Anda di halaman 1dari 39

PENGARUH METODE PEMBELAJARAN STORY TELLING TERHADAP

TINGKAT PEMAHAMAN SISWA PADA MATA PELAJARAN SEJARAH


KEBUDAYAAN ISLAM (SKI) KELAS IV SEMESTER I DI MI NU BANAT
KUDUS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif
Dosen Pengampu : Fina Tri Wahyuni, M. Pd.

Kelompok 2 PGMI-A2:

1. Uswatun Chasanah (1410310003)


2. Raysa Zuhdiana (1410310005)
3. Siti Aminah (1410310010)
4. Nurul Khotimah (1410310022)
5. Durrotun Nafisah (1410310024)
6. Anggit Retno Wulandari (1410310027)
7. Ahmad Musthofa (1410310039)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya mewujudkan para siswa menuju perubahan-
perubahan tingkah laku baik moral maupun sosial agar dapat mandiri sebagai
individu dan makhluk sosial. Pemerintah saat ini mewajibkan belajar 9 tahun.
Kegiatan ini untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk
meningkatkan kualitas pendidikan seperti yang tercantum daam UUD 1945
bahwa tujuan bangsa Indonesia salah satunya sebagai upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, maka dibuatlah Undang-Undang dan Peraturan Menteri
yang berkaitan dengan pendidikan. Banyak sekali mata pelajaran yang ada
dalam dunia pendidikan salah satunya adalah mata pelajaran Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI).
Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) adalah mata pelajaran
yang diajarkan pada peserta didik dari jenjang Madrasah Ibtidaiyah sampai
Perguruan Tinggi Islam. Sejarah memiliki peranan penting dalam kehidupan,
dengan sejarah seseorang dapat mengetahui peristiwa penting masa lalu yang
mengandung banyak nilai dan pelajaran bagi hidup seseorang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pelajaran tersebut sangat penting dipelajari oleh peserta
didik.
Menurut para siswa pelajaran SKI dirasakan lebih sulit untuk dipahami
daripada ilmu-ilmu lainnya, salah satu penyebabnya adalah karena sejarah
mempelajari sesuatu yang sudah terjadi dan tidak dialami oleh peserta didik.
Selain itu tidak ada kesesuaian antara kemampuan peserta didik dengan cara
penyajian materi sehingga SKI dirasakan sebagai pelajaran yang sulit diterima.
Sulitnya peserta didik memahami pelajaran SKI karena pelajaran tersebut
materinya sangat banyak dan peserta didik dituntut untuk menghafal dan
memahami nama-nama tokoh, tempat dan kosa kata lain yang berbahasa Arab
yang notabene jauh berbeda dengan ejaan bahasa Indonesia dan terkesan
panjang-panjang.
Selain itu faktor lain yang menyebabkan pelajaran SKI sulit diterima oleh
peserta didik adalah kurang kreatifnya guru SKI, hal ini disebabkan karena
guru SKI kurang menggunakan strategi dan metode yang sesuai. Mata
pelajaran SKI disampaikan dengan metode ceramah konvensional. Metode

2
tersebut hanya akan membuat peserta didik mengantuk. Pada dasarnya esensi
Pendidikan Agama Islam terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa dan
dapat tampil sebagai khalifatullah fi al ardh. Esensi ini menjadi acuan terhadap
metode pembelajaran untuk mencapai tujuan yang maksimal. Selama ini,
metodologi Pembelajaran Agama Islam yang diterapkan masih
mempertahankan cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah konvensional,
menghafal dan demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering. Cara-
cara seperti itu diakui atau tidak membuat peserta didik tampak bosan, jenuh,
dan kurang bersemangat dalam belajar agama. Jika secara psikologis peserta
didik kurang tertarik dengan metode yang digunakan guru, maka dengan
sendirinya peserta didik akan memberikan umpan balik (feedback) psikologis
yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran terutama dalam
pembelajaran agama.
Proses pembelajaran dan suasana belajar harus diwujudkan dengan usaha
yang sadar agar peserta didik mampu mengembangkan potensinya dengan
baik. Maka dari itu diperlukan sebuah strategi pembelajaran yang sesuai.
Dengan diterapkannya strategi pembelajaran yang sesuai, maka diharapkan
potensi peserta didik akan berkembang dengan baik dan mampu
mempengaruhi tingkat pemahaman mereka.
Pemahaman merupakan salah satu dari bidang pengembangan oleh guru
untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas anak sesuai dengan tahap
perkembangannya. Pengembangan pemahaman bertujuan agar anak mampu
mengolah perolehan belajarnya, kemampuan memilah dan mengelompokkan
serta persiapan pengembangan kemampuan untuk berfikir teliti.
Aspek pemahaman merupakan hal yang paling penting dalam pencapaian
tujuan pendidikan, terdapat alasan mengapa pemahaman itu diaplikasikan
dalam pembelajaran yaitu karena pemahaman merupaakn salah satu
mekanisme dasar pengatur perilaku berfikir manusia yang sangat berguna
untuk memahami perilaku-perilaku yang dipelajari ilmu. 1 Oleh karena itu

1Muhibbinsyah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Remaja Rosdakarya. Bandung.


2013. hlm. 3.

3
dalam proses belajar mengajar yang paling utama ditingkatkan adalah aspek
pemahamannya agar peserta didik lebih mengetahui dan memahami tentang
apa yang diajarkan oleh guru, kemudian dengan sendirinya akan terbentuk
aspek-aspek yang lain seperti afektif dan psikomotorik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Nujumun Ni’mah, bahwa
selama ini pembelajaran SKI di MI NU Banat Kudus dengan menggunakan
metode resitasi dan ceramah konvensional sehingga tingkat hasil belajar yang
di dapat oleh peserta kurang maksimal. Oleh karena itu, pembelajaran SKI di
MI NU Banat Kudus memerlukan berbagai inovasi dan kreativitas agar tetap
berfungsi optimal di tengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga
membutuhkan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi
kehidupan peserta didik sebagai seorang pribadi, anggota masyarakat, dan
dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, inovasi dan
kreativitas, terutama dalam penerapan metode pembelajaran agama Islam,
harus tetap bisa menjaga dan tidak keluar dari koridor nilai-nilai akhlak yang
menjadi tujuan dari agama itu sendiri.
Berkenaan dengan permasalahan diatas, maka kiranya konsep Quantum
Teaching, sebagai sebuah model pembelajaran yang efektif, dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif. Konsep Quantum Teaching syarat dengan teknik-
teknik khusus yang ditujukan untuk memgembangkan lingkungan belajar yang
saling memberdayakan dan menghargai untuk berbagai jenis kurikulum
apapun. Quantum Teaching sangat penting bagi para guru untuk mengajar
dengan cara baru yang mantap. Salah satu bentuk Quantum Teaching yang
dikembangkan pada proses pembelajaran SKI di MI NU Banat Kudus adalah
metode story telling. Metode story telling merupakan metode yang tepat dalam
memenuhi kebutuhan peserta didik karena dalam cerita terdapat nilai- nilai
yang dapat dikembangkan. Dengan penerapan metode ini, peserta didik
diharapkan mampu memahami materi yang diajarkan dengan lebih baik lagi,
mengembangkan kemampuan fantasi peserta didik, menumbuhkan minat baca,
dan membangun kedekatan dan keharmonisan diantara guru dan peserta didik.
Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan
judul “Pengaruh Metode Story Telling terhadap Tingkat Pemahaman

4
Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Kelas IV
Semester I di MI NU Banat Kudus ”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode pembelajaran story telling pada mata pelajaran
SKI di MI NU Banat Kudus?
2. Bagaimana tingkat pemahaman siswa pada mata pelajaran SKI di
MI NU Banat Kudus?
3. Adakah pengaruh metode pembelajaran story teling terhadap
tingkat pemahaman siswa pada mata pelajaran SKI di MI NU NU Banat
Kudus?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dari rumusan masalah, adapun tujuan yang diharapkan
tercapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode pembelajaran story telling pada mata
pelajaran SKI di MI NU Banat Kudus.
2. Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa pada mata pelajaran
SKI di MI NU Banat Kudus.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh metode pembelajaran
story telling terhadap tingkat pemahaman siswa pada mata pelajaran SKI di
MI NU Banat Kudus.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan
sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran SKI.

