senada dengan pendapat Sri Judiani, Agus
Wibowo mengemukakan bahwa pendidikan karakter
adalah pendidikan yang menanamkan dan
mengembangkan karakter-karakter luhur kepada anak
didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu,
menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupannya,
entah dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat dan
warga negara. (Wibowo, 26:2012).
Pendapat senada juga disampaikan oleh
Mardiatmadja bahwa pendidikan nila moral (karakter)
adalah merupakan bantuan terhadap peserta didik agar
menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkan
secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Maksudin.
Pendidikan Karakter Non-Dikotomik
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2013), h.55

Dari pendapat para ahli di atas, dapat


disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah

11
upaya menumbuhkan dan mengembangkan nilai- nilai
luhur kepada peserta didik. Hal terebut dilakukan agar
mereka mengetahui, menginternalisasi, dan
menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dalam
kehidupannya dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara.

1.2 Tujuan Pendidikan Karakter


Menurut Dharma Kesuma, tujuan pendidikan
karakter, khususnya dalam setting sekolah,

diantaranya sebagai berikut:29 29Muhammad

Fadlillah dan Lilif Mualifatu Khorida.Pendidikan


KarakterAnak Usia Dini: Konsep & Aplikasinya
dalam PAUD. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2013:
24-25):

1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai


kehidupan yang dianggap penting dan perlu
sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan
peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai
yang dikembangkan.
2) Mengoreksi periaku peserta didik yang tidak

12
bersesuaian dengan nilai- nilai yang
dikembangkan oleh sekolah.
3) Membangun koneksi yang harmonis dengan
keluarga dan masyarakat dalam memerankan
tanggung jawab pendidikan karakter secara
bersama.

Selain itu, Said Hamid Hasan menyatakan


bahwa pendidikan karakter secara perinci memiliki
lima tujuan. Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter:
Konsep dan Aplikasinya dalamLembaga Pendidikan.
(Jakarta: Kencana. 2011, h. 18), Pertama,
mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta
didiksebagai manusia dan warga negara yang memiliki
nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan
sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya
bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa
kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa. Keempat,
mengembangkan kemampuan peserta didik
menjadimanusia yang mandiri, kreatif, dan

13
berwawasan kebangsaan. Kelima,mengembangkan
lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi
dan penuh kekuatan (dignity).
Pupuh Fathurrohman pendidikan karakter
secara khusus bertujuan untuk (Fathurrohman ,2013, h.
97-98):
1) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku
peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi karakter bangsa
yang religius.
2) Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif
peserta didik sebagai manusia dan warganegara
yang memiliki nilai-nilai karakter dan karakter
bangsa.
3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggungjawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa.
4) Mengembangkan kemampuan peserta didik
menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan.

14
5) Mengembangkan lingkungan kehidupan
sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman,
jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta
dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan (dignity).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan


karakter adalah untuk membentuk karaketer peserta
didik yang beradab sehingga nilai-nilai karakter
tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pendidikan karakter, seorang peserta didk tidak
hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas
secara emosi dan spiritual.

1.3 Prinsip Pendidikan Karakter

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam


pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
mengusahakan agar peserta didik mengenal dan
menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai
milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang
diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai
pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya

15
menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses
berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong
peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk
sosial.

1.4 Komponen-Komponen Karakter yang Baik

Ada tiga komponen karakter yang baik


(components of good character) yang dikemukakan
oleh Lickona, sebagai berikut: Lickona, Thomas.
Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana
Sekolah dapat Memberikan Pendidikan Sikap Hormat
dan Bertanggung Jawab. (Penerjemah: Wamaungo,
85-100:2012).

a. Pengetahuan Moral

Pengetahuan moral merupakan hal yang penting


untuk diajarkan. Keenam aspek berikut ini
merupakan aspek yang menonjol sebagai tujuan

16
pendidikan karakter yang diinginkan.
1) Kesadaran Moral

Aspek pertama dari kesadaran moral adalah


menggunakan pemikiran mereka untuk melihat
suatu situasi yang memerlukan penilaian moral dan
kemudian untuk memikirkan dengan cermat
tentang apa yang dimaksud dengan arah tindakan
yang benar. Selanjutnya, aspek kedua dari
kesadaran moral adalah memahami informasi dari
permasalahan yang bersangkutan.

2) Pengetahuan Nilai Moral

Nilai-nilai moral seperti menghargai kehidupan


dan kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang
lain, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan,
disiplin diri, integritas, kebaikan, belas kasihan, dan
dorongan atau dukungan mendefinisikan seluruh
cara tentang menjadi pribadi yang baik. Ketika
digabung, seluruh nilai ini menjadi warisan moral
yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Mengetahui sebuah nilai juga berarti

17
memahami bagaimana caranya menerapkan nilai
yang bersangkutan dalam berbagai macam situasi.

3) Penentuan Perspektif

Penentuan perspektif merupakan kemampun


untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat
situasi sebagaimana adanya, membayangkan
bagaimana mereka akan berpikir, bereaksi, dan
merasakan masalah yang ada. Hal ini merupakan
prasyarat bagi penilaian moral.

4) Pemikiran Moral

Pemikiran moral melibatkan pemahaman apa


yang dimaksud dengan moral dan mengapa harus
aspek moral. Seiring anak-anak mengembangkan
pemikiran moral mereka dan riset yang ada
menyatakan bahwa pertumbuhan bersifat gradual,
mereka mempelajari apa yang dianggap sebagai
pemikiran moral yang baik dan apa yang tidak
dianggap sebagai pemikiran moral yang baik karena
melakukan suatu hal.

18
5) Pengambilan Keputusan

Mampu memikirkan cara seseorang bertindak


melalui permasalahan moral dengan cara ini
merupakan keahlian pengambilan keputusan
reflektif. Apakah konsekuensi yang ada terhadap
pengambilan keputusan moral telah diajarkan
bahkan kepada anak-anak pra usia sekolah.

6) Pengetahuan Pribadi

Mengetahui diri sendiri merupakan jenis


pengetahuan moral yang paling sulit untuk
diperoleh, namun hal ini perlu bagi pengembangan
karakter. Mengembangkan pengetahuan moral
pribadi mengikutsertakan hal menjadi sadar akan
kekuatan dan kelemahan karakter individual kita
dan bagaimana caranya mengkompensasi
kelemahan kita, di antara karakter tersebut.

b. Perasaan Moral

Sifat emosional karakter telah diabaikan dalam


pembahasan pendidikan moral, namun di sisi ini

19
sangatlah penting. Hanya mengetahui apa yang benar
bukan merupakan jaminan di dalam hal melakukan
tindakan yang baik. Terdapat enam aspek yang
merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan
oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter.

1) Hati Nurani

Hati nurani memiliki empat sisi yaitu


sisi kognitif untuk mengetahui apa yang benar
dan sisi emosional untuk merasa berkewajiban
untuk melakukan apa yang benar. Hati nurani
yang dewasa mengikutsertakan, di samping
pemahaman terhadap kewajiban moral,
kemampuan untuk merasa bersalah yang
membangun. Bagi orang-orang dengan hati
nurani, moralitas itu perlu diperhitungkan.

2) Harga Diri

Harga diri yang tinggi dengan


sendirinya tidak menjamin karakter yang baik.
Tantangan sebagai pendidik adalah membantu
orang-orang muda mengembangkan harga diri

20
berdasarkan pada nilai-nilai seperti tanggung
jawab, kejujuran, dan kebaikan serta
berdasarkan pada keyakinan kemampuan diri
mereka sendiri demi kebaikan.

3) Empati

Empati merupakan identifikasi dengan


atau pengalaman yang seolah-olah terjadi dalam
keadaan orang lain. Empati memungkinkan
seseorang keluar dari dirinya sendiri dan masuk
ke dalam diri orang lain. Hal tersebut
merupakan sisi emosional penentuan pesrpektif.

4) Mencintai Hal yang Baik

Bentuk karakter yang tertinggi


mengikutsertakan sifat yang benar-benar
tertarik pada hal yang baik. Ketika orang-orang
mencintai hal yang baik, mereka senang
melakukan hal yang baik. Mereka memiliki
moralitas keinginan, bukan hanya moral tugas.

5) Kendali Diri

21
Emosi dapat menjadi alasan yang
berlebihan. Itulah alasannya mengapa kendali
diri merupakan kebaikan moral yang
diperlukan. Kendali diri juga diperlukan untuk
menahan diri agar tidak memanjakan diri
sendiri.

6) Kerendahan Hati

Kerendahan hati merupakan kebakan


moral yang diabaikan namun merupakan bagian
yang esensial dari karakter yang baik.
kerendahan hati merupakan sisi afektif
pengetahuan pribadi. Kerendahan hati juga
membantu seseorang mengatasi kesombongan
dan pelindung yang terbaik terhadap perbuatan
jahat.

c. Tindakan Moral

Tindakan moral merupakan hasil atau outcome


dari dua bagian karakter lainnya. Apabila orang-orang
memiliki kualitas moral kecerdasan dan emosi maka
mereka mungkin melakukan apa yang mereka ketahui

22
dan mereka rasa benar. Tindakan moral terdiri dari
beberapa aspek sebagai berikut.

1) Kompetensi

Kompetensi moral memiliki


kemampuan untuk mengubah penilaian dan
perasaan moral ke dalam tindakan moral yang
efektif. Kompetensi juga bermain dalam situasi
moral lainnya. Untuk membantu orang lain
yang mengalami kesusahan, seseorang harus
mampu merasakan dan melaksanakan rencana
tindakan.

2) Keinginan

Pilihan yang benar dalam situasi moral


biasanya merupakan pilihan yang sulit. Menjadi
orang baik sering memerlukan tindakan
keinginan yang baik, suatu penggerakan energi
moral untuk melakukan apa yang seseorang
pikirkan harus dilakukan. Keinginan berada
pada inti dorongan moral.

