Anda di halaman 1dari 40

“MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN

MOTIVASI BELAJAR SISWA DENGAN KOMBINASI MODEL INKUIRI,


EKSPERIMEN, DAN TGT SISWA SEKOLAH DASAR’’

PROPOSAL

OLEH

TRI AYU SAPTANING PUTRI

1910125220097

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

BANJARMASIN

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di abad 21 dunia pendidikan global yang berkembang pesat
mendorong adanya perubahan yang harus diimbangi dengan pendidikan di
negara kita. Untuk mewujudkan hal tersebut maka seorang peserta didik
haruslah dibekali oleh kemampuan dasar yang sekarang dikenal istilah 6C
(Critical Thinking, Collaboration, Communication, Creativity, Citizenship,
Character) yang diharapkan mampu mengimbangi permintaan dunia global
di masa depan (Afif, Sunismi, & Alifiani, 2021). Maka seiring dengan
perkembangan keterampilan, seperti keterampilan membaca, menulis, dan
berhitung tidak lagi menjadi satu-satunya keterampilan yang harus dimiliki
siswa.
Keterampilan abad 21 harus diajarkan di semua jenjang pendidikan,
terutama di sekolah dasar, karena siswa telah mengalami perubahan zaman
yang sangat cepat. Cara mengajarkan keterampilan tersebut adalah dengan
mempraktekkannya secara langsung dalam proses pembelajaran dengan
prinsip-prinsip pembelajaran abad 21. Tujuannya tersebut supaya siswa
terbiasa dengan komunikasi yang baik, bekerjasama secara kompak, kritis
terhadap masalah dan mampu menyelesaikannya, dan kritis dan inovatif
dalam menghasilkan inovasi – inovasi baru. Hal ini membuat siswa akan
mahir dengan berbagai keterampilan dan mampu menyesuaikan dengan
kebutuhan ketika sudah lulus dari sekolah (Widodo & Wardani, 2020).
Keterampilan berpikir kritis mampu memecahkan suatu masalah
berarti menimbang semua informasi dengan ukuran yang logis dan
bertanggung jawab. Informasi harus memiliki pendapat atau sudut pandang
yang disertai dengan alasan dan data yang jelas. Jadi berpikir kritis tidak
hanya aktif, tetapi juga alasan yang diungkapkan dapat diterima oleh
pikiran. Hal ini sejalan dengan pembelajaran abad 21 (Tohir, 2019), yaitu
pembelajaran yang menuntut siswa untuk memiliki kompetensi dalam
berpikir kritis, berpikir kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Berpikir kritis
berdasarkan keterampilan abad 21 menuntut seseorang untuk terampil
dalam berpikir.
Sejalan dengan pendapat (Dewi Kurniawati dan Arta Ekayanti)
mengatakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir menggunakan penalaran
secara rasional, sitematis, mengumpulkan informasi atau data yang ingin
diketahui dan menyelesaikan masalah atau memilih tindakan yang
semestinya dilakukan untuk dapat menyelesaikan dan memahami suatu
masalah yang dihadapi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
tahun 2006 (BNSP, 2006) menegaskan bahwa keterampilan berpikir kritis
diperlukan agar peserta didik dapat mengelola dan memanfaat-kan
informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak
pasti, dan kompetitif. Hal ini menjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis
merupakan salah satu keterampilan yang penting untuk dikembangkan
mulai dari jenjang pendidikan yang paling dasar.
Salah satu tujuan berpikir kritis menurut Najla (2016) adalah dapat
membantu siswa membuat kesimpulan dengan mempertimbangkan data
dan fakta yang terjadi di lapangan.” Berdasarkan beberapa pendapat para
ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah menyimpulkan
apa yang diketahui, mengetahui cara menggunakan informasi untuk
memecahkan suatu permasalahan dan mampu mencari sumber informasi
yang relevan sebagai pendukung pemecahan masalah. Berpikir kritis juga
dianggap sebagai kemampuan yang perlu dikembangkan agar
meningkatnya kualitas terhadap diri dan hasil belajar siswa.
Berhubungan dengan hal tersebut sejumlah tantangan dan peluang
harus dihadapi siswa dan guru agar dapat bertahan dalam abad 21 ini
sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Karena Saat ini,
pendidikan berada di masa pengetahuan (knowledge age) dengan
percepatan peningkatan pengetahuan yang luar biasa. Pendidikan di abad
ke-21 menjadi semakin penting untuk menjamin siswa memiliki motivasi
belajar, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi, serta
dapat bekerja, dan bertahan dengan menggunakan keterampilan untuk hidup
(life skills) (Anggraeni MD, 2018: 10-11).
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai
motivasi dalam belajar. Oleh karena itu, guru perlu menumbuhkan motivasi
belajar siswa. Motivasi adalah salah satu faktor yang memiliki pengaruh
besar dalam belajar. Siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk belajar akan
meningkat kemampuan berpikir kritis dan mendapatkan hasil belajar yang
baik. Berdasarkan Alkaz dalam (Alannasir, 2016) motivasi adalah upaya
untuk menyebabkan perilaku seseorang terdorong untuk bertindak
melakukan sesuatu untuk mencapai hasil atau tujuan tertentu.
Motivasi merupakan syarat mutlak dalam belajar, siswa yang belajar
tanpa motivasi (atau kurang motivasi) tidak akan berhasil dengan maksimal.
Menurut Hamzah & Nurdin (2015) indikator motivasi belajar siswa
meliputi: (1) adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil; (2) adanya
dorongan dan kebutuhan dalam belajar; (3) adanya harapan dan cita-cita
masa depan; (4) adanya penghargaan dalam belajar; (5) adanya kegiatan
yang menarik dalam belajar; dan 6) adanya lingkungan belajar yang
kondusif sehingga memungkinkan siswa belajar dengan baik.
Dalam proses pembelajaran motivasi mempunyai peranan besar
untuk meningkatkan prestasi. Sebab tanpa adanya motivasi dalam belajar
tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Motivasi belajar perlu
untuk diteliti agar siswa pada saat proses pembelajaran sudah memahami
tujuan pembelajaran yang akan diajarkan oleh guru dengan rasa semangat
yang tinggi dalam belajar. Dengan adanya motivasi belajar, maka proses
yang akan terlihat dari meningkatnya motivasi belajar siswa bukan hanya
terletak pada aktivitas saja tetapi juga ada pada keterampilan berpikir kritis
dan hasil belajar siswa. Motivasi belajar akan menjadi penunjang yang
sangat penting terhadap perkembangan sikap dan pola berpikir kritis siswa
terhadap pembelajaran sehingga sehingga mempengaruhi pada pencapaian
hasil belajar siswa.
Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses
pembelajaran. Menurut Rusmono (2017) menyatakan bahwa hasil belajar
adalah perubahan perilaku individu yang meliputi ranah kognitif, afektif,
dan pisikomotorik. Perubahan perilaku tersebut diperoleh setelah siswa
menyelesaikan pembelajarannya melalui interaksi dengan berbagai sumber
belajar dan lingkungan belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar diantaranya kecerdasan siswa, kesiapan atau kematangan siswa
dalam mengikuti kegiatan belajar, minat siswa dalam belajar, model
penyajian materi pembelajaran yang disediakan oleh guru, dan suasana
belajar yang menyenangkan sehingga membuat siswa menjadi lebih senang
dalam pembelajaran (Susanto, 2013).
Menurut Sudjana (2013) hasil belajar yang dicapai siswa melalui
proses pembelajaran yang optimal cenderung menunjukkan hasil yang
berciri sebagai berikut: (1) kepuasan dan kebanggaan yang dapat
menumbuhkan motivasi belajar; (2) menambah keyakinan dan kemampuan
diri; (3) hasil belajar yang dicapainya bermakna; (4) hasil belajar diperoleh
mencakup ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotoris; dan (5)
kemampuan siswa untuk mengontrol dan mengendalikan dirinya.
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa
berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan yang diperoleh ketika terjadi suatu
proses pembelajaran. Sehingga hasil dari pembelajaran IPA yang dapat di
tunjukkan dari hasil perubahan dan tidak bisa menjadi bisa, atau
peningkatan pengetahuan, pemahaman dan sikap (Riwahyudin, 2015).
Sehingga salah satu indikator untuk melihat tingkat keberhasilan
pengembangan kemampuan peserta didik dalam bidang IPA adalah hasil
belajar IPA siswa. Hasil belajar IPA ini nantinya akan menunjukkan tingkat
penguasaan IPA dari siswa. Oleh karena pentingnya IPA, maka peningkatan
hasil belajar IPA secara berkesinambungan sudah menjadi pekerjaan rumah
bagi pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat dalam bidang pendidikan
(Juniati & Widiana, 2017).
Sebagaimana dikemukakan (Aslamiah & Agusta, 2015) dalam
(Depdiknas 2006:48) menyatakan bahwa “Pembelajaran IPA didasarkan
pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, kerja
ilmiah dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru dengan
berorientasi kepada tujuan kurikulr pembelajaran IPA. Salah satu tujuan
kurikulum IPA di sekolah dasar adalah mengembangkan keterampilan
proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat
keputusan”.
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan tentang pengetahuan dan pemahaman
konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran
tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA,
lingkungan, teknologi dan masyarakat. Mengembangkan keterampilan
proses untuk menyelidiki alam sekitar. Disamping itu memecahkan masalah
dan membuat keputusan, meningkatkan kesadaran untuk berperan serta
dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam
meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam. (Nur Jannah, 2020).
Menurut standar isi (BSNP, 2020) pembelajaran IPA sekolah dasar
lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan lingkungan sekitar,
sehingga topik-topik penting di semua kelas SD/MI yang berkaitan dengan
lingkungan sekitar siswa perlu ditemukenali oleh guru. Dengan begitu,
topik-topik tersebut perlu mendapatkan penekanan yang lebih besar. Setelah
guru mengenali gagasan IPA yang penting dalam pembelajaran serta
berkaitan erat dengan pengetahuan lain atau topik-topik lain, guru dapat
merancang rangkaian kegiatan pembelajaran di kelas dengan lebih
terstruktur dan sistematis. Salah satu pokok bahasan pembelajaran IPA yang
di pelajari di sekolah dasar yaitu perubahan wujud benda. Materi ini sangat
dekat dengan lingkungan keseharian siswa, dimana siswa mampu
memahami fenomena yang mungkin terjadi di lingkungan yang
berhubungan dengan perubahan wujud.
Pembelajaran yang ideal merupakan pembelajaran yang berpusat
pada siswa, yakni agar pembelajaran siswa lebih aktif belajar dengan
mempertimbangkan karakteristik pada diri siswa. Karakteristik siswa
digunakan sebagai dasar dalam perancangan proses pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran dan penilaian pembelajaran. Pada pembelajaran
tersebut terlihat bahwa peserta didik berpartisipasi aktif dalam kegiatan
pembelajaran, sehingga keadaan seperti itu yang diharapkan agar proses
pembelajaran dapat berpikir kritis dan mendapatkan hasil belajar yang di
inginkan. Sehingga siswa diharapkan dapat mendorong keterampilan
berpikir kritis siswa, kreativitas, membuat siswa aktif, mencapai tujuan
pembelajaran secara efektif dan berlangsung dalam kondisi menyenangkan.
Sejalan dengan pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang
difokuskan pada keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah
secara familiar kita ketahui dilakukan dengan interaksi langsung dengan
menggali permasalahan secara terbuka. (Ahmad Suriansyah, Agusta, &
Setiawan, 2021).
Harapan pembelajaran sejalan dengan teori yang dikemukan oleh
(Hosnan, 2016) bahwa kegiatan pembelajaran di sekolah idealnya perlu
diimplementasikan sedemikian rupa dengan memperhatikan beberapa aspek
indikator yaitu : (1) Berpusat pada siswa, (2) mengembangkan kreativitas
siswa, (3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, (4)
bermuatan nilai, etika, estetika, logika dan kinestetik, (5) menyediakan
pengalaman belajar yang beragam. Bertolak dari keadaan yang diharapkan
diatas, peneliti melihat bahwa kenyataan atau kondisi dilapangan ini masih
belum dapat terlaksana sepenuhnya dengan baik, dan masih menjadi
permasalahan dalam pengimplementasian pembelajaran.
Berdasarkan data tahun 2020/2021 dimuat dalam data referensi
kementerian pendidikan & kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan
terdapat 55.643 siswa yang berjenjang sekolah dasar di Provinsi Kalimantan
Selatan Kota Banjarmasin. Berdasarkan data populasi siswa SDN Kelayan
Selatan 10 yang akan dilakukan penelitian berkisar jumlah 42 orang,
Adapun sampel yang digunakan penelitian tindakan kelas ini adalah kelas
V yang berjumlah 21orang.
Dari hasil observasi dan wawancara pada Jum’at, 9 September 2022,
bahwa Ibu Rizki Amelia, S.Pd selaku wali kelas VA menyatakan saat proses
pembelajaran IPA menunjukkan bahwa berpikir kritis dan hasil belajar pada
siswa masih rendah hal ini dilihat dari siswa masih sering kesulitan untuk
memahami materi yang di sampaikan oleh guru, hal ini mengakibatkan
siswa tidak termotivasi untuk aktif dalam menemukan atau mencari
informasi sendiri, sesuai dengan konsep materi. Rendahnya pemahaman
konsep siswa dapat dijadikan salah satu faktor rendahnya tingkat berpikir
kritis yang berdampak pada hasil belajar siswa. Selain hasil observasi dan
wawacara diperoleh juga nilai yang dicapai siswa kelas V pada mata
pelajaran IPA juga belum maksimal sesuai dengan KKM yang ditetapkan.
Hal ini dilihat dari hasil ulangan 2020/2021 kelas V SDN Kelayan Selatan
