Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“ Pengantar Pendidikan Inklusif”


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Pendidikan Inklusi”
Dosen Pengampu : M. Dani Wahyudi, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 1
Kelas : 5B PGSD

Diny Syafira Yulianti 1910125110022


Assa’adah Napisah 1910125120052
Mukhlis Muntaha Al Munawar 1910125110021
Nisa Khaira Ummatin 1910125320017
Puteri Ade Utami 1910125220017

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
BANJARMASIN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
memberikan nikmat dan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kami
mampu menyelesaikan laporan ini yang berjudul ” Pengantar Pendidikan
Inklusif ” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Pada kesempatan ini kami juga tidak lupa untuk mengucapkan terima
kasih kepada Bapak M. Dani Wahyudi, S.Pd.I., M.Pd. selaku dosen mata
kuliah Pendidikan Inklusi yang telah memberi kesempatan kami belajar
dalam pembuatan makalah ini.
Harapan kami semoga laporan ini dapat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi laporan ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.
Laporan ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman
yang kami miliki masih kurang. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa ada saran yang membangun.

Minggu, 22 Agustus 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................……………………………………………………………..…1
B. Tujuan.............................................................................................................................................2
C. Manfaat...........................................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4
A. Filosofi Pendidikan Inklusif.........................................................................................................4
B. Definisi Inklusif.............................................................................................................................6
C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif..........................................................................................16
D. Sejarah Pendidikan Inklusif.......................................................................................................18
E. Perkembangan Pendidikan Inklusif Di Dunia..........................................................................19
F. Perkembangan Pendidikan Inklusif Di Indonesia....................................................................20
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................21

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, praktik penyelenggaraan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus sejak 1901 telah diselenggarakan oleh Lembaga-
lembaga Sosial Masyarakat (LSM) maupun kelompok-kelompok
keagamaan. Pemerintah (Depdikbud) baru mulai mengambil peran
secara nyata sekitar tahun 1980-an dalam bentuk pendirian sekolah
dasar luar biasa (SDLB), di mana anak-anak berkebutuhan khusus
dididik bersama dalam satu sekolah, namun mereka masih terpisah
dengan anak-anak normal (segregasi). Filosofi yang melandasi, bahwa
mereka memiliki kelainan (exceptional), maka harus diberikan layanan
khusus secara terpisah pula. Kedua jenis sekolah tersebut (SLB dan
SDLB) disorot masih bernuansa diskriminatif.
Pada pertengahan 1980-an, Yayasan Helen Keller Internasional
(HKI) mensponsori berdirinya sekolah terpadu (mainstreaming)
terutama bagi anak tunanetra, bekerja sama dengan pemerintah. Filosofi
yang melandasi adalah mendekatkan anak cacat dengan dunia nyata,
yaitu masyarakat secara luas. Program sekolah terpadu ini mendapat
dukungan kuat dari pemerintah, namun masih kurang memperhatikan
aspek budaya setempat, dan lebih mengutamakan ide pencetus dan
sponsornya (HKI). Dalam perjalanannya, program ini tidak dapat
berkembang sebagaimana yang diharapkan atau dengan kata lain
kurang populer, sekalipun dalam beberapa aspek telah mendapatkan
penyesuaian. Sekalipun program tersebut tidak dapat berjalan seperti
yang diharapkan, tetapi telah tercatat sebagai tonggak diintegrasikannya
anak berkebutuhan khusus pada sekolah reguler. Perubahan mendasar
dalam dunia pendidikan luar biasa dalam skala internasional secara
radikal terjadi pada awal 90-an, dengan lahirnya paradigma inklusi

1
yang sarat dengan muatan humanistik dan penegakan hak-hak asasi
manusia (HAM). Core dalam paradigma inklusi adalah pemberian
layanan pendidikan dalam keragaman. Meijer, dkk (1997) menyatakan,
bahwa pendidikan inklusif itu penekanannya terletak pada suatu sistem
pendidikan yang mampu menampung seluas mungkin masyarakat yang
beragam dan dengan memberikan layanan pendidikan yang berbeda
pula.
Balitbang Depdiknas telah mengadakan kajian penerapan model
pendidikan inklusif di Gunung Kidul, Yogyakarta, dengan menerapkan
konsep-konsep dasar pendidikan inklusif. Hasil uji coba tersebut
selanjutnya oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa Departemen
Pendidikan Nasional digunakan sebagai model pengembangan
pendidikan inklusif di Indonesia (Workshop PGPLB Dikti, Mei 2002).
Tindakan nyata direkto rat PLB, Dirjen Dikdasmen Depdiknas (2001-
2002) tentang pendidikan inklusif telah masuk dalam agenda
tahunannya, dalam bentuk penyiapan dan pengkajian. Reaksi terhadap
sistem pendidikan inklusif seperti tertuang di atas, menunjukkan adanya
komitmen kuat dari masyarakat yang dimotori dari kalangan LSM dan
disambut positif dari pemerintah untuk segera melaksanakan program
pendi - dikan inklusi, sebagaimana dinyatakan dalam kebijakan
Direktorat PLB (2001), “upaya pendidikan harus diwujudkan di
Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana filosofi inklusif ?
2. Apa defenisi inklusif ?
3. Bagaimana konsep dasar pendidikan inklusif ?
4. Bagaimana sejarah pendidikan inklusif ?
5. Bagimana perkembangan pendidikan inklusif di dunia ?
6. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di indonesia ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui filosofi inklusif.