23
3) Kebiasaan

Dalam situasi yang besar, pelaksanaan


tindakan moral memperoleh manfaat dari
kebiasaan. Seseorang sering melakukan hal
yang baik karena dorongan kebiasaan. Sebagai
bagian dari pendidikan moral, anak-anak
memerlukan banyak kesempatan untuk
mengembangkan kebiasaan yang baik, banyak
praktik dalam hal menjadi orang yang baik. Hal
ini berarti pengalaman yang diulangi dalam
melakukan apa yang membantu, apa yang
ramah, dan apa yang adil.

Seseorang yang mempunyai karakter yang baik


memiliki pengetahuan moral, perasaan moral, dan
tindakan moral yang bekerja sama secara sinergis.
Pendidikan karakter hendaknya mampu membuat
peserta didik untuk berperilaku baik sehingga akan
menjadi kebiasaan dalam kehiduapan sehari-hari.

1.5 Nilai-Nilai Karakter yang Harus Ditanamkan

24
Nilai-nilai karakter dan budaya bangsa berasal
dari teori-teori pendidikan, psikologi pendidikan, nilai-
nilai sosial budaya, ajaran agama, Pancasila dan UUD
1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik dan
praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari. (Zubaedi,
12:2011).
Kemendiknas mengidentifikasi ada 18 nilai
untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa
(Wibowo, 43-44:2012), sebagai berikut ini:

1) Religius: sikap dan perilaku patuh dalam


melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama
lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama
lain.

2) Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya


menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan
pekerjaan.

3) Toleransi: sikap dan tindakan yang

25
menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.

4) Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku


tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.

5) Kerja Keras: perilaku yang menunjukkan


upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6) Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk


menghasilkan cara atau hasil baru dari apa yang
telah dimiliki.

7) Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah


tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.

8) Demokratis: cara berpikir, bersikap, dan


bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.

26
9) Rasa Ingin Tahu: sikap dan tindakan yang
selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari apa yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10) Semangat Kebangsaan: cara berpikir,


bertindak, dan wawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan diri dan kelompoknya.

11) Cinta Tanah Air: cara berpikir, bersikap, dan


berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.

12) Menghargai Prestasi: sikap dan tindakan yang


mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, dan menghormati keberhasilan
orang lain.

13) Bersahabat dan Komunikatif: tindakan yang


memperlihatkan rasa senang berbicara,

27
bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.

14) Cinta Damai: sikap, perkataan, dan tindakan


yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadirannya.

15) Gemar Membaca: kebiasaan menyediakan


waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan baginya.

16) Peduli Lingkungan: sikap dan tindakan yang


selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.

17) Peduli Sosial: sikap dan tindakan yang selalu


ingin memberi bantuan bagi orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.

18) Tanggung jawab: sikap dan perilaku


seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya yang seharusnya dia lakukan,

28
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan
Yang Maha Esa.
Sementara itu, Ratna Megawangi berpendapat
bahwa terdapat 9 pilar karakter yang berasal dari nilai-
nilai luhur universal (Asmani, 51:2011), yaitu:

1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,


2) Kemandirian dan tanggungjawab,
3) Kejujuran atau amanah,
4) Hormat dan santun,
5) Dermawan, suka tolong menolong dan gotong
royong atau kerjasama,
6) Percaya diri dan pekerja keras,
7) Kepemimpinan dan keadilan,
8) Baik dan rendah hati, dan
9) Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Selain itu, Borba menyatakan bahwa kecerdasan


moral terdiri dari tujuh kebajikan utama. Menurut
Borba kecerdasan moral adalah kemampuan
memahami hal-hal yang benar dan berdasarkan

29
keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan
terhormat. (Borba, Alih bahasa: Lina Jusuf, 4:2008).
Berikut adalah tujuh kebajikan utama yang
membangun kecerdasan moral dan akan menjaga sikap
baik hidup pada anak, diantaranya: Borba, alih bahasa:
Lina Jusuf, 7-8:2008).

a) Empati

Empati merupakan inti emosi moral yang


membantu anak memahami perasaan orang lain.
Kebajikan ini membuatnya menjadi peka terhadap
kebutuhan dan perasaan orang lain, mendorongnya
menolong orang yang kesusahan atau kesakitan,
serta menuntutnya memperlakukan orang dengan
kasih sayang. Emosi moral yang kuat mendorong
anak bertindak benar karena ia bisa melihat
kesusahan orang lain sehingga mencegahnya
melakukan tindakan yang dapat melukai orang lain.

b) Hati Nurani

Hati nurani adalah suara hati yang membantu


anak memilih jalan yang benar daripada jalan yang

30
salah serta tetap berada di jalur yang bermoral,
membuat dirinya merasa bersalah ketika
menyimpang dari jalur yang semestinya. Kebajikan
ini membentengi anak dari pengaruh buruk dan
membuatnya mampu bertindak benar meski tergoda
untuk melakukan hal yang sebaliknya. Kebajikan
ini merupakan fondasi bagi perkembangan sifat
jujur, tanggung jawab, dan integritas diri yang
tinggi.

c) Kontrol Diri

Kontrol diri membantu anak menahan dorongan


dari dalam dirinya dan berpikir sebelum bertindak,
sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil
kemungkinan mengambil tindakan yang akan
menimbulkan akibat buruk. Kebajikan ini
membantu anak menjadi mandiri karena ia tahu
bahwa dirinya bisa mengendalikan tindakannya
sendiri. Sifat ini membangkitkan sikap murah dan
baik hati karena anak mampu menyingkirkan
keinginan memuaskan diri serta merangsang
kesadaran mementingkan kepentingan orang lain.

31
d) Rasa Hormat

Rasa hormat mendorong anak bersikap baik dan


menghormati orang lain. Kebajikan ini
mengarahkan anak memperlakukan orang lain
sebagaimana ia ingin orang lain memperlakukan
dirinya, sehingga mencegah anak bertindak kasar,
tidak adil, dan bersikap memusuhi. Jika anak
terbiasa bersikap hormat tehadap orang lain, ia
akan memperhatikan hak-hak serta perasaan orang
lain; akibatnya, ia juga akan menghormati dirinya
sendiri.

e) Kebaikan Hati

Kebaikan hati membantu anak mampu


menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan
dan perasaan orang lain. Dengan mengembangkan
kebajikan ini, anak lebih belas kasih dan tidak
terlalu memikirkan diri sendiri, serta menyadari
perbuatan baik sebagai tindakan yang benar.
Kebaikan hati membuat anak lebih banyak
memikirkan kebutuhan orang lain, menunjukkan

32
kepedulian, memberi bantuan kepada yang
memerlukan, serta melindungi mereka yang
kesulitan atau kesakitan.

f) Toleransi

Toleransi membuat anak mampu menghargai


perbedan kualitas dalam diri orang lain, membuka
diri terhadap pandangan dan keyakinan baru, dan
menghargai orang lain tanpa membedakan suku,
gender, penampilan, budaya, kepercayaan,
kemampuan, atau orientasi seksual. Kebajikan ini
membuat anak memperlakukan orang lain dengan
baik dan penuh pengertian, menentang
permusuhan, kekejaman, kefanatikan, serta
menghargai orang-orang berdasarkan karakter
mereka.

g) Keadilan

Keadilan menuntun anak agar memperlakukan


orang lain dengan baik, tidak memihak, dan adil,
sehingga ia mematuhi aturan, mapun bergiliran dan
berbagi, serta mendengar semua pihak secara

33
terbuka sebelum memberi penilaian apa pun.
Karena kebajikan ini meningkatkan kepekaan
moral anak, ia pun akan terdorong membela pihak
yang diperlakukan secara tidak adil dan menuntut
agar semua orang tanpa pandang suku, bangsa,
budaya, status ekonomi, kemampuan, atau
keyakinan, semuua diperlakukan setara.

2. Berbudaya Bangsa

Menurut Ki Hadjar Dewantara (1967: 93-98),


kebudayaan berarti buah budi manusia, dan karenanya
baik yang bersifat lahir maupun batin selalu mengandung
sifat-sifat keluhuran, etika dan estetika yang ada pada
hidup manusia pada umumnya. Kebudayaan nasional
merupakan buah budi manusia yang mengandung sifat-
sifat keluhuran dan kehalusan, etika dan estetika dalam
kehidupan manusia. Dalam arti umum, kebudayaan
adalah merupakan sifat utuhnya bangsa yang berkaitan
dengan derajat kemanusiaannya, baik lahir maupun batin.
Kebudayaan selalu mengandung sifat keluhuran dan
kehalusan budi manusia yang berada dalam satu kesatuan

34
dengan negara dan bangsa. Tanah air Indonesia
merupakan satu kesatuan, baik geografis maupun historis
dan kultural. Untuk membentuk karakter suatu bangsa,
kebudayaan yang bersifat nasional adalah mutlak
diperlukan untuk membingkai dan membangun rasa
persatuan dan kesatuan bangsa, rasa kecintaan terhadap
tanah air dan bangsanya, demi terwujudnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Ki Hadjar Dewantara (1961: 342-347),


pendidikan dalam hidup segala makhluk terdapat sebagai
laku-kodrat (instinct), dalam hidup manusia yang beradab
bersifat usaha kebudayaan. Sebagai laku-kodrat maka
pendidikan itu masih bersifat laku atau kejadian (sebelum
merupakan perbuatan berdasarkan kemauan), jadi masih
sangat sederhana dan hanya mengenai pokok
keperluannya. Pendidikan yang berlaku sebagai instinct,
itu berupa pemeliharaan terhadap anak, serta latihan
tingkah laku yang kelak perlu untuk kehidupannya.
Sebagai usaha-kebudayaan, maka pendidikan itu
bermaksud memberi tuntunan didalam tumbuhnya badan
dan jiwa anak-anak, agar kelak dalam garis kodrat

35
pribadinya dan pengaruh lingkungan yang mengelilingi
lahir dan batinnya menuju ke arah adab kemanusiaan.
Adab kemanusiaan, yang berarti keluhuran dan kehalusan
budi manusia, mengandung arti kesanggupan dan
kemampuan manusia serta keinsyafan akan keharusan
manusia menuntut kecerdasan, keluhuran dan kehalusan
budi pekerti bagi dirinya.