5
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan
menambah wawasan tentang penerapan metode story telling dalam mata
pelajaran SKI.

2. Manfaat Praktis
a. Peneliti sendiri
Karya ini diharapkan dapat membantu penulis memperoleh
pengetahuan mengenai pentingnya pengembangan strategi pembelajaran
dalam pembelajaran SKI. Selain itu, tulisan ini dapat melatih penulis
dalam mengemukakan pikiran dengan cara yang lebih baik.
b. Pemerintah
Sebagai penentu kebijakan, pemerintah dapat memperoleh
masukan gagasan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait
dengan pendidikan di Indonesia.
c. Pendidik
Karya ini diharapkan dapat memberikan wacana baru akan
pentingnya pengembangan strategi dalam pembelajaran SKI. Sehingga
pada akhirnya dapat membangun pemahaman siswa menjadi lebih baik
dan proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif, menarik dan
menyenangkan.
d. Madrasah
Sebagai bahan informasi bagi sekolah untuk mengetahui
pentingnya penggunaan strategi pembelajaran dalam proses belajar
mengajar agar kedepannya menjadi sekolah yang bermutu dan lebih baik.

e. Peserta didik
Diharapkan peserta didik lebih semangat dalam belajar dan menjadi
peserta didik yang aktif dalam pembelajaran, serta dapat memahami
sekaligus menambah wawasan mengenai materi pelajaran yang

6
disampaikan sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mereka.
f. Masyarakat
Dapat menjadi wacana bagi masyarakat mengenai pentingnya
penggunaan metode pembelajaran dalam pendidikan. Selain itu, dapat
membarikan dorongan dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih
antusias dalam mendukung kegiatan pendidikan.
g. Peneliti lain
Sebagai bahan informasi tambahan untuk penelitian mereka dalam
penggunaan metode dalam proses belajar mengajar.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Metode Pembelajaran Story Telling

7
a. Pengertian Metode Pembelajaran Story Telling
Secara umum, pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru
sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik.
Pembelajaran adalah upaya guru menciptakan iklim dan pelayanan
terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang
amat beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dan siswa serta
antarsiswa.2
Sedangkan metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru
menyampaikan pelajaran kepada siswa. Metode pembelajaran dapat
diartikan sebagai cara yang dipergunakan oleh guru dalam mengadakan
hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Dengan
demikian, metode pembelajaran merupakan alat untuk menciptakan
proses belajar mengajar.3
Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan kepada orang
lain, baik berasal dari kejadian nyata ataupun tidak nyata. Menurut
Muhammad Abdul Latif, cerita merupakan suatu seni dalam
menyampaikan ilmu, pesan, nasihat, baik lisan maupun tulisan kepada
orang lain yang sebagian besar bahannya berdasarkan fakta.
Kemudian Abdul Aziz Abdul Majid menyatakan bahwa cerita
merupakan salah satu karya sastra yang bisa dibaca oleh orang yang bisa
membaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca.
Sedangkan menurut Nur Mustakhim, cerita merupakan karangan
imajinatif tentang kehidupan yang ditulis oleh anak-anak ataupun orang
dewasa.4
Berdasarkan penjelasan di atas tentang cerita, maka penulis
menyimpulkan bahwa cerita adalah rangkaian peristiwa atau karangan
yang dibuat secara nyata maupun imajinatif yang dituangkan dalam

2 Hamdani. Strategi Belajar Mengajar. CV Pustaka Setia. Bandung. 2011. hlm. 71-72.

3 Ibid. hlm. 80.

4 Abdul Aziz Abdul Majid. Mendidik Anak dengan Cerita. PT Remaja Rosda Karya. Bandung.
2008. hlm. 5.

8
bentuk tulisan dan berfungsi untuk menyampaikan isi dari rangkaian
peristiwa atau karangan tersebut.
Dalam menyampaikan cerita kepada orang lain, maka diperlukan
suatu metode bercerita atau metode story telling. Menurut Muhamad
Yaumi dan Nurdin Ibrahim, bercerita atau mendongeng (story telling)
adalah menyampaikan peristiwa melalui kata-kata, gambar atau suara
yang dilakukan dengan improvisasi atau menambah-nambah dengan
maksud untuk memperindah jalannya cerita. 5
Di sisi lain, Lilis Madyawati menyatakan model pembelajaran
story telling atau bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan
seseorang secara lisan kepada orang lain dengan alat tentang apa yang
harus disampaikan dalam bentuk pesan, informasi, atau hanya sebuah
dongeng yang dikemas dalam bentuk cerita yang dapat didengarkan
dengan rasa menyenangkan.6 Sedangkan Abdul Majid mengemukakan
bahwa metode bercerita atau kisah adalah menyampaikan pesan-pesan
redaksional yang dalam kisah tersebut tersimpan nilai-nilai pedagosis-
religius yang memungkinkan anak didik mampu meresapinya. 7
Menurut pendapat para ahli di atas, metode story telling atau
bercerita dalam penelitian ini adalah metode pembelajaran dengan
menyampaikan peristiwa melalui kata-kata dilakukan dengan improvisasi
atau penambahan baik menggunakan alat bantu peraga ataupun tidak
dengan tujuan menyampaikan pesan kepada siswa yang memungkinkan
siswa mampu meresapinya.
b. Langkah-langkah Metode Pembelajaran Story Telling
Adapun langkah yang harus ditempuh guru dalam menggunakan
metode pembelajaran story telling adalah:
5 Muhamad Yaumi dan Nurdin Ibrahim. Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak.
Prenadamedia Group. Jakarta. 2013. hlm. 50.

6 Lilis Madyawati. Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak. Prenadamedia Group. Jakarta.
2016. hlm. 162.

7 Abdul Majid. Perencanaan Pembelajaran. PT Remaja Rosdakaraya. Bandung. 2009. hlm. 143-
144.

9
1) Guru membagi kelompok yang terdiri atas kelompok yang
membawakan cerita dan kelompok yang menyimak cerita.
2) Guru menentukan topik cerita.
3) Guru menunjuk beberapa siswa yang dapat memerankan tokoh
dalam cerita.
4) Siswa meringkas dan mengambil intisari cerita yang akan
dipaparkan.
5) Guru menyediakan daftar pertanyaan yang dapat dijawab oleh
peserta didik setelah cerita tersebut disampaikan.
6) Guru memeriksa dan menjelaskan jawaban yang benar.8
Di sisi lain, Lilis Madyawati menyebutkan ada tiga tahapan dalam
story telling, yaitu persiapan sebelum acara story tellling dimulai, saat
proses story telling berlangsung, dan setelah story telling selesai.
1) Persiapan sebelum story telling
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memilih judul buku yang
menarik dan mudah di ingat. Dalam hal ini, judul buku juga dapat
diartikan sebagai materi cerita.
2) Saat story telling berlangsung
Saat akan memasuki sesi acara story tellling, guru harus menunggu
kondisi sehingga siswa siap untuk menyimak dongeng yang
disampaikan.
3) Setelah kegiatan story telling selesai
Guru mengevaluasi isi cerita dan memberikan kesimpulan tentang
cerita yang sudah disampaikan dan menanamkan nilai-nilai kebaikan
berdasarkan cerita tersebut.9
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai langkah-langkah
bercerita di atas, peneliti merangkum ada lima langkah dalam metode
bercerita yaitu:
1) Pemilihan cerita yang sesuai dengan materi pelajaran
Cerita dibuat sendiri oleh guru dan isi cerita disesuaikan dengan
materi pelajaran. Hal ini bertujuan agar materi pelajaran yang akan
disampaikan tidak ada yang ketinggalan.