10 Kota Banjarmasin terlihat bahwa proses pembelajaran masih banyak
siswa yang mendapatkan nilai pada mata pelajaran IPA di bawah Kriteria
Ketuntasan Minimum (KKM) yaitu 60 dengan nilai standar KKM tuntas
belajar 14% (3 orang) tuntas belajar, sedangkan sebanyak 86% (18 orang)
belum tuntas belajar. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran masih
abstrak dan belum berkaitan dengan pengalaman kehidupan sehari-hari
sehingga berdampak pada kemampuan berpikir kritis siswa.
Sehingga pada kenyataannya di lapangan pembelajaran IPA kelas V
di SDN Kelayan Selatan 10, perlu di tingkatkan pengembangan
pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep - konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari -hari. Kurangnya
keinginan siswa dalam memiliki rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran
tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA,
lingkungan, teknologi dan masyarakat. Siswa masih belum terlatih dalam
menggali informasi melalui pertanyaan, masih terpaku pada kebiasaan lama
yakni hanya mengandalkan informasi yang tersedia dibuku dan menunggu
arahan dari guru dalam memecahkan masalah. Hal ini membuat siswa
kesulitan dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan, kegiatan
pembelajaran pun terlihat masih bersifat monoton saat di berikan
pertanyaan. Mengakibatkan rendahnya kesadaran untuk berperan serta
dalam memelihara, menajaga dan melestarikan lingkungan alam. Hingga
menunjukkan bahwa implementasi kurikulum 2013 di tingkat sekolah dasar
belum dapat dikategorikan maksimal dan berhasil seutuhnya.
Pembelajaran IPA masih menitik beratkan pada pemahaman konsep
siswa saja. Siswa jarang di latih untuk memecahkan masalah, siswa hanya
mendengar, menulis dan menghapal apa yang sudah di terangkan dari
perintah guru. Kurangnya pemanfaatan media pembelajaran di karenakan
tidak tersedia media yang cocok di sekolah tersebut. Guru juga sering
mengabaikan kemampuan berpikir kritis pada siswa di karenakan guru
masih cenderung diam saat siswa tidak ada bertanya. Ketika pembelajaran
IPA berlangsung siswa kurang mampu menganalisis masalah di sekitarnya.
Ketika siswa diberikan masalah siswa belum menunjukan rasa ingin
menjawab dan menyelesaikannya masih kurang mampu. Berdasarkan hasil
pengamatan SDN Kelayan Selatan 10 Kota Banjarmasin cocok sebagai
lokasi penelitian karena strategi pembelajaran dalam berpikir kritis masih
sulit dilaksanakan. Saat pembelajaran cenderung pemberian tugas saja tanpa
adanya meminta siswa untuk menganalisis permasalahan. Penelitian
tindakan kelas ini perlu dilaksanakan di SDN Kelayan Selatan 10 Kota
Banjarmasin dikarenakan permasalahan yang dapat meningkatkan
keterampilan berpikir kritis pada siswa.
Adapun dampak yang terjadi rendahnya kualitas pembelajaran IPA,
menuntut dilakukan perbaikan segera terhadap proses pembelajaran IPA di
tingkat Sekolah Dasar dan perubahan dalam masyarakat yang dinamis
menuntut adanya penyesuaian dalam proses pendidikan yang senantiasa
berada dalam satu dinamika perubahan dan perkembangan (Salsiah, 2015).
Kondisi tersebut masih belum sesuai dengan indikator berpikir kritis yaitu
siswa dapat bertanya dengan jelas, dapat menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh guru, dapat menganalisis argumen, dapat menyelesaikan
suatu masalah yang telah diberikan kepada mereka, dapat mengevaluasi
kekurangan untuk dipecahkan. masalah dan mengevaluasi hasil observasi
dan observasi. mampu menarik kesimpulan.
Siswa masih belum mampu berpikir kritis terhadap pembelajaran
akibat proses perubahan sistem pembelajaran dari pemberani, sehingga
pada saat pembelajaran berani siswa hanya mendengarkan penjelasan guru
dan diberikan berbagai tugas dari jarak jauh, hal ini menyebabkan siswa
tidak terlatih . kritis dalam memecahkan masalah yang diberikan.
Siswa juga belum terbiasa berkelompok ketika belajar memecahkan
suatu masalah dan setiap siswa masih memiliki ego yang tinggi saat
mengemukakan pendapat. Hal ini juga berkaitan dengan siswa yang masih
belum berani mengemukakan pendapat sehingga siswa tetap terlalu pasif
dalam pembelajaran berlangsung, hal ini dapat menjadi masalah dalam
pembelajaran.
Jika masalah ini dibiarkan dengan kenyataan di lapangan, siswa
masih cenderung pasif atau pembelajar satu arah, siswa belum mampu
berpikir kritis dalam pemecahan masalah. Dengan demikian, kemampuan
berpikir kritis rendah karena kurangnya inovasi dalam pembelajaran,
sehingga siswa belum terlatih untuk memecahkan masalah secara mandiri
dan kritis. Pembelajaran menjadi kurang bermakna dan hanya berupa
ingatan jangka pendek. Siswa dalam pemecahan masalah jarang melakukan
kegiatan hands-on, yang membuat siswa lambat dalam memecahkan
masalah. Siswa cenderung menunggu guru menyelesaikan masalah yang
dihadapinya dan tidak ada upaya untuk menggali dan menemukan jawaban
dari masalah yang disajikan kepada mereka. Sehingga lingkungan belajar
tampak monoton tanpa adanya variasi dalam pembelajaran.
Oleh karena itu, sebaiknya guru mengembangkan metode
pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran, yang berkaitan
dengan peningkatan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA. Guru
hendaknya memperhatikan kegiatan yang dapat menumbuhkan berpikir
kritis dan semangat belajar siswa agar menyenangkan. Selain itu, dalam
kegiatannya siswa tidak hanya terlibat secara individu tetapi juga secara
kelompok untuk melatih kerjasama antar siswa dan meningkatkan berpikir
kritis pada siswa.
Berdasarkan hal tersebut akan berdampak pada rendahnya
kemampuan berpikir siswa. Oleh karena itu di temukan pembelajaran yang
mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa yang dapat
mengaitkan materi pembelajaran dengan situasi kehidupan di dunia nyata.
Kombinasi model pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa
untuk menemukan pengetahuannya sendiri dalam mata pelajaran IPA
materi perubahan wujud benda yaitu dengan model Inquiry Learning,
metode Eksperimen, dan model Teams Games Tournament. Dengan
demikian, salah satu alternatif pemecahan masalah diatas adalah dengan
menggunakan kombinasi model pembelajaran (Inquiry Learning, metode
Eksperimen, dan model Teams Games Tournament) yang merupakan
kombinasi dari 3 model pembelajaan yaitu Model Inquiry Learning, Metode
Eksperimen , dan Teams Games Tournament. Hal tersebut didukung oleh
hasil penelitian yang menyatakan bahwa model pembelajaran inquiry dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, namun model ini masih
sulit dilaksanakan karena tahapan tersebut membutuhkan waktu yang lama
dan pembelajarannya masih bepusat pada siswa. Sehingga untuk itu
dipadukan dengan model pembelajaran Teams Games Tournament yang
dapat saling menutupi kekurangan satu sama lain. Maka dapat dikatakan
model pembelajaran inquiry, ekperimen di padukan dengan Teams Games
Tournament dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Pada
pembelajaran IPA, model pembelajaran Model Inquiry Learning karena
model ini meningkatkan keterlibatan siswa dalam menemukan dan
memproses serta menggali bahan pelajarannya adalah model pembelajaran
inkuiri. Menurut (Jumintri, Aziz, & Mukti, 2021) model inkuiri adalah salah
satu cara belajar atau penelaahan yang bersifat mencari pemecahan masalah
dengan cara kritis, analitis, dan ilmiah dengan menggunakan langkah -
langkah yang menuju suatu kesimpulan yang meyakinkan karena didukung
oleh data atau kenyataan.
Sehingga model Inquiry adalah model pembelajaran yang
berorientasi pada proses meliputi kegiatan-kegiatan mengobservasi,
merumuskan pertanyaan yang relevan, mengevaluasi buku dan sumber
informasi lain secara kritis, merencanakan penyelidikan atau investigasi,
mereview apa yang telah diketahui, melaksanakan percobaan atau
eksperimen dengan menggunakan alat untuk memperoleh data,
menganalisis dan menginterpretasi data, serta membuat prediksi dan
mengkomunikasikan hasilnya (Kencana Sari, Kristin, & Anugraheni, 2019).
Kemudian peneliti memilih Metode eksperimen adalah Suatu cara
mengajar, dimana siswa melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal,
mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil
pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru. Penggunaan
teknik ini mempunyai tujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan
sendiri berbagai jawaban atau persoalan - persoalan yang dihadapinya
dengan mengadakan percobaan sendiri. Juga siswa dapat terlatih dalam cara
berpikir yang alamiah. Dengan eksperiman siswa menemukan bukti
kebenaran dari teori sesuatu yang dipelajari. (Juita, 2019).
Metode pembelajaran eksperimen adalah metode pembelajaran yang
menekankan agar siswa melakukan eksperimen sistematis melalui cara
kerja ilmiah. Metode experiential learning menuntut siswa untuk
memahami konsep melalui aliran ilmiah, sesuai dengan konsep sains.
Team Games Tournament (TGT) merupakan model pembelajaran
kooperatif dengan dibentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang
terdiri tiga sampai lima siswa yang heterogen. Dengan adanya kelompok
heterogen inilah peserta didik berdiskusi dalam kelompoknya, belajar dan
bersama-sama mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sehingga
ketika ada anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang
diberikan, maka anggota kelompok lainnya dapat membantu
menjelaskannya. Team Games Tournament adalah model yang digunakan
untuk mengimbangi pembelajaran secara ilmiah yang dikombinasikan
games secara berkelompok untuk meningkatkan minat siswa dalam
pembelajaran.
Dipilihnya kombinasi model (Inquiry Learning, metode
Eksperimen, dan model Teams Games Tournament) karena berdasarkan
pada ketiga karakteristik model tersebut yang menuntut siswa aktif dalam
pembelajaran sehingga semua materi yang disampaikan guru dapat
dipahami dengan baik dan tidak ada siswa yang asik sendiri atau tidak
memperhatikan guru, dari pandangan tersebut peneliti menggunakan ketiga
model tersebut untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa dengan materi
perubahan wujud benda di kelas V Sekolah Dasar. Berdasarkan latar
belakang yang telah penulis paparkan, maka untuk mencapai keberhasilan
siswa terutama dalam pelajaran IPA sangatlah dipengaruhi oleh model
pembelajaran IPA dengan judul “Meningkatkan Keterampilan Berpikir
Kritis Dan Motivasi Belajar Siswa Dengan Kombinasi Model Inkuiri,
Eksperimen, Dan TGT Siswa Sekolah Dasar”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Aktivitas Guru dalam melaksanakan pembelajaran
menggunakan Kombinasi Model Pembelajaran (Inquiry Learning,
metode Eksperimen, dan model Teams Games Tournament) pada Siswa
Kelas V SDN Kelayan Selatan 10 Banjarmasin ?
2. Bagaimana Aktivitas Siswa dalam pembelajaran menggunakan
Kombinasi Model Pembelajaran (Inquiry Learning, metode
Eksperimen, dan model Teams Games Tournament) pada Siswa Kelas
V SDN Kelayan Selatan 10 Banjarmasin ?
3. Apakah terjadi peningkatan berpikir kritis pada siswa setelah dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan Kombinasi Model Pembelajaran
(Inquiry Learning, metode Eksperimen, dan model Teams Games
Tournament) pada Siswa Kelas V SDN Kelayan Selatan 10
Banjarmasin ?
4. Apakah terdapat peningkatan motivasi belajar siswa setelah dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan Kombinasi Model Pembelajaran
(Inquiry Learning, metode Eksperimen, dan model Teams Games
Tournament) pada Siswa Kelas V SDN Kelayan Selatan 10
Banjarmasin ?
5. Apakah terdapat peningkatan hasil belajar pada siswa setelah dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Kombinasi
Model Pembelajaran (Inquiry Learning, metode Eksperimen, dan model
Teams Games Tournament) pada Siswa Kelas V SDN Kelayan Selatan
10 Banjarmasin ?
C. Rencana Pemecahan Masalah
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran IPA adalah model pembelajaran inkuiri. Dalam model
pembelajaran Inkuiri ini, Anda memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dan dapat merangsang
siswa untuk berpikir dan menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan kepada mereka, maupun pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dari diri mereka sendiri dalam pembelajaran. kaitannya
dengan lingkungan di sekitar mereka. terutama jika menyangkut binatang.
dan tumbuhan sehingga dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap
hasil belajar siswa. Dan siswa dituntun untuk menemukan sendiri jawaban
dari permasalahan yang dihadapi untuk meningkatkan keaktifan siswa
dalam belajar. (Kusumah, Walid, Pitaloka, Dewi, dan Agustriana, 2020).
Pada pembelajaran ini menggunakan metode eksperimen untuk
memberi kesempatan pada siswa melakukan, menganalisis membuktikan,
dan menarik kesimpulan sendiri sehingga kegiatan pembelajaran lebih
menyenangkan dan siswa mengalami pengalaman belajar. Penerapan
metode eksperimen diharapkan hasil belajar siswa mengalami
peningkatan.(Hurit & Wati, 2020).
Dengan menggunakan metode eksperimen tentunya dapat
memaksimalkan penerapan model pembelajaran berbasis inkuiri dengan
pembelajaran di kelas. Sehingga dengan model ini, dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan kemahiran
pengetahuan pada isi materi ilmiah.
Selain kedua model di atas, agar siswa belajar secara variatif, aktif
