PENDAHULUAN
dan sebuah proses dimana bertujuan untuk mengubah struktur lembaga pendidikan
sehinga peserta didik perempuan dan laki-laki, peserta yang berbeda ras, etnis,
bahasa, kultur, kelompok agama akan memiliki kesempatan yang sama untuk
menerima secara akademik di sekolah (Banks & Banks, 2016: 1). Selain itu,
pendidikan (Reese & Zalewski, 2015: 784). Pada intinya, pendidikan multikultural
memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak dengan latar belakang
sosial budaya yang beragam untuk mendapatkan pendidikan. Hal tersebut juga telah
yang majemuk atau pluralis. Kemajemukan ini menjadi salah satu ciri khas dari
negara Indonesia sendiri. Kemajemukan bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu
secara horizontal maupun vertikal. Dalam perspektif horizontal yang lebih bersifat
alamiah, kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, ras,
(Handoyo dkk., 2015: 26). Selain itu, peraturan tersebut sebagai usaha pengurangan
atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat
lain memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat, menghormati
sikap sosial pada siswa (Suryana & Rusdiana, 2015: 199-200). Akan tetapi, pada
pendidikan multikultural, antara lain terkait: kebijakan dan praktik yang rendah,
khususnya dari wilayah pedesaan, serta kekhawatiran tentang latar belakang anak
dan tingkat penerimaan anak. Phoon, Abdullah dan Abdullah (2013: 621-630)
kurangnya perhatian anak dan perilaku tidak kooperatif selama kegiatan budaya;
2
Selain itu, belum optimalnya hasil pendidikan multikultural dibuktikan dari
sosial yang rendah. Fenomena diskriminasi ini terlihat pada meningkatnya sikap
teman. Selain itu, 1 dari 4 anak dirundung karena berbeda agama (Wiwiet, 2018).
Dalam kurun 5 tahun terahir, jumlah anak korban intoleransi semakin melonjak.
Salah satu kasusnya terjadi pada anak Jemaat Ahmadiyah Bangka, mereka
Indonesia sendiri, meskipun sudah mulai kesadaran adanya sekolah inklusi dimana
reguler lainnya, namun Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada
2016 menunjukkan, dari 4,6 juta anak yang tidak sekolah, satu juta di antaranya
antaranya tidak memiliki SLB. Jumlah 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di
Indonesia pun baru 10 persen yang bersekolah di SLB (Olyvia, 2017). Selain itu,
3
kesenjangan terlihat dari status ekonomi rumah tangga, persentase partisipasi anak
0-6 tahun yang mengikuti PAUD meningkat seiring semakin tingginya status
ekonomi rumah tangga. Persentase anak 0-6 tahun yang mengikuti PAUD pada
dibandingkan dengan kelompok status ekonomi teratas yaitu sebesar 34,36 persen
(Statistik, 2018: 32). Hal ini mencerminkan bahwa masih terdapat kesenjangan bagi
anak untuk berpartisipasi mengikuti PAUD, tergantung pada lapisan disabilitas dan
ekonomi rumah tangga. Ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah, untuk
meningkatkan layanan PAUD agar bisa dinikmati oleh seluruh kalangan, tanpa ada
pengecualian.
pendidikan. Data KPAI menunjukkan jumlah kasus pendidikan per tanggal 30 Mei
2018 berjumlah 161 kasus dengan rincian: anak korban tawuran sebanyak 23 kasus
(14,3 %), anak pelaku tawuran sebanyak 31 kasus (19,3 %), anak korban kekerasan
dan bullying sebanyak 36 kasus (22,4 %), anak pelaku kekerasan dan bullying
sebanyak 41 kasus (25,5 %), serta anak korban kebijakan sekolah (pungutan liar,
dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30
Munculnya beragam kasus tersebut salah satu dampak negatif dari teknologi.
