Anda di halaman 1dari 11

Peran Guru dalam Pelaksanaan Model Pembelajaran Student

Team Achievement Division (STAD) untuk Menumbuhkan


Karakter Kebhinekaan Global Siswa Sekolah Menengah Atas

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filosofi Pendidikan Indonesia

Disusun oleh:
Della Dian Nooritasari 230211105749

Dosen Pengampu: Dr. Trapsilo Prihandono, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI GURU


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
Latar Belakang Masalah
Kebhinekaan Indonesia merupakan aset yang tidak ternilai harganya.
Indonesia dapat bersatu karena kemajemukan bangsa Indonesia baik suku, etnis,
agama, ras, golongan maupun adat istiadat. Dalam perkembangannya,
kebhinekaan justru dijadikan alasan untuk memecah belah persatuan (Winarni,
2020:90). Pancasila menghadapi berbagai tantangan di tengah era globalisasi dan
derasnya arus informasi. Kondisi saat ini menunjukkan menurunnya toleransi
antarsuku, antarras, antaragama, dan golongan, serta perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila (Rosa, M. A., & Purba, I. P. M. H., 2022).
Seiring dengan berkembangnya zaman di era globalisasi ini, banyak
sekali perubahan dan tantangan yang akan dihadapi dalam kehidupan suatu
bangsa. Salah satu tantangan terbesar di era globalisasi ini selain pengembangan
kualitas dari segi pengetahuan dan keterampilan, penanaman serta
pengimplementasian karakter harus juga menjadi perhatian yang wajib serta
diutamakan. Sekolah sebagai sebuah institusi yang positif akan menjadi
lingkungan yang paling tepat untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan
yang positif, serta untuk berlatih dan hidup dengan karakter-karakter positif
tersebut (Lai et al., 2018). Hal ini harus ditanamkan ke semua jenjang pendidikan,
terutama pada pendidikan sekolah dasar. Mengingat banyak sekali kebaikan atau
dampak yang positif dari karakter berbasis moral yang dapat memungkinkan
seorang individu beserta dunia sosialnya dapat berkembang (Lerner, 2018). Pada
tingkat sekolah dasar merupakan suatu hal yang mudah untuk membina karakter
anak (Atika et al., 2019). Untuk itu, penting sekali penanaman karakter dari usia
dini karena hal tersebut akan mempengaruhi tumbuh kembang serta relasi sosial
anak.
Karakter juga memiliki dua peranan penting terhadap kehidupan di masa
depan terutama pada pengembangan karir yaitu rasa optimis dan selalu bersyukur
(Vela et al., 2018). Salah satu karakter yang penting ditumbuhkan pada generasi
muda sekarang adalah kebhinekaan global. Pemerintah baru-baru ini membentuk
program untuk menumbuhkan dan memperkuat karakter siswa yaitu program
Profil Pelajar Pancasila yang secara nyata sudah ada di dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020. Adanya program tersebut
merupakan untuk mewujudkan pelajar Indonesia menjadi pelajar yang sepanjang
hayat diimbangi memiliki kompetensi global serta berperilaku sesuai pada nilai-
nilai dari Pancasila. Di dalam Profil Pelajar Pancasila terdapat 6 karakter pelajar
Pancasila, salah satunya adalah Berkebhinekaan global. Kebhinekaan global
adalah sebuah cerminan karakter yang dimana diharapkan pelajar Indonesia dapat
mempertahankan kebudayaan leluhur lokalitas serta identitasnya, memiliki
pemikiran yang sangat luas ketika berkomunikasi sama budaya yang berbeda,
sehingga dari hal tersebut dapat menumbuhkan sikap menghargai dan membentuk
budaya-budaya luhur yang positif serta tidak memiliki pertentangan sama budaya
luhur yang dimiliki oleh bangsa (Permendikbud, 2020). Di dalam penerapannya
pemerintah juga sangat memerlukan peran sekolah terutama pada guru. Di sistem
pendidikan guru memiliki peranan yang sangat penting (Widiyono, 2018).
Seorang guru memegang tanggung jawab yang besar terutama pada pembentukan
karakter siswa. Tugas berat membangun karakter dan kewarganegaraan ada di
tangan guru (Rozario et al., 2017). Dari pentingnya peran seorang guru di dalam
sebuah keberhasilan penanaman pendidikan karakter oleh siswa di sekolah, maka