dan menyenangkan, serta untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam
pembelajaran, juga digunakan model TGT (Team Games Tournament).
Turnamen Team Game merupakan interaksi positif dan melibatkan aktivitas
semua siswa tanpa perbedaan status dan melibatkan peran siswa sebagai
tutor sebaya dan mengandung unsur permainan serta memperkuat hasil
belajar siswa.
Sebagus apapun model pembelajaran, tidak akan banyak berguna
jika guru dan sekolah tidak mengamalkannya. Agar tujuan pembelajaran
dapat tercapai secara optimal, ada beberapa model pembelajaran yang
paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, ketika
memilih model pembelajaran yang tepat, siswa harus memperhatikan
kondisi siswa, seperti bahan ajar, sarana komunikasi yang tersedia, dan
kondisi guru itu sendiri. Sehingga seorang guru perlu melakukan observasi
atau penelitian untuk menentukan model pembelajaran yang tepat untuk
diterapkan.
Dalam proses pembelajaran di SDN Kelayan Selatan 10
Banjarmasin, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingkat berpikir
kritis siswa masih rendah. Salah satunya adalah dengan menggunakan
model pembelajaran yang paling jarang digunakan untuk menarik perhatian
dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru
sering menggunakan metode teacher centered reading, yang membuat siswa
pasif dan kurang aktif dalam pembelajaran. Untuk meningkatkan keaktifan
siswa dalam proses pembelajaran, diperlukan suatu model pembelajaran
yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam memecahkan suatu
masalah.
Langkah – langkah Pembelajaran (Inquiry Learning, metode Eksperimen,
dan model Teams Games Tournament) :
1) Guru melalukan orientasi (Inquiry)
Langkah ini dapat mengatasi masalah pembelajaran IPA terkait siswa
yang mengalami kesulitan belajar karena kurang memahami materi dan
membuat siswa kurang aktif, kurang berani mengemukakan pendapat
sendiri atau belum mandiri karena selalu meminta bimbingan guru.
Selain itu, juga mengatasi masalah pembelajaran yang hanya berupa
teori dan pembelajaran yang biasanya dengan metode ceramah. Dengan
adanya langkah ini siswa akan mudah memahami konsep pembelajaran,
meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan menciptakan pembelajaran
yang menyenangkan sebab disini pembelajaran tidak hanya
mendengarkan, dan mencatat saja tetapi mendapatkan contoh secara
kontekstual, menggunakan media pembelajaran dan merangsang
kemampuan psikomotorik siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wina Sanjaya Pembelajaran berorientasi aktivitas siswa
dipandang sebagai suatu pendekatan dalam pembelajaran yang
menekankan kepada aktivitas siswa secara optimal untuk memperoleh
hasil belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor secara seimbang. Dari konsep tersebut ada dua hal yang
harus dipahami; pertama, dipandang dari sisi proses pembelajaran,
pembelajaran berorientasi aktivitas siswa menekankan pada aktivitas
siswa menghendaki keseimbangan antara aktivitas fisik, mental,
termasuk emosional dan aktivitas intelektual; kedua, dipandang dari sisi
hasil belajar, pembelajaran berorientasi aktivitas siswa menghendaki
hasil belajar yang seimbang dan terpadu antara kemampuan intelektual
(kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor), artinya,
dalam pembelajaran berorientasi aktivitas siswa pembentukan siswa
secara utuh merupakan tujuan utama dalam proses pembelajaran.
2) Guru membagi siswa menjadi kelompok kecil secara heterogern (TGT)
Langkah ini dapat mengatasi masalah bagi siswa yang mengalami
hambatan dalam belajar karena dengan berkelompok dapat memotivasi
siswa satu dengan siswa lainnya. Langkah ini penting karena dengan
pembagian kelompok secara heterogen mengajarkan kepada siswa
untuk dapat bekerja sama dengan siapapun tanpa harus memandang latar
belakang maupun kondisinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Septian
et al., (2020) dengan adanya diskusi kelompok siswa akan lebih
memahami materi dengan penjelasan temannya sendiri dan kelompok
yang dibentuk secara heterogen dimana di dalamnya terdapat anggota
dengan kemampuan yang beragam. Sehingga siswa yang kemampuan
belajarnya tinggi bertanggung jawab membantu teman satu
kelompoknya untuk dapat lebih memahami materi.
3) Siswa mengajukan rumusan masalah (Inquiry)
4) Siswa berdiskusi untuk merumuskan hipotesis (Inquiry)
Langkah ini dapat mengatasi masalah siswa yang kurang aktif atau
hanya diam dan kurang percaya diri dalam mengomunikasikan
pendapatnya karena pembelajaran tidak diperoleh dari eksplorasi
langsung, siswa kurang mencoba menyelesaikan soal matematika
terlebih dahulu dengan caranya maupun pemahamannya sendiri tetapi
guru yang cenderung menjelaskan terlebih dahulu, contoh dan soal
sehingga dampaknya siswa sulit untuk membuat generalisasi. Dengan
langkah ini siswa termotivasi untuk menyelesaikan suatu permasalahan
yang diberikan secara kontekstual dan bekerja sama dengan
kelompoknya untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai cara
sehingga muncullah konsep pembelajaran yang dapat dipahami siswa.
Hal ini sejalan dengan penelitian Septian et al., (2020) menyatakan
bahwa dengan adanya diskusi kelompok memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertukar pendapat, menanggapi pemikiran siswa
yang lain, saling bekerja sama dan meningkatkan pemahaman konsep
matematika siswa. Selain itu, menurut Laurens et al., (2018)
menyatakan bahwa model ini dapat membuat siswa membangun model
sendiri dalam penyelesaian masalah, meningkatkan kontribusi dan
aktivitas siswa karena guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk memecahkan masalah dan menyampaikan jawabannya.
5) Guru meminta siswa melakukan ekperimen untuk menguji hipotesis
(Eksperimen dan Inquiry)
Dengan metode eksperimen siswa lebih bergairah belajar serta aktif,
sehingga siswa tidak ada kesempatan untuk bermain, yang tidak ada
hasilnya atau tidak ada siswa yang mengobrol atau melamun, mereka
semua diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen sesuai petunjuk
dari guru pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Didalam praktek mereka
meneliti langsung benda-benda yang ada dihadapannya dan mereka
langsung mengenal alat-alat satu demi satu mereka juga termotivasi
dalam menerima pelajaran dan Ilmu Pengetahuannya juga bertambah
dengan seketika. Disinilah guru Pengetahuan Alam harus pandai
memilih metode, jangan hanya menggunakan metode ceramah saja,
yang banyak membuat siswa mengantuk dan membosankan. Hal ini
sesuai dengan penelitian Jamilah, Ngatiyo dan Aunurrahman (2013)
menyatakan bahwa metode eksperimen merupakan salah satu metode
pembelajaran yang dilakukan siswa melalui percobaan, agar siswa
belajar tidak hanya sekedar teori dari buku tetapi juga hasil dari
percobaan yang dilakukan.
6) Guru membimbing setiap kelompok untuk mengumpulkan data (Inquiry
dan Eksperimen)
7) Guru meminta siswa menyampaikan hasil diskusi (Inquiry)
Langkah ini dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
kepercayaan diri siswa dan rasa takut siswa terhadap pembelajaran
matematika karena sering dijumpai siswa merasa kesulitan terlebih
dahulu sebelum mencoba sehingga timbullah rasa malas malas untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, takut salah dan menganggap
matematika sulit serta persoalan tentang kesulitan dalam hal
komunikasi. Dengan langkah ini akan menumbuhkan percaya diri siswa
karena bersama kelompoknya melakukan presentasi terhadap hasil
diskusi mereka dan mereka yakin bahwa kelompok mereka itu bisa
menjadi terbaik sehingga timbullah usaha pada masing-masing individu
untuk mencoba. Hal ini sejalan dengan penelitan Septian et al., (2020)
bahwa dengan adanya presentasi di depan kelas berperan dalam
meningkatkan pemahaman siswa. Hal ini dikarenakan, ketika siswa
mempresentasikan hasil belajar kelompoknya didepan kelas dengan
bahasanya sendiri, guru dapat mengetahui sejauh mana pemahaman
siswa terhadap materi yang dipelajari. Apabila terjadi kesalahpahaman
terhadap konsep, maka guru dapat segera meluruskan kesalahan
tersebut. Selain itu, membuat siswa lebih aktif dalam belajar, memiliki
motivasi yang tinggi, dan berani untuk mempresentasikan hasil kerjanya
di depan kelas.
8) Guru mengarahkan siswa bermain Teams Games (TGT)
Langkah ini dapat mengatasi masalah kurangnya penguasaan materi
oleh siswa, siswa bersifat pasif karena pembelajaran yang di dominasi
oleh guru. Dengan langkah ini siswa akan menjadi lebih aktif dan
menguasai materi karena mereka belajar sambil bermain sehingga
membuat siswa tertantang untuk menyelesaikan suatu pertanyaan atau
permasalahan yang diberikan guru, disini siswa mencari pasangan kartu
pertanyaan atau jawaban, sehingga secara tidak langsung juga melatih
kemampuan berpikir siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian Anggraeni
et al., (2019) siswa akan lebih bersemangat karena model pembelajaran
tersebut terdapat unsur permainannya, selain itu siswa pun dilibatkan
langsung dalam pembelajaran. Teknik ini mampu menciptakan kondisi
kelas yang interaktif, efektif sebagai sarana untuk melatih keberanian
siswa, serta mampu menghilangkan kebosanan siswa ketika
pembelajaran berlangsung.
9) Guru meminta siswa mengumpulkan hasil jawaban kelompok ( TGT)
10) Guru Bersama siswa menarik kesimpulan hasil eksperimen
(Eksperimen)
Langkah ini dapat mengatasi permasalahan kurangnya penguasaan
materi dan komunikasi siswa. Dengan adanya kesimpulan yang
diberikan siswa, maka diharapkan siswa tersebut dapat memahami
materi dan juga meningkatkan keterampilan komunikasinya karena
berani mangungkapkan pendapatnya. Hal ini sejalan dengan penelitian
(Kusuma & Ayunitis, 2019) yang menyatakan bahwa dengan
menerapkan pendekatan ini pada pembelajaran IPA di kelas, terutama
karakteristik interaktivitas atau interaksi dimana proses belajar
seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga bersamaan
menjadi suatu proses sosial, proses belajar siswa akan menjadi lebih
bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan
gagasan mereka, sehingga kemampuan komunikasi siswa dapat
berkembang.
11) Memberikan penghargaan kepada kelompok yang terbaik presentasinya
juga kepada kelompok lain (TGT)
Langkah ini dapat mengatasi masalah siswa yang pasif, karena dengan
adanya penghargaan siswa merasa tertantang untuk menumbuhkan
semangat pada dirinya bahwa dirinya bisa. Hal ini sejalan dengan
penelitian Septian et al., (2020) dengan adanya kegiatan penghargaan
kelompok, dimana kelompok yang berhasil mendapatkan skor tertinggi
akan mendapatkan hadiah. Oleh karena itu, membuat siswa lebih
termotivasi untuk memperbaiki kualitas belajar mereka di siklus
berikutnya.
Menurut langkah-langkah model di atas dengan memperhatikan
keselarasan model tersebut serta saling berkaitan dan sistematis dengan
penggunaan media, maka dapat dikatakan bahwa model dan media ini
dapat meningkatkan aktivitas siswa melalui pemecahan masalah yang
beraneka ragam, adanya interaksi dengan bekerja sama di dalam
kelompok serta terjalinnya komunikasi baik antar siswa, guru maupun
mengomunikasikan persoalan-persoalan IPA.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah dirumuskan di
atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Mendeskripsikan peningkatan aktivitas guru dalam melaksanakan
pembelajaran menggunakan Kombinasi Model Pembelajaran (Inquiry
Learning, metode Eksperimen, dan model Teams Games Tournament)
pada Siswa Kelas V SDN Kelayan Selatan 10 Banjarmasin.
2. Mendeskripsikan peningkatan aktivitas siswa pada saat mengikuti
pembelajaran menggunakan Kombinasi Model Pembelajaran (Inquiry
Learning, metode Eksperimen, dan model Teams Games Tournament)
pada Siswa Kelas V SDN Kelayan Selatan 10 Banjarmasin.
3. Menganalisis peningkatan berpikir kritis pada siswa menggunakan
Kombinasi Model Pembelajaran (Inquiry Learning, metode
Eksperimen, dan model Teams Games Tournament) pada Siswa Kelas
V SDN Kelayan Selatan 10 Banjarmasin.
4. Menganalisis peningkatan motivasi belajar pada siswa menggunakan
Kombinasi Model Pembelajaran (Inquiry Learning, metode
Eksperimen, dan model Teams Games Tournament) pada Siswa Kelas
V SDN Kelayan Selatan 10 Banjarmasin.
5. Mendeskripsikan peningkatan hasil belajar pada menggunakan
Kombinasi Model Pembelajaran (Inquiry Learning, metode
Eksperimen, dan model Teams Games Tournament) pada Siswa Kelas
V SDN Kelayan Selatan 10 Banjarmasin.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Bagi Kepala Sekolah
Dapat membimbing, sekaligus mengawasi, memberikan masukan
kepada guru dalam memilih model dan mengembangkan konten
pembelajaran IPA inovatif lainnya..
2. Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan model
pembelajaran yang inovatif untuk pembelajaran IPA dan sebagai salah
satu cara untuk mengembangkan model yang sudah ada untuk membuat
model pembelajaran.
3. Bagi Peneliti Lain
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi
dan dokumentasi yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian
selanjutnya. Sehingga selalu ada inovasi untuk lebih maju dengan
penelitian-penelitian yang dianggap relevan dan dapat membantu
penelitian-penelitian lain dengan masalah yang sama.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Karakteristik Anak Usia SD


