Anda di halaman 1dari 19

Tantangan dalam implementasi pendidikan karakter di

sekolah dasar: pengalaman dari Indonesia

Winarni Jhon, Yogyakarta State University, Indonesia, winarnijhon.2019@student.uny.ac.id


ORCID:0000- 0003-2327-0575 Sugito, Yogyakarta State University, Indonesia.
Sugito@uny.ac.id Enny Zubaidah, Yogyakarta State University, Indonesia.
enny_zubaidah@uny.ac.id ORCID: 0000-0001- 8256-3998 Ali Mustadi, Yogyakarta State
University, Indonesia, ali_mustadi@uny.ac.id ORCID: 0000-0002-7620- 4582

Abstrak.
Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan yang terjadi dalam
penerapan karakter pendidikan di sekolah dasar di Indonesia. Penelitian ini menerapkan
tinjauan sistematis literatur dengan menggunakan protokol pencarian berdasarkan pernyataan
rekomendasi PRISMA. Langkah awal penelitian ini adalah rumusan masalah penelitian,
kemudian pencarian hasil penelitian yang relevan dari jurnal nasional Database Garuda dan
website jurnal. Kemudian dilakukan analisis terhadap hasil penelitian yang relevan kaitannya
dengan tantangan pelaksanaan program pendidikan karakter sekolah dasar di Indonesia.
Kurangnya dukungan seperti sosialisasi, pelatihan, sarana dan prasarana menjadi tantangan
utama yang berasal dari pemerintah. Tantangan dari guru sebagian besar terfokus pada
kesulitan dan ketidakmampuan dalam menilai karakter siswa. Tantangan dari orang tua
sebagian besar berkaitan dengan kurangnya dukungan seperti perhatian, partisipasi dan
pengawasan terhadap pendidikan karakter siswa.

PERKENALAN

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia telah menerapkan Kurikulum 2013

sebagai kurikulum baru. Kebijakan pemerintah ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan

zaman yang memerlukan pembaharuan kurikulum guna menghasilkan lulusan yang lebih

berkualitas. Terdapat perbedaan yang signifikan dengan kurikulum 2006 dan Kurikulum
2013 terkait standar kompetensi kelulusan, materi, proses dan penilaian. Perubahan proses

pembelajaran dan penilaian ditandai dengan penekanan pada aspek sikap. Dengan kata lain,

kurikulum terbaru Indonesia menuntut adanya pendidikan yang seimbang sikap, pengetahuan

dan keterampilan siswa. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang

penguatan pendidikan karakter, terdapat 18 nilai pendidikan karakter bangsa yaitu religius,

jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, nasionalisme,

patriotisme, penghargaan prestasi, persahabatan, cinta damai, lingkungan hidup kesadaran,

kegemaran membaca, kepedulian sosial, dan tanggung jawab.

Pendidikan karakter merupakan suatu pendekatan yang terencana dan sistematis serta

bertujuan untuk mendidik peserta didik menjadi warga negara yang baik yang ditunjukkan

dengan sikap bertanggung jawab, jujur dan bangga (Çubukçu, 2012). Selain sebagai

pendekatan, pendidikan karakter juga merupakan proses untuk meningkatkan pemahaman

siswa (Almerico, 2014) dan pengembangan diri berupa pengembangan moral dan sikap yang

baik (Pattarro, 2016). Dengan memiliki karakter yang baik, siswa mempunyai kecenderungan

untuk meningkatkan prestasi akademiknya (Nurhasanah & Nida, 2016) dan mengurangi

perilaku negatif (Dodds, 2016).

Pendidikan karakter adalah dilakukan secara sadar berupa pembiasaan berulang-ulang untuk

mempengaruhi perilaku siswa (Abu, Mokhtar, Hassan, & Suhan, 2015). Pendidikan terkait

pengembangan karakter perlu ditanamkan sejak dini sekolah dasar karena merupakan faktor

yang menentukan kualitas siswa ketika dewasa nanti (Ferdiawan & Putra, 2013).

Implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar yang efektif akan memiliki dampak
jangka panjang seiring transisi siswa ke pendidikan tinggi seperti tahun-tahun sekolah

menengah (Khoury, 2017). Selain itu, usia siswa sekolah dasar (6-12 tahun) merupakan usia

krusial untuk membangun solidaritas landasan pembentukan karakter siswa (Rokhman, Hum,

Syaifudin, & Yuliati, 2014).