sebaiknya guru harus bisa beradaptasi dengan perkembangan yang terjadi pada
saat ini.
Penanaman karakter kebhinekaan global ini sangat penting diterapkan,
dilihat dari kondisi yang terjadi di dalam pendidikan Indonesia pada saat ini,
banyak sekali permasalahan -permasalahan berkaitan dengan penyimpangan
karakter yang pelakunya adalah sebagian besar generasi muda Indonesia dari
segala tingkatan pendidikan, tidak terkecuali tingkat sekolah dasar. Hal ini bisa
ditinjau dari data yang dikeluarkan oleh Programme for International Students
Assessment (PISA) di 2018 dimana 41,1% siswa yang ada di Indonesia pernah
mengalami perundungan. Dari besarnya angka presentase tersebut, dari 78 negara,
Indonesia menduduki peringkat kelima yang siswanya banyak merasakan kasus
perundungan yang dilakukan di lingkungan yang mereka kenali serta orang-orang
terdekatnya. Berdasarkan data dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
menerima pengaduan kasus kekerasan fisik terhadap anak dilingkungan sekolah
sebanyak 153 kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2019 terdiri dari korban
kekerasan fisik dan bullying. KPAI juga mengungkapkan jika kekerasan fisik dan
bullying 39% terjadi di jenjang SD/MI, 22% terjadi di jenjang SMP, dan 39%
terjadi di jenjang SMA/SMK/MA. Dari data tersebut terdapat 171 anak yang
menjadi korban kekerasan fisik dan bullying. Adapun pelaku kekerasan fisik di
lingkungan sekolah yang terlibat ada guru ke siswa sebanyak 44%, siswa ke guru
13%, orang tua ke guru/siswa 13%. Pelaku kekerasan yang terjadi antar siswa
lainnya cukup tinggi yaitu 30%. KPAI juga menyebutkan kekerasan sesama siswa
pada umumnya dilakukan secara bersama-sama atau pengeroyokan berupa
memukul, menampar, dan menendang (Esy, 2019).
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Programme for
International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018 terdapat 41,1% siswa
di Indonesia pernah mengalami bullying. Selain mengalami perundungan, siswa
lainnya mengaku pernah mengalami intimidasi sebanyak 15%, dikucilkan di
lingkungan pertemanannya sebanyak 19%, mengalami penghinaan dan barangnya
dicuri sebanyak 22%. Bentuk bullying lainnya yang dilakukan siswa di Indonesia
sebanyak 18% mengakui pernah diancam, 18% didorong oleh temannya, dan
sebanyak 20% terdapat siswa yang kabar buruknya disebarluaskan (Jayani, 2019).
Berdasarkan data kasus bullying dari PISA dan KPAI tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kasus bullying kerap kali terjadi khususnya di lingkungan sekolah dari
mulai jenjang SD sampai SMA. Perilaku bullying di lingkungan sekolah biasanya
terjadi antara siswa dengan siswa dari mulai bullying fisik, bullying verbal, dan
bullying secara mental.
Penyebab perilaku bullying salah satunya adalah konformitas teman
sebaya. Baron & Byrne (2005), mengungkapkan bahwa salah satu aspek yang
menyebabkan remaja melakukan perilaku menyakiti orang lain dengan berbagai
bentuk kekerasan adalah dikarenakan adanya daya tarik in-group yang akan
mengakibatkan individu merasa memiliki kesamaan dengan sesama anggota
kelompok (in group) dan cenderung melihat berbeda terhadap anggota kelompok
lain (out group). Kesamaan yang dimiliki meliputi sikap, kepercayaan, nilai,
perasaan, norma dan gaya bicara (Febriyani, Y. A., & Indrawati, E. S., 2016).
Perilaku bullying efek dari konformitas teman sebaya juga ditemukan
pada siswa SMA Negeri 6 Semarang (Febriyani, Y. A., & Indrawati, E. S., 2016).
Berdasarkan wawancara pada tanggal 19 Januari 2015 terhadap seorang Guru
Bimbingan Karir (BK), ditemukan kasus perilaku bullying di SMA Negeri 6
antara lain: siswa ditonjok berulangkali oleh temannya karena tidak mau ikutan
membolos bersama teman-teman lainnya, siswa difitnah teman karena tidak mau
mengikuti gaya berpakaian sesuai dengan anggota kelompoknya, siswa dikucilkan
teman-temannya sampai beberapa minggu karena menolak ajakan membeli kunci
jawaban saat ujian nasional, dan siswa mendapat ejekan setiap hari karena
menolak ajakan bergabung dalam genk.