2
2. Mengetahu definisi inklusif.
3. Mengetahui konsep dasar pendidikan inklusif.
4. Mengethaui sejarah pendidikan inklusif.
5. Mengetahui perkembangan pendidikan inklusif di dunia.
6. Mengetahui perkembangan pendidikan inklusif di indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. FILOSOFI PENDIDIKAN INKLUSI


Filosofi pendidikan inklusif mencerminkan paham tentang nilai-
nilai filosofis yang termanifestasi dalam bingkai keberagaman dan
kesetaraan antarsesama. Dalam praktiknya, filosofi pendidikan inklusif
berupaya memperjuangkan anak berkebutuhan khusus mendapatkan
akses yang lebih besar dan mempunyai kesempatan sama dalam
mendapatkan pelayanan pendidikan secara optimal. Pendidikan inklusif
sebaiknya dipakai bergantian dengan istiah “mainstreaming" yang
berarti penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak
berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan individual. Kebutuhan
individu dari anak berkebutuan khusus merupakan unsur penting di
dalam memberdayakan hidup mereka agar tidak selalu terbelakang di
dalam kehidupan mereka.
Pendidikan inklusif adalah filosofi pendidikan yang berkaitan
secara langsung dengan hubungan sosial antara sesama dalam inklusif
upaya membangun kebersamaan tanpa memandang latar belakang
kehidupan maupun status sosialnya. Mereka yang percaya konsep
pendidikan inklusif meyakini semua orang merupakan bagian berharga
dalam kebersamaan masyarakat, apa pun perbedaan mereka. Perbedaan
dalam kebersamaan merupakan bagian dari fakta sejarah yang harus
dihargai demi menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ini berarti semua
anak, terlepas dari kemampuan dan ketidakmampuan, latar belakang
sosial ekonomi, suku, budaya, bahasa, agama, atau gender, menyatu di
dalam komunitas sekolah yang sama. Semua perbedaan tersebut
menyatu dalam satu kebersamaan dan kesatuan yang terbingkai dalam
filosofi pendidikan untuk semua. Sebagai cerminan inklusivitas dalam
menghargai perbedaan dan keterbatasan, pendidikan Indonesia harus
menciptakan kesetaraan dan keadilan bagi siapa saja yang dianggap

4
tidak normal atau berkebutuhan khusus. Kehadiran pendidikan inklusif
ini ini merupakan perkembangan terkini model pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus, seperti anak tunanetra, tunadaksa, tunagrahita,
tunarungu dan tunalaras. Secara formal ditegaskan dalam Pernyataan
Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan
bulan Juli 1994 bahwa prinsip mendasar pendidikab inklusif ialah
semua anak seharusnya belajar tanpa memandang perbedaan yang ada
pada mereka.
Pada waktu itu, muncul sekolah inklusif yang menampung anak
berkebutuhan khusus dalam pendidikan formal tanpa pengecualian.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan sekolah inklusif adalah
sekolah yang menampung semua siswa pada kelas yang sama. Sekolah
inklusif menyediakan program pendidikan yang menantang dan layak,
tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan siswa maupun bantuan
dan dukungan yang bisa diberikan guru agar anak berkebutuhan khusus
berhasil. Sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak bisa
diterima, menjadi bagian dari kelas, dan saling membantu dengan guru
dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi. Sekolah inklusif dimulai dengan filosofi
bahwa semua anak dapat belajar dan tergabung dalam sekolah dan
kehidupan masyarakat umum. Filosofi pendidikan inklusif ini sejalan
dengan tujuan awal yang hendak dicapai untuk memberdayakan setiap
anak yang memiliki keterbatasan.
Akan tetapi, sayangnya sistem pendidikan Indonesia belum
mengakomodasi keberagaman sehingga mendorong munculnya
segmentasi lembaga pendidikan yang didasarkan pada perbedaan etnis,
bahkan perbedaan kemampuan, baik fisik maupun mental yang dimiliki
siswa. Munculnya lembaga pendidikan akan membuat anak
berkebutuhan khusus makin tersudutkan dan tidak dapat membuat
psikologisnya rapuh. Melalui keberadaan pendidikan inklusif, nasib dan
masa depan anak berkebutuhan khusus mulai pulih kembali seiring

5
kepedulian dan perhatian pemerintah dalam memberikan akses lebih
besar.
Di samping itu, lembaga pendidikan tidak hanya ditunjukkan
bagi anak yang mempunyai kelengkapan fisik tetapi juga kepada anak
yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka dianggap sosok tidak
berdaya sehingga dikasihani. Demi mengayomi semua anak di
Indonesia, pendidikan harus sejalan dengan cita-cita luhur bangsa untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan inklusif merupakan
strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif
karena menciptakan sekolah yang responsive terhadap beragam
kebutuhan actual anak dan masyarakatnya sehingga pendidikan inklusif
menjamin akses dan kualitas mereka.