Dampak positif penerapan pendidikan karakter pada siswa sekolah dasar di Indonesia masih

belum terlihat meskipun implementasi pendidikan karakter untuk SD siswa sekolah telah

diatur secara sistematis dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017. Pendidikan

karakter telah menjadi isu utama di Indonesia sejak tahun 2012 (Istiningsih, 2016). Nasional

Krisis karakter banyak terjadi terutama di kalangan generasi muda seperti siswa sekolah dasar

(Abdi, 2018).

Berita tentang menyontek, bullying, membuang sampah sembarangan, terlambat ke sekolah,

membolos, mengejek teman sekelas, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siswa sekolah

dasar masih banyak kita jumpai di berbagai media dan di kehidupan sehari-hari. Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan jumlahnya sekitar 153 orang kasus

kekerasan terhadap anak di sekolah. Sebanyak 60 orang dari jumlah total tersebut merupakan

kasus perundungan siswa sekolah dasar (Koagouw, 2019, 31 Desember). Kasus tawuran

tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata tajam di kalangan siswa sekolah dasar juga

pernah terjadi di Kabupaten Sukabumi. Faktanya, para siswa ini dilaporkan membawa senjata

tajam saat tawuran seperti arit, plat besi bergerigi, dan roda gigi (Alamsyah, 2020, 1 Maret)).

Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student

Assessment (PISA), nilai kompetensi siswa Indonesia pada PISA tahun 2018 adalah 371,

sama nomor sejak tahun 2000 (Putra, 2020, 7 April). Artinya belum ada perbaikan selama ini
20 tahun dan manajemen yang buruk dalam minat membaca siswa Indonesia dan rendahnya

kemampuan literasi Pelajar Indonesia Hal ini menunjukkan bahwa sekolah masih belum

maksimal memberikan dukungannya dalam menanamkan hal tersebut pendidikan karakter

siswa sekolah dasar di indonesia. Tantangan dalam implementasi pendidikan karakter di

sekolah dasar bermacam-macam sekolah di Indonesia baik dari faktor internal maupun

eksternal (Zurqoni, Retnawati, Apino & Anazifa, 2018).

Hambatan internal terkait dengan kebijakan dan kurikulum (Almerico, 2014). Sementara itu,

hambatan eksternal adalah berkaitan dengan lingkungan sosial (Sultoni, 2016). Tantangan

lainnya termasuk kurangnya program dan komunikasi antara orang tua dan sekolah (Wibowo,

2014; Fahmi & Susanto, 2018; Wijanarti, Degeng & Untari, 2019), kompleksitas sistem

penilaian karakter siswa (Anwar, 2014; Latip, 2013; Siagian, 2015), kurangnya sarana dan

prasarana, serta ketidakseimbangan jumlah guru dan pelajar (Morelent & Syofiani, 2015;

Salam, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa tantangan terkait dengan pelaksanaan pendidikan

karakter di sekolah dasar di Indonesia berasal dari pemerintah, sekolah dan orang tua.

Jenis tantangan di suatu sekolah dasar dengan sekolah dasar lainnya dapat menunjukkan
perbedaan hasil. Hal ini dipengaruhi oleh dukungan pemerintah, sekolah (guru dan kepala
sekolah) dan orang tua selaku aktor dalam implementasi pendidikan karakter. Dukungan
pemerintah sangat diperlukan dalam hal ini kaitannya dengan pemberian dukungan berupa
sosialisasi dan pelatihan serta supervisi kepada SD sekolah. Sekolah yaitu guru dan kepala
sekolah juga memegang tanggung jawab dan tugas perencanaan untuk melaksanakan
penilaian karakter siswa, misalnya berkaitan dengan perencanaan a program penanaman
karakter yang cocok untuk siswa SD dan penyiapan karakter indikator penilaian. Dukungan
orang tua juga berperan penting dalam memberikan dukungan berupa perhatian, pengawasan
dan komunikasi antara orang tua dan guru berkaitan dengan karakter siswa sekolah dasar.
Temiz (2016) menyatakan bahwa mitra paling penting untuk solusi permasalahan karakter
adalah guru, manajer, staf lain dan orang tua. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk
melakukanny menciptakan lingkungan di mana siswa dapat belajar dan menegakkan nilai-
nilai yang menjadi dasar karakter yang baik (Chou, Yang, & Huang, 2014).
Penelitian terkait pendidikan karakter sebagian besar berfokus pada penerapan model
misalnya. (Anggraini & Kusniarti, 2016), model RPP mis. (Temiz, 2019), strategi mis.
(Fahmi & Susanto, 2018; Mislia, Mahmud, & Manda, 2016), dan media misalnya. (Turan &
Ulutas, 2016) untuk mengembangkan karakter tertentu siswa. Sedangkan penelitian lain
hanya membahas dukungan kepala sekolah misalnya. (Salam, 2017), dan dukungan guru mis.
(Ülger, Yiğittir, & Ercan, 2014; Malinda, Mwania & Maithya, 2017) dalam melaksanakan
pendidikan karakter di sekolah dasar. Misalnya, hasil studi Salam (2017) menunjukkan
kepala sekolah mendapat dukungan dalam melaksanakan pendidikan karakter, yaitu menjalin
kerjasama antar anggota sekolah, memberikan contoh yang baik, & mengawasi. Selain itu,
beberapa yang terbaru dan terkini Studi yang menonjol dalam pendidikan karakter berfokus
pada implementasi, misalnya. (Anwar, 2014; Latip, 2013; Sujatmiko, Arifin, & Sunandar,
2019; Siagian, 2015), dampak pendidikan karakter di Indonesia misalnya (Fahmy, Bachtiar,
Rahim, & Malik, 2015), dan pentingnya pendidikan karakter tertentu misalnya. (Panel &
Patriana, 2015).

Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan studi literatur yang dapat memberikan gambaran,

informasi, bimbingan dalam melaksanakan pendidikan karakter yang efektif di sekolah dasar

di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hasil penelitian tahun 2013-

2020 terkait tantangan dari pemerintah, sekolah dan orang tua dalam pelaksanaan pendidikan

karakter di sekolah dasar di Indonesia. Penulis berharap hasil peninjauan sistematis pada

penelitian ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi pemerintah, kepala sekolah, guru

dan warga sekolah lainnya terkait tantangan dan solusi atas tantangan terkait penerapan

pendidikan karakter yang efektif. Inilah kuncinya untuk mewujudkan generasi emas

Indonesia pada tahun 2045.


Ada tiga pertanyaan penelitian dalam penelitian ini;

Pertanyaan pertama adalah apa saja tantangannya pemerintah dalam implementasi pendidikan

karakter di sekolah dasar di Indonesia?’.

Kedua, apa saja tantangan guru dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar di

Indonesia?’.

Ketiga, apa saja tantangan yang dihadapi pemerintah dalam hal ini implementasi pendidikan

karakter di sekolah dasar di Indonesia?

METODE

Penelitian ini menerapkan tinjauan sistematis literatur menggunakan protokol pencarian

berdasarkan PRISMA (Item Pelaporan Pilihan untuk Tinjauan Sistematis dan Analisis Meta)

pernyataan rekomendasi (Moher, Liberati, Tetzlaff, & Altman, 2009). Tinjauan sistematis

dapat diartikan sebagai peninjauan secara jelas pertanyaan yang dirumuskan dengan

menggunakan metode yang sistematis dan eksplisit. Tujuannya adalah untuk

mengidentifikasi, memilih, dan menilai secara kritis penelitian yang relevan, dan juga untuk

mengumpulkan dan menganalisis data dari penelitian yang ada termasuk dalam ulasan

(Moher, Liberati, Tetzlaff, & Altman, 2009).

Proses Pencarian Literatur

Proses pencarian literatur dilakukan melalui pencarian pada website jurnal. Untuk menjamin

kualitas artikel tersebut, kami mencari artikel dari jurnal yang terakreditasi “Sinta 2” oleh
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Pencarian ini

menghasilkan 75 artikel tentang pendidikan karakter. Namun lokasi penelitian paling banyak

dilakukan di Sekolah Dasar di Pulau Jawa. Lalu, secara berurutan untuk memastikan semua

penelitian yang relevan teridentifikasi termasuk penelitian dari provinsi lain di Indonesia

seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali, kami juga mencari di database Garuda

pada Mei 2020. Kami mengetikkan kata kunci “karakter”, “pendidikan karakter”,

“implementasi karakter”, “sekolah dasar pendidikan karakter". Kemudian, hasilnya

disempurnakan berdasarkan tahun 2013 hingga 2020, sehingga menghasilkan 624 artikel.

Jadi total artikel yang kami kumpulkan adalah 699 artikel.