8 Muhamad Yaumi dan Nurdin Ibarhim. Op.cit. hlm. 51-53.

9 Lilis Madyawati. Op.cit. hlm.165.

10
2) Mengkondisikan kegiatan belajar mengajar
Guru berperan dalam mengkondisikan siswa dan tempat belajar.
Hendaknya guru mengkondisikan siswa dengan baik sebelum
memulai bercerita. Selain itu, guru juga harus memeperhatikan posisi
duduk siswa serta melakukan peneguran terhadap siswa yang
menganggu jalannya kegiatan belajar mengajar.
3) Membawakan cerita dengan baik dan menarik
Pembawaan cerita yang menarik akan memikat perhatian siswa dalam
kegiatan belajar mengajar. Cerita akan terlihat menarik apabila
didukung dengan media yang digunakan serta pembawaan penokohan
cerita yang baik oleh guru.
4) Melibatkan siswa dalam kegiatan bercerita
Guru hendaknya dapat melibatkan siswa seperti, memperagakan
watak dari tiap tokoh maupun memperagakan media yang ada. Selain
itu, siswa juga dapat menggambarkan tokoh yang disukai dari cerita
tersebut.
5) Guru mengajukan pertanyaan mengenai isi cerita dan mengaitkan
dengan materi pelajaran. Setelah guru selesai membawakan cerita,
guru dapat menanyakan seputar cerita yang dibawakan (tokoh, sifat,
isi dari cerita).
c. Kelemahan dan Kelebihan Model Pembelajaran Story Telling
Jamaludin mengemukakan beberapa kelebihan yang diperoleh dari
metode bercerita, yaitu:
1) Kegiatan bercerita memberikan sejumlah pengetahuan
sosial nilai-nilai moral keagamaan.
2) Kegiatan bercerita memberikan pengalaman belajar untuk
melatih pendengaran (menyimak).
3) Memberikan pengalaman belajar dengan menggunakan
metode bercerita memungkinkan anak mengembangkan kemampuan
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
4) Memberikan pengalaman belajar yang unik dan menarik,
serta dapat mengatakan perasaan, membangkitkan semangat dan
menimbulkan keasyikan tersendiri.10
Adapun kelemahan dari metode bercerita adalah:
1) Seringkali kesulitan dalam menyusun cerita.
10Ibid. hlm. 168.

11
2) Seringkali kesulitan dalam penggunaan media.
3) Dapat membuat anak pasif.
4) Apabila alat peraga tidak menarik sehingga anak kurang aktif .
5) Tidak semua guru dapat menyampaikan pelajaran dengan bercerita.
6) Terbatasnya waktu sesuai dengan rencana pelajaran kurag
memungkinkan untuk meyampaikan pelajaran di kelas melalui metode
cerita.
7) Metode bercerita sulit dilakukan seandainya kondisi sekitar kelas
gaduh dan tidak memungkinkan, sehingga suara guru akan
terganggu.11
Menurut Adri Efferi, kelebihan dari metode story telling adalah
sebagai berikut:
1) Cerita dapat mengaktifkan dan membangkitkan semangat siswa.
2) Mengarahkan semua emosi hingga menyatu pada satu kesimpulan
yang menjadi akhir cerita.
3) Cerita selalu memikat karena mengundang pendengaran untuk
mengikuti peristiwanya dan merenungkan maknanya.
4) Dapat mempengaruhi emosi, seperti takut, senang, atau benci
sehingga bergelora dalam lipatan cerita.
Adapun kekurangannya, antara lain:
1) Pemahaman siswa menjadi sulit ketika cerita tersebut telah
terakumulasi oleh masalah lain.
2) Bersifat monolog dan dapat menjenuhkan siswa.
3) Sering terjadi ketidakselarasan isi cerita dengan konteks yang
dimaksud sehingga pencapaiana tujuan sulit diwujudkan.12
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka kelebihan dari metode
story telling dalam penelitian ini adalah:
1) Pembelajaran dapat dihidangkan lebih menarik.
2) Metode bercerita meningkatkan kemampuan pemahaman siswa.
3) Metode bercerita dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotorik.
4) Siswa akan memperoleh kepuasaan hati melalui cerita.
5) Dapat mendidik siswa agar menjadi pendengar yang baik.
6) Metode bercerita dapat mengembangkn daya imajinasi siswa.

11 Jamaludin, dkk. Pembelajaran Perspektif Islam. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2011. hlm.
206-207.

12 Adri Efferi. Materi dan Pembelajaran Qur’an Hadis. STAIN Kudus. Kudus. 2009. Hlm. 73-
78.

12
Sedangkan kelemahan metode story telling dalam penelitian ini
adalah:
1) Siswa menjadi pasif.
2) Menyulitkan siswa dalam menerima pelajaran dengan
metode lain.
3) Tidak semua guru memiliki keahlian bercerita.
4) Metode story telling membutuhkan waktu yang lama.
5) Metode story telling sulit dilakukan jika suasana sekitar
kelas gaduh dan tidak memungkinkan.
d. Tujuan dan Manfaat Metode Pembelajaran Story Teling
Bercerita atau mendongeng sebenarnya tidak hanya sebagai
guyonan belaka, melainkan juga terdapat tujuannya tersendiri. Seperti
yang diungkapkan oleh Aminudin, kegiatan mendongeng memiliki tujuan
yang luhur yaitu pengenalan alam lingkungan, budi pekerti, dan
mendorong anak untuk berperilaku positif. Sedangkan Loban
mengungkapkan, story telling dapat dijadikan suatu motivasi untuk
mengembangkan daya kesadaran, memperluas imajinasi anak maupun
orang tua.
Apabila kita perhatikan, anak-anak memiliki jiwa perasaan yang
halus, suka mencontoh dan mudah terpengaruh. Oleh karena itu, guru
taman kanak-kanak atau sekolah dasar hendaknya memanfaatkan fase ini
dengan baik, dengan mendoktrin pengalaman dan pengetahuan yang
bermanfaat bagi kehidupannya. Hal tersebut senada dengan yang
diungkapkan oleh Meidya Derni, tujuan bercerita yaitu membagikan
pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain.
Sedangkan menurut Priyono Kusumo, cerita memiliki tujuan untuk:
1) Merangsang dan menumbuhkan imajinasi dan daya fantasi anak
secara wajar.
2) Mengembangkan daya penalaran sikap kritis serta kreatif.
3) Mempunyai sikap kepedulian terhadap nilai-nilai luhur budaya
bangsa.
4) Dapat membedakan perbuatan yang baik dan perlu ditiru dengan
perbuatan buruk yang tidak perlu dicontoh.
5) Punya rasa hormat dan mendorong terciptanya kepercayaan diri
dan sikap terpuji pada anak-anak.13
13 Aminudin. Belajar Menjadi Seorang Pendongeng. PT Pribumi Mekar. Bandung. 2009. hlm. 18.

13
Disisi lain, ada juga manfaat yang diperoleh dari mendongeng bagi
anak. Seperti yang diutarakan oleh Muhammad Abdul Latif, bahwa
terdapat beberapa manfaat dongeng dan cerita untuk anak, antara lain:
1) Merangsang kekuatan berfikir
Semua dongeng atau cerita pasti memiliki alur yang baik, yang
terdapat pesan moral tentang harapan, cita-cita dan cinta sehingga
membantu anak untuk mengasah daya pikir dan daya imajinasi
melalui dongeng maupun cerita tersebut.
2) Sebagai media yang efektif
Melalui dongeng atau cerita dapat dijadikan media yang efektif untuk
menanamkan sebuah nilai dan etika pada. Misalnya, menanamkan
kebiasaan membantu orang tua, belajar, kerja keras, dan sebagainya.
3) Mengasah kepekaan anak terhadap bunyi-bunyian
Ketika mendongeng, penokohan tidak hanya satu sehingga suara
tokoh satu dengan lainnya pasti berbeda. Oleh karena itu, dengan
kegiatan mendongeng anak dapat membedakan suara dari setiap tokoh
yang ada.
4) Menumbuhkan minat baca
Setelah tertarik dengan dongeng yang diceritakan, anak diharapkan
mulai tumbuh ketertarikannya pada buku.
5) Menumbuhkan rasa empati
Adanya penokohan yang terdapat di dalam buku dongeng dan cerita
atau yang disampaikan oleh pendongeng, anak diharapkan dapat
membedakan penokohan, tokoh yang baik sehingga perlu ditiru dan
tokoh yang buruk yang harus dijauhi.