Pembahasan
Berdasarkan berbagai fakta permasalahan mengenai perilaku bullying
yang masih menjadi permasalahan serius pada pendidikan Indonesia khususnya di
jenjang sekolah menengah atas, maka perlu adanya penanaman karakter yang kuat
dari pihak sekolah. Hal ini mengingat karakter kebhinekaan global adalah salah
satu elemen penting serta program yang baru dibuat oleh pemerintah untuk
menimalisir permasalahan-permasalahan karakter siswa di Indonesia yaitu melalui
Program Profil Pelajar Pancasila (Permendikbud, 2020). Dengan adanya
pendidikan karakter di sekolah, siswa bisa menjadi lebih menghargai adanya
perbedaan dengan teman sebayanya serta meminimalisir adanya perilaku
perundungan (Maulida, H., 2020).
Program Profil Pelajar Pancasila ini selaras dengan filosofi pendidikan
karakter yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara
mengatakan bahwa, “Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud
memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat
pribadinya serta pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh kemajuan lahir
batin menuju ke arah adab.” (Ki Hadjar Dewantara, 2004:70). Sedang yang
dimaksud adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh
manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai
kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan adalah
tingkat yang tertinggi. Atas dasar itulah sangat penting untuk melihat sebuah
teori-teori yang terdapat dalam dunia pendidikan yang akan menambah khasanah
ilmu pengetahuan seseorang.
Ki Hadjar Dewantara menyampaikan bahwa, dalam trilogi pendidikan
peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu menjadi motor pembentukan
karakter dan mentalitas anak (Moh. Yamin, 2009: 184). Tiga unsur di atas
memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam membentuk karakter yang ada pada
diri seorang anak (Moh. Yamin, 2009: 186). Pertama, pendidikan informal atau
pendidikan keluarga sangatlah penting untuk membentuk kepribadian anak.
Karena menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa rasa cinta, rasa bersatu, dan lain-lain
perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat bermanfaat terhadap
berlangsungnya pendidikan, terutama pada pendidikan karakter yaitu terdapat
pada hidup dalam keluarga yang sifatnya kuat dan murni yang tidak akan sama
dengan pendidikan yang ada di tempat lain (Ki Hadjar Dewantara, 2004: 71).
Kedua, alam perguruan (pendidikan di sekolah) merupakan pusat perguruan yang
teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan
intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Ketiga, alam
pemuda atau alam kemasyarakatan merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas
dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.
Semboyan pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara adalah “
Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang
dapat diartikan sebagai: Ing ngarso sung tulodho : seorang pemimpin apabila di
depan harus bisa memberikan contoh atau menjadi panutan bagi yang dipimpin
(peserta didik). Ing madyo mangun karso : seorang pemimpin apabila berada di
tengah-tengah masyarakat harus bisa membangkitkan semangat atau memberi
motivasi supaya lebih maju, atau lebih baik. Tut wuri handayani : seorang
pemimpin apabila berada di belakang harus bisa mendorong yang dipimpin
supaya senantiasa lebih maju. Dasar yang paling penting dalam pendidikan
menurut Ki Hajar Dewantara adalah adanya persamaan persepsi antara penegak
atau pemimpin pendidikan tentang arti “mendidik” itu sendiri. Beliau menyatakan
bahwa mendidik itu bersifat humanisasi, yakni mendidik adalah proses
memanusiakan manusia dengan adanya pendidikan diharapkan derajat hidup
manusia bisa bergerak vertikal ke atas ke taraf insani yang lebih baik dari
sebelumnya.
Berdasarkan paparan tiga semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara
tersebut, untuk meminimalisir perilaku perundungan dan menumbuhkan sikap
kebhinekaan dalam diri siswa di sekolah, sebagai pendidik hal yang dapat kita
lakukan yaitu, (1) Menjadi panutan untuk siswa dalam hal toleransi kebhinekaan,
seperti memberi contoh ketika pembelajaran di dalam kelas untuk tidak
membedakan sikap atau kecondongan tertentu terhadap peserta didik yang
berbeda agama, suku ataupun ras. (2) Memberikan semangat atau motivasi pada
peserta didik yang heterogen untuk menumbuhkan sikap toleransi, yaitu Ketika
pembelajaran di kelas bisa menyelipkan apersepsi dengan memutarkan video/film
edukatif tentang keberagaman atau toleransi dan mengajak mereka berdiskusi
tentang tema tersebut. (3) Memberikan dorongan kepada peserta didik agar lebih
maju, dalam hal ini guru bisa merancang pembelajaran yang mengajak peserta