B. Pengertian Pendidikan Inklusif


Definisi tentang pendidikan inklusif dalam beberapa literatur
sering ditemukan secara beragam walau pada akhirnya memiliki
maksud yang sama, para ahli memiliki bahasa yang berbeda walau
tujuannya sama. Secara etimologis kata inklusif berasal dari kata
include yang berarti menjadi bagian dari sesuatu (being a part of
something), menyatu dalam kesatuan (being embraced into the whole).
Lawan katanya adalah exclude yang berarti to keep out, to bar, or to
expel. Menurut Borton (2002) bahwa pendidikan inklusif adalah a
means to an end atau cara sebuah cara untuk mencapai tujuan akhir,
karena ia bukan suatu kondisi statis di mana suatu sekolah akan siap
melayani semua anak dengan perbedaan jika sumber daya yang ada
disediakan Suwaryani (2008) dalam Yusuf (2019). Inklusif adalah
sebuah proses untuk menangani dan merespons sebuah keragaman
kebutuhan semua siswa melalui peningkatan partisipasi dalam belajar,
berbudaya, dan bermasyarakat, serta mengurangi inklusivisme dalam
sebuah pendidikan. Pelaksanaan pendidikan inklusif harus melibatkan
perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan, struktur, dan strategi

6
dengan visi umum yang mencakup semua anak dengan rentang usia
yang tepat dengan sebuah keyakinan untuk mendidik semua anak
dengan latar belakang kemampuan dan perbedaan (Yusuf, 2019).
Hornby (2014: 3) menyebut pendidikan inklusif sebagai
pendidikan khusus yang didefinisikan sebagai pendidikan khusus yang
meliputi pengaturan pengiriman dan pemantauan yang dirancang
khusus dan terkoordinasi secara komprehensif dalam praktik
instruksional dan penilaiannya. Pun mengakomodasi perbedaan
kemampuan dan perilaku siswa yang beragam yang meliputi perbedaan
perilaku, emosi, fisik, kesehatan atau cacat sensorik dalam sebuah
pembelajaran yang menyenangkan. Tujuan praktik dan layanan ini
untuk mengidentifikasi dan mengatasi kekuatan dan tantangan masing-
masing siswa; untuk meningkatkan pengembangan sosial, perilaku, dan
fisik mereka; dan untuk mendorong pemerataan dan akses ke semua
aspek pendidikan, komunitas, dan masyarakat luas.
Inklusi adalah pemahaman atau cara berpikir yang didasarkan
pada prinsip keadilan sosial karena siswa mendapatkan pengalaman
belajar secara merata. Dalam konteks pendidikan, inklusi merujuk
kepada keadilan dalam mengakses atau memperoleh kesempatan
pendidikan bagi setiap warga masyarakat yang mempunyai latar
belakang kemampuan yang berbeda. Kata inklusi mengandung unsur
pokok, antara lain (a) sikap positif atau inklusif terhadap anak-anak
yang memiliki kelainan, (b) rasa efikasi yang tinggi terhadap
pembelajaran, dan (c) kemauan dan kemampuan melakukan adaptasi
terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan kelainan individu
(Baedowi, 2015: 72).
Thomas, dkk. (2001: 15) menyatakan pengertian inklusi tidak
menetapkan parameter (seperti dugaan integrasi) pada sekitar jenis
kecacatan tertentu, tetapi tentang filosofi penerimaan. Hal ini adalah
tentang menyediakan kerangka kerja di mana semua anak -terlepas dari
kemampuan, jenis ke secara setara, diperlakukan dengan hormat, dan