Pada masa sekarang, akses terhadap beragam berita sangat mudah dengan adanya
perangkat handphone, tablet, dan alat komunikasi canggih lainnya. Sehingga hal
4
tersebut memungkinkan semakin banyak dan mudah bagi orangtua dan anak-anak
untuk mengakses berita-berita yang berisi masalah kesenjangan tersebut. Selain itu,
masih banyaknya masalah terkait isu SARA (suku, agama, dan ras/ etnis)
bangsa Indonesia, baik dari golongan muda (anak-anak) maupun golongan tua.
bias di dalam sekolah, dan menghilangkan diskriminasi sosial dan budaya yang
membatasi tuntutan untuk pendidikan anak dengan latar belakang dan kemampuan
yang beragam. Francis dan Mills (2012: 251) menyatakan bahwa sekolah telah
Hal ini dibuktikan melalui hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru di
menghargai orang lain, misalnya anak mengejek anak lain karena orang tuanya
Sikap dan perilaku kurang responsif terhadap orang lain, sikap diskriminasi
terhadap kelompok lain pada anak akan menimbulkan hubungan yang kurang
harmonis dengan orang lain. Padahal, sebagai makhluk sosial, anak-anak perlu
Oleh karena itu, kemampuan sosial tersebut sangat penting dikembangkan anak
5
berdasarkan pendekatan sosial-pedagogis menyatakan bahwa penting
interaksi dengan intuisi sosial, keterlibatan anak-anak ke dalam kegiatan sosial yang
Pada anak usia dini, kemampuan sosial ini diperlukan anak untuk berinteraksi
lingkungannya, khususnya non keluarga, seperti teman sebaya dan guru. Anak-anak
yang memasuki sekolah dengan tingkat kompetensi sosial dan emosional yang
tinggi memiliki hubungan teman sebaya yang lebih positif, hubungan guru-anak
yang sukses, dan tingkat pencapaian yang lebih tinggi daripada teman sebaya
mereka yang memiliki kompetensi sosial yang dinilai lebih rendah (Holland, 2013:
orang dewasa. Apabila anak-anak muda kompeten secara sosial, maka mereka
lebih mungkin untuk menjadi orang dewasa dengan hasil hidup yang positif dan
pengembangan kemampuan sosial pada anak usia dini sangat penting untuk
keberhasilan anak di sekolah dan pada ahirnya dalam kehidupan anak. Kemampuan
sosial tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Mereka
6
membutuhkan orang lain dan lingkungan yang kondusif untuk mendukungnya
menjadi anak-anak yang sehat secara fisik maupun mental. Lingkungan yang
Dalam hal ini, peranan sekolah sangat penting di samping lingkungan keluarga.
Pada umumnya, lembaga sekolah untuk anak usia dini bertujuan untuk
secara jasmani maupun rohani agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut. Oleh karena itu, berbagai aspek perkembangan harus diperhatikan
anak-anak dapat berinteraksi dengan orang lain, khususnya teman sebaya dan guru
di sekolah secara efektif, maka anak dapat membentuk hubungan positif dan
Oades-Sese et al. (2011: 747) bahwa para peneliti telah menemukan bahwa anak-
anak prasekolah bilingual yang dinilai lebih kompeten secara sosial di prasekolah
pada ahirnya menerima skor yang lebih tinggi pada penilaian langsung
keterampilan literasi, bahasa Inggris, dan matematika mereka di TK dan kelas satu,
sosial.
Vygotsky pada kompetensi sosial anak-anak (Han, 2009: 81). Para peneliti telah
7
lingkungan sosial budayanya dengan berpartisipasi dalam acara-acara budaya dan
harapan kemampuan sosial anak yang dapat dipengaruhi oleh budaya tersebut,
masalah dan tantangan dapat terjadi pada pihak sekolah ketika anak-anak yang
berasal dari berbagai latar belakang budaya ditempatkan dalam satu tempat atau
kelas. Oleh karena itu, penting bagi sebuah lembaga pendidikan untuk mengatur
kondisi sekolah dan ruang kelas yang responsif terhadap budaya yang beragam.
menjadikan anak minim pemahaman mengenai identitas dirinya, orang lain dan
keberagaman. Senada dengan pernyataan di atas, Lam & Wong (2018: 4-8)
utama dalam sekolah, seperti budaya, hubungan yang kuat, kurikulum dan material,
sikap dan kepercayaan staf harus diubah sehingga sekolah dapat membuat
kesamaan pendidikan untuk peserta didiknya yang berasal dari beragam kelompok.