Ada beberapa karakter anak di usia Sekolah Dasar yang perlu
diketahui para guru, agar lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya
ditingkat Sekolah Dasar. Guru harus menerapkan metode pengajaran yang
sesuai dengan keadaan siswanya maka sangatlah penting bagi seorang
pendidik untuk mengetahui karakteristik siswa dan juga harus memahami
ciri-ciri anak tersebut dalam rangka kesiapan suatu pembelajaran.
Karakteristik yang menonjol pada anak SD seperti belajar memenuhi
aturan-aturan dalam kelompok, belajar kebersamaan, belajar besaing
dengan orang lain serta belajar beradaptasi dengan lingkungan yang ada di
sekelilingnya.
Siswa kelas V berusia 10-12 tahun menurut Piaget umur ini
termasuk dalam fase operasional konkret tingkat akhir, siswa sudah mampu
berpikirnya sudah logis dan sistematis, mampu memecahkan masalah,
mampu menyusun strategi dan mampu menghubungkan. Kemampuan
komunikasinya sudah berkembang seiring perkembangan kemampuan
berpikirnya sehingga sudah mampu mengungkapkan pemikiran dalam
bentuk ungkapan kata yang logis dan sistematis.(Idayanti & Kurniawati,
2019).
Bahwa seorang pendidik harus mampu menciptakan pembelajaran
yang disesuaikan dengan perkembangannya. Kegiatan pembelajaran
disusun untuk membangkitkan keaktifan, kemandirian, dan kemampuan
berpikir yang sistematis. Siswa berada di sekolah untuk belajar bukan
berarti siswa tidak memiliki pengetahuan apapun, namun siswa sebenarnya
sudah memiliki pengalaman untuk membantunya mengkonstruksi
pengetahuannya pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu, pendidik perlu
mengkombinasikan kegiatan pembelajaran dengan berbagai metode dan
menggunakan pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangannya
sehingga mampu memberikan pemahaman yang mendalam serta
mengembangkan kemampuan berpikirnya.
B. Aktivitas Guru
Pembelajaran abad ke-21 menuntut banyak hal dari seorang guru
khususnya yang berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan. Dalam
perannya yang pertama, guru menyiapkan peserta didik untuk mampu
memiliki keterampilan abad 21. Guru merupakan salah satu komponen yang
sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran
dikelas. Guru yang menganggap mengajar hanya sebatas menyampaikan
materi pelajaran akan berbeda dengan guru yang menganggap belajar adalah
suatu proses pemberian bantuan kepada. Masing masing perbedaan tersebut
dapat mempengaruhi baik dalam penyusunan strategi atau implementasi
pembelajaran. (Suriansyah & dkk, 2014)
Pembelajaran abad ke-21 memiliki tujuan utama yakni membangun
kemampuan belajar peserta didik dan mendukung perkembangan mereka
menjadi pembelajar sepanjang hayat, aktif, mandiri. Peran penting seorang
guru abad ke-21 sebagai role model untuk kepercayaan, keterbukaan,
ketekunan dan komitmen bagi siswanya dalam menghadapi ketidakpastian
di abad ke-21. Terdapat ungkapan bahwa, buku bisa digantikan dengan
teknologi, tetapi peran guru tidak bisa digantikan, bahkan harus diperkuat.
Pada era sekarang, abad 21, guru harus mampu memanfaatkan teknologi
digital untuk mendesain pembelajaran yang kreatif. Guru yang lebih banyak
berperan sebagai fasilitator harus mampu memanfaatkan teknologi digital
yang ada untuk mendesain pembelajaran kreatif yang memampukan siswa
aktif dan berpikir kritis (Tarihoran, 2019)
Guru dapat mengarahkan pembelajaran lebih banyak pada diskusi,
memecahkan masalah, hingga melakukan proyek yang merangsang siswa
berpikir kritis kemampuan guru dalam posisi sebagai fasilitator, ini berarti
harus mengubah cara berpikir bahwa guru adalah pusat (teacher center)
menjadi siswa adalah pusat (student center) sebagaimana dituntut dalam
kurikulum 13.
Berpikir kritis sendiri menurut ahli memiliki tingkat kepentingan
yang hampir sama dengan menulis dan membaca sebagai kompetensi
akademis. Maka secara definisi, berpikir kritis ini merupakan interpretasi
serta evaluasi dalam melakukan observasi, menangkap informasi,
melakukan komunikasi serta berargumentasi secara aktif. Tentu saja hal ini
menjadi salah satu alasan mengapa penting memiliki kemampuan untuk
berpikir secara kritis.
C. Aktivitas Siswa
Menurut Bernie Trilling dan Charles Fadel (2009), dalam bukunya
berjudul 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times,
mengidentifikasi ada beberapa kecakapan yang harus dimiliki oleh generasi
abad 21 mencakup nilai dan perilaku seperti rasa keingintahuan tinggi,
kepercayaan diri, dan keberanian. Keterampilan dan kecakapan abad 21
mencakup tiga kategori utama, yaitu: Keterampilan belajar dan inovasi:
berpikir kritis dan pemecahan masalah dalam komunikasi dan kreativitas
kolaboratif dan inovatif. Keahlian literasi digital: literasi media baru dan
literasi ICT. Kecakapan hidup dan karir: memiliki kemamuan inisiatif yang
fleksibel dan inisiatif adaptif, dan kecakapan diri secara sosial dalam
interaksi antarbudaya, kecakapan kepemimpinan produktif dan akuntabel,
serta bertanggungjawab.
Dalam abad 21 menuntut karakteristik siswa yang memiliki
keterampilan belajar dan inovasi, yaitu yang berkait dengan kemampuan
berpikir kritis Terdapat beberapa penyebab mengapa siswa kurang memiliki
kemampuan bertanya, karena selama ini lebih banyak pendekatan
pembelajaran berpusat pada guru (teacher center ). Memang tidak mudah
menghilangkan kendala kultural ini, karena masih berkembangnya persepsi
bahwa guru adalah pusat sumber belajar utama, dan guru harus serba tahu
(Winahyu, 2009).
Akan tetapi dalam abad 21, pendekatan seperti itu sudah tidak cocok
lagi jika memang ingin membentuk karakteristik siswa yang memiliki
kemampuan berpikir kritis. Pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa
(student center) sebagaimana yang dianjurkan selama ini adalah suatu
keharusan. Murid harus dipandang sebagai subyek aktif yang memiliki daya
seleksi dan daya interpretasi, serta daya kreasi tinggi terhadap topik apa
yang diangkat dalam suatu proses pembelajaran. Oleh karena itu penerapan
model pembelajaran konstruktivistik seperti pembelajaran kooperatif,
metode diskusi, curah pendapat, dan debat perlu diintensifkan, sehingga
melatih siswa memiliki kemampuan bertanya dan tidak takut bertanya
dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan
masalah.
Berbagai karakteristik yang dituntut dalam era digital, yang
semuanya memang harus dilandasi oleh sikap keingintahuan tinggi dan
kehendak untuk maju dan progresif. Di atas itu semua, dalam era digital
dalam masyarakat jejaring sekarang ini adalah kemampuan belajar mandiri.
Jika sudah memiliki kemampuan belajar mandiri, maka pemanfaatan
fasilitas belajar berbasis web yang bersifat serba digital.
D. Keterampilan Berpikir Kritis
Sehubungan dengan perkembangan jaman yang semakin maju
tersebut, menuntuk setiap siswa untuk mampu berpikir kritis menghadapi
perubahan yang terjadi. Berpikir kritis bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan dasar yang mengembangkan Latihan dan aktivitas
pembelajaran awal yang menarik, mengajar dengan metode pembelajaran
yang beragam, tergantung pada situasi pendidikan actual dan tahap
pengembangan berpikir kritis (Florea & Hurjui, 2015).
1. Pengertian Keterampilan Berpikir Kritis
Berpikir kritis merupakan keterampilan dalam menggunakan nalar
dimana sebuah proses menganalisa, mencerna, dan mengevaluasi informasi
baik itu dari pengamatan maupun pengalaman yang hasilnya akan diyakini
sebagai dasar sebuah tindakan. Keterampilan berpikir kritis yang
diharapkan dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat (Noorhapizah,
Nur’alim, Agusta, & Fauzi, 2019) bahwa meningkatnya keterampilan
berpikir kritis siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pusat
pembelajaran berada pada siswa. Pembelajaran yang berpusat kepada siswa
akan menuntut siswa mandiri untuk membangun pengetahuannya sendiri
berdasarkan pengalaman yang didapatkan.
Sedangkan menurut pendapat Lilis (2019: 8) dalam (Aini, Surya, &
Pebriana, 2020) berpikir kritis adalah sebuah proses intelektual dengan
melakukan pembuatan konsep, penerapan, melakukan sintesis dan atau
mengevaluasi informasi yang diperoleh dari observasi, pengalaman,
refleksi, pemikiran, atau komunikasi sebagai dasar untuk meyakini dan
melakukan suatu tindakan. Demi mewujudkannya keterampilan berpikir
kritis siswa dilakukan usaha dengan menggunakan kombinasi model
pembelajaran.
2. Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPA
Proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dirancang untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang kritis, peka terhadap lingkungan,
serta mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan dalam kehidupan
seharihari. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembelajaran IPA yang dapat
memfasilitasi siswa agar mampu berpikir kritis, berdaya nalar tinggi, serta
berpikir inovatif dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan yang
terjadi Konsep Keterlibatan Siswa (Iskandar & Kusmayanti, 2018)
Keterlibatan siswa dalam belajar meningkat ketika siswa mampu
mengomunikasikan pemahaman mereka kepada siswa lainnya melalui
kegiatan kelompok melalui diskusi (Yackel, Cobb & Wood, 1991: 394).
Keterlibatan siswa dalam pendidikan dapat berupa tingkat perhatian,
keingintahu, minat, optimisme, dan semangat yang ditunjukkan siswa
ketika mereka sedang belajar (Yuhaniz, Samsudin, Ismail, & Mohd Zaki,
2018).
Sehingga keterlibatan akan muncul ketika siswa ikut berpartisipasi
dalam proses belajar mengajar. Kenyataan menunjukkan bahwa keterlibatan
dan respon siswa terhadap soal - soal komunikasi matematis masih rendah,
disebabkan karena bentuk soal tersebut belum pernah dipelajari sehingga
siswa sulit untuk menyelesaikan soal tersebut (Purniati, 2003: 3).
(Ramadhani, Johar, & Ansari, 2021)
Keterlibatan dalam proses belajar mengajar sebelumnya, para murid
diharuskan tunduk dan patuh pada peraturan dan prosedur yang kaku justru
membatasi keterampilan berpikir kreatif. Dalam belajar, anak-anak lebih
banyak disuruh menghapal ketimbang mengeksplorasi, bertanya atau
bereksperimen (Torres, 2017). Keterlibatan siswa dalam belajar, membuat
anak secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan mengambil
keputusan. Namun pembelajaran saat ini pun masih ada yang menggunakan
metode belajar dimana siswa menjadi pasif seperti pemberian tugas, dan
guru mengajar secara monolog, sehingga cenderung membosankan dan
menghambat perkembangan aktivitas siswa.
Salah satu alasan kenapa keterlibatan siswa di sekolah harus menjadi
perhatian adalah karena keterlibatan merupakan faktor penting dari
keberhasilan proses belajar dan akademik siswa di sekolah (Wang &
Holcombe, 2010; Fredricks, Filsecker & Lawson, 2016). Keberhasilan
belajar siswa di sekolah tidak hanya menitikberatkan pada aspek prestasi
belajar tetapi juga pada aspek pembentukan karakter dan kebahagiaan
mereka ketika berada disekolah (Fikrie & Ariani, 2019)
E. Motivasi Belajar
Motivasi belajar adalah dorongan yang ada dalam diri siswa untuk
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan proses belajar mengajar
yang dilakukan baik dalam teori untuk untuk memperoleh keterampilan
(skill) dengan kekuatan dan arahan perilaku. Motivasi belajar menurut
Sardiman (2018:75) adalah “Keseluruhan daya penggerak didalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan
dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga
tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai”
Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat
atau keinginan berhasil, dorongan kebutuhan belajar, dan harapan akan cita-
cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan,
lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik.
Kedua faktor tersebut disebabkan oleh rangsangan tertentu, sehingga dan
semangat. Contoh konkret motivasi intrinsik adalah siswa benar-benar
belajar karena ingin mendapatkan pengetahuan, sedangkan contoh konkret
motivasi ekstrinsik adalah siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran di
kelas karena guru menggunakan metode pembelajaran yang menyenangkan
(Hamzah, 2017; Sardiman, 2016)
Kesimpulannya yaitu motivasi belajar adalah kesanggupan untuk
melakukan kegiatan belajar karena didorong oleh keinginannya untuk
memenuhi kebutuhan dari dalam dirinya ataupun yang datang dari luar.
Kegiatan itu dilakukan dengan kesungguhan hati dan terus menerus dalam
rangka mencapai tujuan.
F. Hasil Belajar yang Diharapkan
a. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah
melakukan kegiatan belajar yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang dapat dinyatakan dengan simbol-simbol, angka,
huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan kualitas kegiatan
individu dalam proses tertentu. Hasil belajar seseorang dapat ditunjuk
kan dengan perubahan tingkah laku yang ditampilkan dan dapat diamati
antara sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan belajar.
(Nurdyansah, 2018)
Hasil belajar adalah hasil yang diberikan kepada siswa berupa
penilaian setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menilai
pengetahuan, sikap, ketrampilan pada diri siswa dengan adanya
perubahan tingkah laku (Nurrita, 2018). Sedangkan menurut Gagne dan
Briggs, hasil belajar adalah kemampuan seseorang setelah mengikuti
proses pembelajaran tertentu. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom,
hasil belajar dicapai melalui tiga kategori ranah yaitu ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif terdiri dari enam aspek yaitu
ranah ingatan (C1), ranah pemahaman (C2), ranah penerapan (C3),
ranah analisis (C4), Sintesis (C5) dan ranah penilaian (C6).
Jadi hasil belajar adalah merupakan penilaian hasil-hasil kegiatan
belajar pada diri siswa setelah melakukan proses kegiatan belajar
Penilaian hasil belajar mengisyaratkan hasil belajar sebagai program
atau objek yang
menjadi sasaran penelitian. Hasil belajar sebagai objek penilaian pada
hakikatnya menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan
instruksional
b. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah menerima pengalaman belajarnya. Menurut (Oktaviana &
Prihatin, 2018) membagi hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu:
1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual. terdiri
dari: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension),
aplikasi atau penggunaan prinsip atau metode pada situasi yang
baru, analisis, sintesis dan evaluasi.
2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap, terdiri dari menerima atau
memperhatikan, merespons, penghargaan, mengorganisasikan dan
mempribadi.
3. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan keterampilan dan
kemampuan bertindak, terdiri dari: menirukan, manipulasi,
keseksamaan (precision), artikulasi (articulation) dan naturalisasi.
Oleh karena itu, guru harus mampu menyiapkan siswa secara
kognitif, afektif dan psikomotorik melalui perencanaan pembelajaran
yang matang serta selalu melakukan inovasi. Dengan demikian hasil
belajar adalah perubahan yang terjadi pada individu setelah mengalami
pembelajaran. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yakni gerakan
refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perceptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan
gerakan ekspresif dan interpretatif. Pada penelitian ini yang diukur
adalah ranah kognitif saja karena berkaitan dengan kemampuan para
siswa dalam menguasai materi pelajaran.
G. Konsep Mata Pelajaran atau Muatan Ilmu Pengetahuan Alam
1. Pengertian IPA
Pembelajaran sains di sekolah dasar dikenal dengan pembelajaran
ilmu pengetahuan alam (IPA). Konsep IPA di sekolah dasar merupakan
konsep yang masih terpadu, karena belum dipisahkan secara tersendiri,
seperti mata pelajaran kimia, biologi, dan fisika. IPA diartikan sebagai
usaha manusia memahami alam semesta melalui pengamatan, serta
menggunakan prosedur, dan dijelaskan dengan penalaran sehingga
mendapatkan suatu kesimpulan (Prananda, 2019)
2. Tujuan Pembelajaran IPA
Sesuai dari tujuan IPA, maka peran guru diharapkan mampu
menciptakan pembelajaran yang dapat menumbuhkan siswa yang
mampu berpikir lebih cermat dan berargumen secara benar. Guru juga
harus mampu membiasakan siswa mengembangkan potensi berpikirnya
ini penting ditekankan guru, mengingat pembelajaran IPA mengaitkan
antara konsep pengetahuan dan kehidupan nyata menggunakan model
pembelajaran yang sesuai (Tri Pudji Astuti, 2019)
Pembelajaran IPA tidak hanya mengajarkan penguasaan fakta, konsep
dan prinsip tentang alam tetapi juga mengajarkan metode memecahkan
masalah, melatih kemampuan berpikir kritis dan mengambil kesimpulan
melatih bersikap objektif, bekerja sama dan menghargai pendapat orang
lain.
3. Keterampilan IPA
Keterampilan proses IPA yang diberikan kepada anak usia SD harus
dimodifikasi dan disederhanakan sesuai tahap perkembangan
kognitifnya. Keterampilan proses IPA yang harus dikembangkan
meliputi: (1) observasi, (2) klasifikasi, (3) interpretasi, (4) prediksi, (5)
hipotesis, (6) mengendalikan variabel, (7) merencanakan dan
melaksanakan penelitian, (8) inferensi, (9) aplikasi, dan (10)
komunikasi (Hendro Darmodjo dan Kaligis, 2006: 11).
Aspek penting yang harus diperhatikan guru dalam pelaksanaan
pembelajaran IPA di SD adalah melibatkan siswa secara aktif dalam
pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya.
Pembelajaran IPA dimulai dengan memperhatikan
konsepsi/pengetahuan awal siswa yang relevan dengan apa yang akan
dipelajari. Melalui kegiatan nyata dengan alam inilah, siswa dapat
mengembangkan keterampilan proses dan sikap ilmiah seperti
mengamati, mencoba, menyimpulkan hasil kegiatan dan
mengkomunikasikan kesimpulan kegiatannya.
Kegiatan pembelajaran IPA juga dirancang sebanyak mungkin
memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya, dan siswa juga
diberi kesempatan untuk menjelaskan suatu masalah berdasarkan
pemikirannya. Dalam penelitian ini materi yang akan digunakan adalah
materi IPA kelas V semester II yaitu materi perubahan wujud benda.
H. Kombinasi Model Pembelajaran
Model pembelajaran ini sangat efektif dalam upaya peningkatan
kualitas kegiatan belajar mengajar, karena pada kegiatan pembelajaran
siswa dituntut untuk berperan aktif dalam pembelajaran serta diharapkan
menggunakan kemampuan berpikir tingkat tinggi, mengasah kekompakan
dan kerja sama dalam sebuah kelompok.
Penggunaan model pembelajaran sangatlah penting sebagai
penerapan proses belajar. Dengan adanya model pembelajaran proses
belajar mengajar bagi siswa akan lebih mudah dan menarik. Model
pembelajaran memiliki langkah- langkah atau tahapan untuk pelaksanaan
pembelajaran. Sedangkan untuk guru atau pendidik model pembelajaran
juga memiliki manfaat bagi penerapan proses pelaksanaan pembelajaran
yang pas untuk materi pembelajaran yang akan disampaikannya kepada
siswa.(Kharis, 2019)
1. Inquiry Learning
Model pembelajaran inquiry sebagai rangkaian kegiatan belajar
yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk
mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis,
sehingga siswa dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan
percaya diri. Sehingga model inquiry adalah model pembelajaran yang
berorientasi pada proses meliputi kegiatan-kegiatan mengobservasi,
merumuskan pertanyaan yang relevan, mengevaluasi buku dan sumber
informasi lain secara kritis, merencanakan penyelidikan atau
investigasi, mereview apa yang telah diketahui, melaksanakan
percobaan atau eksperimen dengan menggunakan alat untuk
memperoleh data, menganalisis dan menginterpretasi data, serta
membuat prediksi dan mengkomunikasikan hasilnya (Kencana Sari et
al., 2019).
Sejalan dengan Trianto (2007:135) dalam (Wulandari, 2016) model
pembelajaran inkuiri merupakan suatu rangkaian belajar yang
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari
dan menyelidiki secara kritis sehingga mereka dapat merumuskan
sendiri penemuan dengan penuh percaya diri. Dalam pembelajaran di
Sekolah Dasar seorang guru bertugas untuk membimbing para siswa
dalam pembelajaran.
Karakteristik dari model pembelajaran inkuiri yaitu dapat
menekankan kepada proses mencari dan menemukan, pengetahuan telah
di ciptakan oleh peserta didik melalui proses pencarian, peran guru yaitu
sebagai fasilitator dan pembimbing peserta didik dalam proses belajar,
dan dapat menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk
merumuskan kesimpulan. Sehingga model pembelajaran inquiry
merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa secara penuh
dalam proses pembelajaran, dapat menyelidiki permasalahan yang ada
dan menemukan sendiri solusi dari masalah tersebut (Ulandari, Putri,
Ningsih, & Putra, 2019).
Langkah-Langkah dalam Model Pembelajaran Inquiry Learning:
Selama melaksanakan pembelajaran berbasis Inquiry Learning, guru
dapat menerapkan langkah-langkah berikut sebagai bentuk model
pembelajaran yang disebut model pembelajaran Inquiry Learning.
(Susilowati & Wahyudi, 2020)
1. Orientasi terhadap Masalah
2. Merumuskan Masalah
3. Mengajukan Hipotesis
4. Mengumpulkan Informasi (Data)
5. Menguji Hipotesis
6. Menyimpulkan
Kelebihan dan Kekurangan model pembelajaran Inquiry Learning
Menurut Al-Tabany (2014: 82) dalam (Kencana Sari et al., 2019), model
Inquiry Learning masalah memiliki kelebihan dan kekurangan yaitu:
a. Kelebihan Model Pembelajaran Inquiry Learning yaitu :
1) Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang menekankan
kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor
secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui pembelajaran
ini dianggap jauh lebih bermakna.
2) Pembelajaran ini dapat memberikan ruang kepada siswa untuk
belajar sesuai dengan gaya mereka.
3) Pembelajaran ini merupakan strategi yang dianggap sesuai
dengan perkembangan psikologi belajar moderen yang
menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku
berkat adanya pengalaman.
4) Keuntungan lain yaitu dapat melayani kebutuhan siswa yang
memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang
memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh
siswa yang lemah dalam belajar.
b. Kekurangan Model Pembelajaran Inquiry Learning yaitu :
1) Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa
2) Sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur
dengan kebiasaan siswa dalam belajar.
3) Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya memerlukan
waktu yang panjang sehingga sering guru sulit
menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan
4) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan
siswa menguasai materi pelajaran, maka startegi ini tampaknya
akan sulit di implementasikan.