7
diberi kesempatan yang sama di sekolah. Singkatnya, menerima inklusi
berarti beralih dari obsesi dengan kesulitan belajar individu ke dalam
agenda hak.
Hayes (2010: 203) menyatakan setiap anak layak mendapatkan
kesempatan yang adil untuk belajar dan menikmati interaksi sosial,
diperlakukan dengan baik dan konsisten yang sesuai dengan
karakteristiknya untuk memenuhi aspirasinya. Sehingga pernyataan
tersebut dapat diasumsikan bahwa pendidikan inklusif berkaitan dengan
meminimalkan hambatan belajar dan partisipasi dalam pengelolaan
pendidikan, baik dari segi pemenuhan penyediaan layanan dan juga
terkait masalah kesetaraan. Sehingga pendekatan pengajaran yang
digunakan oleh guru dalam memberikan pengalaman belajar siswa
secara beragam, individual, terstruktur, dan bermakna, terlepas dari
kemampuannya yang beragam.
Tiga prinsip mendukung penyediaan kesempatan belajar yang
efektif bagi semua anak di sekolah, antara lain: Pertama adalah guru
menetapkan tantangan yang sesuai bagi semua siswa, termasuk yang
kurang mampu dan yang lebih mampu. Kedua adalah guru menanggapi
kebutuhan murid yang beragam dengan menciptakan lingkungan
belajar yang produktif (iklim), tawarkan kepada semua anak
kesempatan yang sama untuk mengakses sumber daya menilai
kemajuan mereka dan menetapkan tantangan yang mereka hadapi.
Ketiga adalah guru bekerja sama dengan rekan-rekan agar mampu
melawan hambatan yang mengganggu potensial siswa dalam belajar.
Pendidikan inklusif melibatkan dua proses: meningkatkan
partisipasi murid sesuai dengan kurikulum dan budaya sekolah sebagai
arus utama dan mengurangi tekanan eksklusif. Pendidikan inklusif
adalah tentang cara menanggapi keragaman dan perbedaan; ini tentang
mendengarkan suara yang tidak biasa, bersikap terbuka,
memberdayakan semua anggota keluarga, masyarakat dan tentang
merayakan "perbedaan" dengan cara yang bermartabat. Dari perspektif

8
ini, tujuannya adalah tidak membiarkan orang keluar dari sekolah
(Allan, 2005: 14).
Villa & Thousand (2005: 5) menyatakan pendidikan inklusif
adalah tentang merangkul semua orang dan membuat komitmen untuk
menyediakan layanan pendidikan pada siswa yang ada di masyarakat
karena setiap warga negara yang demokrasi memiliki hak untuk
memperoleh pendidikan. Inklusi yang mengasumsikan bahwa dalam
hidup agar dapat belajar bersama memberi manfaat bagi setiap orang
lain.
Sedangkan Bilqis (2015: 62-63) menyatakan pendidikan inklusif
adalah pelayanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus yang
dididik bersama-sama anak lainnya (anak normal) untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pada sekolah inklusif, setiap
anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat
dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga
pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran, hingga sistem
penilaiannya. Dengan kata lain, pendidikan inklusif mensyaratkan
pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan
individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan
sistem sekolah.
Pendidikan inklusif merupakan suatu proses dalam menangani
dan menyahuti kebutuhan yang berbeda dari peserta didik dengan
mengoptimalkan partisipasi mereka dalam pembelajaran. Juga
pendidikan inklusif merupakan pendekatan transformatif terhadap
sistem pendidikan yang ada agar responsif terhadap keragaman peserta
didik. Dengan demikian, sasaran pendidikan inklusif adalah
menyingkirkan hambatan- hambatan yang mengakibatkan kelompok
anggota masyarakat seperti anak-anak perempuan, kelompok yang tidak
beruntung, anak-anak yang memiliki kelainan, dan anak-anak yang

9
tidak terjangkau melalui sistem pendidikan formal dan nonformal
karena sulit mengakses pendidikan (Baedowi, 2015: 72).
Pendidikan inklusif merupakan wujud nyata komitmen
penyediaan kesempatan belajar bagi semua anak, remaja, dan orang
dewasa dengan fokus pada individu yang tergolong minoritas,
terpinggirkan, dan tidak terperhatikan. Pemikiran tersebut mencakup
anak berkebutuhan khusus yang permanen seperti individu yang
mengalami kelainan fisik, mental intelektual, sosial, emosi, berbakat,
kesulitan belajar, autisme, dan sebagainya; serta anak berkebutuhan
khusus temporer seperti anak jalanan dan pekerja, anak yang berasal
dari populasi terpencil, anak kelompok minoritas, dan kelompok yang
termarjinalkan. Jadi dengan pendidikan inklusif sebenarnya membuat
yang tidak tampak menjadi tampak dan memastikan semua siswa
mendapat hak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik
(Shaeffer, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan inklusif adalah
pendidikan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus bersama-
sama dengan siswa lain tanpa membeda-bedakan perlakuan fisik dan
emosional. Anak berkebutuhan khusus memiliki hak akses
kependidikan yang sama dengan siswa lain, dengan maksud untuk
memberikan kesempatan interaksi sosial. Anak berkebutuhan khusus
bersama anak reguler secara berkolaborasi melaksanakan proses
pembelajaran dalam kelas inklusif.
Pendidikan inklusif dianggap sebagai pendekatan untuk
melayani anak-anak penyandang cacat dalam lingkungan pendidikan
umum. Namun secara internasional, semakin dipandang lebih luas
sebagai reformasi yang mendukung dan menyambut keragaman di
antara semua peserta didik (UNESCO, 2001: 13). Sedangkan Salend
dan Whittaker (2006: 19) memberikan definisi pendidikan inklusif
sebagai sebuah filosofi yang menyatukan siswa, keluarga, pendidik, dan
anggota masyarakat untuk menciptakan sekolah berdasarkan