Kebudayaan yang berarti buah budi manusia,


adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat).
Sebagai buah perjuangan hidup manusia, maka
kebudayaan itu selalu bersifat kebangsaan (nasional) dan
mewujudkan kepribadian bangsa (kemerdekaan hidup
kebangsaan). Tiap-tiap kebudayaan menunjukkan rendah
tingginya adab- kemanusiaan dalam hidupnya masing-
masing bangsa yang memilikinya, dalam hal mana
keluhuran dan kehalusan hidup manusia selalu sebagai
ukuran.

Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem


berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief)

36
manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari
interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan
alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan
keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan
menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem
kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan
sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi
penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan
sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh
sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang
telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus
berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya
adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan,
ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya
terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik,
sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral,
dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan
mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai
untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.

37
Dalam Ilmu Tata Negara terdapat berbagai pengertian
mengenai istilah bangsa. Mengenai pengertian ada
beberapa batasan oleh para pakar (Budiyanto, 1997)
seperti di bawah ini:

1) Ernest Rinan (Perancis): Bangsa terbentuk karena


adanya keinginan untuk hidup bersama (hasrat
bersatu) dengan perasaan setia kawan yang agung.
2) Otto Bauer (Jerman): Bangsa adalah kelompok
manusia yang mempunyai persamaan karakter.
Karakteristik tumbuh karena adanya persamaan
nasib.
3) Hans Kohn (Jerman): Bangsa adalah buah hasil
hidup manusia dalam sejarah. Suatu bangsa
merupakan golongan yang beraneka ragam dan
tidak bias dirumuskan secara eksak. Kebanyakan
bangsa memiliki factor-faktor obyektif tertentu
yang membedakannya dengan bangsa lain.
Faktor-faktor itu berupa persamaan keturunan,
wilayah, bahasa, adat istiadat, kesamaan politik,
perasaan dan agama.

38
Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya bangsa adalah rakyat
yang telah mempunyai kesatuan tekad untuk membangun
masa depan bersama. Caranya ialah dengan mendirikan
negara yang akan mengurus terwujudnya aspirasi dan
kepentingan bersama secara adil. Faktor obyektif
terpenting dari suatu bangsa adalah adanya kehendak atau
kemauan bersama, yang lebih dikenal dengan
nasionalisme. Dalam kehidupan suatu bangsa, kit aharus
menyadari adanya keanekaragaman yang dilandasi oleh
rasa persatuan dan kesatuan tanak air, bahasa, dan cita-
cita. Fredrich Hertz dari Jerman dalam bukunya
Nationality in History and Politics mengemukakan bahwa
setiap bangsa mempunyai 4 (empat) unsur aspirasi, yaitu:

1) Keinginan untuk mencapai kesatuan nasional


yang terdiri atas kesatuan sosia, ekonomi, politik,
agama, kebudayaan, komunikasi, dan solidaritas.
2) Keinginan untuk mencapai kemerdekaan dan
kebebasan nasional sepenuhnya, yaitu bebas dari
dominasi dan campur tangan bangsa asing
terhadap urusan dalam negerinya.

39
3) Keinginan dalam kemandirian, keunggulan,
individualitas, keaslian, atau kekhasan. Misalnya,
menjunjung tinggi bahasa nasional yang mandiri.
4) Keinginan untuk menonjol (unggul) di antara
bangsa-bangsa dalam mengejar kehormatan,
pengaruh, dan prestise. (dalam Depdagri, 2003: 9)

Mengacu pada Undang-Undang Dasar Tahun


1945, dapat diketahui bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan, berbentuk Republik dengan kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar (lihat pasal 1 ayat (1) dan (2) UUD
1945. Negara sebagai organisasi kekuasaan melindungi
segenap bangsanya yang ada di seluruh
wilayah/daerahnya, yaitu bangsa Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat, agama yang
menghuni/bertempat tinggal di seluruh wilayah negara
atau tanah air Indonesia.

Bangsa yang tinggal di suatu negara memiliki ciri


khas yang membedakannya dengan bangsa lain, baik cara
bertindak, cara berpikir maupun tujuan yang ingin dicapai

40
oleh negara melalui masyarakatnya atau rakyat
bangsanya. Cara-cara tersebut disosialisasikan,
dididikkan dan diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga menjadi karakter suatu bangsa.

3. Pendidikan dan Budaya Nasional


3.1 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan

Bersamaan dengan penelitian ini lahir undang-


undang pemajuan kebudayaan yang memperkuat kajian
tentang budaya di Indonesia. UU Pemajuan Kebudayaan
Pasal 3, 4, dan 5 menjadi landasan utama penelitian ini.
Isi Pasal 3 pemajuan kebudayaan berasaskan:
a) toleransi;
b) keberagaman;
c) kelokalan;
d) lintas wilayah;
e) partisipasi;
f) manfaat;
g) keberlanjutan;
h) kebebasan berekspresi;
i) keterpaduan;

41
j) kesederajatan; dan
k) gotong royong.
Berlandaskan Pasal 3, maka penelitian ini berasaskan
pemajuan kebudayaan kelokalan dan manfaat bagi
masyarakat setempat.
Adapun tujuan penelitian berdasarkan Pasal 4,
Pemajuan Kebudayaan bertujuan untuk:
a) mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa;
b) memperkaya keberagaman budaya;
c) memperteguh jati diri bangsa;
d) memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa;
e) mencerdaskan kehidupan bangsa;
f) meningkatkan citra bangsa;
g) mewujudkan masyarakat madani;
h) meningkatkan kesejahteraan rakyat;
i) melestarikan warisan budaya bangsa; dan
j) mempengaruhi arah perkembangan peradaban
dunia, sehingga kebudayaan menjadi haluan
pembangunan nasional.
Pasal 4 ini menegaskan bahwa pengkajian
kebudayaan harus memiliki tujuan karena kebudayaan
sebagai simbol jati diri dapat meningkatkan kesejahteraan

42
masyarakat. Begitu pun dalam penelitian ini, dikaji bahwa
tari jaipong menjadi jati diri masyarakat Kabupaten
Karawang.
Undang-undang pun mengatur objek penelitian
yang termasuk kajian kebudayaan berdasarkan Pasal 5
objek pemajuan kebudayaan meliputi:
a. tradisi lisan;
b. manuskrip;
c. adat istiadat;
d. ritus;
e. pengetahuan tradisional;
f. teknologi tradisional;
g. seni;
h. bahasa;
i. permainan rakyat; dan
j. olahraga tradisional.

Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan


penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa
adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO
dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan
salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan

43
(Pudentia 2010). Penelitian ini akan mengkaji kearifan
lokal yang terkandung dalam seni pertunjukan dan teks
nyanyian sinden tari jaipong. Kearifan yang terkandung di
dalamnya diharapkan memberikan sumbangsih dalam
dunia pendidikan dalam pembentukan karakter anak
bangsa dan generasi selanjutnya untuk lebih memahami
nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal.

3.2 Pendidikan Budaya

Pendidikan karakter berbudaya bangsa dalam


tulisan ini, adalah proses penanaman nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta
kebudayaan kebangsaan Indonesia, yang akan dijabarkan
dalam bentuk kegiatan-kegiatan kongkrit.

Pendidikan adalah salah satu usaha untuk


memberikan segala nilai-nilai kebatinan, yang hidup di
dalam hati rakyat yang berkebudayaan, kepada tiap
keturunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa
pemeliharaan, tetapi juga dengan maksud memajukan
serta mengembangkan kebudayaan menuju kearah
keluhuran hidup kemanusiaan.

44
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat
hubungan yang sangat erat, artinya keduanya
menekankan pada hal yang sama, yaitu nilai-nilai
kemanusiaan dan kemasyarakatan. Proses kebudayaan
dan pendidikan hanya dapat terjadi didalam hubungan
antar manusia dalam masyarakat. Keluhuran dan
kehalusan budi manusia adalah hasil dari proses
pendidikan dan kebudayaan, yaitu dengan menanamkan
nilai- nilai yang terkandung dalam kebudayaan, sehingga
terciptalah manusia yang beradab dan berbudaya.

Menurut Ki Hadjar Dewantara (30 Tahun


Tamansiswa), telah meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional yang berorientasi budaya. Dalam Konggres
Tamansiswa pertama tahun 1930, Ki Hadjar Dewantara
telah menyodorkan konsep pendidikan sebagai berikut:
pendidikan beralaskan garis hidup dari bangsanya
(kultural nasional) yang ditujukan untuk keperluan
perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan
rakyatnya, agar dapat bersama-sama dengan bangsa lain
untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia. Dari
rumusan tersebut dapat dilihat butir-butir yang

45
dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara seperti berikut
ini:

1) Bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari


pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas
atau dasar pendidikan. Rumusan ini sungguh
menjangkau jauh kedepan, disini dikatakan bukan
hanya pendidikan itu dialaskan kepada suatu
aspek kebudayaan, tetapi kebudayaan sebagai
keseluruhan.
2) Kebudayaan yang menjadi landasan pendidikan
tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan
demikian kebudayaan yang dimaksud adalah
kebudayan yang riil, yaitu budaya yang hidup di
dalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Dalam
hal ini Ki Hadjar Dewantara bukan berbicara
mengenai kebudayaan Jawa, tetapi kebudayaan
nasional Indonesia, artinya kebudayaan yang akan
dikembangkan oleh masyarakat Indonesia.
Apabila kebudayaan kebangsaan Indonesia itu
belum terwujud, maka ini adalah tugasnya

46
pendidikan nasional untuk mewujudkan
kebudayaan kebangsaan yang dimaksud.