Kriteria kelayakan;

Kriteria kelayakan dilakukan dengan menerapkan kriteria inklusi untuk memilih studi yang

sesuai dan mempertahankannya ulasannya terfokus. Kriteria inklusi adalah:

1. artikel diterbitkan pada jurnal nasional yang terindeks Sinta (mulai dari kelas 5 sampai

dengan kelas 2). Sinta adalah sistem indeks yang dibuat oleh Kementerian Riset, Teknologi,

dan Pendidikan Tinggi. Ini adalah sebuah platform untuk memfasilitasi pengumpulan

publikasi para peneliti, institusi dan jurnal di Indonesia.

2. artikel diterbitkan dari tahun 2013 hingga 2020 agar mendapatkan informasi yang akurat

dan terkini informasi implementasi pendidikan karakter di indonesia.

3. tempat penelitian merupakan salah satu dari 37 provinsi di Indonesia sebagai representasi

dari pelaksanaan pendidikan karakter sekolah dasar di berbagai daerah di Indonesia seperti

wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.


4. artikel harus memberikan informasi tentang tantangan dalam penerapan pendidikan

karakter di suatu Sekolah Dasar di Indonesia. Oleh karena itu, artikel studi literatur tidak

dimasukkan.

Setelah dilakukan seleksi artikel berdasarkan kriteria inklusi, tersisa 178 artikel. Penulis

kemudian membaca teks lengkap setiap artikel. Akibatnya, tantangan dalam penerapan

karakter pendidikan sekolah dasar di Indonesia ditemukan dalam 16 artikel. Kami hanya

menyertakan tantangan dari hasil dan diskusi, dan mengabaikan tantangan dari tinjauan

literatur sebuah artikel. Gambar 1 di bawah ini memberikan ikhtisar protokol pencarian

berdasarkan pernyataan PRISMA.

HASIL

Bagian ini menjawab pertanyaan penelitian penelitian ini dengan membahas berbagai macam

tantangan yang ada terjadi terkait dengan implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar

di Indonesia. Berdasarkan Berdasarkan hasil analisis terhadap 19 hasil penelitian yang

relevan, tantangannya dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu tantangan dari pemerintah,

sekolah dan orang tua. Pembagiannya didasarkan pada sumber tantangan atau aktor-aktor

yang berperan mendukung keberhasilan pelaksanaan SD program pendidikan karakter siswa

sekolah di Indonesia. Selanjutnya peneliti mengklasifikasikan tantangan berdasarkan kategori

yang telah dibuat. Ada 2 tantangan dari pemerintah, 3 tantangan dari sekolah (guru & kepala

sekolah) dan 2 tantangan dari orang tua.


Apa saja tantangan pemerintah dalam penerapan karakter pendidikan sekolah dasar di

indonesia?

Tantangan dari pemerintah ada 2 macam, yaitu kurangnya dukungan, dan tantangan dalam

perencanaan, pemantauan dan evaluasi. Tantangan pertama dan utama terkait dengan

kurangnya dukungan berupa pelatihan, dana, sarana dan prasarana. Darmayanti & Wibowo

(2014) menemukan bahwa pemerintah hanya memberikan sosialisasi melalui kelompok kerja

guru.

Tidak ada pelatihan langsung untuk para guru di Sekolah Dasar Negeri di Yogyakarta.

Sosialisasi dan pelatihan yang telah dilakukan yang disediakan oleh Pemerintah selama ini

masih kurang. Bentuk dukungan yang paling dibutuhkan oleh sekolah adalah pelatihan dan

petunjuk teknis yang jelas tentang pendidikan karakter. Tabel 1 berikut menunjukkan

jenisnya tantangan dari pemerintah.

Pemerintah cenderung fokus pada sekolah dasar di perkotaan. Akibatnya terjadi kekurangan

akses terhadap informasi dan sumber belajar tentang implementasi pendidikan karakter

khususnya untuk sekolah dasar yang berlokasi di pedesaan (Latip, 2013). Namun, masalah

yang paling umum adalah kurangnya dana sarana dan prasarana sekolah untuk mendukung

pelaksanaan pendidikan karakter.

Hal ini tidak hanya terjadi di SD Negeri saja (Darmayanti & Wibowo, 2014; Morelent &

Syofiani, 2015) tetapi juga SD Swasta (Wibowo, 2014; Sujatmiko, Arifin & Sunandar, 2019).

Untuk Misalnya saja, Madrasah Ibtidaiyah Yogyakarta kesulitan dalam melaksanakan


pendidikan agama melalui outbond kegiatan karena tidak adanya fasilitas pendukung. Hal ini

menunjukkan bahwa implementasi suatu karakter

Program pembangunan dapat terganggu karena kurangnya sarana dan prasarana pendukung.