6) Menambah kecerdasan
Metode bercerita atau mendongeng sudah banyak dilakukan oleh guru
atau orang tua untuk menyampaikan suatu topik pelajaran kepada
anak. Dengan metode ini, anak biasanya lebih mudah menangkap
topik pelajaran yang akan disampaikan.
7) Menumbuhkan rasa humor yang sehat

14
Kadang cerita atau dongeng perlu adanya humor, hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi kejenuhan. Selain itu, adanya humor dapat
menciptakan hati senang dan pikiran yang tenang.14
Sedangkan menurut Bimo, bercerita kepada anak memiliki
manfaat, diantaranya:
1) Membangun kontak batin
Kontak batin mempunyai manfaat, yaitu (a) guru didengar atau
diperhatikan, (b) guru disayang oleh murid, dan (c) guru dipercaya
dan diteladani kata-kata, nasihat, dan tingkah lakunya.
2) Media penyampai pesan atau nilai agama
Teknik memberikan pesan moral dalam cerita dapat diutarakan secara
langsung melalui percakapan antar tokoh maupun dengan
menyimpulkan bersama murid diakhir cerita.
3) Pendidikan imajinasi atau fantasi
Masa anak-anak merupakan masa berimajinasi dan berfantasi yang
tinggi. Oleh karena itu, imajinasi dan fantasi anak hendaknya
diarahkan pada hal positif sehingga tidak terjadi penyimpangan. Salah
satu untuk mengarahkan imajinasi dan fantasi anak yaitu dengan cara
bantuan cerita.
4) Pendidikan emosi
Melalui cerita, emosi anak dapat dilatih untuk merasakan dan
menghayati berbagai fenomena kehidupan.
5) Membantu proses identifikasi diri atau perbuatan
Anak-anak akan mudah memahami karakter, figur-figur dan perbuatan
yang baik dan sebaliknya melalui cerita. Oleh karena itu, cerita dapat
berperan sebagai proses pembentukan watak seseorang.
6) Memperkaya pengalaman batin
Suatu cerita memungkinkan untuk menampilkan kejadian kehidupan
manusia maupun pengalaman yang nyata, sehingga dengan cerita anak
dapat terlatih untuk menyelami berbagai makna dari kehidupan.
7) Hiburan dan penarik perhatian
Di sela-sela kepenatan dan kejenuhan belajar, bermain, dan mengaji,
anak tentu membutuhkan hiburan salah satunya dengan membaca

14 Muhammad Abdul Latif. The Miracle of Story Telling. Zikrul Hakim. Jakarta. 2012. hlm. 86-
89.

15
cerita maupun mendengarkan cerita. Selain itu, cerita juga dapat
memusatkan perhatian dikala terpecahnya konsentrasi.
8) Merekayasa watak atau karakter
Melalui cerita, guru dapat merekayasa penokohan demi tercapainya
tujuan sehingga dengan perekayasaan ini diharapkan anak dapat
meniru penokohan yang baik untuk diterapkan dikehidupannya.15
Berdasarkan pendapat para ahli, maka tujuan metode story telling
dalam penelitian ini adalah mengembangkan daya imajinasi siswa dan
memberikan motivasi kepada siswa tentang perbuatan yang benar dan
tidak benar. Sedangkan manfaat metode story telling dalam penelitian ini
adalah:
1) Merangsang kemampuan berpikir siswa.
2) Membangun kontak batin guru dan siswa.
3) Sebagai pendidikan emosi bagi siswa.
4) Media yang efektif dalam menyampaikan pembelajaran.

2. Tingkat Pemahaman Siswa


a. Pengertian Pemahaman
Pemahaman merupakan salah satu indikator tujuan belajar siswa
dalam ranah kognitif. Ada enam tingkatan ranah kognitif, yaitu
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.
Jadi tingkat pemahaman menduduki posisi kedua dalam ranah kognitif
setelah pengetahuan.
Sukiman menyatakan bahwa pemahaman adalah tingkat
kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami arti atau
konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini siswa tidak
hanya hafal secara verbalistis, tetapi memahami konsep dari masalah atau
fakta yang ditanyakan. 16

15 Bimo. Mahir Mendongeng. Pro U Media. Yogyakarta. 2011. hlm. 25-30.

16 Sukiman. Pengembangan Sistem Evaluasi. Insan Madani. Yogyakarta. 2012. hlm. 16.

16
Menurut Cucu Suhana, pemahaman didefinisikan sebagai
kemampuan untuk memahami materi atau bahan. Proses pemahaman
terjadi karena adanya kemampuan menjabarkan suatu materi atau bahan
ke materi atau bahan yang lain. Secara lebih rinci, Cucu Suhana
mengemukakan bahwa pemahaman juga ditunjukkan dengan
kemampuan memperkirakan kecenderungan, kemampuan meramalkan
akibat-akibat dari berbagai penyebab suatu gejala.17
Berdasarkan teori para ahli di atas, maka pemahaman dalam
penelitian ini dapat diartikan sebagai kemampuan siswa dalam
memahami materi pembelajaran, tidak hanya secara verbalistis
melainkan mampu menjabarkan suatu konsep materi ke konsep materi
yang lain. Sehingga hasil belajar dari pemahaman lebih maju dari ingatan
sederhana, hafalan atau pengetahuan tingkat rendah.
b. Tingkatan-Tingkatan dalam Pemahaman
Pemahaman merupakan salah satu patokan kompetensi yang
dicapai setelah siswa melakukan kegiatan belajar. Dalam proses
pembelajaran, setiap individu siswa memiliki kemampuan yang berbeda-
beda dalam memahami apa yang dia pelajari. Ada yang mampu
memahami materi secara menyeluruh dan ada pula yang sama sekali
tidak dapat mengambil makna dari apa yang telah dia pelajari, sehingga
yang dicapai hanya sebatas mengetahui. Untuk itulah terdapat tingkatan-
tingkatan dalam memahami.
Menurut Daryanto kemampuan pemahaman berdasarkan tingkat
kepekaan dan derajat penyerapan materi dapat dijabarkan ke dalam tiga
tingkatan, yaitu:
1) Menerjemahkan (translation)
Pengertian menerjemahkan bisa diartikan sebagai pengalihan
arti dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Dapat juga dari
konsepsi abstrak menjadi suatu model simbolik untuk mempermudah
orang mempelajarinya. Contohnya dalam menerjemahkan Bhineka
Tunggal Ika menjadi berbeda-beda tapi tetap satu.
2) Menafsirkan (interpretation)
17 Cucu Suhana. Konsep Strategi Pembelajaran. Refika Aditama. Bandung. 2014. hlm. 110.

17
Kemampuan ini lebih luas daripada menerjemahkan, ini adalah
kemampuan untuk mengenal dan memahami. Menafsirkan dapat
dilakukan dengan cara menghubungkan pengetahuan yang lalu dengan
pengetahuan yang diperoleh berikutnya, menghubungkan antara grafik
dengan kondisi yang dijabarkan sebenarnya, serta membedakan yang
pokok dan tidak pokok dalam pembahasan.
3) Mengekstrapolasi (extrapolation)
Ekstrapolasi menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi
karena seseorang dituntut untuk bisa melihat sesuatu dibalik yang
tertulis. Membuat ramalan tentang konsekuensi atau memperluas
persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya.
Menurut Sudjana, membagi pemahaman ke dalam tiga kategori,
yaitu:
1) Tingkat terendah yaitu pemahaman terjemahan, mulai dari
terjemahan dalam arti sebenarnya.
2) Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni
menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui
berikutnya atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan
kejadian, membedakan yang pokok dan bukan yang pokok.
3) Tingkat tertinggi adalah pemahaman ekstrapolasi. Dengan
ekstrapolasi diharapkan mampu melihat dibalik yang tertulis, dapat
membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas
persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus atau masalahnya.18
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka tingkatan dalam
pemahaman dalam penelitian ini dapat dikategorikan menjadi tiga
tingkatan, yaitu:
1) Pemahaman terjemahan, yaitu menerjemahkan suatu
kalimat ke dalam arti sebenarnya.
2) Pemahaman penafsiran, yaitu menghubngkan pengetahuan
yang lalu dengan pengetahuan yang didapat saat ini.
3) Pemahaman ekstrapolasi, yaitu melihat sesuatu dibalik
yang tertulis.
c. Evaluasi Pemahaman

18 http://dirman-djahura.blogspot.com diunduh di Kudus tanggal 28 Oktober 2016.