3.3 Nasionalisme
1) Wawasan Kebangsaan

Wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa


dalam satu keutuhan rasa, bahasa dan semangat
kebangsaan untuk bergerak bulat guna berbakti untuk
kepentingan bangsa dan negara. Wawasan kebangsaan
akan menumbuh kembangkan rasa persatuan dan
kesatuan bangsa yang kokoh sebagai tali pengikat dan
sumber kekuatan bagi kelangsungan hidup bangsa, seperti
cinta tanah air, menjunjung tinggi rasa persatuan dan
kesatuan, mendahulukan kepentingan bangsa diatas
kepentingan pribadi dan golongan, dan sebagainya.

2) Wawasan Kejuangan

Wawasan kejuangan adalah cara pandang bangsa


yang pantang menyerah dan rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan tanah air, serta setia kepada
perjuangan bangsa. Wawasan kejuangan dikembangkan

47
untuk menanamkan nilai-nilai jiwa kejuangan yang
tinggi, yang dilandasi oleh semangat kejuangan bangsa
Indonesia 1945, yaitu pantang menyerah dan rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

3) Wawasan kebudayaan

Wawasan kebudayaan adalah cara pandang bangsa


dalam menghayati ketinggian kebudayaan nasional
dengan tidak menolak unsur kebudayaan asing yang dapat
memperkaya kebudayaan nasional dan mempertinggi
derajat kemanusiaan bangsa Indonesia untuk menuju ke
arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan bangsa.
Wawasan kebudayaan dikembangkan agar para siswa
mampu menghayati keluhuran budaya bangsa Indonesia,
dengan tidak menolak unsur kebudayaan asing yang dapat
memperkaya kebudayaan nasional Indonesia, dan untuk
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia
menuju adab dan budaya serta persatuan dan kesatuan
lebih tinggi.

48
4. Karakter Berbudaya Bangsa

Karakter secara etimologis barasal dari bahasa


Yunani “kasairo” berarti “cetak biru”, “format dasar”,
“sidik” seperti sidik jari. Dalam hal ini karakter adalah
given atau sesuatu yang sudah ada dari sananya. Namun,
istilah karakter sebenarnya menimbulkan ambiguitas.
Tentang ambiguitas terminologi “karakter” ini, Mounier
(1956) mengajukan dua cara interpretasi. Ia melihat
karakter sebagai dua hal, yaitu pertama sebagai
sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau
telah ada begitu saja dalam diri kita, karakter yang
demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada atau
kodrat (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami
sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu
mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang
demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang
dikehendaki (willed).

Karakter dapat juga disebut watak, yaitu paduan


segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga
menjadi “ciri” khusus yang membedakan orang satu

49
dengan yang lain. Karakter atau watak terjadi karena
perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh dari
ajar. Oleh sebab itu dinamakan dengan pendidikan
karakter. Yang dinamakan “dasar” adalah potensi dasar
atau bakat yang diperoleh yang sudah menjadi suatu
kodrat. Sedang yang disebut “ajar” adalah segala segala
sifat pendidikan dan pengajaran yang dapat mewujudkan
intelligibel. Menurut Ki Hadjar Dewantara (1977: 408) di
dalam jiwa, karakter itu adalah imbangan yang tetap
antara hidup batinnya. Seseorang dengan segala macam
perbuatannya. Oleh sebab itu, seolah-olah menjadi “lajer”
atau “sendi” di dalam hidupnya, yang lalu mewujudkan
sifat perangai yang khusus buat satu-satunya manusia.

Karakter dapat dilihat dari tingkah laku ketika


orang berinteraksi, yang memiliki arti psikologis dan etis.
Dalam arti psikologis, karakter adalah sifat-sifat yang
demikian nampak dan yang seolah-olah mewakili
pribadinya. Sedangkan dalam arti etis, karakter harus
mengenai nilai-nilai yang baik dan menunjukkan sifat-
sifat yang selalu dapat dipercaya, sehingga orang
berkarakter itu menunjukkan sifat mempunyai pendirian

50
teguh, baik, terpuji dan dapat dipercaya. Berkarakter
berarti memiliki prinsip dalam arti moral di mana
perbuatannya atau tingkah lakunya dapat
dipertanggungjawabkan dan teguh.

Dari uraian tentang karakter dan bangsa di atas


dapat diambil suatu pengertian bahwa karakter bangsa
adalah ciri khas dan sikap suatu bangsa yang tercermin
pada tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap
tersebut dapat dipengaruhi oleh sesuatu yang given (yang
sudah ada) dan dapat pula karena willed (yang diusahakan
negara/pemerintah) demi kemajuan bangsanya. Oleh
sebab itu, karakter bangsa sangat bergantung pada
political will pemerintah atau para penguasa suatu negara,
sebab karakter bangsa, selain given (sudah ada dari
awalnya) juga merupakan willed, yaitu yang dapat
dibangun sesuai dengan visi suatu negara. Sejarah telah
membutuhkan bahwa para founding father telah
meletakkan pondasi dan dasar negara yang menjadi
karakter bangsa, yang penting untuk dikembangkan dan
ditransformasikan agar menjadi milik seluruh warga
bangsa negara Indonesia.

51
Ada tiga tiang utama jati diri bangsa Indonesia
yang tidak boleh digerogoti dengan cara apapun (Hasyim
Djalal, 2007: 21), yaitu: Pertama, Indonesia sebagai suatu
kebangsaan. Hal ini dicapai sejak Sumpah Pemuda 1928
yang menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa,
satu tanah air, dan satu bahasa. Dengan demikian, bangsa
Indonesia bukanlah berdasarkan suku, agama, rasial
ataupun mementingkan kelompok-kelompok tertentu,
tetapi adalah semua warga yang mendiami seluruh tanah
air Indonesia. Kedua, Indonesia adalah suatu negara yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Ini berarti
bahwa manusia-manusia Indonesia menyatakan dirinya
hidup dalam satu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Karena itu tidak mungkin ada negara
lagi di dalam NKRI tersebut. Ketiga, Indonesia adalah
satu kewilayahan, dalam arti bahwa orang- orang
Indonesia yang telah menjadi suatu bangsa itu, berdiam di
dalam satu kesatuan kewilayahan, yaitu satu kesatuan
nusantara Indonesia yang mencakup wilayah darat, laut,
udara, dan kekayaan alam.

52
Menurut Wibisono (1998: 8) karakter bangsa
berisi nasionalisme dan rasa cinta pada tanah air. Untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa, warganya
harus memiliki apa yang disebut sebagai kesamaan rasa
dimiliki dan memiliki (sense of belonging) dan
mewujudkan suatu derajat nasionalisme. Oleh karena itu,
bangsa akan lebih baik bila ditinjau dari fungsi. Artinya
setiap warga bangsa harus memiliki kesadaran bersama
bahwa mereka membentuk suatu komunitas politik
tertentu, di mana kehadiran dan perannya dibutuhkan oleh
sesama warga, dan sebaliknya dirinya juga tidak akan
mampu menjalankan fungsinya tanpa warga lain. Dapat
dikatakan pula bahwa ke dalam dinamika kehidupan
bangsa harus terkandung nilai-nilai partisipasi dan
akomodasi.

Nasionalisme dapat pula diartikan sebagai


ekspresi politik dari kebangsaan, Deutsch (dalam
Depdagri, 2003) mengartikan nasionalisme sebagai
pilihan kepentingan yang kompetitif dari bangsa yang
bersangkutan dengan segenap warganya di atas
kepentingan- kepentingan yang lain. Nasionalisme dapat

53
menjadi faktor penting untuk membangun dan
memperkuat rasa kebangsaan (kesadaran nasional). Akan
tetapi perlu kehati-hatian, karena nasionalisme yang
dipahami dan diterapkan secara berlebihan justru
membahayakan bangsa itu sendiri. Hal ini dikarenakan
nasionalisme juga memberikan justifikasi intelektual
untuk perasaan dendam terhadap bangsa lain. Proses
nasionalisme semacam ini dapat berkulminasi pada upaya
mendirikan Maha Negara (empire) dengan cara memuja
dan membanggakan bangsa sendiri sampai ke tingkat
merasa ras yang paling unggul yang dikodratkan untuk
mengatur dan memerintah bangsa-bangsa lain.

Adapun Kohn (1984) memberi pengertian bahwa


nasionalisme adalah suatu “state of mind and an act of
consciousness”, jadi sejarah pergerakan nasional harus
dianggap sebagai suatu “history of idea”. Dari pernyataan
ini secara sosiologis, ide, pikiran, motif, kesadaran harus
selalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkrit dari
situasi sosio-historis. Pengertian lain dari nasionalisme
dapat disebut sebagai “social soul” (K. Lamprecht, 1920),
“mental masyarakat” (F. Meineche, 1901), “sejumlah

54
perasaan dan ide-ide yang kabur” (F. Hertz, 1951).
Adapun Ernest Gellner (dalam W.G. Suacana, 2006: 16)
memberi pengertian nasionalisme sebagai suatu prinsip
politik yang beranggapan bahwa unit nasional dan politik
seharusnya seimbang. Tepatnya Gellner lebih
menekankan nasionalisme dalam aspek politik.
Dikatakannya, jika nasionalisme adalah suatu bentuk
munculnya sentimen dan gerakan, baru kita dapat
mengerti dengan baik jika kita mendefinisikan apa itu
gerakan dan sentimen. Apa yang dimaksudkan sebagai
suatu sentimen adalah secara psikologis merupakan suatu
bentuk antipati atau ungkapan marah, benci, dan lain
sebagainya. Dari penawaran Gellner tersebut mengenai
konsep sentimen dan gerakan, nampaknya telah menjadi
penekanannya dalam melihat nasionalisme.