2. Metode Eksperimen
Metode eksperimen adalah siswa melakukan suatu percobaan
tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil
percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas
dan dievaluasi oleh guru, eksperimen merupakan keterampilan yang
banyak dihubungkan dengan sains ilmu pengetahuan (Khaeriyah,
Saripudin, & Kartiyawati, 2018).
Dalam eksperimen atau percobaan dapat dikatakan bagaimana
mereka dapat mengetahui cara atau proses terjadinya sesuatu dan
mengapa sesuatu dapat terjadi serta bagaimana mereka dapat
menemukan solusi terhadap permasalahan yang ada dan pada
akhirnya mereka dapat membuat sesuatu yang bermanfaat dan
kegiatan tersebut Tujuan utama adalah supaya siswa mampu
mencapai dan menemukan sendiri jawaban atas masalah yang
diberikan. Siswa juga terlatih cara berpikir yang ilmiah (scientific
thinking). Siswa akan menemukan bukti kebenaran dari teori yang
sedang dipelajari.
Kelebihan Metode Eksprimen:
Menurut Mulyani (2015:47) dalam (Zakiya, Amin, & Lovisia, 2019)
a) Kelebihan Metode Eksperimen
1. Membuat siswa percaya atas kesimpulan yang sesuai dengan
hasil eksperimennya. Mereka dapat membuat kesimpulan
sendiri, namun maknanya sama dengan yang sebenarnya.
2. Membina siswa untuk membuat terobosan baru dengan
penemuan dari eksperimennya dan menjadi manfaat bagi
sesama. Karena metode pembelajaran ini menyenangkan, tak
menutup kemungkinan siswa melakukan percobaan atau
eksperimennya sendiri di rumah, tanpa harus diberi tugas
terlebih dahulu.
3. Hasil dari percobaan siswa dapat dimanfaatkan untuk sekolah
dan masyarakat.
4. Melatih ketelitian dan keuletan siswa ketika melakukan
eksperimen.
b) Kekurangan Metode Eksperimen
1. Metode ini lebih sesuai dengan pelajaran berdasar ilmu sains
dan teknologi.
2. Memerlukan fasilitas peralatan dan bahan yang tidak selalu
mudah diperoleh dan terkadang harganya cukup mahal.
3. Menguji kesabaran guru dan siswa.
4. Eksperimen tidak selalu menghasilkan hasil yang diharapkan.
Bisa jadi ada faktor-faktor tertentu di luar jangkauan
kemampuan yang tidak sesuai.