10
penerimaan, kepemilikan, dan komunitas. Sekolah inklusi harus
menyambut, mengakui, menguatkan dan merayakan nilai semua peserta
didik dengan mendidik mereka bersama di ruang kelas pendidikan
umum yang memiliki kualitas yang baik sesuai usia siswa di sekolah
lingkungan mereka tinggal. Konsep pendidikan inklusif tersebut
merupakan pernyataan yang memberikan penekanan bahwa pendidikan
inklusif pada sebuah lembaga harus terlaksana atas dasar kesetaraan,
penerimaan segala perbedaan, kebersamaan, dan saling peduli
kebutuhan masing-masing.
Hornby (2014: 3) menyebut konsep pendidikan inklusif adalah
pendidikan khusus yang didefinisikan sebagai layanan khusus meliputi
sistem pengaturan pengiriman anak pada sekolah dan pemantauannya
yang dirancang khusus serta terkoordinasi secara komprehensif dalam
praktik instruksional dan penilaian, berbasis penelitian dan layanan
terkait pembelajaran terhadap pembelajaran siswa, dengan perilaku,
emosi, fisik, kesehatan, atau cacat sensorik. Pernyataan tersebut sudah
menunjukkan bahwa pendidikan inklusif harus didukung dengan
kesiapan peran layanan terkait dengan pembelajaran dan terapi
perilaku, emosi, fisik dan sensorik lainnya.
Praktik dan layanan instruksional ini disesuaikan untuk
mengidentifikasi dan mengatasi kekuatan dan tantangan masing-
masing siswa; untuk meningkatkan pengembangan pendidikan, sosial,
perilaku, dan fisik; dan untuk mendorong kesetaraan atas perbedaan
serta pemerataan akses ke semua aspek pendidikan, komunitas dan
masyarakat (Hornby, 2014: 7). Keinginan dan harapan terhadap anak
berkebutuhan khusus ini diharapkan dapat terwujud jika sekolah inklusi
sebagai institusi pendidikan yang inklusif bisa menjadi wadah yang
baik untuk menemukenali potensi yang dimiliki siswa berkebutuhan
khusus dan memberikannya layanan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Layanan pendidikan dan terapis untuk memberikan intervensi melalui
pembelajaran dan terapi okupasi, wicara, fisioterapi, dan yang lainnya.

11
Pendidikan inklusif harus diselenggarakan atas dasar adanya
sebuah sistem yang terbangun melalui beberapa kegiatan: kesadaran
untuk menerima perbedaan kemampuan dan kebutuhan, berdasarkan
pendekatan yang mengembangkan kemampuan, menggunakan
Individual Educational Program (IEP), pembelajaran kolaboratif dan
partisipatif di kelas, merespons setiap kebutuhan siswa berdasarkan
kebutuhan layanan, mendesain pembelajaran yang sesuai dengan
perbedaan kemampuan siswa, memberikan sistem dukungan berupa
layanan yang positif untuk perkembangannya, melakukan penilaian
yang tepat (Hornby, 2014: 11, Salend, 2012: 12). Sehingga pada
pelaksanaannya pendidikan inklusif selalu ditandai dengan beberapa
kegiatan yaitu proses identifikasi atau proses temu kenali siswa yang
memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-beda ini sering
disebut dengan kegiatan asesmen. Setelah diketahui karakteristik
kemampuan dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus melalui
kegiatan asesmen, guru menetapkan PPI (program pembelajaran
individual) siswa berkebutuhan khusus agar layanan pendidikan yang
akan diberikan tepat sasaran, tim guru melakukan adaptasi kurikulum
agar materi, tujuan, isi, dan penilaiannya sesuai dengan kebutuhan
siswa.
Pernyataan Hornby tersebut memiliki kesamaan konsep
pendidikan inklusif dengan Shevin (2008: 19) yang menyatakan bahwa
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah memiliki ruang
kelas yang inklusif yang mampu menciptakan suasana nyaman bagi
siswa yang beragam kemampuannya, latar belakang dan perkembangan
fisik dan mentalnya, guru terampil dalam menghadapi masalah yang
menantang. Sekolah inklusi mengakui heterogenitas dan kebutuhan
siswa mereka dalam menanggapi perbedaan di kelas secara serius dan
bertanggung jawab. Dapat dipahami bahwa para pendidik sering
merasakewalahan oleh tuntutan yang semakin meningkat akan
kebutuhan pendidikan inklusif, pendidikan multikultural, kecerdasan