Sedang Benedict Anderson (1999) menekankan


nasionalisme tidak dalam aspek politik sebagaimana
Gellner, tetapi justru tertarik untuk memahami kekuatan
dan kontinyuitas dari sentimen dan identitas nasional. Ia
melontarkan tentang komunitas imajiner masyarakat
khayalan (imagined communities). Konsep ini menarik

55
karena Anderson, dengan menggunakan pendekatan
Durkheimian, mengklaim bahwa nasionalis berakar dari
sistem budaya dalam bentuk kelompok masyarakat yang
saling tidak mengenal satu sama lain. Kebersamaan
mereka dalam gagasan mengenai suatu bangsa
dikonstruksikan melalui khayalan yang menjadi materi
dasar nasionalisme.

Meskipun berbeda perspektif, akan tetapi


keduanya menekankan bahwa bangsa (nation) adalah
suatu konstruksi ideologi yang nampak sebagai bentuk
garis antara definisi diri) kelompok budaya dan state
(negara), dan mereka membentuk komunitas abstrak
berdasarkan perbedaan dari negara dinasti atau komunitas
berdasarkan kekerabatan yang mendahului pembentukan
mereka.

Dari berbagai pengertian di atas tidak terdapat


perbedaan yang mendasar, justru menunjukkan
persamaan, yaitu semuanya lebih bersifat sosio-
psikologis. Ini berarti nasionalisme sebagai bentuk respon
yang bersifat sosio-psikologis tidak lahir dengan

56
sendirinya, akan tetapi lahir dari suatu respon secara
psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yang
mendahuluinya, yaitu imperialis (kolonialisme). Jika
demikian halnya, maka awal terbentuknya nasionalisme
lebih bersifat subyektif, karena lebih merupakan reaksi
“group consciousness”, “we sentimen”, “corporate will”,
dan berbagai fakta mental lainnya.

4.1 Fungsi Pendidikan Karakter Berbudaya


Bangsa

Pendidikan karakter berfungsi (1)


mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat
dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3)
meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia (Kemendiknas, Balitbang, Puskur,
2011:3).

Untuk mencapai kualifikasi hasil didik yang


diharapkan, maka tahapan pengembangan pendidikan
nilai budaya dan karakter bangsa adalah sebagai berikut.

57
1) Fungsi penanaman, adalah tahap untuk
menanamkan nilai-nilai dasar dalam rangka
pembentukan sikap mental dan perilaku sesuai
nilai-nilai karakter yang dikehendaki.
2) Fungsi penumbuhan, adalah tahap untuk
menumbuhkan kesadaran terhadap wawasan
kebangsaan, kejuangan dan kebudayaan.
3) Fungsi pengembangan, adalah tahap
pengembangan untuk mengembangkan
penghayatan terhadap wawasan kebangsaan,
kejuangan dan kebudayaan.
4) Fungsi pemantapan, adalah tahap untuk
memantapkan ketiga wawasan tersebut agar
mampu menerapkannya secara langsung dalam
sikap dan perilakunya sehari- hari.

4.2 Tujuan Penanaman Nilai-nilai Pendidikan


Karakter Berbudaya Bangsa

Dalam menyiapkan sumber daya manusia Indonesia


yang berkwalitas, tujuan pendidikan budaya dan karakter
bangsa menjadi sangat penting, yaitu untuk:

58
1) Membentuk manusia Indonesia yang berkualitas,
baik dari daya pikir (kognitif), daya rasa (afektif),
dan daya karsa (psikomotorik) yang dilandasi oleh
Pancasila dan UUD 1945, serta kebudayaan
kebangsaan Indonesia. Sehingga lulusannya nanti
diharapkan dapat memiliki wawasan kebangsaan,
wawasan kejuangan, dan wawasan kebudayaan
yang tinggi, cinta terhadap tanah air dan
bangsanya, serta dikokohkan dengan semboyan
satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang akan
selalu tertanam dalam hati sanubari mahasiswa
Indonesia.
2) Menyiapkan mahasiswa dapat menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni, sehingga
diharapkan nanti menjadi anak-anak Indonesia
yang cerdas inteleknya, cerdas hati nuraninya,
cerdas spiritualnya, dan kreatif serta mandiri,
sehingga diharapkan mereka mampu menangkap
sinyal-sinyal yang diperlukan oleh masyarakat
demi kesejahteraan hidup masyarakat, bangsa dan
negara.

59
3) Membentuk pola sikap, pola laku dan pola tindak
pada mahasiswa, sehingga dikemudian hari
diharapkan lulusan sekolah mampu menjadi
warga masyarakat dan warga negara yang
memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
mampu menjaga, mempertahankan, dan
melestarikan adat dan budaya bangsa Indonesia
demi kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Dengan harapan dikelak kemudian hari dapat
menjadi kader-kader calon pemimpin bangsa yang
berkualitas, berkarakter dan berbudaya.
4) Menyiapkan agar setelah lulus nanti mahasiswa
memiliki kemampuan dan kecakapan, daya pikir,
daya rasa, dan daya fisik yang seimbang, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk
melanjutkan pendidikan maupun untuk langsung
terjun ke masyarakat.
5) Menyiapkan agar mahasiswa memiliki rasa
nasionalisme kebangsaan yang tinggi, dan mampu
menjunjung tinggi peradaban dan budaya
bangsanya sendiri, yang dilandasi oleh tiga

60
wawasan, yaitu wawasan kebangsaan, wawasan
kejuangan, dan wawasan kebudayaan.
6) Menyiapkan agar mahasiswa memiliki
kemampuan beradaptasi yang tinggi dalam
menghadapi kemajuan ilmu dan teknologi di dunia
global.
7) Menyiapkan agar mahasiswa memiliki kesiapan
mental dan fisik untuk menghadapi tantangan
jaman yang selalu berobah dan berkembang sesuai
dengan kemajuan IPTEK.
8) Menyiapkan agar kelak mahasiswa memiliki
kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945,
memiliki moralitas yang luhur, memiliki kepekaan
terhadap sosial budaya masyarakat bangsanya,
memiliki kecakapan dan profesionalisme yang
memadai, serta kesehatan lahir dan batin.

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan


membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak
mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh

61
iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa
berdasarkan Pancasila (Kemendiknas, Balitbang, Puskur,
2011:3).

5. Nilai-nilai yang Terkandung dalam


Pendidikan Karakter Berbudaya Bangsa

Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi,


berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke
generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu
merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa
itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan,
pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan
nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-
nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa
kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan
prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa
merupakan inti dari suatu proses pendidikan.

Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi


landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang
berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata kuliah.

62
Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa,
kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah
bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya
dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang
memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa
diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya
dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus
membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan
nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan
bangsanya hidup, nilai yang hidup di masyarakat, sistem
sosial yang berlaku dan sedang berkembang, sistem
ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik, bahasa
Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan
perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu
ada upaya terobosan kurikulum berupa pengembangan
nilai- nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya
dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang
demikian, nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri
peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak
nyata dalam kehidupan diri, masyarakat, bangsa, dan
bahkan umat manusia.

63
Pendidikan karakter berbudaya bangsa dilakukan
melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang
menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa.
Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada
dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya
dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan
nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau
ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai
yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.

1) Nilai-nilai dasar

Nilai-nilai dasar adalah nilai-nilai yang


terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, yaitu bahwa
setiap sikap atau tindakan yang dilakukan hendaknya
selalu dijiwai oleh nilai-nilai yang terdapat pada sila-sila
dalam Pancasila dan UUD 1945.

2) Nilai-nilai kemasyarakatan

Nilai-nilai kemasyarakatan adalah nilai-nilai yang


terdapat dalam hidup dan kehidupan yang berupa nilai
moral, etika dan etiket. Bila nilai-nilai ini telah

64
terinternalisasi dalam diri anak, maka akan terbentuklah
karakter anak yang memiliki adab dan budaya serta susila,
atau boleh disebut anak yang berkepribadian. Nilai- nilai
ini dapat dikembangkan melalui berbagai kegiatan yang
mencakup kegiatan keagamaan, pengajaran etika dan
etiket, yang memuat tentang kejujuran, toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, kepedulian dengan lingkungan,
kegiatan sosial, tanggung jawab, dan kepemimpinan dan
lain-lain. Dengan penanaman nilai-nilai kemasyarakatan
ini diharapkan mampu membentuk karakter anak ditinjau
dari aspek hidup dan kehidupan.

3) Nilai-nilai kenegaraan

Nilai-nilai kenegaraan adalah nilai-nilai yang


menyangkut kecintaan terhadap tanah air dan bangsanya.
Nilai-nilai ini dapat dikembangkan melalui kegiatan yang
bernuansa nasionalisme kebangsaan, baik dalam bentuk
teori (penanaman nilai-nilai melalui mata pelajaran
sejarah, PPKN, geografi dan sosiologi) maupun praktek
dalam kehidupan nyata. Nilai-nilai ini dapat ditanamkan
dalam bentuk kegiatan seperti upacara bendera,

65
penghormatan kepada bendera merah putih, peringatan
hari- hari besar nasional, pemasangan bendera merah
putih di setiap ruang kelas, pemutaran lagu-lagu
kebangsaan pada saat istirahat atau pagi-pagi sebelum
masuk kelas (disesuaikan dengan kondisi sekolah).
Dengan penanaman nilai kecintaan terhadap tanah air
dalam berbagai bentuk kegiatan yang bernuansa
kebangsaan dan nasionalisme diharapkan akan mampu
menggugah rasa kebangsaan dan nasionalisme pada diri
anak sehingga anak memiliki rasa cinta terhadap tanah air
dan bangsanya, mampu menghargai budaya bangsanya
sendiri dan juga mampu menghargai budaya bangsa lain.