18
Pembelajaran sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk
membuat siswa belajar, tentu menuntut adanya kegiatan evaluasi.
Penilaian dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan (pemahaman)
siswa dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dalam pembelajaran.
Penilaian pada proses menjadi hal yang seyogyanya diprioritaskan oleh
seorang guru. Agar penilaian tidak hanya berorientasi pada hasil, maka
evaluasi hasil belajar memiliki sasaran ranah-ranah yang terkandung
dalam tujuan yang diklasifikasikan menjadi tiga ranah, yaitu:19
1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif), berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan , pengertian, dan
keterampilan berpikir.
2) Affective Domain (Ranah Afektif), berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi,
dan cara penyesuaian diri.
3) Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor), berisi perilaku-perilaku
yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan,
mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama
dengan ketiga domain tersebut diantaranya seperti yang diungkapkan
oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga
dikenal istilah penalaran, penghayatan, dan pengamalan. Dari setiap
ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori
yang berurutan secara hierarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang
sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang
berhubungan dengan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan
informasi serta pengembangan keterampilan intelektual. Menurut
Taksonomi Bloom (penggolongan) ranah kognitif ada enam tingkatan,
yaitu:
1) Pengetahuan (Knowledge), merupakan tingkat terendah dari ranah
kognitif. Menekankan pada proses mental dalam mengingat dan
mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah siswa

19 Dimiyati dan Mujiono. Belajar dan Pembelajaran. PT Rineka Cipta. Jakarta. 1999. hlm. 201.

19
peroleh secara tepat sesuai dengan apa yang telah mereka peroleh
sebelumnya. Informasi yang dimaksud berkaitan dengan simbol-
simbol, terminologi dan peristilahan, fakta- fakta, keterampilan dan
prinsip-prinsip.
2) Pemahaman (Comprehension), berisikan kemampuan untuk
memaknai dengan tepat apa yang telah dipelajari tanpa harus
menerapkannya.
3) Aplikasi (Application), pada tingkat ini seseorang memiliki
kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus,
teori sesuai dengan situasi konkrit.
4) Analisis (Analysis), seseorang akan mampu menganalisis informasi
yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke
dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau
hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor
penyebab dan akibat dari sebuah kondisi yang rumit.
5) Sintesis (Synthesis), seseorang di tingkat sintesa akan mampu
menjelaskan struktur atau pola dari sebuah kondisi yang sebelumnya
tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus
didapat untuk menghasilkan solusi yang dibutuhkan.
6) Evaluasi (Evaluation), kemampuan untuk memberikan penilaian
berupa solusi, gagasan, metodologi dengan menggunakan kriteria
yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas
atau manfaatnya.20
Ranah afektif berkenaan dengan sikap, terdiri dari lima aspek yaitu
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi dan internalisasi.
Sedangkan ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar
keterampilan dan kemampuan bertindak, ada enam aspek yakni gerakan
reflek, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan
gerakan ekspresif dan interpretatif.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemahaman

20 Ibid. hlm. 202.

20
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman sekaligus
keberhasilan belajar siswa ditinjau dari segi kemampuan pendidikan
adalah sebagai berikut:
1) Tujuan
Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan
dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Perumusan tujuan akan
mempengaruhi kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru
sekaligus mempengaruhi kegiatan belajar siswa.
2) Guru
Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu
pengetahuan pada peserta didik disekolah. Guru adalah orang yang
berpengalaman dalam bidang profesinya. Di dalam satu kelas peserta
didik satu berbeda dengan lainya, untuk itu setiap individu berbeda
pula keberhasilan belajarnya.
Dalam keadaan yang demikian ini seorang guru dituntut untuk
memberikan suatu pendekatan atau belajar yang sesuai dengan
keadaan peserta didik, sehingga semua peserta didik akan mencapai
tujuan pembelajaran yang diharapkan.21
3) Peserta didik
Peserta didik adalah orang yang dengan sengaja datang ke
sekolah untuk belajar bersama guru dan teman sebayanya. Mereka
memiliki latar belakang yang berbeda, bakat, minat dan potensi yang
berbeda pula. Sehingga dalam satu kelas pasti terdiri dari peserta didik
yang bervariasi karakteristik dan kepribadiannya.
Hal ini berakibat pada berbeda pula cara penyerapan materi atau
tingkat pemahaman setiap peserta didik. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa peserta didik adalah unsur manusiawi yang
mempengaruhi kegiatan belajar mengajar sekaligus hasil belajar atau
pemahaman peserta didik.
4) Kegiatan pengajaran
Kegiatan pengajaran adalah proses terjadinya interaksi antara
guru dengan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan
pengajaran ini merujuk pada proses pembelajaran yang diciptakan
21 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zaini. Strategi Belajar Mengajar. PT. Rineka Cipta. 1996.
hlm. 126.

21
guru dan sangat dipengaruhi oleh bagaimana keterampilan guru dalam
mengolah kelas. Komponen-komponen tersebut meliputi pemilihan
strategi pembelajaran, penggunaan media dan sumber belajar,
pembawaan guru, dan sarana prasarana pendukung. Kesemuanya itu
akan sangat menentukan kualitas belajar siswa. Dimana hal-hal
tersebut jika dipilih dan digunakan secara tepat, maka akan
menciptakan suasana belajar yang PAKEMI (Pembelajaran Aktif
Kreatif Efektif Menyenangkan dan Inovatif).
5) Suasana evaluasi
Keadaan kelas yang tenang, aman dan disiplin juga berpengaruh
terhadap tingkat pemahaman peserta didik pada materi (soal) ujian
yang sedang mereka kerjakan. Hal itu berkaitan dengan konsentrasi
dan kenyamanan siswa. Mempengaruhi bagaimana siswa memahami
soal berarti pula mempengaruhi jawaban yang diberikan siswa. Jika
hasil belajar siswa tinggi, maka tingkat keberhasilan proses belajar
mengajar akan tinggi pula.22
6) Bahan dan alat evaluasi
Bahan dan alat evaluasi adalah salah satu komponen yang
terdapat dalam kurikulum yang digunakan untuk mengukur
pemahaman siswa. Alat evaluasi meliputi cara-cara dalam menyajikan
bahan evaluasi, misalnya dengan memberikan butir soal bentuk benar-
salah (true-false), pilihan ganda (multiple-choice), menjodohkan
(matching), melengkapi (completation), dan essay. Dalam
penggunaannya, guru tidak harus memilih hanya satu alat evaluasi
tetapi bisa menggabungkan lebih dari satu alat evaluasi.
Penguasaan secara penuh (pemahaman) siswa tergantung pula pada
bahan evaluasi atau soal yang di berikan guru kepada siswa. Jika
siswa telah mampu mengerjakan atau menjawab bahan evaluasi
dengan baik, maka siswa dapat dikatakana paham terhadap materi
yang telah diberikan.
Faktor lain yang mempengaruhi pemahaman atau keberhasilan
belajar siswa adalah sebagai berikut:
22 Ibid. hlm. 129.