12
majemuk, dan peraturan yang berbeda untuk menghadapi keberagaman
yang semakin berkembang. Hanya ruang kelas inklusif yang dapat
sepenuhnya mendukung tujuan menciptakan warga negara yang peduli
dan terlibat untuk masyarakat demokratis.
Shevin menyatakan pengertian inklusi tidak menetapkan
parameter (seperti dugaan integrasi) pada sekitar jenis kecacatan
tertentu, tetapi tentang filosofi penerimaan (Shevin, 2008: 23). Hal ini
adalah tentang menyediakan kerangka kerja di mana semua anak yang
terlepas dari kemampuan, jenis kelamin, bahasa, asal etnik atau budaya
yang dapat dihargai secara setara diperlakukan dengan hormat dan
diberi kesempatan yang sama di sekolah. Singkatnya, menerima inklusi
berarti beralih dari obsesi dengan kesulitan belajar individu ke dalam
agenda hak (Thomas, dkk. 2001: 15).
Pernyataan Shevin (2008: 18) tentang pendidikan inklusi
berkaitan dengan cara dan strategi yang harus dimiliki sekolah dalam
meminimalkan hambatan belajar dan meningkatkan partisipasi dan
semangat siswa untuk belajar pada penyelenggaraan pendidikan
inklusif, baik dari segi kecukupan penyediaan siswa untuk belajar serta
masalah kesetaraan. Dalam melaksankan pendidikan inklusif secara
penuh juga harus menunjukkan contoh pendekatan pengajaran yang
digunakan oleh guru kelas, guru pendamping khusus untuk memberikan
pengalaman belajar yang beragam, individual, terstruktur, dan
bermakna bagi semua orang. terlepas dari kemampuannya.
Shevin (2008: 19) mensyaratkkan bahwa pelaksanaan
pendidikan inklusif melibatkan dua proses: 1) meningkatkan partisipasi
murid dalam budaya dan kurikulum sekolah sebagai arus utama dan
mengurangi tekanan eksklusif. 2) Proses yang terakhir mengharuskan
sekolah mengubah etos dan praktik mereka untuk memastikan bahwa
semua anak memiliki hak yang sama. Hal ini juga menyiratkan bahwa
setiap anak penting tidak ada yang dikecualikan. Pendidikan inklusif
adalah tentang menanggapi keragaman; ini tentang mendengarkan suara

13
yang tidak biasa, bersikap terbuka, memberdayakan semua anggota,
dan merayakan "perbedaan" dengan cara yang bermartabat. Perspektif
ini, tujuannya adalah tidak membiarkan orang keluar dari sekolah
(Allan, 2005: 14). Inklusi mengasumsikan bahwa hidup dan belajar
bersama memberi manfaat bagi setiap orang, tidak hanya anak-anak
yang diberi label memiliki perbedaan.
Dari pernyataan Shevin tersebut dapat ditegaskan bahwa praktik
pendidi restrukturisasi sekolah secara keseluruhan, dengan tujuan untuk
memastikan bahwa semua siswa dapat memiliki akses terhadap seluruh
rentang kesempatan pendidikan dan sosial yang ditawarkan. Dengan
kata lain, esensi pendidikan inklusif dapat dicirikan sebagai sistem
sekolah yang fleksibel dan responsif yang merupakan titik awal
pengakuan akan inklusif sebuah proses reformasi dan keragaman
kebutuhan murid. Perspektif ini menyoroti dua implikasi yang
signifikan dan saling melengkapi untuk pengembangan praktik:
pertama, setiap usaha untuk menerapkan pendidikan inklusif harus
mencakup kebutuhan semua siswa; kedua, bagi sebagian dari mereka,
ada risiko pengecualian atau marginalisasi yang harus diperbaiki
(Beveridge, 2005: 7). Kedua implikasi ini merupakan pokok yang dapat
dibenahi untuk perbaikan sistem pendidikan inklusif.
Tokoh lain yang fokus pengembangan konsep pendidikan
inklusif adalah Smith (2014: 41) yang mendeskripsikan konsep
pendidikan inklusif adalah penyatuan bagi anak-anak berkelainan
(penyandang hambatan/ cacat) ke dalam program-program sekolah.
Bagi sebagian pendidik istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih
positif dalam usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan
dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan
pendidikan yang menyuluruh. Menurutnya pendidikan inklusif
merupakan pelayanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
yang dididik bersama-sama anak lainnya (anak normal) untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pada sekolah inklusif, setiap