4) Nilai-nilai Kehidupan

Nilai-nilai kehidupan adalah nilai-nilai yang


berlaku dan tumbuh dalam kegiatan keseharian, baik
dalam kegiatan di kelas, di sekolah dan di rumah atau
masyarakat. Seperti kejujuran, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, kemandirian, kesemangatan, dapat
menghargai orang lain, dan sebagainya. Dengan
penanaman, pemahaman, dan pengembangan nilai-nilai

66
tersebut di atas, maka akan terbentuklah anak yang
berkarakter dan berbudaya, inilah mungkin yang
dimaksud dengan “Pendidikan Karakter Berbudaya
Bangsa”.

Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh


dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan
terdekat (kampung, RT, RW, desa) berkembang ke
lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa
dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia.
Apabila peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat
maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa dan
dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya
bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan
terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung
untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan
(valueing). Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak
memiliki norma dan nilai budaya nasionalnya yang dapat
digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan
(valueing).

67
Semakin kuat seseorang memiliki dasar
pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk
tumbuh dan berkembang menjadi warga negara yang
baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya
secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma
dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta didik
akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki
wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara
menyelesaikan masalah sesuai dengan norma dan nilai
ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi
utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU
Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur
pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas)
sudah memberikan landasan yang kokoh untuk
mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang
sebagai anggota masyarakat dan bangsa.

68
6. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah pengetahuan asli
(indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local
genius) suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur
tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan
masyarakat dalam rangka mencapai kemajuan komunitas,
baik dalam penciptaan kedamaian maupun peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal itu bisa berupa
pengetahuan lokal, keterampilan lokal, kecerdasan lokal,
sumber daya lokal, proses sosial lokal, norma etika lokal,
dan adat-istiadat lokal (Sibarani, 2012, hlm. 122-123).
Menurut Sedyawati (2006:382), kearifan dalam
arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai
budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk
yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan,
dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang
termasuk sebagai penjabaran kearifan lokal adalah
berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya.

Adapun menurut Permana (2010:20), kearifan


lokal ialah sebuah jawaban kreatif terhadap situasi
historis, situasional, dan geografis-politis yang bersifat

69
lokal. Kearifan lokal dijelaskan juga sebagai pengetahuan
ataupun sebuah pandangan hidup serta strategi-strategi
kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk
menjawab sebuah masalah dalam memenuhi sebuah
kebutuhan mereka.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),


kearifan ialah kecendekiaan kebijaksanaan, yang selalu
dibutuhkan dalam berinteraksi. Kata lokal, yang berarti
tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat
tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda
dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang
bernilai yang mungkin berlaku setempat atau mungkin
juga berlaku universal.
Menurut (Rosidi, 2011:29), Istilah kearifan lokal
merupakan hasil terjemahan dari kecerdasan lokal yang
pertama kali dikenalkan oleh Quaritch Wales sekitaran
tahun 1948-1949 yang yang mempunya arti sebuah
kemampuan kebudayaan setempat dalam mengatasi
pengaruh kebudayaan asing atau budaya barat pada waktu
kedua kebudayaan itu saling berhubungan.

70
Menurut Nasiwan dkk (2012:159), kearifan lokal
adalah nilai-nilai maupun kebijaksanaan luhur yang
berarti dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti
semboyan hidup, petatah-petitih dan tradisi. Begitu pula
menurut Paulo Freire (1970), Pendidikan berbasis
kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan
peserta didik untuk selalu konkret dengan apa yang
mereka hadapi.
Berdasarkan uraian para ahli maka kearifan lokal
adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Secara etimologi, kearifan lokal (local wisdom) terdiri
dari dua kata, yakni kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Sebutan lain untuk kearifan lokal diantaranya adalah
kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat
(local knowledge) dan kecerdasan setempat (local
genious).

71
6.1 Jenis-Jenis Kearifan Lokal
Jenis-jenis kearifan antara lain: (1) kesejahteraan,
(2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5) kesehatan,
(6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian
dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10)
kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13)
kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian
konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif, dan (17) rasa
syukur.

Semua kearifan lokal tersebut dapat


diklasifikasikan pada dua jenis kearifan lokal inti (core
lokal wisdoms), yaitu kearifan lokal untuk (1)
kemakmuran atau kesejahteraan dan (2) kedamaian atau
kebaikan.

Kearifan lokal kerja keras, disiplin, pendidikan,


kesehatan, pelestarian dan kreativitas budaya, gotong
royong, pengelolaan gender, serta pengelolaan
lingkungan alam dapat diklasifikasikan pada kearifan
lokal yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat
agar berhasil mencapai kesejahteraannya, sedangkan
kearifan lokal komitmen, pikiran positif,

72
kesopansantunan, kejujuran, kesetiakawanan sosial,
kerukunan serta penyelesaian konflik, dan rasa syukur
dapat diklasifikasikan ke dalam kearifan lokal yang
bertujuan untuk membangun kedamaian dengan
kepribadian masyarakat yang baik (Sibarani, 2012, hlm.
133).

6.2 Local Genius sebagai Kearifan Lokal

Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local


genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula
pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog
membahas secara panjang lebar pengertian local genius
ini. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local
genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai
watak dan kemampuan sendiri. Sementara Moendardjito
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai
local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:

1) mampu bertahan terhadap budaya luar;

73
2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-
unsur budaya luar;
3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur
budaya luar ke dalam satu budaya asli;
4) mempunyai kemampuan mengendalikan;
5) mampu memberi arah pada perkembangan
budaya.

6.3 Dimensi Kearifan Lokal

Menurut Mitchell (2003), kearifan lokal memiliki


enam dimensi, yaitu:
a. Dimensi Pengetahuan Lokal

Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk


beradaptasi dengan lingkungan hidupnya karena
masyarakat memiliki pengetahuan lokal dalam menguasai
alam. Seperti halnya pengetahuan masyarakat mengenai
perubahan iklim dan sejumlah gejala-gejala alam
lainnya.

74
b. Dimensi Nilai Lokal

Setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai


lokal mengenai perbuatan atau tingkah laku yang ditaati
dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya tetapi
nilai-nilai tersebut akan mengalami perubahan sesuai
dengan kemajuan masyarakatnya. Nilai-nilai perbuatan
atau tingkah laku yang ada di suatu kelompok belum tentu
disepakati atau diterima dalam kelompok masyarakat
yang lain, terdapat keunikan. Seperti halnya suku Dayak
dengan tradisi tato dan menindik di beberapa bagian
tubuh.
c. Dimensi Keterampilan Lokal

Setiap masyarakat memiliki kemampuan untuk


bertahan hidup (survival) untuk memenuhi kebutuhan
kekeluargaan masing-masing atau disebut dengan
ekonomi substansi. Hal ini merupakan cara
mempertahankan kehidupan manusia yang bergantung
dengan alam mulai dari cara berburu, meramu, bercocok
tanam, hingga industri rumah tangga.
d. Dimensi Sumber daya Lokal

75
Setiap masyarakat akan menggunakan sumber daya
lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan
mengeksploitasi secara besar-besar atau dikomersialkan.
Masyarakat dituntut untuk menyimbangkan
keseimbangan alam agar tidak berdampak bahaya
baginya.
e. Dimensi Mekanisme Pengambilan
Keputusan Lokal

Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki


pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan
kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang
memerintah warganya untuk bertindak sesuai dengan
aturan yang telah disepakati sejak lama. Kemudian jika
seseorang melanggar aturan tersebut, maka dia akan
diberi sangsi tertentu dengan melalui kepala suku sebagai
pengambil keputusan.
f. Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan


bantuan orang lain dalam melakukan pekerjaannya,
karena manusia tidak bisa hidup sendirian. Seperti halnya

76
manusia bergotong-royong dalam menjaga lingkungan
sekitarnya.

6.4 Fungsi Kearifan Lokal


Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan
layak terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan
sebagai antitesis atau perubahan sosial budaya dan
modernisasi.
Budaya masa lalu secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup di dalam Kearifan lokal produk,
meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung
didalamnya dianggap sangat universal. Kondisi geografis
dalam arti luas Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat .
Kearifan lokal mempunyai nilai dan manfaat
tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut
dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup
sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai
yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan.

77
Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut menjadi
sebuah bagian dari cara pandang atau hidup mereka yang
arif untuk memecahkan suatu permasalahan hidup yang
ada dikehidupan. Mereka dapat melangsungkan
kehidupannya, dan berkembang secara berkelanjutan
Berkat kearifan lokal.
Kearifan lokal akan budaya luar yang masuk
mempunyai fungsi sebagai berikut, (Ayat, 1986:40-41):
1) Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya
luar.
2) Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3) Mengintegrasikan sebuah unsur budaya luar yang
masuk ke dalam budaya asli.
4) Memberi arah pada perkembangan budaya.

6.5 Contoh Kearifan Lokal


Adapun contoh kearifan lokal yang diantaranya
yaitu:

1) Hutan larangan adat “desa rumbio kec. kampar


prov. Riau”. Kearifan lokal ini dibuat dengan
tujuan untuk agar masyarkat sekitar bersama-sama

78
melestarikan hutan disana, dimana ada peraturan
untuk tidak boleh menebang pohon dihutan
tersebut dan akan dikenakan denda seperti beras
100 kg atau berupa uang sebesar Rp 6.000.000,-
jika melanggar.

2) Awig-Awig (Lombok Barat dan Bali) Ialah


merupakan sebuah aturan adat yang selalu
menjadi pedoman untuk bersikap dan bertindak
terutama dalam hal berinteraksi ataupun mengolah
sumber daya alam yang berada di lingkungan
didaerah Lombok Barat dan Bali.

3) Cingcowong (Sunda/Jawa Barat) merupakan


upacara untuk meminta hujan tradisi Cingcowong
ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat
Luragung guna untuk melestarikan budaya serta
menunjukan bagaimana suatu permintaan kepada
yang Maha Kuasa apabila tanpa adanya patuh
terhadap perintahnya.