22
1) Faktor internal (dari diri sendiri)
a) Faktor jasmaniah (fisiologi) meliputi: keadaan panca indera
yang sehat tidak mengalami cacat (gangguan) tubuh, sakit atau
perkembangan yang tidak sempurna.
b) Faktor psikologis, meliputi: keintelektualan (kecerdasan),
minat, bakat, dan potensi prestasi yang di miliki.
c) Faktor pematangan fisik atau psikis.
2) Faktor eksternal (dari luar diri)
a) Faktor social meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan kelompok, dan lingkungan masyarakat.
b) Faktor budaya meliputi: adat istiadat, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kesenian.
c) Faktor lingkungan fisik meliputi: fasilitas rumah dan
sekolah.
d) Faktor lingkungan spiritual (keagamaan).23
e. Cara Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa
Setelah diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
pemahaman, maka diketahui pula kalau pemahaman dapat dirubah.
Pemahaman sebagai salah satu kemampuan manusia yang bersifat
fleksibel. Sehingga pasti ada cara untuk meningkatkannya. Berdasarkan
keterangan para ahli, dapat diketahui bahwa cara tersebut merupakan
segala upaya perbaikan terhadap keterlaksanaan faktor di atas yang
belum berjalan secara maksimal.
Berikut adalah langkah-langkah yang dapat digunakan dalam upaya
meningkatkan pemahaman siswa.
1) Memperbaiki Proses Pengajaran
Langkah ini merupakan langkah awal dalam meningkatkan
proses pemahaman siswa dalalm belajar. Proses pengajaran tersebut
meliputi: memperbaiki tujuan pembelajaran, bahan (materi)
pembelajaran, strategi, metode dan media yang tepat serta pengadaan
evaluasi belajar. Yang mana evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang

23 Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta. 2002. hlm. 156-171.

23
diberikan. Tes ini bisa berupa tes formatif, tes subsumatif dan
sumatif.24
2) Adanya Kegiatan Bimbingan Belajar
Kegiatan bimbingan belajar merupakan bantuan yang diberikan
kepada individu tertentu agar mencapai taraf perkembangan dan
kebahagiaan secara optimal. Adapun tujuan dari kegiatan bimbingan
belajar adalah:25
a) Mencarikan cara-cara belajar yang efektif dan efisien bagi
siswa.
b) Menunjukkan cara-cara mempelajari dan menggunakan
buku pelajaran.
c) Memberikan informasi dan memilih bidang studi sesuai
dengan bakat, minat, kecerdasan, cita-cita dan kondisi fisik atau
kesehatannya.
d) Membuat tugas sekolah dan mempersiapkan diri dalam
ulangan atau ujian.
e) Menunjukkan cara-cara mengatasi kesulitan belajar.

3) Menumbuhkan waktu belajar


Berdasarkan penemuan John Aharoll (1963) dalam observasinya
mengatakan bahwa bakat untuk suatu bidang studi tertentu ditentukan
oleh tingkat belajar siswa menurut waktu yang disediakan pada
tingkat tertentu.26
Ini mengandung arti bahwa waktu yang tepat untuk mempelajari
suatu hal akan memudahkan seseorang dalam mengerti hal tersebut
dengan cepat dan tepat.
4) Pengadaan Umpan Balik (Feedback) dalam Belajar
Umpan balik merupakan respon terhadap akibat perbuatan dari
tindakan kita dalam belajar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
guru harus sering mengadakan umpan balik sebagai pemantapan
belajar. Hal ini dapat memberikan kepastian kepada siswa terhadap

24 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zaini. Op.cit. hlm.129-134.

25 Abu Ahmadi dan Widodo Supriono. Psikologi Belajar. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 1991. hlm.
105.

26 Mustaqim dan Abdul Wahid. Psikologi Pendidikan . PT Rineka Cipta. Jakarta. 2003. hlm. 13.

24
hal-hal yang masih dibingungkan terkait materi yang dibahas dalam
pembelajaran. Juga dapat dijadikan tolak ukur guru atas kekurangan-
kekurangan dalam penyampaian materi. Yang paling penting adalah
dengan adanya umpan balik, jika terjadi kesalah pahaman pada siswa,
siswa akan segera memperbaiki kesalahannya.27
5) Motivasi Belajar
Motivasi belajar adalah keseluruhan daya pengggerak baik dari
dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan serangkaian
usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin
kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga
tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat dicapai.
Motivasi mendorong seseorang melakukan sesuatu yang dia
inginkan lebih baik. Ketika suatu pekerjaan dilakukan dengan niatan
sendiri, maka motivasi atau dorongan tersebut menjadikan seseorang
lebih bersemangat. Konsekuensinya dalam belajar adalah menjadikan
siswa lebih mudah dalam mencerna apa yang dipelajari. Jika terdapat
kesulitan, akan ada usaha yang muncul dari siswa untuk terus belajar
hingga apa yang dia inginkan dapat tercapai.
6) Pengajaran Perbaikan (Remidial Teaching)
Remidial Teaching adalah upaya perbaikan terhadap
pembelajaran yang tujuannya belum tercapai secara maksimal.
pembelajaran kembali ini dilakukan oleh guru terhadap siswanya
dalam ranngka mengulang kembali materi pelajaran yang
mendapatkan nilai kurang memuaskan, sehingga setelah dilakukan
pengulangan tersebut siswa dapat meningkatkan hasil belajar menjadi
lebih baik.
Pengajaran perbaikan biasanya mengandung kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:28
a) Mengulang pokok bahasan seluruhnya.
b) Mengulang bagian dari pokok bahasan yang hendak
dikuasai.

27 Ibid. hlm. 17.

28 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zaini. Op.cit. hlm. 123.

25
c) Memecahkan masalah atau menyelesaikan soal-soal
bersama-sama.
d) Memberikan tugas khusus.
7) Keterampilan mengadakan Variasi
Keterampilan mengadakan variasi dalam pembelajaran adalah
suatu kegiatan dalam proses interaksi belajar mengajar yang
menyenangkan. Ditunjukan untuk mengatasi kebosanan siswa pada
strategi pembelajaran yang monoton. Sehingga dalam situasi belajar
mengajar siswa senantiasa aktif dan berfokus pada materi pelajaran
yang disampaikan. Keterampilan dalam mengadakan variasi ini
meliputi:
a) Variasi dalam cara mengajar guru.
b) Variasi dalam penggunaan strategi belajar dan metode
pembelajaran.
c) Variasi pola interaksi guru dan siswa.
3. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam tingkat Madrasah
Ibtidaiyyah
Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang menelaah
tentang asal-usul, perkembangan, peranaan kebudayaan atau peradaban
Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam sejarah islam di masa lampau,
mulai dari perkembangan masyarakat islam pada masa Nabi Muhammad,
Khulafaur Rasyidin hingga Islam di Nusantara.
Secara substansial mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam memiliki
kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk
mengenal, memahami, menghayati Sejarah Kebudayaan Islam yang
mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih
kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik.29
Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Ibtidaiyah
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan-kemampuan sebagai
berikut:
a) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya
mempelajari landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang
telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan
kebudayaan dan peradaban Islam.
29 Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008. hlm. 21.

26
b) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan
tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan
masa depan.
c) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah
secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah.
d) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap
peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat Islam di masa
lampau.
e) Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil
ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-
tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya,
politik, ekonomi, iptek dan seni, dan lain-lain untuk mengembangkan
kebudayaan dan peradaban Islam.30
Sedangkan materi pembelajaran SKI di Madrasah Ibtidaiyah kelas IV
adalah tentang dakwah Nabi Muhammad SAW, kepribadian Nabi
Muhammad SAW, hijrah para sahabat Nabi Muhammad ke Habasyah,
hijrah Nabi Muhammad ke Tha’if, Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dan
hijrah Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib. Dalam materi dakwah Nabi
Muhammad meliputi tantangan-tantangan ketika dakwah, strategi,
tanggapan kaum kafir quraish terhadap dakwah Nabi Muhammad dan
ketabahan serta keteladanan Nabi Muhammad dalam berdakwah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pembelajaran SKI di tingkat
Madrasah Ibtidaiyyah dalam penelitian ini menelaah tentang asal-usul,
perkembangan, peranan kebudayaan atau peradaban Islam dan para tokoh
yang berprestasi dalam sejarah Islam pada masa lampau, mulai dari sejarah
masyarakat Arab pra-Islam, sejarah kelahiran dan kerasulan Nabi
Muhammad SAW, sampai dengan masa Khulafaurrasyidin. Dan materi
pembelajaran SKI di Kelas IV Madrasah Ibtidaiyah meliputi dakwah Nabi
Muhammad SAW, kepribadian Nabi Muhammad SAW, hijrah para sahabat
Nabi Muhammad ke Habasyah, hijrah Nabi Muhammad ke Tha’if, Isra’
Mi’raj Nabi Muhammad dan hijrah Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib.
B. Hasil Penelitian Terdahulu
30 Ibid. 21-22.