Untuk menerapkan pendidikan karakter, sekolah banyak melakukan kegiatan (Zurqoni,

Retnawati, Apino & Anazifa, 2018). Kegiatan ini memerlukan biaya yang besar. Untuk

mengantisipasi biaya kegiatan, pihak sekolah memperoleh dana dari komite sekolah,

pemerintah, dan sumbangan alumni. Masalah ini menjadi bukti dan sering terjadi di Sekolah

Dasar Negeri karena jumlahnya yang sangat banyak siswa. Siswa mengalami kesulitan untuk

menggunakannya secara bersamaan (Morelent & Syofiani, 2015). Guru kreativitas juga

menurun karena sarana dan prasarana yang kurang memadai. Hal ini menyebabkan

kurangnya variasi pengembangan program pendidikan karakter bagi siswa sekolah dasar

(Morelent & Syofiani, 2015). Tantangan kedua terkait dengan perencanaan, pemantauan dan

evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Pemantauan penerapan karakter Pendidikan masih kurang karena sulitnya menjangkau

sekolah-sekolah yang tersebar di beberapa tempat tempat. Selain itu, jumlah pengawas

sekolah yang ada masih kurang (Darmayanti & Wibowo, 2014). Evaluasi yang dilakukan

oleh Dinas Pendidikan juga belum maksimal karena tidak melakukan penilaian pelaksanaan

pendidikan karakter di sekolah dan hanya terfokus pada kelengkapan dokumen (Darmayanti

& Wibowo, 2014). Padahal, kegiatan monitoring dan evaluasi sangat penting dilakukan untuk

melihat kekurangan dan pencapaian tujuan pendidikan karakter di masing-masing sekolah.

Informasi ini dapat bermanfaat sebagai gambaran untuk melakukan perbaikan terhadap

tantangan yang terjadi.


Idealnya, sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah harus lengkap, seperti tempat untuk

belajar ibadah, tempat mencari barang hilang, visi dan tata tertib sekolah, absensi, poster dan

slogan, media komunikasi dan informasi, ruang baca, dan peralatan alat kebersihan seperti

tempat sampah. Kekurangan Sarana dan prasarana di sekolah dapat menyebabkan

terlaksananya pendidikan karakter terhambat.

Solusi yang dapat dilakukan antara lain dengan memasang kata-kata mutiara, slogan, ayat Al-

Qur'an, hadis, dan karya siswa (Siagian, 2015), memperbaiki sistem pengelolaan sarana &

prasarana sebagai serta mengedepankan pemanfaatan dan pemeliharaan yang optimal dengan

melibatkan semua pihak (Darmayanti & Wibowo, 2014). Kurangnya sosialisasi dari

pemerintah juga menjadi permasalahan utama yang perlu diatasi terselesaikan.

Menurut Budiarta, Artini, Seken, dan Santosa (2018), pemerintah perlu berbuat lebih banyak

pelatihan dan workshop intensif tentang pendidikan karakter. Topik lokakarya dan pelatihan

harus mencakup model pembelajaran, metode dan media pembelajaran yang inovatif dalam

penerapan karakter pendidikan. Selain itu, dukungan lain berupa dukungan finansial juga

diperlukan agar bisa menjalankan program secara optimal. Pemerintah juga bisa menerapkan

sekolah praktik terbaik atau berkarakter sekolah percontohan pendidikan dan mendukung

kegiatan diskusi antar guru untuk berbagi pengalaman.


Apa saja tantangan dari pihak sekolah (kepala sekolah dan guru) dalam penerapannya

pendidikan karakter di sekolah dasar di indonesia ?

Aktor yang berpengaruh untuk mencapai keunggulan dalam pendidikan sekolah tidak hanya

kepala sekolah namun juga seluruh individu termasuk guru (Grissom, Kalogrides & Loeb,

2015). Guru merupakan hal yang fundamental dalam mencapai apa yang diinginkan

karakteristik individu (Sahin, 2019). Terkait dengan implementasi pendidikan karakter pada

sekolah dasar, guru mempunyai dukungan yang penting. Salah satunya adalah mampu

mendesain secara elaboratif dan kegiatan eksploratif dalam penyusunan RPP dan proses

pembelajaran (Marini, 2017). Namun, perubahan berbagai kebijakan menyebabkan kepala

sekolah dan guru menjadi bingung, dankewalahan. Hal ini disebabkan karena guru lebih erat

hubungannya dengan pembelajaran siswa kontak garis depan dibandingkan kepala sekolah

(Pang & Miao, 2017). Ada 3 jenis tantangan dari sekolah, yaitu tantangan dalam

perencanaan, pelaksanaan dan penilaian.

