Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan multikultural adalah sebuah ide, sebuah pergerakan perubahan,

dan sebuah proses dimana bertujuan untuk mengubah struktur lembaga pendidikan

sehinga peserta didik perempuan dan laki-laki, peserta yang berbeda ras, etnis,

bahasa, kultur, kelompok agama akan memiliki kesempatan yang sama untuk

menerima secara akademik di sekolah (Banks & Banks, 2016: 1). Selain itu,

perbedaan juga bisa mengarah kepada kelas, pendapatan, atau perbedaan

pendidikan (Reese & Zalewski, 2015: 784). Pada intinya, pendidikan multikultural

memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak dengan latar belakang

sosial budaya yang beragam untuk mendapatkan pendidikan. Hal tersebut juga telah

dijamin oleh Pemerintah dalam UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional pasal 4 yang berbunyi:

“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak


diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Peraturan tersebut merupakan wujud kesadaran tentang keanekaragaman

kultural di Indonesia. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan masyarakat

yang majemuk atau pluralis. Kemajemukan ini menjadi salah satu ciri khas dari

negara Indonesia sendiri. Kemajemukan bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu

secara horizontal maupun vertikal. Dalam perspektif horizontal yang lebih bersifat

alamiah, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, ras,

bahasa, geografis, maupun budaya. Sedangkan dalam perspektif vertikal sebagai

sesuatu yang diciptakan manusia atau masyarakat, kemajemukan bangsa Indonesia


1
dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosialnya

(Handoyo dkk., 2015: 26). Selain itu, peraturan tersebut sebagai usaha pengurangan

atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat

yang adil dan maju.

Beberapa tujuan utama dari pelaksanaan pendidikan multikultural ini antara

lain memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat, menghormati

dan mengapresiasi ke-bhinneka-an budaya dan sosio-historis etnik, menyelesaikan

sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh prasangka, serta mengembangkan

sikap sosial pada siswa (Suryana & Rusdiana, 2015: 199-200). Akan tetapi, pada

kenyataannya pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia belum

menunjukkan hasil yang optimal. Tiga masalah utama dalam melaksanakan

pendidikan multikultural, antara lain terkait: kebijakan dan praktik yang rendah,

keraguan guru akan kesiapan anak untuk menerima pendidikan multikultural,

khususnya dari wilayah pedesaan, serta kekhawatiran tentang latar belakang anak

dan tingkat penerimaan anak. Phoon, Abdullah dan Abdullah (2013: 621-630)

menyampaikan bahwa tantangan-tatangan dalam pelaksanaan pendidikan

multikultural anak usia dini antara lain: kurangnya dukungan pemangku

kepentingan, khususnya orang tua; pengaturan mono-etnis di beberapa sekolah;

kurangnya perhatian anak dan perilaku tidak kooperatif selama kegiatan budaya;

menekankan pada komponen akademik dibandingkan dengan aspek pendidikan

multikultural di kebanyakan sekolah; serta guru tidak memiliki cukup bahan

instruksional, alat bantu belajar, waktu, dan dukungan finansial untuk

mengimplementasikan kegiatan pendidikan multikultural.

2
Selain itu, belum optimalnya hasil pendidikan multikultural dibuktikan dari

fenomena-fenomena sosial yang menunjukkan adanya diskriminasi terhadap hak

anak untuk mengenyam pendidikan, sikap-sikap etnosentris, serta perilaku-perilaku

kekerasan dan kriminal sebagai cerminan individu yang memiliki kemampuan

sosial yang rendah. Fenomena diskriminasi ini terlihat pada meningkatnya sikap

intoleran di tengah masyarakat semakin memprihatinkan, terlebih sudah mulai

menyentuh pemikiran anak-anak. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(KPAI) menyebutkan 79,5% siswa mempertimbangkan agama dalam memilih

teman. Selain itu, 1 dari 4 anak dirundung karena berbeda agama (Wiwiet, 2018).

