Disusun oleh:
Della Dian Nooritasari 230211105749
Pembahasan
Berdasarkan berbagai fakta permasalahan mengenai perilaku bullying
yang masih menjadi permasalahan serius pada pendidikan Indonesia khususnya di
jenjang sekolah menengah atas, maka perlu adanya penanaman karakter yang kuat
dari pihak sekolah. Hal ini mengingat karakter kebhinekaan global adalah salah
satu elemen penting serta program yang baru dibuat oleh pemerintah untuk
menimalisir permasalahan-permasalahan karakter siswa di Indonesia yaitu melalui
Program Profil Pelajar Pancasila (Permendikbud, 2020). Dengan adanya
pendidikan karakter di sekolah, siswa bisa menjadi lebih menghargai adanya
perbedaan dengan teman sebayanya serta meminimalisir adanya perilaku
perundungan (Maulida, H., 2020).
Program Profil Pelajar Pancasila ini selaras dengan filosofi pendidikan
karakter yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara
mengatakan bahwa, “Pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud
memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat
pribadinya serta pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh kemajuan lahir
batin menuju ke arah adab.” (Ki Hadjar Dewantara, 2004:70). Sedang yang
dimaksud adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh
manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai
kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan adalah
tingkat yang tertinggi. Atas dasar itulah sangat penting untuk melihat sebuah
teori-teori yang terdapat dalam dunia pendidikan yang akan menambah khasanah
ilmu pengetahuan seseorang.
Ki Hadjar Dewantara menyampaikan bahwa, dalam trilogi pendidikan
peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu menjadi motor pembentukan
karakter dan mentalitas anak (Moh. Yamin, 2009: 184). Tiga unsur di atas
memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam membentuk karakter yang ada pada
diri seorang anak (Moh. Yamin, 2009: 186). Pertama, pendidikan informal atau
pendidikan keluarga sangatlah penting untuk membentuk kepribadian anak.
Karena menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa rasa cinta, rasa bersatu, dan lain-lain
perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat bermanfaat terhadap
berlangsungnya pendidikan, terutama pada pendidikan karakter yaitu terdapat
pada hidup dalam keluarga yang sifatnya kuat dan murni yang tidak akan sama
dengan pendidikan yang ada di tempat lain (Ki Hadjar Dewantara, 2004: 71).
Kedua, alam perguruan (pendidikan di sekolah) merupakan pusat perguruan yang
teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan
intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai-wiyata). Ketiga, alam
pemuda atau alam kemasyarakatan merupakan kancah pemuda untuk beraktivitas
dan beraktualisasi diri mengembangkan potensi dirinya.
Semboyan pendidikan yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara adalah “
Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang
dapat diartikan sebagai: Ing ngarso sung tulodho : seorang pemimpin apabila di
depan harus bisa memberikan contoh atau menjadi panutan bagi yang dipimpin
(peserta didik). Ing madyo mangun karso : seorang pemimpin apabila berada di
tengah-tengah masyarakat harus bisa membangkitkan semangat atau memberi
motivasi supaya lebih maju, atau lebih baik. Tut wuri handayani : seorang
pemimpin apabila berada di belakang harus bisa mendorong yang dipimpin
supaya senantiasa lebih maju. Dasar yang paling penting dalam pendidikan
menurut Ki Hajar Dewantara adalah adanya persamaan persepsi antara penegak
atau pemimpin pendidikan tentang arti “mendidik” itu sendiri. Beliau menyatakan
bahwa mendidik itu bersifat humanisasi, yakni mendidik adalah proses
memanusiakan manusia dengan adanya pendidikan diharapkan derajat hidup
manusia bisa bergerak vertikal ke atas ke taraf insani yang lebih baik dari
sebelumnya.
Berdasarkan paparan tiga semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara
tersebut, untuk meminimalisir perilaku perundungan dan menumbuhkan sikap
kebhinekaan dalam diri siswa di sekolah, sebagai pendidik hal yang dapat kita
lakukan yaitu, (1) Menjadi panutan untuk siswa dalam hal toleransi kebhinekaan,
seperti memberi contoh ketika pembelajaran di dalam kelas untuk tidak
membedakan sikap atau kecondongan tertentu terhadap peserta didik yang
berbeda agama, suku ataupun ras. (2) Memberikan semangat atau motivasi pada
peserta didik yang heterogen untuk menumbuhkan sikap toleransi, yaitu Ketika
pembelajaran di kelas bisa menyelipkan apersepsi dengan memutarkan video/film
edukatif tentang keberagaman atau toleransi dan mengajak mereka berdiskusi
tentang tema tersebut. (3) Memberikan dorongan kepada peserta didik agar lebih
maju, dalam hal ini guru bisa merancang pembelajaran yang mengajak peserta
didik saling bertukar pendapat melalui kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
siswa-siswa yang heterogen. Kemudian memberikan apresiasi berupa pujian atau
rewards kepada siswa yang mau menyampaikan pendapatnya.