Tantangan pertama terkait dengan perencanaan program. Menurut Sadia, Arnyana &

Muderawan (2013), hanya 28,79% guru Sekolah Dasar di provinsi Bali yang pernah

mengikuti seminar, pelatihan atau workshop baik offline maupun online.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru sekolah dasar di provinsi Bali belum pernah

mengikuti pelatihan terkait penerapan pendidikan karakter. Hal ini menyebabkan Guru

menjadi bingung karena tidak mempunyai pemahaman yang jelas tentang teori dan praktek

bagaimana menerapkan pendidikan karakter di sekolah (Nitte & Bulu, 2020). Sosialisasi atau

pelatihan kok penting karena merupakan cara bagi guru untuk mendapatkan informasi,
berbagi informasi dan mendiskusikan masalah berkaitan dengan pendidikan karakter.

Kurangnya pemahaman juga menyebabkan penerapannya tidak terlaksana

secara optimal.

Ada beberapa permasalahan lain yang terjadi;

1. Pertama, ketidakmampuan guru memilih yang cocok model, metode & media

pembelajaran (Latip, 2013; Sadia, Arnyana & Muderawan, 2013; Parida, Sirhi &

Dike, 2019; Wijanarti, Degeng & Untari, 2019; Latip, 2013 2013).

2. Kedua, ketidakmampuan guru melakukan integrasi pendidikan karakter ke dalam

program pembelajaran (Latip, 2013; Sadia, Arnyana & Muderawan, 2013).

3. Ketiga, perencanaan kegiatan yang tidak melibatkan banyak pihak (Suprio,

Hanurawan & Sutarno, 2020).

4. Keempat, rumusan nilai karakter yang acak dan tidak jelas (Darmayanti & Wibowo,

2014).

Tantangan kedua terkait dengan implementasi program. Salah satu masalahnya adalah

kesulitan dalam menanamkan nilai-nilai karakter melalui model pendukung (Latip, 2013).

Idealnya, milik guru perilaku dan perkataan harus dapat menunjukkan karakter yang baik di

sekolah agar dapat mendorong siswa untuk melakukan hal tersebut meniru mereka dan

menciptakan kesadaran pada siswa. Namun, kepala sekolah, guru, dan staf belum

melakukannya mampu memberikan contoh yang baik kepada siswanya (Nitte & Bulu, 2020).

Hal ini ditunjukkan oleh perilaku dan tutur kata guru dan kepala sekolah yang masih belum
mencerminkan kesantunan, keramahan, dan nilai kerapian. Sedangkan pada proses

pembelajaran, penerapan pendidikan karakter belum dilakukan

Hal ini terlihat karena guru masih fokus pada bagaimana membuat siswa memahami materi

pembelajaran baik (Darmayanti & Wibowo, 2014). Kegiatan pembelajaran sebagian besar

terfokus pada konsep dan tidak langsung praktik. Misalnya pada pembelajaran materi tentang

lingkungan hidup, kegiatan pembelajaran terfokus pada pembahasan pengertian, jenis dan

pentingnya lingkungan hidup. Hasilnya, siswa memiliki pemahaman yang baik terhadap

lingkungan, namun mereka belum mampu menunjukkan karakter positif peduli terhadap

lingkungan. Di dalam Selain itu, guru juga kurang dalam mengawasi siswa (Sujatmiko,

Arifin & Sunandar, 2019). Dulu dibuktikan dengan kegiatan penilaian karakter yang tidak

rutin dilakukan (Suprio, Hanurawan & Sutarno, 2020). Hal ini disebabkan oleh banyaknya

jumlah mahasiswa khususnya mahasiswa Umum Sekolah dasar.

Akibatnya guru menjadi kewalahan dan tidak aktif dalam melakukan pembinaan karakter

pendidikan (Morelent & Syofiani, 2015; Salam, 2017). Tabel 2 di bawah ini menunjukkan

jenis tantangan dari guru dan kepala sekolah.