3. Model TGT
Model pembelajaran TGT adalah salah satu tipe atau model
pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan
aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan
peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan
dan reinforcement.
Dalam TGT siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok
kecil yang terdiri tiga sampai lima siswa yang heterogeny, baik
dalam prestasi akademik, jenis kelamin, ras, maupun etnis. Dalam
TGT digunakan turnamen akademik, di mana siswa aberkompetisi
sebagai wakil dari timnya melawan anggota tim yang lain yang
mencapai hasil atau prestasi serupa pada waktu yang lalu.
Komponen-komponen TGT adalah penyajian materi, tim, game,
turnamen, dan penghargaan kelompok.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam
pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat
belajar lebih rileks di samping menumbuhkan tanggung jawab, kerja
sama, persaingan sehat, dan keterlibatan belajar.
Ada lima komponen utama dalam komponen utama dalam TGT.
a. Penyajian Kelas
b. Kelompok (teams)
c. Game
d. Turnament
e. Team Recognize (penghargaan kelompok)
Langkah-Langkah dalam Model Pembelajaran TGT:
a. Penyajian kelas, pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi
biasanya dilakukan dengan ceramah, diskusi yang dipimpin langsung
oleh guru.
b. Belajar dalam Kelompok (teams), kelompok biasanya terdiri dari 4
sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogeny dilihat dari prestasi
akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik.
c. Permainan (Game), terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang
untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan
belajar kelompok.
d. Pertandingan atau Lomba (Turnament), biasanya tournament dilakukan
pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan
presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja.
e. Penghargaan Kelompok (Team Recognize), guru kemudian
mengumumkan kelompok yang menang, tim atau kelompok mendapat
sertifikat atau hadiah.