Pembelajaran diskusi secara berkelompok dinilai penting untuk
menumbuhkan karakter kebhinekaan dalam diri peserta didik. Pembelajaran ini
sesuai dengan teori behavioristik yang menyatakan bahwa, “Belajar adalah
perubahan tingkah laku (change behavior) yang bertahan lama, atau dalam
kapasitas untuk berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari latihan atau
bentuk lain dari pengalaman.” (Schunk, 2012). Para behavioris diantaranya
Thorndike, Pavlov, dan Guthrie mereka semuanya berpandangan bahwa
pembelajaran merupakan sebuah proses pembentukan asosiasi antara stimulus-
stimulus dan respon-respon (Schunk, 2012:156). Pernyataan ini bermaksud bahwa
dalam upaya menyiapkan dan membentuk pengalaman yang nantinya dapat
berbuah akan pada penanaman konsep bagi seseorang, stimulasi-stimulasi
pendidikan sangat diharapkan. Kita dapat melihat bahwa pembentukan karakter
dapat dilakukan dengan cara mempersiapkan situmulus-stimulus yang berasal dari
faktor eksternal dan terlebih lagi stimulus pendidikan dengan pola atau setting
lingkungan pembelajaran yang mendorong terbentuknya sebuah karakter pada
anak.
Untuk menanamkan nilai pendidikan karakter kebhinekaan pada diri
siswa, maka perlu diterapkan model pembelajaran yang berdasar pada teori
behavioris, yaitu seperti model Cooperative Learning. Cooperative learning
dilakukan dengan cara membagi peserta didik dalam beberapa kelompok atau tim.
Setiap kelompok/tim terdiri dari beberapa peserta didik yang memiliki
kemampuan berbeda. Guru memberi tugas atau permasalahan untuk dikerjakan
atau dipecahkan oleh masing-masing kelompok/tim. Satu kelompok memiliki
empat sampai enam anggota. Johnson & Johnson (1999) menegaskan bahwa
pembelajaran kooperatif memiliki lima elemen dasar yaitu: (1) positive
interdependence – yaitu peserta didik harus mengisi tanggung jawab belajarnya
sendiri dan saling membantu dengan anggota lain dalam kelompoknya; (2) face to
face interaction yaitu peserta didik memiliki kewajiban untuk menjelaskan apa
yang dipelajari kepada peserta didik lain yang menjadi anggota kelompoknya; (3)
individual accountability yaitu masing-masing peserta didik harus menguasai apa
yang menjadi tugas dirinya di dalam kelompok; (4) social skill yaitu masing-
masing anggota harus mampu berkomunikasi secara efektif, menjaga rasa hormat
dengan sesama anggota dan bekerja bersama untuk menyelesaikan konflik; (5)
group processing, kelompok harus dapat menilai dan melihat bagaimana tim
mereka telah bekerjasama dan memikirkan bagaimana agar dapat
memperbaikinya.
Student Team-Achievement Devision (STAD) strategi pembelajaran
kooperatif yang memadukan penggunaan metode ceramah, questioning dan
diskusi. Model pembelajaran kooperatif Tipe Student Teams Achievement
Division (STAD) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif dengan
sintaks pengarahan, membuat kelompok heterogen (4-6 orang), mendiskusikan
permasalahan dari bahan ajar-LKS-modul secara kolaboratif, menyajikan
presentasi kelompok sehingga terjadi diskusi kelas yang interaktif, membuat kuis
individu dan membuat skor perkembangan tiap siswa atau kelompok dan
memberikan pujian (reward) pada peserta didik (Harefa, D., Ndruru, M., Ndraha,
L., 2020). Dengan adanya kegiatan diskusi antar siswa tersebut, maka akan
menumbuhkan sikap saling toleransi, peduli dan menghargai pendapat orang lain
(Sari, Y.M., 2014).
Penutup
Berdasarkan hasil pemaparan mengenai filosoi KHD dalam pembelajaran
dan beberapa penerapan model pembelajaran, diperoleh kesimpulan bahwa
melalui penerapan filosofi KHD dengan semboyannya “ing ngarso sung
tulodo,ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Peristiwa perundungan atau
penghinaan bernada SARA yang memecah persatuan dapat dikurangi bahkan
dihilangkan. Kemudian penerapan model belajar cooperative learning dengan
salah satu model pembelajaran yaitu STAD, mengedepankan pada kerja sama dan
komunikasi satu sama lain. Sehingga melalui penerapan model ini, diharapkan
dapat mengurangi adanya perundungan atau penghinaan bernada SARA.
Melalui adanya tulisan reflektif ini, besar harapan saya agar dapat
melaksanakan pembelajaran yang mengedepankan persatuan dan menghapus
perundungan bernada SARA. Untuk kedepannya, saya berharap dapat
melaksanakan penelitian yang lebih akurat untuk mengetahui model pembelajaran
yang sesuai dalam mengatasi masalah kebhinekaan yang ada di Indonesia.
Daftar Rujukan