Type of challenges Sub-categories Articles

Tantangan di Kesulitan dalam memilih model (Latip , 2013), (Sadia,

Perencanaan yang cocok, metode, media Arnyana & Muderawan,

Kesulitan untuk mengintegrasikan 2013), (Parida, Sirhi & Dike,

karakter ke dalamnya setiap 2019), (Wijanarti, Degeng &

pelajaran Metode pengajarannya Untari, 2019), (Latip , 2013)


tidak variatif Kesulitan merancang (Latip , 2013), (Sadia,

RPP dan membuat instrumen Arnyana & Muderawan,

penilaian Kegiatan perencanaan 2013) (Wijanarti, Degeng &

tidak melibatkan pihak lain Guru Untari, 2019) (Nitte & Bulu,

jarang berpartisipasi dalam pelatihan 2020), (Darmayanti &

dan sosialisasi Perbedaan pendapat Wibowo, 2014) (Suprio,

antara guru dan kepala sekolah Hanurawan & Sutarno,

2020) (Sadia, Arnyana &

Muderawan, 2013) (Nitte &

Bulu, 2020)

Tantangan di Kesulitan dan ketidakmampuan (Latip , 2013), (Nitte & Bulu,

Penerapan menjadi model Kesulitan untuk 2020), (Yalida, 2019) (Latip ,

memantau dan kurangnya 2013), (Sujatmiko, Arifin &

pemantauan dari guru Inkonsistensi Sunandar, 2019) (Darmayanti

untuk mengintegrasikan karakter & Wibowo, 2014) (Suprio,

nilai dalam proses pembelajaran Hanurawan & Sutarno, 2020)

Kurangnya pembiasaan Kurangnya (Fahmi & Susanto, 2018)

pembelajaran agama (Nitte & Bulu, 2020)

Ketidaksesuaian antara nilai karakter (Darmayanti & Wibowo,

dan visi dan misi sekolah Kurangnya 2014),(Nitte & Bulu, 2020)

pengetahuan tentang implementasi (Hidayati, Tohiroh &

pendidikan karakter Kurangnya Istyarini, 2017)


komitmen dan keragu-raguan dari

guru
(Anwar, 2014), (Latip, 2013),
Tantangan di Kesulitan merumuskan indikator (Siagian, 2015), (Wijanarti,
Degeng & Untari, 2019)
Penilaian nilai karakter Ketidaksesuaian antara (Anwar, 2014),
(Siagian ,2015) (Anwar,
pembelajaran nilai materi dan 2014) (Sadia, Arnyana &
Muderawan, 2013),
karakter Kesulitan mengidentifikasi (Darmansyah, 2014) (Sadia,
Arnyana & Muderawan,
nilai karakter Kesulitan memilih 2013), (Narut & Nardi,
2019), (Darmayanti &
penilaian yang sesuai Kurangnya Wibowo, 2014) , (Wijanarti,
Degeng & Untari, 2019)
perhatian pada karakter penilaian (Wijanarti, Degeng & Untari,
2019) (Nitte & Bulu, 2020)
dan dokumentasi Kurangnya waktu (Morelent & Syofiani ,2015),
(Salam, 2017)
Kurangnya kompetensi teknologi

Inkonsistensi penilaian karakter

Jumlah siswa yang sangat banyak

DISKUSI DAN KESIMPULAN

Jenis tantangan di suatu sekolah dasar dengan sekolah dasar lainnya dapat

menunjukkan hasil yang berbeda karena dipengaruhi oleh dukungan pemerintah, sekolah

(guru/kepala sekolah) dan orang tua selaku aktor pelaksana pendidikan karakter. Penelitian

ini membahas tantangan berdasarkan sumbernya masalah atau aktor yang memegang

tanggung jawab. Ada tantangan dari pemerintah, sekolah dan orang tua, seperti yang

dikemukakan oleh (Temiz, 2016) bahwa mitra yang paling penting untuk solusi karakter

permasalahannya adalah guru, manajer, staf lain, dan orang tua. Gambar 2 di bawah
menunjukkan taksonomi tantangan dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar

di Indonesia.