14
anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat
dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga
pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran, hingga sistem
penilaiannya. Pernyataan tersebut dapat disimpulkan sesuai dengan
pernyataan bahwa pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah
yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta
didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem sekolah
Bilqis (2015: 62-63).
Smith (2014 : 47) juga menyatakan bahwa pendidikan inklusif
dapat memberikan sebuah wawasan bahwa dengan berpartisipasi dalam
kelas hiterogen, anak yang mengalami hambatan fisik, mental, bahasa,
dan kemampuan kognitif akan mengalami perkembangan yang
signifikan. Jika selama proses pembelajaran yang dilangsungkan dalam
kelas berorientasi pada siswa dengan didukung oleh kurikulum yang
sudah disesuaikan (modifikasi) serta adanya guru pendamping yang
berkemampuan yang baik. Dalam proses pembelajaran membagi
sintaks pembelajaran dengan berbagai macam kasus yang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan siswa, baik siswa yang lamban belajar,
siswa yang berkelainan perilaku, siswa yang mengalami
keterbelakangan mental, siswa berkelainan fisik, dan siswa yang
mengalami hambatan bahasa dan bicara serta siswa yang
berkemampuan unggul. Pembagian sintaks berdasarkan kasus yang
dialami siswa ini bukan merupakan klasifikasi atau pengelompokan
siswa berdasarkan kecacatannya tetapi sebagai catatan penting
(informasi) bagi guru pendamping khusus (GPK) untuk melakukan
tindak lanjutnya agar pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan yang
dimiliki.
Berdasarkan pendapat tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan
sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di

15
sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan
atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta
didik tanpa diskriminasi.

C. Konsep Dasar Pendidikan Inklusi


1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70
Tahun 2009 menyatakan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan
atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-
sama dengan peserta didik pada umumnya.
2. Mukhtar Latif dkk (Baharun, & Awwaliyah, 2018). mengemukakan
pendidikan inklusif merupakan sistem layanan yang
mempersyaratkan anak berkebutuhan khusus bersama teman
sebayanya yang diselenggarakan oleh sekolah inklusif dengan
sebuah pendekatan untuk mentransformasikan pendidikan dengan
mengurangi hambatan yang menghalangi siswa berpartisipasi dalam
pendidikan secara penuh.
3. Herawati (2012) pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem
layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan
khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler
yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan
kesempatan atau kasus yang seluas-luasnya kepada semua anak
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan
kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
4. Muniarti dan Anastasia (2016) menyatakan pendidikan inklusif
bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi seluruh peserta didik

16
yang memiliki kebutuhan khusus atau yang berbakat seluas-luasnya
untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang berkualitas dan
bermakna sekaligus juga mewujudkan penyelenggaraan pendidikan
yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif.
5. Direktorat Pendidikan Luar Biasa memberikan arahan bahwa yang
dimaksud dengan inklusif adalah keterbukaan untuk belajar
bersama bagi semua peserta didik tanpa kecuali (Baharun, &
Awwaliyah, 2018). Anak berkebutuhan khusus yang harus
mendapatkan layanan pendidikan intensif adalah : (1) Tunanetra,
(2) Tunarungu, (3) Tunawicara, (4) Tunagrahita, yaitu anak dengan
keterbelakangan mental menunjukkan keterlambatan perkembangan
pada hampir seluruh aspek fungsi akademik dan fungsi social, (5)
Tunadaksa, yaitu anak yang mengalami bentuk kelainan atau
kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian (6) Tunalaras,
(7) Berkesulitan belajar, yaitu anak mengalami kesulitan dalam
tugas-tugas akademiknya yang disebabkan oleh adanya disfungsi
minimal otak sehingga prestasi belajarnya tidak sesuai dengan
potensi yang sebenarnya, (8) Lamban belajar, yaitu anak yang
kurang mampu menguasai pengetahuan dalam batas waktu yang
ditentukan karena ada faktor tertentu yang mempengaruhinya, (9)
Autis, yaitu anak yang mengalami gangguan perkembangan dan
ditandai oleh ketidakmampuan anak untuk berhubungan dengan
orang lain, (10) Memiliki gangguan motoric, (11) Menjadi korban
penyalahgunaan narkoba/zat aditif, (12) Memiliki kelainan, (13)
Tuna Ganda, yaitu anak yang mengalami kelainan lebih dari satu
jenis kelainan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif menyamakan
hak dan kesempatan bagi anak/peserta didik yang berkebutuhan khusus
untuk mengembangkan potensi kecerdasan dan bakat istimewa peserta
didik dalam lingkungan pendidikan bersama-sama dengan peserta didik
pada umumnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak

17
sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana
prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan
dengan kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses identifikasi
dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan
atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program
pendidikan yang sesuai dan objektif.

D. Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Inklusi di Indonesia


Pendidikan inklusi di lingkup dunia diprakarsai oleh
negaranegara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia.
Komitmen penyelenggaraan Pendidikan inklusif di lingkup dunia ini
tertuang dalam konvensi dunia tentang hak-hak anak pada tahun 1989
dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi “Education For All”. Atas terbentuknya
deklarasi ´“Education For All” ini, implikasi dari deklarasi ini adalah
mengikat semua anggota deklarasi tanpa terkecuali (termasuk ABK)
mendapatkan layanan pendidikan yang memadai. Berdasarkan
perkembangan sejarah pendidikan inklusif di dunia tersebut,
Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan
program pendidikan inklusif. Program ini 7 merupakan kelanjutan
program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di
Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang.
Tahun 2000 baru dimunculkan kembali dengan mengikuti
kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif. Dalam
Negara Indonesia ini sendiri, penyelenggaraan pendidikan inklusi baru
dilakukan pada awal tahun 2000. Pada awalnya sebelum tahun 1984,
hanya terdapat satu Sekolah Luar Biasa (PLB), yakni sekolah khusus
yang hanya menerima satu jenis kelainan saja. Kemudian pada tahun
1984, muncul Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), yaitu sekolah khusus
yang menerima berbagai jenis kelainan, namun hanya sampai jenjang
sekolah dasar saja. Pada tahun yang sama pula, muncul sekolah