Dalam kurun 5 tahun terahir, jumlah anak korban intoleransi semakin melonjak.

Salah satu kasusnya terjadi pada anak Jemaat Ahmadiyah Bangka, mereka

mendapatkan ancaman atas kehidupannya, pengusiran dari tempat tinggalnya,

bahkan status kewarganegaraan mereka juga belum mendapatkan kepastian.

Kasus diskriminasi lainnya terjadi pada anak-anak berkebutuhan khusus yang

masih banyak belum mendapatkan tempat untuk mengenyam proses pendidikan. Di

Indonesia sendiri, meskipun sudah mulai kesadaran adanya sekolah inklusi dimana

anak-anak berkebutuhan khusus tersebut dapat belajar bersama dengan anak-anak

reguler lainnya, namun Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada

2016 menunjukkan, dari 4,6 juta anak yang tidak sekolah, satu juta di antaranya

adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Data Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan juga menyebutkan dari total 514 kabupaten/ kota di Indonesia, 62 di

antaranya tidak memiliki SLB. Jumlah 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di

Indonesia pun baru 10 persen yang bersekolah di SLB (Olyvia, 2017). Selain itu,

3
kesenjangan terlihat dari status ekonomi rumah tangga, persentase partisipasi anak

0-6 tahun yang mengikuti PAUD meningkat seiring semakin tingginya status

ekonomi rumah tangga. Persentase anak 0-6 tahun yang mengikuti PAUD pada

kelompok rumah tangga dengan pengeluaran terbawah hanya 24,12 persen,

dibandingkan dengan kelompok status ekonomi teratas yaitu sebesar 34,36 persen

(Statistik, 2018: 32). Hal ini mencerminkan bahwa masih terdapat kesenjangan bagi

anak untuk berpartisipasi mengikuti PAUD, tergantung pada lapisan disabilitas dan

ekonomi rumah tangga. Ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah, untuk

meningkatkan layanan PAUD agar bisa dinikmati oleh seluruh kalangan, tanpa ada

pengecualian.

Fenomena-fenomena terkait perilaku kekerasan dan tindakan kriminal

disampaikan oleh Komisioner KPAI Bidang Pendikan, Retno, Listyarti, yang

mengungkapkan bahwa kasus bullying paling banyak ditemukan dalam bidang

pendidikan. Data KPAI menunjukkan jumlah kasus pendidikan per tanggal 30 Mei

2018 berjumlah 161 kasus dengan rincian: anak korban tawuran sebanyak 23 kasus

(14,3 %), anak pelaku tawuran sebanyak 31 kasus (19,3 %), anak korban kekerasan

dan bullying sebanyak 36 kasus (22,4 %), anak pelaku kekerasan dan bullying

sebanyak 41 kasus (25,5 %), serta anak korban kebijakan sekolah (pungutan liar,

dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30

kasus (18,7 %) (Novianto, 2018).

Munculnya beragam kasus tersebut salah satu dampak negatif dari teknologi.

Pada masa sekarang, akses terhadap beragam berita sangat mudah dengan adanya

perangkat handphone, tablet, dan alat komunikasi canggih lainnya. Sehingga hal

4
tersebut memungkinkan semakin banyak dan mudah bagi orangtua dan anak-anak

untuk mengakses berita-berita yang berisi masalah kesenjangan tersebut. Selain itu,

masih banyaknya masalah terkait isu SARA (suku, agama, dan ras/ etnis)

membuktikan bahwa masih kurangnya sikap toleransi dan saling menghormati

bangsa Indonesia, baik dari golongan muda (anak-anak) maupun golongan tua.

UNESCO mencatat pendidikan untuk anak-anak dengan latar belakang dan

kemampuan yang beragam tetap menjadi tantangan utama di wilayah Asia-Pasifik,

yaitu meningkatkan jumlah dan tingkat kelulusan anak di sekolah, menghilangkan

bias di dalam sekolah, dan menghilangkan diskriminasi sosial dan budaya yang

membatasi tuntutan untuk pendidikan anak dengan latar belakang dan kemampuan

yang beragam. Francis dan Mills (2012: 251) menyatakan bahwa sekolah telah

menjadi tempat kekerasan yang menunjukkan ketidaksetaraan sosial, seperti

rasisme dan ketidaksetaraan gender, gangguan psikologis dan pengucilan murid.