79
4) Bebie (Muara Enim-Sumatera Selatan) ialah
sebuah tradisi panen dan memanen padi secara
bersama-sama yang bertujuan agar pemanenan
padi cepat selesai ataupun setelah panen selesai
diadakannya sebuah perayaan sebagai bentuk rasa
syukur atas panen yang sukses.

6.6 Ciri-Ciri Kearifan Lokal


Adapun ciri-ciri Kearifan Lokal yaitu:
1) Memiliki kemampuan mengendalikan.
2) Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh
budaya luar.

3) Memiliki kemampuan mengakomodasi budaya


luar.
4) Memiliki kemampuan memberi arah
perkembangan budaya.
5) Memiliki kemampuan mengintegrasi atau
menyatukan budaya luar dan budaya asli.

80
6.7 Manfaat Kearifan Lokal
a. Secara umum:
1) Berfungsi untuk pengembangan sumber daya
alam.
2) Bermakna etika moral, contonya berwujud dalam
upacara ngaben di Bali.
3) Berfungsi untuk pengembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan.
4) Supaya manusia menghargai alamnya.
5) Berfungsi sebagai kepercayaan.

b. Manfaat secara khusus


1) Melahirkan generasi-generasi yang kompeten dan
bermartabat.
Tidak bisa dimungkiri masih banyak generasi
muda di Indonesia yang tidak mengenal potensi
serta kekayaan alam dan budaya di daerahnya
masing-masing. Dengan memasukkan
pembelajaran berbasis kearifan lokal di sekolah,
kamu akan mengenal lebih dekat dan detail
tentang kebudayaan Indonesia pada umumnya.

81
Selain itu, kamu akan lebih peduli terhadap
kebudayaan daerah di sekitar kamu. Pada akhirnya
kamu akan menjadi lebih berkompeten dan
bermartabat dalam menjaga eksistensi
kebudayaan daerah yang ada.

2) Merefleksikan nilai-nilai budaya.


Salah satu manfaat memasukkan pembelajaran
berbasis kearifan lokal di setiap jenjang sekolah
adalah kamu dapat merefleksikan nilai-nilai
budaya yang ada di sekitar lingkungan daerah.
Kamu akan terlibat secara langsung
mengidentifikasi atau menganalisa seluruh potensi
dan keunggulan lokal yang ada di sekitar sekolah.
Produk-produk keunggulan kearifan lokal tersebut
dicantumkan dalam silabus. Kearifan lokal yang
dipaparkan dalam berbagai aspek, seperti sumber
daya alam, sumber daya manusia, sejarah,
geografis, dan berbagai kebudayaan.

3) Berperan serta dalam membentuk karakter bangsa.


Manfaat lain pembelajaran berbasis kearifan lokal

82
adalah dapat berperan serta dalam membentuk
karakter bangsa. Mengenalkan keberagaman
potensi dan kebudayaan yang ada di daerah
tempatmu tinggal akan membuat kamu lebih
peduli terhadap warisan kebudayaan negara
Indonesia.
Kearifan lokal ini juga dapat digunakan sebagai
modal untuk membentuk karakter luhur bangsa.
Karakter luhur bangsa Indonesia yang telah sejak
dulu dimiliki. Melalui pembelajaran ini berbagai
pendidikan karakter positif ciri khas bangsa
Indonesia tertanam di dirimu. Berbagai karakter,
seperti bertindak dengan hati-hati dan penuh
kesadaran, pengendalian diri, tenggang rasa, cinta
tanah air, meminimalisasi keinginan, dan sopan
santun.

4) Berkontribusi menciptakan identitas bangsa.


Indonesia dengan nilai-nilai keluhurannya
menjadi salah satu identitas bangsa. Melalui
pembelajaran berbasis kearifan lokal, kamu akan
mampu berkontribusi dalam menciptakan

83
identitas bangsa yang kuat. Upaya pengembangan
karakter bangsa dapat terselenggara dengan secara
optimal melalui pembelajaran di sekolah.
Materi-materi yang berhubungan dengan
kebudayaan, seperti bahasa, makanan, tarian, dan
lagu merupakan kontribusi yang sangat berguna
untuk memperkuat identitas bangsa Indonesia
sebagai negara yang memiliki kekayaan dan
keberagaman adat budaya. Kamu akan lebih
mengenal kebudayaan yang menjadi ciri khas
yang dimiliki daerah tempatmu tinggal.

6.8 Kearifan lokal Karawang

Budaya adalah suatu cara hidup yang


berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang, dan di wariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni.Nadran adalah upacara
adat para nelayan di pesisir pantai utara jawa, seperti
karawang, subang, indramayu dan cirebon yang bertujuan

84
untuk mensyukuri hasil tangkapan ikan, mengharap
peningkatan hasil pada tahun mendatang dan berdo’a agar
tidak mendapat aral melintang dalam mencari nafkah
dilaut.

Di dalam masyarakat Jawa misalnya, adat-istiadat


yang kini masih dipertahankan, dilestarikan, diyakini, dan
dikembangkan, benar-benar dapat memberikan pengaruh
terhadap sikap, pandangan, dan pola pemikiran bagi
masyarakat yang menganutnya. Salah satunya, Tradisi
Hajat Bumi atau pesta rakyat ini sudah menjadi
kebudayaan khas masyarakat agraris yang sudah
berlangsung sejak lama. Bahkan di beberapa daerah pun
terdapat perbedaan Hajat bumi diantaranya daerah
Karawang, Subang, Lembang, Bandung, Sukabumi,
Sumedang, dan daerah-daerah yang lainnya.
Pelaksanaannya atau kegiatannya antar daerah memiliki
ciri khas tersendiri. Berikut budaya lokal yang
mengandung kearifan lokal di Karawang:

1) Hajat Bumi

85
Hajat bumi atau sedekah bumi merupakan salah
satu upacara adat berupa prosesi seserahan hasil bumi atau
alam dari masyarakat kepada alam. Upacara ini diadakan
sebagai bentuk perayaan atas hasil panen, dan sebagai
perwujudan, harapan dan doa kepada Tuhan Semesta
Alam agar proses tanam padi mendapatkan
hasil memuaskan ketika sedang panen. Selain itu upacara
ini juga ditandai dengan adanya pesta rakyatyang
diadakan di balai desa maupun di lahan pertaninan. Acara
hajat bumi biasanya diselenggarakan saat menjelang
musim tanam padi. Musim tanam padi pada zaman dahulu
diadakan 1 tahun sekali waktu masa tanam padi pun masih
delapan bulan sekali, tapi sekarang masa tanam padi enam
bulan sekali dan dalam 1 tahun petani memanen padinya
dua kali. Acara Haat Bumi biasanya diadakan di sebuah
Desa di perkampungan yang terdapat banyak sawah,
contohnya seperti di Kampung Naga dan atau di daerah
Pasundan, dilaksanakan dengan memindahkan padi ke
dalam Leuit (Gudang, bangunan kecil yang diakai untuk
menyimpan padi) karena dulu hasil panen padi tidak
semuanya di jual dan di jadikan beras, melainkan di

86
simpan jadi setip pemilik sawah harus mempunyai
gudang untuk menyimpan padi.

Hajat Bumi ini sudah berlangsung sejak lama,


turun temurun dari nenek moyang kita, dan berkembang
di wilayah agraris yang tentu saja budaya agraris nya kuat
dan memungkinkan terjadinya budaya hajat bumi.
Budaya ini berkembang di area pulau Jawa, terutama di
Jawa barat. Di beberapa wilayah Jawa Barat tradisi seperti
ini sudah rutin dilaksanakan. Khususnya di Karawang,
yang mana kota Karawang dikenal sebagai lumbung padi.
Hajat bumi yang diadakan di Karawang tepatnya di
Rengasdengklok, diadakan dengan sangat meriah

2) Nyalin

Nyalin adalah budaya masyarakat dan petani.


Acara nyalin bermakna syukuran hasil dari para petani.
Nyalin yang rutin diadakan di daerah Rengasdengklok,
kabupaten Karawang ini adalah sebuah acara yang
diselenggarakan oleh tokoh budayawan yang kerap disapa
Abah Herman. “Kita berkewajiban untuk terus
mempertahankan budaya leluhur kita. Apalagi Karawang

87
di ini terkenal dengan kesenian tradisionalnya seperti
Jaipongan,Topeng,Kliningan dan berbagai jenis kesenian
tradisional” ucap Abah Herman.

Nyalin, ngala indung pare. Nyalin diambil dari


Bahasa Sunda kata salin, diartikan sebagai ganti,
sedangkan ngala indung pare berarti mengambil ibu padi.
Ibu padi digambarkan oleh sosok Dewi sri yang mana
sering disebut sebagai Dewi Padi atau lambang dari
kesuburan. Sehingga nyalin, ngala indung pare memiliki
arti mengganti bibit lama dengan bibit yang baru. Ketika
sedang dalam musim tanam padi, bibit lama harus diganti
dengan bibit yang baru, dan bibit yang harus di pilih dari
padi yang terbagus untuk padi yang akan datang. Acara
Nyalin yang Abah Herman adakan ini semacam pagelaran
yang isinya rangkuman-rangkuman aktivitas petani pada
zaman dahulu, dan di bubuhi dengan music tradisional
dan alat musiknya seperti kendang ciri khas dari sunda,
tarian tradisional dari karawang seperti jaipong, ada juga
gerakan-gerakan seprti pencak silat sunda, dan lain-
lainnya.

88
Pada hakikatnya nyalin diadakan secara
sederhana, yaitu hanya dengan membawa kemenyan ke
lahan sawah dan membawa sesajen dan makanan sesudah
di doakan sesajennya di simpan dan makanannya di bawa
pulang kembali kerumah petani. Nyalin juga diartikan
sebagai adab kita meminta izin untuk melakukan
pemotongan tumbuhan yang akan kita tanam, agar
tanaman tersebut menjadi subur dan atau juga bias di
sebut lebih memanusiakan (menghargai) tumbuhan
karena tumbuhan juga makhluk hidup ciptaan Tuhan. Kita
juga jadi lebih memiliki tatakrama atau adab dalam
melestarikan lingkungan.