didik saling bertukar pendapat melalui kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
siswa-siswa yang heterogen. Kemudian memberikan apresiasi berupa pujian atau
rewards kepada siswa yang mau menyampaikan pendapatnya.
Pembelajaran diskusi secara berkelompok dinilai penting untuk
menumbuhkan karakter kebhinekaan dalam diri peserta didik. Pembelajaran ini
sesuai dengan teori behavioristik yang menyatakan bahwa, “Belajar adalah
perubahan tingkah laku (change behavior) yang bertahan lama, atau dalam
kapasitas untuk berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari latihan atau
bentuk lain dari pengalaman.” (Schunk, 2012). Para behavioris diantaranya
Thorndike, Pavlov, dan Guthrie mereka semuanya berpandangan bahwa
pembelajaran merupakan sebuah proses pembentukan asosiasi antara stimulus-
stimulus dan respon-respon (Schunk, 2012:156). Pernyataan ini bermaksud bahwa
dalam upaya menyiapkan dan membentuk pengalaman yang nantinya dapat
berbuah akan pada penanaman konsep bagi seseorang, stimulasi-stimulasi
pendidikan sangat diharapkan. Kita dapat melihat bahwa pembentukan karakter
dapat dilakukan dengan cara mempersiapkan situmulus-stimulus yang berasal dari
faktor eksternal dan terlebih lagi stimulus pendidikan dengan pola atau setting
lingkungan pembelajaran yang mendorong terbentuknya sebuah karakter pada
anak.
Untuk menanamkan nilai pendidikan karakter kebhinekaan pada diri
siswa, maka perlu diterapkan model pembelajaran yang berdasar pada teori
behavioris, yaitu seperti model Cooperative Learning. Cooperative learning
dilakukan dengan cara membagi peserta didik dalam beberapa kelompok atau tim.
Setiap kelompok/tim terdiri dari beberapa peserta didik yang memiliki
kemampuan berbeda. Guru memberi tugas atau permasalahan untuk dikerjakan
atau dipecahkan oleh masing-masing kelompok/tim. Satu kelompok memiliki
empat sampai enam anggota. Johnson & Johnson (1999) menegaskan bahwa
pembelajaran kooperatif memiliki lima elemen dasar yaitu: (1) positive
interdependence – yaitu peserta didik harus mengisi tanggung jawab belajarnya
sendiri dan saling membantu dengan anggota lain dalam kelompoknya; (2) face to
face interaction yaitu peserta didik memiliki kewajiban untuk menjelaskan apa
yang dipelajari kepada peserta didik lain yang menjadi anggota kelompoknya; (3)
individual accountability yaitu masing-masing peserta didik harus menguasai apa
yang menjadi tugas dirinya di dalam kelompok; (4) social skill yaitu masing-
masing anggota harus mampu berkomunikasi secara efektif, menjaga rasa hormat
dengan sesama anggota dan bekerja bersama untuk menyelesaikan konflik; (5)
group processing, kelompok harus dapat menilai dan melihat bagaimana tim
mereka telah bekerjasama dan memikirkan bagaimana agar dapat
memperbaikinya.
Student Team-Achievement Devision (STAD) strategi pembelajaran
kooperatif yang memadukan penggunaan metode ceramah, questioning dan
diskusi. Model pembelajaran kooperatif Tipe Student Teams Achievement
Division (STAD) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif dengan
sintaks pengarahan, membuat kelompok heterogen (4-6 orang), mendiskusikan
permasalahan dari bahan ajar-LKS-modul secara kolaboratif, menyajikan
presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas yang interaktif, membuat kuis
individu dan membuat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok dan
memberikan pujian (reward) pada peserta didik (Harefa, D., Ndruru, M., Ndraha,
L., 2020). Dengan adanya kegiatan diskusi antar siswa tersebut, maka akan
menumbuhkan sikap saling toleransi, peduli dan menghargai pendapat orang lain
(Sari, Y.M., 2014).
Penutup
Berdasarkan hasil pemaparan mengenai filosoi KHD dalam pembelajaran
dan beberapa penerapan model pembelajaran, diperoleh kesimpulan bahwa
melalui penerapan filosofi KHD dengan semboyannya “ing ngarso sung
tulodo,ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Peristiwa perundungan atau
penghinaan bernada SARA yang memecah persatuan dapat dikurangi bahkan
dihilangkan. Kemudian penerapan model belajar cooperative learning dengan
salah satu model pembelajaran yaitu STAD, mengedepankan pada kerja sama dan
komunikasi satu sama lain. Sehingga melalui penerapan model ini, diharapkan
dapat mengurangi adanya perundungan atau penghinaan bernada SARA.
Melalui adanya tulisan reflektif ini, besar harapan saya agar dapat
melaksanakan pembelajaran yang mengedepankan persatuan dan menghapus
perundungan bernada SARA. Untuk kedepannya, saya berharap dapat
melaksanakan penelitian yang lebih akurat untuk mengetahui model pembelajaran
yang sesuai dalam mengatasi masalah kebhinekaan yang ada di Indonesia.