Hal ini dibuktikan melalui hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru di

salah satu TK di Yogyakarta, anak-anak menunjukkan perilaku kurang dapat

menghargai orang lain, misalnya anak mengejek anak lain karena orang tuanya

tidak bekerja, anak merundung anak lainnya.

Sikap dan perilaku kurang responsif terhadap orang lain, sikap diskriminasi

terhadap kelompok lain pada anak akan menimbulkan hubungan yang kurang

harmonis dengan orang lain. Padahal, sebagai makhluk sosial, anak-anak perlu

membangun hubungan yang positif dengan orang lain, di samping keluarganya.

Oleh karena itu, kemampuan sosial tersebut sangat penting dikembangkan anak

sejak dini. Sebagaimana yang disampaikan oleh Logvinova (2016: 207),

5
berdasarkan pendekatan sosial-pedagogis menyatakan bahwa penting

mengembangkan kemampuan sosial dalam proses pendidikan, karena implementasi

proses pendidikan berdasar pada masyarakat dan potensi pendidikannya melalui

interaksi dengan intuisi sosial, keterlibatan anak-anak ke dalam kegiatan sosial yang

signifikan dengan hubungan sosial.

Pada anak usia dini, kemampuan sosial ini diperlukan anak untuk berinteraksi

lingkungannya, khususnya non keluarga, seperti teman sebaya dan guru. Anak-anak

yang memasuki sekolah dengan tingkat kompetensi sosial dan emosional yang

tinggi memiliki hubungan teman sebaya yang lebih positif, hubungan guru-anak

yang sukses, dan tingkat pencapaian yang lebih tinggi daripada teman sebaya

mereka yang memiliki kompetensi sosial yang dinilai lebih rendah (Holland, 2013:

11-13). McCelland et al. (2007: 102-103) dan Raver (2004: 350-351)

menambahkan bahwa kemampuan untuk bekerja sama dengan teman sebaya,

mengendalikan emosi dan perilaku, beradaptasi dengan situasi sosial baru,

memungkinkan anak-anak untuk memanfaatkan peluang belajar di ruang kelas serta

mengembangkan dan mempertahankan hubungan positif dengan teman sebaya dan

orang dewasa. Apabila anak-anak muda kompeten secara sosial, maka mereka

lebih mungkin untuk menjadi orang dewasa dengan hasil hidup yang positif dan

tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi daripada anak-anak dengan keterampilan

sosial-emosional yang rendah (Goodman et al., 2015: 43). Dengan demikian,

pengembangan kemampuan sosial pada anak usia dini sangat penting untuk

keberhasilan anak di sekolah dan pada ahirnya dalam kehidupan anak. Kemampuan

sosial tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Mereka

6
membutuhkan orang lain dan lingkungan yang kondusif untuk mendukungnya

menjadi anak-anak yang sehat secara fisik maupun mental. Lingkungan yang

kondusif tersebut akan memungkinkan anak untuk berkembang secara optimal.

Dalam hal ini, peranan sekolah sangat penting di samping lingkungan keluarga.

Pada umumnya, lembaga sekolah untuk anak usia dini bertujuan untuk

memberikan stimulus dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak, baik

secara jasmani maupun rohani agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan

lebih lanjut. Oleh karena itu, berbagai aspek perkembangan harus diperhatikan

pengembangannya, termasuk di dalamnya adalah perkembangan sosial. Apabila

anak-anak dapat berinteraksi dengan orang lain, khususnya teman sebaya dan guru

di sekolah secara efektif, maka anak dapat membentuk hubungan positif dan

membantu keberhasilan anak selama di sekolah. Seperti yang disampaikan oleh

Oades-Sese et al. (2011: 747) bahwa para peneliti telah menemukan bahwa anak-

anak prasekolah bilingual yang dinilai lebih kompeten secara sosial di prasekolah

pada ahirnya menerima skor yang lebih tinggi pada penilaian langsung

keterampilan literasi, bahasa Inggris, dan matematika mereka di TK dan kelas satu,

dibandingkan dengan teman-teman bilingualnya yang kurang kompeten secara

sosial.