kelompok dalam perilaku peserta didik. Selain guru, orangtua juga berperan penting
8
diantaranya dengan memberikan keagamaan dan memperkenalkan dengan makna
pluralisme.
diberikan dalam pendidikan multikultural. Berkaitan dengan hal ini, penting bagi
yang telah dibuktikan oleh Omar et al. (2015: 1941) bahwa melalui praktik
membentuk sikap saling menghargai dan menghormati antar individu. Hal tersebut
senada dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui manusia sebagai
makhluk yang individual differences. Konsep ini mengakui bahwa setiap individu
Akan tetapi, konsep Bhinneka Tunggal Ika juga mengakui pluralisme yang berarti
antar individu yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda untuk hidup secara
toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga
pandangan hidup.
9
Oleh karena itu, lembaga sekolah khususnya lembaga PAUD mulai
terlihat pada kurikulum, rencana kegiatan pembelajaran, dan latar belakang anak
yang ada di sekolah. Pertama, kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum 2013
dan dikembangkan oleh sekolah dengan memasukkan muatan lokal berupa materi
budaya (khususnya budaya Jawa) agar anak mengenal budaya tempat mereka
tinggal. Pengenalan budaya Jawa pada anak ini masuk ke dalam salah satu sentra
yang ada di TK tersebut, yaitu sentra budaya yang diselenggarakan setiap seminggu
sekali. Dalam sentra tersebut anak mempelajari mengenai unggah ungguh atau tata
karma budaya Jawa, bahasa Jawa, serta berhitung menggunakan bahasa Jawa.
Hamemayu Awards yang berisi pemberian apresiasi kepada anak-anak apabila telah
menghargai pendapat orang lain, kerja sama, dan sebagainya. Selain itu, pihak
sekolah juga membentuk kegiatan assembly, misalnya pada saat hari besar atau hari
raya keagamaan. Kegiatan ini bertujuan agar anak dapat memahami hari besar
agama lain dan timbul sikap toleransi antar anak berbeda agama.
10
Ketiga, latar belakang anak yang terdiri dari berbagai perbedaan, baik dari
segi agama, bahasa, maupun kemampuan dan kebutuhannya. Pada tahun ajaran
2018/2019 tercatat agama yang dianut oleh anak terdiri dari agama Islam, Kristen
dan Katolik. Dari segi bahasa, anak-anak menggunakan bahasa yang beragam, yaitu
bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa asing. Akan tetapi, hampir semua anak
dapat menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, sekolah ini juga menerima anak-
anak yang memiliki kebutuhan khusus dan ikut belajar bersama dengan anak-anak
regular lainnya. Dalam satu kelas berisi 1-2 anak berkebutuhan khusus agar
menghargai.
B. Identifikasi Masalah
optimal. Hal tersebut terkait kebijakan dan praktik yang rendah, keraguan
11
guru akan kesiapan anak untuk menerima pendidikan multikultural,
teman.
Pusat Statistik 2016 menunjukkan dari 4,6 juta anak yang tidak bersekolah,
7. Banyak terjadi perilaku kekerasan dan tindakan kriminal pada anak, berikut
rinciannya: anak korban tawuran sebanyak 23 kasus (14,3 %), anak pelaku
tawuran sebanyak 31 kasus (19,3 %), anak korban kekerasan dan bullying
sebanyak 36 kasus (22,4 %), anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak
41 kasus (25,5 %), serta anak korban kebijakan sekolah (pungutan liar,
12
dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah)
tidak terjadi perluasan permasalahan yang nantinya tidak sesuai dengan tujuan
penghambat.
penelitian yang telah dipaparkan, maka dibentuk rumusan masalah sebagai berikut:
Hamemayu?
di TK Hamemayu?
D. Tujuan Penelitian
Hamemayu.
13
2. Mengungkapkan kemampuan sosial anak dengan pendidikan multikultural.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
sosial anak. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai rujukan pertimbangan
2. Manfaat Praktis
Dari segi praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi peserta
14
c. Manfaat bagi Sekolah
acuan bahan ajar yang efektif untuk anak dengan latar belakang yang
beragam.
15