Daftar Rujukan

Atika, N. T., Wakhuyudin, H., & Fajriyah, K. (2019). Pelaksanaan Penguatan


Pendidikan Karakter. Jurnal Mimbar Ilmu, 24(1), 105–113.
Baron, R.A. & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial(Edisi 10.).Jakarta: Erlangga.
Esy, 2019. Sepanjang 2019, 153 Anak jadi Korban Fisik dan
Bullying. Diakses dari https://www.jpnn.com/news/sepanjang-2019-
153-anak-jadi-korban-fisik-dan-bullying?page=1
Febriyani, Y. A., & Indrawati, E. S. (2016). Konformitas teman sebaya dan
perilaku bullying pada siswa kelas XI IPS. Jurnal Empati, 5(1), 138-143.
Hadjar Dewantara. 2004. Pendidikan, cet. ke-3. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Harefa, D., Ndruru, M., Ndraha, L., M. (2020). Teori Model Pembelajaran
Bahasa Inggris Dalam Sains. CV Insan Cendekia Mandiri.
Jayani, D. H. (2019). PISA: Murid korban ’bully ’ di Indonesia tertinggi kelima di
dunia. Retrieved from http://databoks.katadata.co.id/datapubl
ish/2019/12/12/pisa-murid-korbanbully-di-indonesia-tertinggi-kelima-
didunia
Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1999). Making cooperative learning
work. Theory into practice, 38(2), 67-73.
Lai, M. K., Leung, C., Kwok, S. Y. C., Hui, A. N. N., Lo, H. H. M., Leung, J. T.
Y., & Tam, C. H. L. (2018). A Multidimensional Perma-H Positive
Education Model , General Satisfaction Of School Life , And Character
Strengths Use In Hong Kong Senior Primary School Students :
Confirmatory Factor Analysis And Path Analysis Using The Apaso-Ii.
Front. Psychol, 9(1090), 1–11.
Https://Doi.Org/10.3389/Fpsyg.2018.01090

Lerner, R. M. (2018). Character Development : Four Facets Of Virtues. Child


Development Perspectives, 0(0), 1–6.
Https://Doi.Org/10.1111/Cdep.12315
Maulida, H. (2020). Perilaku Komunikasi Di Sekolah Ramah Anak Kota
Magelang. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha
Kesejahteraan Sosial, 6(3), 239-251.
Permendikbud. (2020). Recana Strategis Kementerian Pendidikan Dan
Kebudayaan Tahun 2020-2024. Jdih Kemendikbud, 1–174.
Https://Jdih.Kemdikbud.Go.Id/Arsip/Salinan Permendikbud 22 Tahun
2020.Pdf
Rosa, M. A., & Purba, I. P. M. H. (2022). INTERNALISASI NILAI–NILAI
KEBHINEKAAN ANGGOTA DALAM KEGIATAN RUTIN FORUM
KAJIAN DAN DISKUSI 17-AN KOMUNITAS GUSDURIAN
“GERDU SUROBOYO”. Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 10(2),
258-273.
Rozario, V. D., Tan, S., & Avila, A. P. C. (2017). Building Character And
Citizenship Through Service Learning. Singapore : Springer Nature
Singapore Pte Ltd. Https://Doi.Org/10.1007/978-981-10-3386-5
Sari, Y. M. (2014). Pembinaan toleransi dan peduli sosial dalam upaya
memantapkan watak kewarganegaraan (civic disposition) siswa. Jurnal
pendidikan ilmu sosial, 23(1).
Schunk, Dale H, Learning Theories; An Educational Persperctive, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.
Vela, J. C., Sparrow, G. S., Whittenberg, J. F., & Rodriguez, B. (2018). The Role
Of Character Strengths And Importance Of Family On Mexican
American College Students’ Career Decision Self-Efficacy. Journal Of
Employment Counseling, 55(1), 16–26.
Https://Doi.Org/10.1002/Joec.12070
Widiyono, S. (2018). Peran Guru Dalam Mengimplementasikan Pendidikan
Multikultural. Elementary School, 5(2), 282–290.
Winarni, Luh Nila. (2020). Eksistensi Pancasila Dalam Menghadapi
Ancaman Kebhinekaan. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan.
Vol. 08. No.1. Hal.90-96.
Yamin, Moh. 2008. Menggugat Pendidikan Indonesia “Belajar dari Paulo Freire
dan Ki Hadjar Dewantara. cet. ke-1.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Anda mungkin juga menyukai