Selama beberapa dekade terakhir, tumbuh minat terhadap aspek sosiokultural

Vygotsky pada kompetensi sosial anak-anak (Han, 2009: 81). Para peneliti telah

menunjukkan bahwa aspek-aspek tertentu dari kemampuan sosial dipengaruhi oleh

budaya seseorang, dan pengetahuan budaya adalah bagian penting ketika

memahami kemampuan sosial. Anak-anak belajar apa yang penting dalam

7
lingkungan sosial budayanya dengan berpartisipasi dalam acara-acara budaya dan

kegiatan-kegiatan lain di lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, perspektif

sosiokultural berkontribusi pada lensa yang lebih inklusif untuk memahami

perkembangan anak, khususnya perkembangan sosial anak. Terkait definisi dan

harapan kemampuan sosial anak yang dapat dipengaruhi oleh budaya tersebut,

masalah dan tantangan dapat terjadi pada pihak sekolah ketika anak-anak yang

berasal dari berbagai latar belakang budaya ditempatkan dalam satu tempat atau

kelas. Oleh karena itu, penting bagi sebuah lembaga pendidikan untuk mengatur

kondisi sekolah dan ruang kelas yang responsif terhadap budaya yang beragam.

Akan tetapi, kurangnya respon bidang pendidikan terhadap konsep multikultural

menjadikan anak minim pemahaman mengenai identitas dirinya, orang lain dan

keberagaman. Senada dengan pernyataan di atas, Lam & Wong (2018: 4-8)

mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terhambatnya

perkembangan kemampuan sosial anak adalah belum mapannya pemahaman

multikultural pada anak-anak.

Sekolah, sebagai salah satu lingkungan pendidikan, ikut berperan dalam

mengimplementasikan pendidikan multikultural secara sukses. Setiap variabel

utama dalam sekolah, seperti budaya, hubungan yang kuat, kurikulum dan material,

sikap dan kepercayaan staf harus diubah sehingga sekolah dapat membuat

kesamaan pendidikan untuk peserta didiknya yang berasal dari beragam kelompok.

Untuk mengubah sistem sekolah, pendidik harus memahami pengaruh beberapa

kelompok dalam perilaku peserta didik. Selain guru, orangtua juga berperan penting

dalam mendidik anak dari paham radikalisme, kebencian dan intoleransi,

8
diantaranya dengan memberikan keagamaan dan memperkenalkan dengan makna

pluralisme.

Nilai-nilai pluralisme, toleransi dan demokrasi adalah nilai-nilai yang

diberikan dalam pendidikan multikultural. Berkaitan dengan hal ini, penting bagi

institusi pendidikan (khususnya PAUD) dalam masyarakat yang multikultural

untuk mengajarkan perdamaian, rasa hormat dan saling menghargai. Sebagaimana

yang telah dibuktikan oleh Omar et al. (2015: 1941) bahwa melalui praktik

pendidikan multikultural dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran

dapat menghasilkan keseimbangan dalam semua dimensi mencakup fisik,

emosional, spiritual, intelektual, dan sosial dan berusaha untuk mengahasilkan

peserta didik yang dapat mengambil nilai apa yang diharapkan.

Berdasarkan pemaparan konsep pendidikan multikultural di atas, dapat

disimpulkan bahwa implementasi pendidikan multikultural ikut berperan dalam

membentuk sikap saling menghargai dan menghormati antar individu. Hal tersebut

senada dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui manusia sebagai

makhluk yang individual differences. Konsep ini mengakui bahwa setiap individu

memiliki karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya.