Kelebihan dalam Model Pembelajaran TGT:


a. Model TGT tidak hanya membuat peserta didik yang cerdas lebih
menonjol dalam pembelajaran, tetapi peserta didik yang berkemampuan
akademi lebih rendah juga ikut aktif dan mempunyai peranan penting
dalam kelompoknya.
b. Dengan model pembelajaran, akan menumbuhkan rasa kebersamaan
dan saling menghargai sesama anggota kelompoknya.
c. Dengan model pembelajaran ini, membuat peserta didik lebih
bersemnagat dalam mengikuti pembelajaran, karena guru menjanjikkan
sebuah penghargaan.
d. Kegiatan menyenangkan karena berupa turnamen dalam model ini.

Kekurangan dalam Model Pembelajaran TGT:


a. Membutuhkan waktu yang lama
b. Guru dituntut untuk pandai memilih materi pelajaran yang cocok untuk
model ini.
c. Guru harus mempersipakan model ini dnegan baik sebelum diterapkan.
I. Penelitian Relevan
Retnowati, (2020) dengan penelitian yang berjudul “Implementasi
model pembelajaran kooperatif tipe TGT terhadap kemampuan berpikir
kritis peserta didik kelas V SD Negeri 2 Karang Endah Kecamatan SS III
Kabupaten Oku Timur” di dapatkan hasil penelitian bahwa hasil
perhitungan variable model pembelajaran think pair share yaitu 11.00,
minimum 42.00, maximal 53.00, mean 47.0000. maka dapat disumpulkan
bahwa model pembelajaran kooperatif tipe think pair share efektif di
gunakan pada saat proses belajar mengajar dengan kategori sedang sebesar
72,2%.
I. S. Nasution, (2018) dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VI Di Sd
Muhammadiyah 12 Medan” didapatkan hasil penelitian bahwa peningkatan
kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa dapat dilihat dari hasil
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa strategi pembelajaran
kooperatif tipe think pair share diperoleh rata – rata nilai kemampuan
berpikir kritis siswa sebesar 76,792. Dan rata – rata nilai hasil belajar siswa
dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe think pair share sebesar
80,625.
Sochibin, Dwijananti, & Marwoto, (2009) dengan penelitian yang
berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terpimpin Untuk
Peningkatan Pemahaman Dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SD”
didapatkan hasil penelitian bahwa peningkatan keterampilan berpikir kritis
siswa dapat dilihat dari hasil belajar siswa, pada pembelajaran tersebut
siklus I memiliki presentase nilai rata-rata sebesar 59,09% dan siklus II
memiliki presentase nilai rata-rata sebesar 71,02%. Sehingga pada siklus I
dan siklus II mengalami peningkatan.
Rante, (2013) dengan penelitian yang berjudul “Peningkatan Hasil
Belajar Siswa Tentang Perubahan Wujud Benda Melalui Model
Pembelajaran Inkuiri di Kelas IV SD Kristen 2 Makale Kabupaten Tana
Toraja” di dapatkan hasil penelitian bahwa peningkatan keterampilan hasil
belajar siswa dapat dilihat dari Siklus I nilai rata-rata kelas 58,16% dan pada
Siklus II nilai rata-rata kelas 69,16%. Sehingga dapat di lihat pada siklus I
dan siklus II mengalami peningkatan.
Efendi & Wardana, (2021) dengan penelitian yang berjudul
“Komparasi Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Inquiry
Learning Ditinjau dari Keterampilan Berfikir Kritis Siswa pada Mata
Pelajaran IPA di Sekolah Dasar” di dapatkan hasil penelitian bahwa rata -
rata peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan model
pembelajaran Inquiry Learning adalah terendah 19,23% dengan persentase
tertinggi sebesar 39,5%, dan rata - rata terendah sebesar 7,91%
Nuryasana, (2019) dengan penelitian yang berjudul “Keefektifan
Model Pembelajaran TGT dan Model Pembelajaran Inkuiri terhadap hasil
belajar IPA siswa kelas V Sekolah Dasar” didapatkan hasil penelitian bahwa
peningkatan hasil belajar siswa dapat dilihat dari hasil belajar materi
perubahan wujud benda kelas V, sehingga model TPS lebih efektif daripada
Inkuiri untuk digunakan. Pada pembelajaran tersebut prasiklus, siklus I dan
Siklus II mengalami peningkatan, dengan rata – rata partisipasi siswa dari
rata- rata 61,17 menjadi rata-rata 81,85.
Masyuni & Asyhari, (2019) dengan penelitian yang berjudul
“Implementasi Pendekatan Konflik Kognitif Berbasis Metode Eksperimen
Terhadap Penguasaan Konsep Dan Kemampuan Berpikir Kritis” di
dapatkan hasil penelitian bahwa peningkatan hasil belajar kognitif dan
memiliki kualifikasi dengan nilai rata – rata kemampuan berpikir kritis
77,33 dan penguasaan konsep 77,66.
Anwar, Yusrizal, & Jalil, (2017) dengan penelitian yang berjudul
“Implementasi Strategi Problem Solving Dengan Menggunakan Metode
Eksperimen Untuk Meningkatkan Minat Dan Ketrampilan Berpikir Kritis
Siswa Di Man Gandapura Pada Materi Gerak Harmonik” di dapatkan hasil
penelitian bahwa Indikator pertama yaitu menginvestigasi dengan nilai rata
- rata 73,91, indikator kedua yaitu mengdentifikasi pertanyaan 77,17,
indikator ketiga mengajukan kesimpulan 69,56 dan indikator keempat
mengidentifikasi alasan 82,60. Sehingga pada kelas eksperimen mengalami
peningkatan pada semua.
J. Kerangka Berpikir

Harapan Kondisi Empirik


1. Siswa mampu aktif 1. Siswa belum mampu
dalam pembelajaran aktif dalam
2. Pembelajaran pembelajaran
berpusat pada siswa 2. Pembelajaran satu
3. Siswa dapat arah
melakukan 3. Proses pembelajaran
pembelajaran dengan belum mampu
daya berfikir ilmiah. menyajikan kegiatan
4. Memiliki motivasi belajar secara ilmiah.
belajar yang tinggi 4. Belum muncul rasa
motivasi belajar siswa

Permasalahan
Rendahnya kemampuan berpikir kritis
siswa dan motivasi belajar siswa

Dampak : Penyebab :
1. Siswa merasa bosan 1. Pembelajaran monoton
2. Siswa menjalani 2. Belum mampu siswa
pembelajaran secara dalam belajar secara
pasif ilmiah
3. Siswa kurang mampu 3. Dorongan yang belum
berfikir secara ilmiah muncul dalam
pembelajaran

Menggunakan Kombinasi Model


Pembelajaran
( Inkuiri, Eksperimen dan Teams
Games Tournament

Hasil
Jika penerapan pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam materi tema perubahan
Tidak
Berhasil pada benda diterapkan melalui kombinasi
model pembelajaran (Inkuiri, Eksperimen, dan Berhasil
Teams Games Tournament ) maka
kemampuan berpikir kritis siswa dan motivasi
belajar siswa akan meningkat.
K. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir yang diuraikan diatas, maka hipotesis dalam
penelitian tindakan kelas ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Jika proses pembelajaran menggunakan kombinasi model
pembelajaran (Inquiry Learning, metode Eksperimen, dan model
Teams Games Tournament), maka keterampilan berpikir kritis siswa
akan meningkat.
2. Jika proses pembelajaran menggunakan kombinasi model
pembelajaran (Inquiry Learning, metode Eksperimen, dan model
Teams Games Tournament), maka motivasi belajar siswa akan
meningkat.

Anda mungkin juga menyukai