1. Data Analisis
Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati
pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta
anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan
kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak
paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu
melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Benarkah ini karena faktor ekonomi atau sistem yang tidak berpihak pada mereka? Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, mengumumkan hasil
penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Ada temuan
menarik.
Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya,
kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen
karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus
keterampilan lainnya.
Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar berijazah terakhir sekolah
dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki ijazah (30,7 persen). Meski demikian, rencana
untuk menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar,
yakni 93,9 persen. Hanya 6,1 persen yang menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.
Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, S.I.P., M.Sc. mengatakan dalam Focused
Group Discussion, pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital
investment) dan pemerintah harusnya memberi perhatian yang sungguh terhadap hal ini,
terlebih dalam merespons perubahan komposisi demografi.
Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonus (window of opportunity)
apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai dengan jumlah penduduk usia kerja
serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja yang baik.
Triyas menambahkan, seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling mempengaruhi satu
sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya
jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak
kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya karena tingkat
pendapatan yang rendah, akses ke pendidikan formal pun sulit dicapai. (ded/ded)1
Diferensiasi sosial adalah penempatan orang – orang dalam kategori yang berbeda
– beda, yang didasarkan pada perbedaan yang diciptakan secara sosial. Muncunya
diferensiasi disebabkan karena adanya pola interaksi antar individu yang memiliki ciri –
ciri fisik dan nonfisik yang berbeda – beda. Pertama, ciri fisik. Pada ciri ini akan terlihat
perbedaan raut muka, warna dan bentuk rambut, bentuk dan tinggi tubuh, warna kulit,
bentuk gigi, bentuk tulang, dsb. Kedua, ciri sosial budaya (nonfisik). Pada ciri ini akan
terlihat intelegensi, kecerdasan, motivasi, dedikasi, minat, dan bakat yang melekat pada
diri individu. Perbedaan pada diferensiasi sosial didasarkan pada beberapa fator, yaitu
faktor ras / etnik, kepercayaan, jenis kelamin atau gender, profesi, klan, dan suku bangsa.
Sedangkan istilah stratifikasi sosial berasal dari kata strata dan stratum yang
berarti lapisan. Stratifikasi sosial adalah sistem pembedaan individu atau kelompok
masyarakat yang menempatkan pada kelas – kelas sosial yang berbeda secara hierarki dan
memberikan hak serta kewajiban yang berbeda – beda pula antara individu pada suatu
lapisan dengan lapisan lainnya. Sistem stratifikasi sosial adalah perbedaan masyarakat
secara bertingkat yang diwujudkan pada kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas bawah.
Stratifikasi sosial juga merupakan pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam
kedudukan yang berbeda – beda secara vertikal. Srtatifikasisi sosial merupakan gejala
yang umum dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern
yang heterogen.
1
Ar Rahadian, ―Tingginya Angka Putus Sekolah di Indonesia‖,
http://student.cnnindonesia.com/edukasi/20170417145047-445-208082/tingginya-angka-putus-sekolah-di-
indonesia/ (diakses pada 8 November 2018, pukul 14.00)
interaksinya dalam masyarakat. Komblum mendefinisikan sebagai suatu pola perilaku
berulang – ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam
masyarakat. Dalam struktur sosial tersebut, setiap individu mempunyai kedudukan dalam
suatu struktur sosial.
2
Binti Maunah. Sosiologi Pendidikan. (Yogyakarta: Kalimedia. 2016) hlm. 62-80
Budaya yang sudah tidak sesuai dengan keinginan/kehendak masyarakat perlu
dihilangkan, sedangkan kebudayaan yang sesuai dengan kehendak masyarakat
harus dijaga dan dikembangkan agar timbul budaya baru.
Kemajuan iptek yang pesat menyebabkan ilmu segera menjadi usang. Masalah
yang lebih sulit ialah soal nilai – nilai dalam dunia yang cepat berubah dan berkembang.
Adanya bahaya bahwa dengan mengutamakan berbagai aspek ilmu pengetahuan
(matematika, IPA, aspek agama, sosial, dan moral) menjadi terabaikan. Demikian pula
penekanan pada prestasi teknologi dan material dapat mengurangi rasa tanggung jawab
atas akibatnya terhadap kehidupan.3
3
Binti Maunah. Sosiologi Pendidikan. (Yogyakarta: Kalimedia. 2016) hlm. 106-109
Dengan intelektualitas yang semakin tinggi berlandaskan wawasan nasional yang
mantab, generasi muda akan mampu menyaring budaya asing yang masuk dan
mengasimilasikannya demi menumbuhkan budaya nasional di era globalisasi.
6. Sekolah dapat membantu mensejahterakan keluarga
Pihak sekolah dapat bekerjasama dengan para orang tua dalam mengendalikan dan
mengarahkan anaknya melakukan hal yang kadang sudah tak dapat dilakukan
orang tua.4
3. Analisis
a) Analisis Menggunakan Teori Diferensiasi dan Stratifikasi Sosial
Dalam Pendidikan
4
Ary H. Gunawan. Sosiologi Pendidikan. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010) hlm. 64-71
Di dalam permasalahan putus sekolah juga memiliki kaitan erat dan saling
mempengaruhi dengan persoalan ekonomi. Karena itulah keadaan ekonomi menjadi
faktor utama yang memicu seseorang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih
lanjut. Berbeda dengan orang yang mempunyai tingkat kemampuan ekonomi yang
tinggi, orang yang ekonominya tergolong rendah akan cenderung memilih tidak
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut
mengindikasikan adanya stratifikasi sosial di bidang ekonomi yang mempengaruhi
keadaan atau keputusan seseorang dalam mengenyam dan melanjutkan pendidikan
yang dijalaninya. Selain itu, kesenjangan dalam ketersediaan sarana prasarana dan
fasilitas setempat juga mempengaruhi. Seperti contohnya anak yang tinggal di daerah
pelosok yang minim fasilitas transportasi dan sulitnya akses mobilitas, hal itu juga
dapat memicu terjadinya putus sekolah.