Akan tetapi, konsep Bhinneka Tunggal Ika juga mengakui pluralisme yang berarti

kesedian untuk menerima keberagaman (pluralitas). Hal tersebut bermakna bahwa

antar individu yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda untuk hidup secara

toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga

pandangan hidup.

9
Oleh karena itu, lembaga sekolah khususnya lembaga PAUD mulai

membangun sekolah yang menganut konsep multikultural. Salah satunya adalah

TK Hamemayu Yogyakarta. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang

dilakukan peneliti di TK tersebut, menunjukkan bahwa di TK Hamemayu telah

menerapkan pendidikan multikultural, namun belum melabelkan sekolahnya

sekolah multikultural. Penerapan pendidikan multikultural di TK Hamemayu

terlihat pada kurikulum, rencana kegiatan pembelajaran, dan latar belakang anak

yang ada di sekolah. Pertama, kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum 2013

dan dikembangkan oleh sekolah dengan memasukkan muatan lokal berupa materi

budaya (khususnya budaya Jawa) agar anak mengenal budaya tempat mereka

tinggal. Pengenalan budaya Jawa pada anak ini masuk ke dalam salah satu sentra

yang ada di TK tersebut, yaitu sentra budaya yang diselenggarakan setiap seminggu

sekali. Dalam sentra tersebut anak mempelajari mengenai unggah ungguh atau tata

karma budaya Jawa, bahasa Jawa, serta berhitung menggunakan bahasa Jawa.

Kedua, rencana kegiatan pembelajaran. Di TK Hamemayu terdapat program

Hamemayu Awards yang berisi pemberian apresiasi kepada anak-anak apabila telah

menunjukkan perilaku yang sesuai dengan 18 nilai karakter, termasuk di dalamnya

kemampuan sosial anak, seperti saling menghormati perbedaan, saling membantu,

menghargai pendapat orang lain, kerja sama, dan sebagainya. Selain itu, pihak

sekolah juga membentuk kegiatan assembly, misalnya pada saat hari besar atau hari

raya keagamaan. Kegiatan ini bertujuan agar anak dapat memahami hari besar

agama lain dan timbul sikap toleransi antar anak berbeda agama.

10
Ketiga, latar belakang anak yang terdiri dari berbagai perbedaan, baik dari

segi agama, bahasa, maupun kemampuan dan kebutuhannya. Pada tahun ajaran

2018/2019 tercatat agama yang dianut oleh anak terdiri dari agama Islam, Kristen

dan Katolik. Dari segi bahasa, anak-anak menggunakan bahasa yang beragam, yaitu

bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa asing. Akan tetapi, hampir semua anak

dapat menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, sekolah ini juga menerima anak-

anak yang memiliki kebutuhan khusus dan ikut belajar bersama dengan anak-anak

regular lainnya. Dalam satu kelas berisi 1-2 anak berkebutuhan khusus agar

pembelajaran di kelas tetap kondusif dan anak-anak berkebutuhan khusus juga

mendapatkan pelayanan lebih intensif. Hal ini bertujuan agar anak-anak

berkebutuhan khusus tetap mendapatkan haknya untuk mengenyam proses

pendidikan dan anak-anak reguler dapat meningkatkan kemampuan sosialnya

dengan melihat perbedaan tersebut denga menunjukkan sikap tetap saling

menghargai.

Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa karakteristik pendidikan

multikultural yang telah diterapkan oleh sekolah, sehingga menarik untuk

mengeksplorasi lebih mendalam tentang penerapan pendidikan multikultural terkait

dalam mengembangkan kemampuan sosial anak usia 4-6 tahun di TK Hamemayu.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pendidikan multikultural belum menunjukkan hasil yang

optimal. Hal tersebut terkait kebijakan dan praktik yang rendah, keraguan

11
guru akan kesiapan anak untuk menerima pendidikan multikultural,

khususnya dari wilayah pedesaan, serta kekhawatiran tentang latar belakang

anak dan tingkat penerimaan anak.