 Pertama, penelitian kami menemukan bahwa kurangnya dukungan seperti sosialisasi,

pelatihan, fasilitas dan infrastruktur merupakan tantangan utama yang datang dari

pemerintah. Fasilitas yang tersedia dan infrastruktur tidak memadai dibandingkan

dengan jumlah siswa. Siswa mengalami kesulitan dalam menggunakannya. secara

bersamaan (Morelent & Syofiani, 2015). Menurut Budiarta, Artini, Seken, dan

Santosa (2018), pemerintah juga perlu melakukan pelatihan dan lokakarya yang lebih

intensif mengenai pendidikan karakter. Itu topik lokakarya dan pelatihan harus

mencakup model pembelajaran, metode dan pembelajaran yang inovatif media dalam

implementasi pendidikan karakter

 Kedua, tinjauan kami menemukan bahwa tantangan dari guru sebagian besar berfokus

pada kesulitan dan ketidakmampuan dalam menilai karakter siswa. Menurut Anwar

(2014), tidak ada rinciannya instrumen yang digunakan guru untuk mengamati

karakter siswa. Penilaian sebagian besar sudah dilakukan secara spontan. Guru

menyatakan bahwa mereka kesulitan dalam merumuskan indikator penilaian karakter

(Latip, 2013; Siagian, 2015; Wijanarti, Degeng & Untari, 2019), kesulitan dalam

mengidentifikasi nilai-nilai karakter (Anwar, 2014), dan kesulitan dalam memilih

model penilaian (Sadia, Arnyana & Muderawan, 2013; Darmansyah, 2014). Idealnya,

ada pertemuan yang diadakan oleh kepala sekolah dan guru di setiap sekolah baru

tahun ajaran terkait pembahasan tentang nilai-nilai karakter yang dikembangkan,

jenis-jenis kegiatan penanaman itu perlu dilakukan dan permasalahan yang mungkin
dihadapi guru dalam melaksanakan pendidikan karakter. Dia Penting juga bagi para

guru untuk berpartisipasi aktif dalam sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan oleh

pemerintah .
 Ketiga, penelitian kami menemukan bahwa tantangan dari orang tua sebagian besar

berkaitan dengan kurangnya dukungan seperti perhatian, partisipasi dan pengawasan

terhadap pendidikan karakter siswa. Menurut Fahmi & Susanto (2018), terdapat

ketidakseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Orang tua tidak aktif

mendukung pendidikan karakter pada anak. Akibatnya menyebabkan sulitnya

mengubah karakter anak-anak. Solusi terkait kurangnya dukungan orang tua dapat

dilakukan dengan memperbanyak aktivitas melibatkan orang tua melalui komunikasi

aktif, buku doa dan pekerjaan rumah (Siagian, 2015). Lainnya kegiatannya juga

meliputi membaca bersama anak dan mengikuti program pendidikan karakter yang

direncanakan (Demirel, Özmat, & Elgün, 2016; Castro dkk., 2015)

 Keempat, tinjauan kami menemukan bahwa tantangan dari pemerintah, sekolah, dan

orang tua tidak bersifat timbal balik eksklusif, mereka melintasi batas. Misalnya saja

kesulitan yang dihadapi guru tentang cara menilai karakter terkait dengan kurangnya

sosialisasi dari pemerintah. Begitu pula dengan dukungan dari orang tua kolaborasi

dan komunikasi antara sekolah dan orang tua. Harus ada pertemuan yang diadakan

oleh sekolah kepala sekolah dan guru pada setiap tahun ajaran baru terkait diskusi

tentang nilai-nilai karakter yang dikembangkan, jenis kegiatan penanaman yang perlu

dilakukan dan permasalahan yang mungkin dihadapi guru melaksanakan pendidikan

karakter
Artikel ini mengidentifikasi tantangan saat ini dari pemerintah, sekolah (kepala

sekolah dan guru), dan orang tua dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah

dasar di Indonesia. Kami mengkaji 699 penelitian relevan tentang tantangan

implementasi pendidikan karakter di Indonesia sekolah dasar yang dilaksanakan di

berbagai provinsi di Indonesia. Kemudian, kami membagi tantangannya berdasarkan

pada sumber masalah atau aktor yang bertanggung jawab. Ada tantangan dari

pemerintah, tantangan dari sekolah dan tantangan dari orang tua. Padahal kami sudah

mencoba memasukkan Sebanyak mungkin penelitian dari berbagai provinsi di Indonesia,

sangat sulit untuk mengidentifikasi semuanya tantangan karena luasnya wilayah

Indonesia dan kompleksnya perilaku manusia. Selain itu, ini review hanya terfokus pada

tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu, kami mengusulkan rekomendasi penelitian di

masa depan tentang evaluasi pendidikan karakter di sekolah dasar, sekolah menengah

pertama, dan sekolah menengah atas pada tahun Indonesia .

Anda mungkin juga menyukai