18
terpadu. Sekolah terpadu adalah sekolah umum yang menerima Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK), namun saat itu baru anak tunanetra saja.
Pada tahun 2003, muncul UU No 20 Tahun 2003 Pasal 15 yang berisi
tentang jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik profesi, vokasi,
keagamaam dan khusus. Tahun 2003 ini juga muncul Surat Edaran
Dirjen Didasmen yang berisi bahwa setiap kabupaten/kota harus
memiliki minimal satu SMA, satu SMK, satu SMP, dan satu SD
inklusi. Pada tahun 2009, muncul Permendiknas, yang berisi bahwa
setiap kecamatan harus mempunyai minimal satu SMA satu SMP dan
satu SD inklusi. Serta setiap kabupaten/kota harus minimal mempunyai
satu SMA/ SMK.

E. Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia


Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark,
Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh
Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa
ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive
environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika
Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act.1991 mulai
memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai
adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus
dari segregatif ke integratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan
inklusif di dunia semakin nyata terutama sejakdiadakannya konvensi
dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia
tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi ’educationforall’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi
semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk
anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan
secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada
tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca

19
Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive
education”yang berbunyi :
1. Semuaanak sebaiknya belajar bersama
2. Pendidikan didasarkan kebutuhan siswa
3. ABK diberi layanan khusus

F. Perkembagan Pendidikan Inklusif di Indonesia


Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia
tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004
menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan
belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di
Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukit tinggi yang
isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan
program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin
bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Berdasarkan
perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka
Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000
mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini
merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang
sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an,
tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000
dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia,
menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di
Indonesia hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun
1960-an yang ditandai dengan berhasil diterimanya beberapa
lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah umum,

20
meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat-laun
terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan
beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra.
Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh
perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan
mengundang Helen Keller International, Inc. untuk membantu
mengembangkan sekolah integrasi.
Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya
Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang
Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek
pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi
semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. Pada akhir
tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan
pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan
pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan
Direktorat PLB (Tarsidi, 2007).
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam
mengimpllementasikan pendidikan inklusif bagi penyandang cacar,
pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai melakukan proyek
ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki pusat sumber dan sejak
saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan telah bersekolah di
sekolah reguler, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000
siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau 15.181
siswa yang tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK,
648 SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA.

21
BAB III

KESIMPULAN

Pendidikan inklusif adalah filosofi pendidikan yang berkaitan secara


langsung dengan hubungan sosial antara sesama dalam inklusif upaya
membangun kebersamaan tanpa memandang latar belakang kehidupan maupun
status sosialnya. Mereka yang percaya konsep pendidikan inklusif meyakini
semua orang merupakan bagian berharga dalam kebersamaan masyarakat, apa
pun perbedaan mereka.
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang diberikan kepada anak
berkebutuhan khusus bersama-sama dengan siswa lain tanpa membeda-
bedakan perlakuan fisik dan emosional. Anak berkebutuhan khusus memiliki
hak akses kependidikan yang sama dengan siswa lain, dengan maksud untuk
memberikan kesempatan interaksi sosial. Anak berkebutuhan khusus bersama
anak reguler secara berkolaborasi melaksanakan proses pembelajaran dalam
kelas inklusif.
Perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya
diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia,
Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy
mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk
mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata
cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Sejalan dengan kecenderungan
tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada
tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.

22
DAFTAR PUSTAKA

Minsih. (2020). PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR. Surakarta :


Muhammadiyah University Prees Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Wijaya, David. (2019). MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH
DASAR. Jakarta : KENCANA
Rafikayati, Ana dan Lutfi Isni Badiah.Pendidikan Inklusi.Surabaya.Adi Buana
University Press

Saputra, A. (2016). Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif.


Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 1(3), 1-
15.

Baharun, H., & Awwaliyah, R. (2018). Pendidikan Inklusi Bagi Anak


Berkebutuhan Khusus Dalam Perspektif Epistemologi Islam.
MODELING: Jurnal Program Studi PGMI, 5(1), 57-71.
Saputra, Agam. 2016. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif.
Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. 1(3). 3-4. Online
http://202.0.92.5/tarbiyah/goldenage/article/view/1929/1408 (Diakses
pada tanggal 18 Agustus 2021)

23

Anda mungkin juga menyukai