2. Kebanyakan sekolah lebih menekankan pada komponen akademik

dibandingkan dengan aspek pendidikan multikultural.

3. Kurangnya dukungan pemangku kepentingan, khususnya orang tua

4. Banyaknya sikap intoleransi terkait agama pada anak-anak. KPAI

menyebutkan 79,5% siswa mempertimbangkan agama dalam memilih

teman.

5. Adanya kasus diskriminasi pada anak-anak berkebutuhan khusus. Badan

Pusat Statistik 2016 menunjukkan dari 4,6 juta anak yang tidak bersekolah,

satu juta diantaranya adalah anak-anak berkebutuhan khusus.

6. Adanya kesenjangan dari status ekonomi rumah tangga. Badan Pusat

Statistik 2018 menunjukkan bahwa persentase anak 0-6 tahun yang

mengikuti PAUD pada kelompok rumah tangga dengan pengeluaran

terbawah hanya 24,12 persen, dibandingkan dengan kelompok status

ekonomi teratas yaitu sebesar 34,36 persen.

7. Banyak terjadi perilaku kekerasan dan tindakan kriminal pada anak, berikut

rinciannya: anak korban tawuran sebanyak 23 kasus (14,3 %), anak pelaku

tawuran sebanyak 31 kasus (19,3 %), anak korban kekerasan dan bullying

sebanyak 36 kasus (22,4 %), anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak

41 kasus (25,5 %), serta anak korban kebijakan sekolah (pungutan liar,

12
dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah)

sebanyak 30 kasus (18,7%).

C. Fokus dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan masalah terlebih dahulu supaya

tidak terjadi perluasan permasalahan yang nantinya tidak sesuai dengan tujuan

penelitian ini. Maka peneliti memfokuskan untuk meneliti komponen pelaksanaan

pendidikan multikultural, kemampuan sosial serta faktor pendukung dan

penghambat.

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan fokus

penelitian yang telah dipaparkan, maka dibentuk rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan multikultural dalam pengembangan

kemampuan sosial anak usia 4-6 tahun di TK Hamemayu?

2. Bagaimana kemampuan sosial anak dengan pendidikan multikultural di TK

Hamemayu?

3. Bagaimana faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pendidikan

multikultural dalam pengembangan kemampuan sosial anak usia 4-6 tahun

di TK Hamemayu?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang dipaparkan, maka penelitian ini memiliki

beberapa tujuan. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengungkapkan pelaksanaan pendidikan multikultural dalam

pengembangan kemampuan sosial anak usia 4-6 tahun di KB-TK

Hamemayu.

13
2. Mengungkapkan kemampuan sosial anak dengan pendidikan multikultural.

3. Mengungkapkan faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan

pendidikan multikultural dalam mengembangkan kemampuan sosial anak

usia 4-6 tahun di TK Hamemayu.

E. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat berguna dari segi:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, pemahaman, dan

wawasan teori di bidang pendidikan, khususnya pendidikan multikultural

mengenai penerapan pendidikan multikultural dalam menstimulasi kemampuan

sosial anak. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai rujukan pertimbangan

bagi penelitian-penelitian sejenis lainnya dimasa yang akan datang.

2. Manfaat Praktis

Dari segi praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi peserta

didik, guru, dan sekolah. Penjelasan lebih lanjut sebagai berikut:

a. Manfaat bagi Peserta Didik

Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mengembangkan

kemampuan sosial anak, khususnya melalui pendidikan multikultural.

b. Manfaat bagi Guru

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan bahan

kajian guru mengenai pelaksanaan pendidikan multkultural, khususnya

dalam mengembangkan kemampuan sosial anak.

14
c. Manfaat bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi sekolah sebagai

acuan bahan ajar yang efektif untuk anak dengan latar belakang yang

beragam.

15

Anda mungkin juga menyukai