Nyalin adalah wujud syukur hasil panen dan


berharap hasil maksimal di panen berikutnya, hasil bumi
yang didoakan dengan penuh harapan keberkahan yang
melimpah dipanen-panen berikutnya yang digelar dalam
acara tersebut adalah iring-iringan sesajen, menyalakan
wewangian, upacara nyalin, mengubur kepala hewan,
pagelaran budaya, jelang musim tanam rending parar
petani dan pemeritah desa sebatas menggelar syukuran
berjamaah, dengan menyuguhkan tumpeng. Yang

89
menarik di Rengasdengklok kabupaten Karawang adalah
diakhir acara hajat bumi ini diadakannya berbagi-bagi
hadiah kepada masyarakat yang hadir pada acara tersebut.

Tujuan dilaksanakan acara Nyalin selain


ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, di
daerah Rengasdengklok pelaksanaan Nyalin atau Hajat
Bumi masih banyak dilakukan, tetapi tatacara
pelaksanaannya sudah beraneka ragam, hal tersebut
tergantung dari letak wilayah dan kondisi masyarakat.
Dimana, aktivitas acara Nyalin dilakukan masyrakat
dengan sangat unik, selain itu memperkuat Aqidah,
keimanan dan juga ketaqwaan kepada Allah Swt ketika
mengadakan Upacara Adat Nyalin.

3) Nadran

Di Kabupaten Karawang budaya Nadran masih


sering dilaksanakan didaerah cilamaya yaitu di pantai
pasir putih dan di pantai ciparage.Kata nadran sendiri,
menurut sebagian masyarakat berasal dari kata nazar yang
mempunyai makna dalam agama islam yaitu pemenuhan
janji. Adapun inti upacara Nadran adalah

90
mempersembahkan sesajen kepada penguasa laut agar
diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual
tolak bala.

Dalam dunia perwayangan, ada segelintir sang


hiyang yang terkemuka pada masanya, yaitu antarasadan
antasari. Antarasa adalah sang kakak. Ia memiliki hati
yang buruk yang memfitnah adiknya yaitu antasari.
Antasari memiliki sifat yang baik namun apa yang ia
lakukan dimata kakaknya selalu salah. Tak tahan dengan
perilaku kakaknya, akhirnya dia mengadu pada dewa agar
menunjukkan suatu kebenaran. Pada akhirnya terbukti
ternyata antarasa yang salah. Atas kesalahannya itu, sang
kakak menerima hukuman yang pantas ia dapatkan, yaitu
budug basuh. Busug basuh ialah sebuah penyakit yang
sangat menjijikan. Setiap orang yang berpapasan
dengannya, mereka akan pergi dengan segera. Tapi
antarasa tak sedikitpun merasa jera, sekarang ia
menghasud seorang raja agar mau memberikan putrinya.
Berhasil menghasud raja, ia pun dijodohkan dengan dewi
sripowaci tapi sripowaci menolak dijodohkan dengan
antarasa karena ia memiliki penyakit budug basuh yang

91
baunya sangat menyengat. Sebenarnya dewi lebih
memilih adiknya yang memiliki sifat kebalikan sang
kakak.

Setelah terjadinya penolakan tersebut dewi


sripowaci memilih untuk bunuh diri karena tidak ingin
terlibat lebih jauh. Lalu antarasa dan antasari setelah
mengetahui bahwa dewi sripowaci bunuh diri mereka
berdua melakukan hal yang sama. Dari kejadian ini
muncul sebuah reinkarnasi. Dewi sri berubah
bereinkarnasi menjadi padi kemudian antasari menjadi
tanaman karena memilih di darat sedangkan antarasa
bunuh diri di laut dan menjadi ikan yang berwajah tiga.
Sebelum kematiannya, antarasa memberi pesan agar
pengikutnya selalu membawa sesajen yang berupa kepala
kerbau beserta organ dalamnya setiap tahunnya dengan
tujuan agar terhindar dari marabahaya. Ikan yang
berwajah tiga berarti ikan yang memiliki tiga gigi.
Biasanya orang-orang yang mengantar sesajen berebut
darah dari sesajen itu untuk di oleskan ke kapal mereka,
dengan tujuan agar memperoleh banyak rezeki dari segala
arah.

92
Setelah antarasa meninggal, pengikutnya yaitu
jaka demalung perlahan-lahan berubah menjadi babi dan
ada pula pengikutnya yang menjadi buaya disebabkan
tidak melakukan hal itu dengan benar. Kemudian setelah
legenda itu berakhir para nelayan yang masih memiliki
relasi dengan legenda itu di anugerahi kekuatan yang
sangat kuat oleh dewa dengan syarat ketika sedang makan
mereka harus memakan bagian tepi dari nasi. Naas
beberapa nelayan salah mengartikan instruksi tersebut.
Mereka menganggap dewa memberi perintah supaya
sisakan bagian tepinya saja dan pada akhirnya mereka
tidak mendapatkan apa-apa. Dari peristiwa tersebut
muncul nama basuh budeg yang berarti ketulian yang
hakiki, kemudian momentum peringatan kematian
antarasa dinamakan dengan Nadran atau Pesta Laut.

Nadran adalah salah satu tradisi laut yang terdapat


di kabupaten Karawang yang masih sering dilaksanakan
setiap tahunnya. Kegiatan nadran laut ini dilakukan
setelah panen yang diadakan di setiap tahunnya. Tetapi
tradisi nadran ini bukan tradisi asli masyarakat pesisir laut
Karawang, tradisi ini dibawa oleh masyarakat Jawa yang

93
berimigrasi ke Karawang dan menetap di pesisir laut.
Masyarakat menanggap tradisi ini bermakna untuk
dipersembahkan ke para dewa yang bertujuan untuk
mengungkapkan rasa syukur nelayan terhadap dewa laut
atas panen yang melimpah serta hormat kepada sang maha
kuasa atas di berikannya rezeki yang berlimpah kepada
masyarakat khususnya yang berada disekitar laut.

94
Daftar Rujukan
Ainul Yakin. 2005. Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Pilar Mulya.
Anderson, Benedict. 1999. Komunitas-komunitas
Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan
Penyebaran Nasionalisme. Omi Intan Naomi
(Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kerjasama dengan Insist.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan
Internalisasi Pendidikan Karakterdi Sekolah.
Yogyakarta: Diva Press.
Ayat, Rohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local
Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Borba, Michele. 2008. Membangun Kecerdasan Moral:
Tujuh Kebajikan Utama untuk Membentuk Anak
Bermoral Tinggi. Alih bahasa: Lina Jusuf. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Budiyanto. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara. LAN.
Departemen Dalam Negeri. 2003. Sosialisasi
Kebangsaan. Modul 8. Depdagri Dirjen Kesatuan
Bangsa.
Cholisin, M.Si & Nasiwan, M.Si. 2012. Dasar Dasar
Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak.
Darsono. Sejarah Nadran Laut. 2019.
Detik.com.04/09, "Mengenal Tradisi Hajat Bumi Dari
Warga Jagabaya". Ciamis Jawa Barat 2019
Doni Koesoema A. 2007. Pendidikan Karakter. Gramedia
Widisarana Indonesia.
Fadlillah, Muhammad dan Lilif Mualifatu Khorida. 2013.
Pendidikan Karakter Anak Usia Dini: Konsep &
Aplikasinya dalam PAUD. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.

95
Fahmal, Muin. 2006. Peran Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih. Yogyakarta: UII
Press.
Hasyim Djalal. 2007. Jatidiri Bangsa dalam Ancaman
Globalisasi. Pokok-Pokok Pikiran Guru Besar
Indonesia. Surabaya.
Idup Suhadi, dan AM. Sinaga. 2003. Wawasan Kesatuan
dalam Rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Lembaga Admistrasi Negara RI.
Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya.
Sumantri Mertodipuro (penerjemah). Jakarta:
Erlangga.
Karawang berita. 11/9, “Kegiatan Hajat Bumi Di
Kelurahan Tanjung Mekar”. Karawang Jawa
Barat 2019
Koswara, Engkos. Upacara Tradisional Nadran.2006
Maksudin. 2012. PendidikanKarakterNon-Dikotomik.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar. (Penerjemah: Juma
Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara.
Mounier, Emmanuel. 1956. The Character of Man.
Translate Into English by Cynthia Rowland. New
York: Harper dan Brothers.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab
Tantangan KrisisMultidimensional. Jakarta: Bumi
Aksara.
Mustakim, Bagus. 2011. Pendidikan Karakter:
Membangun Delapan KarakterEmas Indonesia
Menuju Indonesia Bermartabat. Yogyakarta:
Samudra Biru.
Permana, Cecep Eka. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat

96
Baduy dalam Mengatasi Bencana. Jakarta:
Wedatama Widia Sastra.
Pikiran rakyat. 'Hajat bumi tradisi turun temurun'
jagabaya 2019
Prakoso Bhairawa Putra. 2008. Strategi Pemeliharaan
Batas Wilayah Melalui Penguatan Pengelolaan
Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil Terluar. Inovasi
Online, vol.12/xx/Nov2008.
http://c.c.msnscache.com/cache.aspx?q.
Rosidi, Ajip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif
Budaya Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Sedyawati, Edy. 2006. Budaya Indonesia, Kajian
Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Wayan Gede Suacana. 2006. Etno-Nasionalisme dan
Demokrasi dalam Masyarakat Multikultural.
Jurnal Sosial Politik Sarathi, vol. 13. Denpasar.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter:
Strategi Membangun Karakter Bangsa
Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsep dan
Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta:
Kencana.

97

Anda mungkin juga menyukai