27
Penelitian ini sejatinya merupakan pengembangan dari penelitian-
penelitian serupa yang telah dilakukan. Adapun penelitian terdahulu dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Skripsi yang ditulis oleh Ferry Sulistiyono, mahasiswa Universitas
Negeri Yogyakarta (2014) yang berjudul “Peningkatan Minat Belajar Siswa
Terhadap Pembelajaran Tematik Kelas I Melalui Metode Story Telling di
SDN Gembongan Sentolo Kulon Progo” dengan hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan metode story telling dapat meningkatkan
minat belajar siswa terhadap pembelajaran tematik.
Relevansinya pada penelitian ini yaitu meneliti tentang variabel
penggunaan metode story telling. Perbedaannya adalah fokus penelitian ini
dengan fokus penelitian yang dilakukan penulis, yaitu terdapat di variabel
terikatnya yang meneliti terhadap peningkatan belajar siswa pada
pembelajaran tematik, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis pada
tingkat pemahaman siswa.
2. Skripsi yang ditulis oleh Afiani Rahmawati, mahasiswa Universitas
Negeri Semarang (2013) yang berjudul “Peningkatan Keterampilan
Menyimak Dongeng Melalui Model Paired Storytelling dengan Media
Wayang Kartun pada Siswa Kelas II SDN Mangunsari Semarang”. Adapun
hasil penelitian ini adalah melalui model pembelajaran paired storytelling
dengan media wayang kartun, dapat meningkatkan keterampilan guru dalam
pembelajaran bahasa Indonesia tentang menyimak dongeng pada siswa,
selain itu juga dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran
bahasa Indonesia tentang menyimak pada siswa.
Relevansinya pada penelitian ini meneliti tentang penggunaan metode
story telling. Perbedaannya adalah fokus penelitian ini dengan fokus
penelitian yang dilakukan penulis, yaitu terletak pada obyek yang diteliti.
Obyek penelitian terdahulu adalah guru dan siswa. Sementara pada
penelitian yang akan dilakukan, obyeknya adalah siswa.
3. Pada jurnal penelitian Lia Noviana, mahasiswa Universitas Negeri
Surabaya dengan judul “Pengaruh Metode Bercerita terhadap Kemampuan

28
Menyimak pada Anak Kelompok Bermain Tunas Bangsa di Desa Watonsari
Kecamatan Balongpanggang Kabupaten Gresik”. Hasil penelitian bahwa
adanya pengaruh antara kemampuan menyimak sebelum dan sesudah
metode bercerita pada anak kelompok bermain Tunas Bangsa. Besarnya
peningkatan pengaruh kemampuan menyimak anak sebelum mendapatkan
penerapan metode cerita sebesar 2,57 kemudian meningkat menjadi 3,46.
Relevansinya pada penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang
penggunaan metode bercerita. Perbedaannya adalah pada variabel terikatnya
dimana pada penelitian ini yang menjadi variabel terikatnya adalah
kemampuan menyimak, sementara pada penelitian yang penulis lakukan
variabel terikatnya adalah tingkat pemahaman.

C. Kerangka Berpikir
SKI merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di MI. Dalam
proses pembelajarannya, mata pelajaran SKI selama ini cenderung kurang
digemari oleh para siswa jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Semua
itu sebabkan karena mata pelajaran SKI yang membutuhkan penalaran yang
tinggi dan banyaknya materi yang bersifat hafalan terhadap pembahasan
tentang peradaban islam masa lalu. Selain itu faktor guru juga mempengaruhi
kurangnya minat siswa dan rendahnya tingkat pemahaman siswa terhadap mata
pelajaran SKI. Guru sering menggunakan metode ceramah konvensional yang
cenderung monoton bagi siswa dan membosankan sehingga siswa kurang
tertarik pada mata pelajaran SKI, dan berakibat pada rendahnya hasil belajar
SKI siswa.
Dari permasalahan tersebut, maka guru SKI menggunakan metode story
telling. Melalui penggunaan metode story telling diharapkan siswa dapat
mengikuti pembelajaran dengan menyenangkan, tidak membosankan dan
diharapkan tingkat pemahaman siswa terhadap mata pelajaran SKI meningkat.

Tingkat pemahaman
Metode story telling
siswa dalam
(X) pembelajaran (Y)

29
D. Rumusan Hipotesis
Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pada umumnya penerapan metode pembelajaran story telling pada
mata pelajaran SKI di MI NU Banat Kudus dalam kategori sedang.
2. Pada umumnya tingkat pemahaman siswa pada mata pelajaran SKI
di MI NU Banat Kudus dalam kategori sedang.
3. Terdapat pengaruh yang signifikan antara penerapan metode
pembelajaran story telling terhadap tingkat pemahaman siswa pada mata
pelajaran SKI di MI NU Banat Kudus.

30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey yaitu teknik pengambilan data yang
dilakukan melalui pertanyaan tertulis atau lisan langsung di lapangan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan studi langsung ke MI NU
Banat Kudus untuk memperoleh data yang konkret.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang peneliti lakukan ini menggunakan pendekatan
kuantitatif, yaitu menekankan analisisnya pada data-data numerical (angka)
yang diolah dengan metode statistika. Dalam hal ini dengan menggunakan
korelasi variabel independen dan variabel dependen. Sedangkan untuk
memudahkan pengolahan data, peneliti menggunakan analisis SPSS untuk
menguji hipotesis penelitian.

B. Populasi dan Sampel


Populasi adalah jumlah dari keseluruhan objek (satuan-satuan individu)
yang karakteristiknya akan diteliti. Sedangkan sampel adalah sebagian atau
wakil yang diteliti. 31Dalam penelitian ini, populasinya adalah seluruh siswa
kelas IV di MI NU Banat Kudus yang terdiri dari kelas IV A, IV B, IV C yang
berjumlah 102 siswa. Dan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas IV B di MI NU Banat Kudus yang berjumlah 35
siswa.

C. Tata Variabel Penelitian


Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,
kemudian ditarik kesimpulanya. Adapun variabel dan sub variabel (indikator)
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

31Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Bandung. 2013. hlm. 117-118.

31
1. Variabel Independen atau Variabel Bebas (X)
Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode
pembelajaran story telling. Dalam penelitian ini yang diukur adalah metode
story telling pada mata pelajaran SKI dengan indikator beserta deskripsinya:
Pembelajaran: a. Interaksi siswa dan guru
b. Proses transfer pengetahuan dan nilai
Metode : cara penyampaian pembelajaran

2. Variabel Dependen atau Variabel terikat (Y)


Adapun variabel terikat yang akan digunakan dalam penelitian adalah
tingkat pemahaman dengan indikator beserta deskripsinya:
Pemahaman : Kemampuan kognitif
Relevansi : ketertarikan terhadap pembelajaran
Hasil : peningkatan kualitas belajar

D. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel adalah suatau definisi mengenai variabel
yang dirumuskan bedasarkan karakteristik-karakteristik variabel yang dapat
diamati. Sesuai dengan tata variabel penelitian, maka diperoleh definisi
operasional sebagi berikut:
1. Variabel Independen, yaitu metode pembelajaran story telling.
Story telling adalah cara yang dilakukan pendidik untuk
menyampaikan suatu cerita kepada para penyimak, baik dalam bentuk kata-
kata, gambar, foto, maupun, suara.
2. Variabel Dependen, yaitu pemahaman.
Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk memahami sesuatu
setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami
adalah mengetahui tentang sesuatu yang dapat melihatnya dari berbagai
segi. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berpikir yang setingkat
lebih tinggi dari ingatan dan hafalan.

E. Teknik Pengumpulan Data

32
Di dalam teknik pengumpulan data penelitian ini, peneliti akan
menggunakan:
1. Metode Observasi
Metode observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan
sistematik fenomena-fenomena yang diteliti.32 Metode ini penulis gunakan
untuk memperoleh data melalui pengamatan langsung terhadap
pelaksananaan penerapan metode pembelajaran story telling pada mata
pelajaran SKI.
2. Metode Wawancara
Metode wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi
semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi.33 Adapun yang
akan menjadi sasaran metode wawancara ini adalah kepala sekolah, guru
dan siswa.
3. Metode Angket
Metode angket adalah daftar pertanyaan yang didistribusikan melalui
pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab dengan
pengawasan peneliti. Angket yang akan digunakan adalah angket tertutup,
yaitu angket yang disusun dengan menyediakan alternatif jawaban.34 Angket
ini diberikan kepada responden yaitu siswa kelas IV B di MI NU Banat
Kudus.
4. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk
memperoleh data berupa benda-benda tertulis. Metode ini akan peneliti
gunakan untuk memperoleh data Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
kelas IV, hasil belajar SKI siswa kelas IV B, sejarah berdirinya MI NU
Banat Kudus dan profil sekolah.

F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen


32 Ibid. hlm. 203.

33 Ibid. hlm. 194.

34 Ibid. hlm. 199.

33
1. Uji Validitas
Instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut mampu
mengungkapkan aspek-aspek yang diteliti dengan tepat. Instrumen yang
berbentuk tes, pengujian validitas isi dilakukan dengan membandingkan
antara isi instrumen dengan materi yang diajarkan. Secara teknis, pengujian
instrumen tes dapat dibantu dengan menggunakan kisi-kisi instrumen atau
matrik pengembangan instrumen.
Dalam penelitian ini, untuk mengukur validitas data, peneliti akan
menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total
menggunakan rumus korelasi product moment, dengan rumus:
n xy−( x ) ( y )
r=
√ {n x 2−( x 2 ) }{n y 2−( y 2) }
Keterangan:
n = banyaknya data X dan Y
x = total jumlah dari variabel X
y = total jumlah dari variabel Y
x2 =kuadrat dari total jumlah variabel X
y2 =kuadrat dari total jumlah variabel Y
xy =hasil perkalian dari total jumlah variabel X dan variabel Y
Dengan syarat minimum satu item dianggap valid jika r ≥ 0,30 dengan
derajat signifikan = 0,05. Hasil korelasi dibandingkan dengan angka kritis
tabel korelasi untuk degree of freedom (df) = n-k, dengan taraf signifikan
5%, yaitu jika nilai r yang diperoleh ≥ 0,30.35

2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu
kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu
kuesioner dikatakan reliabel atau handal, jika jawaban seseorang terhadap
kenyataan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini,
peneliti akan menggunakan cara pengukuran reliabitas yakni cara One Shot

35 Sugiyono. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. 2005. hlm. 272.

34
atau pengukuran sekali saja. Pengukuran dilakukan sekali saja kemudian
hasilnya dibandingkan dengan pertanyaan lain atau mengukur korelasi antar
jawaban. Uji reliabilitas dapat dilakukan dengan program SPSS
menggunakan uji statistik Cronbach Alpha dengan rumus:

{ }
2

∝=
k
1−
∑ si
(k −1) st 2

Keterangan:
 = koefisien reliabilitas alpha cronbach
K = jumlah item pertanyaan
2
si = variansi item
st 2 = variansi keseluruhan item36

G. Uji Asumsi Klasik


Penganalisaan data penelitian dengan menggunakan statistik inferensial
memerlukan pengujian terlebih dahulu terkait uji normalitas data. Adapun uji
asumsi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Uji Normalitas Data
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel terikat dan variabel bebas keduanya memiliki distribusi normal atau
tidak. Untuk menguji apakah data berdistribusi normal atau tidak dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Namun dalam hal ini peneliti
menggunakan tes statistik berdasarkan kurtosis dan skewness.
2. Uji Linieritas Data
Uji linieritas data adalah uji untuk menentukan masing-masing
variabel bebas sebagai prediktor mempunyai hubungan linieritas atau tidak
dengan variabel terikat. Dalam hal ini, penulis menggunakan teknik uji
linieritas dengan scatter plot (diagram pencar), dengan memberi tambahan
garis regresi.

36 Ibid. hlm. 282.

35
H. Analisis Data
Setelah data terkumpul maka langkah berikutnya adalah analisis data.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data statistika
sebagai berikut:
1. Analisis pendahuluan
Merupakan langkah awal yang dilakukan dengan cara memasukkan
hasil pengolahan data angket responden kedalam data tabel distribusi
frekuensi. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik yang
menghitung nilai kualitas dan kuantitas dengan cara memberikan penilaian
berdasarkan jawaban angket yang telah disebarkan kepada responden.
2. Analisis Hipotesis
Adalah tahap pembuktian kebenaran hipotesis yang peneliti ajukan.
Dalam penelitian ini, akan menggunakan uji hipotesis asosiatif. Hipotesis
asosiatif diuji dengan teknik korelasi. Untuk mengujinya menggunakan
rumus regresi linier sederhana adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
n xy −(x )( y)
b=
n x 2−( x)2
Y=a+bX
Keterangan:
Y = subjek dalam variabel dependen
a = harga Y bila X=0 (konstan)
b = angka arah koefisien regresi, yang menunjukkan angka
peningkatan atau penurunan variabel dependen yang
didasarkan pada variabel independen
X = subjek dalam variabel independen.

Selanjutnya mencari korelasi antara variabel dependen dan variabel


independen dengan menggunakan rumus koefisien korelasi:
Y
¿
¿
¿2}
√ {N X 2−( X )2 }−{N Y 2 −¿
N XY −( X )( Y )
xy=
¿
r¿

36
Keterangan:
r xy = koefisien korelasi
X = variabel independen
Y = variabel dependen
N = jumlah subyek yang diteliti

37
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Widodo Supriono. Psikologi Belajar. PT Rineka Cipta. Jakarta.
1991.
Aminudin. Belajar Menjadi Seorang Pendongeng. PT Pribumi Mekar. Bandung.
2009.
Bimo. Mahir Mendongeng. Pro U Media. Yogyakarta. 2011.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zaini. Strategi Belajar Mengajar. PT. Rineka
Cipta. 1996.
Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta. 2002.
Dimiyati dan Mujiono. Belajar dan Pembelajaran. PT Rineka Cipta. Jakarta.
1999.
Hamdani. Strategi Belajar Mengajar. CV Pustaka Setia. Bandung. 2011.
Jamaludin, dkk. Pembelajaran Perspektif Islam. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung. 2011.
Latif, Muhammad Abdul. The Miracle of Story Telling. Zikrul Hakim. Jakarta.
2012.
Madyawati, Lilis. Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak. Prenadamedia
Group. Jakarta. 2016.
Majid, Abdul. Mendidik Anak dengan Cerita. PT Remaja Rosda Karya. Bandung.
2008.
Majid, Abdul. Perencanaan Pembelajaran. PT Remaja Rosdakaraya. Bandung.
2009.
Mustaqim dan Abdul Wahid. Psikologi Pendidikan . PT Rineka Cipta. Jakarta.
2003.
Sugiyono. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. 2005.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta. Bandung. 2013.
Suhana, Cucu. Konsep Strategi Pembelajaran. Refika Aditama. Bandung. 2014.
Sukiman. Pengembangan Sistem Evaluasi. Insan Madani. Yogyakarta. 2012.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Remaja
Rosdakarya. Bandung. 2013.

38
Yaumi, Muhamad dan Nurdin Ibrahim. Pembelajaran Berbasis Kecerdasan
Jamak. Prenadamedia Group. Jakarta. 2013.
Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008.
http://dirman-djahura.blogspot.com diunduh di Kudus tanggal 28 Oktober 2016.

39

Anda mungkin juga menyukai