Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi

Dosen Pengampu: Dr. Nonoh Siti Aminah, M.Pd

Oleh:

Afifah Nur Hidayatullah (K2318005)


Lailatul Bilkisa Putri Martandang (K2320048)
Meidiana Syafitri (K2320051)

PRODI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pendidikan Inklusi” ini
tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nonoh Siti Aminah, M.Pd selaku
dosen mata kuliah Pendidikan Inklusi yang telah membimbing dan menambah wawasan
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang studi yang penulis
tekuni.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan guna membantu menyempurnakan
makalah ini.

Surakarta, 11 April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................6
A. Sejarah dan Paradigma Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.........................................6
a) Sejarah Pendidikan..................................................................................................6
b) Paradigma Pendidikan.............................................................................................7
B. Proses Identifikasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus.......................................................9
C. Asesmen Peserta Didik Berkebutuhan Khusus....................................................................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................................13
A. KESIMPULAN...................................................................................................................13
B. SARAN................................................................................................................................13
Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang mengalami keterbatasan dan
hambatan pada aspek perkembangan baik kognitif, fisik, sosial dan emosional sehingga
memerlukan layanan khusus yang harus dipenuhi. Kebutuhan mereka berdasarkan pada
keterbatasan atau hambatan yang dialaminya. Adapun jenis layanan yang diberikan
kepada mereka mencakup seluruh aspek kehidupan anak, baik layanan akademik
maupun non akademik.

Anak berkebutuhan khusus diciptakan Tuhan di muka bumi tidak ada istilah
produk gagal. Kecacatan maupun kekurangan kognitif maupun fisik tidak akan mampu
menghalangi seseorang untuk berprestasi puncak. Sejatinya mereka juga memendam
potensi diri yang luar biasa besar. Namun demikian, perlakuan anak-anak berkebutuhan
khusus dalam memperoleh pendidikan masih dimarjinalkan. Misalnya, banyak sekali
orang yang memiliki kemampuan berbeda secara fisik harus tersingkir dari dunia
pendidikan maupun pekerjaan (Asyhabuddin 2008:406). Hal yang sama juga
diperlihatkan oleh Purwandari (2009), bahwa anak-anak berkebutuhan khusus
mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam hal layanan pendidikan, karena mereka
dipandang memiliki hambatan dalam beberapa dimensi kehidupan, sehingga dalam
layanan pendidikannya harus terpisah dari anak-anak yang “normal” supaya proses
pembelajaran tidak terganggu.

Kondisi semacam itu masih jauh dari harapan komitmen dalam Kovensi Jeneva
berupa pelaksanaan Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA).
Artinya, sama seperti anak-anak lainnya, ABK juga berhak mendapatkan layanan
pendidikan yang sama. Atas dasar itulah muncul konsep model pendidikan inklusif.
Melalui pendidikan inklusi, difersitas karakter dan kecakapan peserta didik diakomodir
dengan cara yang bijak, yaitu dengan memberi ruang kepada semua untuk belajar.
Bahkan, dalam pendidikan inklusi, perbedaan dipandang sebagai sumber belajar,
ketimbang sebagai masalah (Sutrisno 2012:32).
Identifikasi merupakan proses menemukenali anak berkebutuhan khusus dari
lingkungan yang heterogen untuk dicari karakteristik khusus. Pada proses ini petugas
identifikasi yang berusaha mencari kekurangan yang ada pada anak. Hal ini berarti denga
membandingkan kemampuan anak “normal” dengan kemampuan anak yang diduga
memiliki kebutuhan khusus. Apabila ada kesenjangan yang nyata terlihat, maka anak
dapat digolongkan pada anak berkebutuhan khusus. Selain itu, proses identifikasi juga
berusaha mengklasifikasikan anak pada kelompok tertentu berdasarkan pada jenis
hambatan yang dimiliki oleh anak.

Proses selanjutnya setelah anak ditemukenali, adalah asesmen. Asesmen


merupakan penilaian yang sistematis dan komperehensif dalam menggali infrmasi lebih
lanjut tentang anak terkait kekurangan, potensi dan kebutuhan yang dimiliki anak. Hasil
asesmen yang telah dilakukan menjadi dasar atau acuan untuk merancang dan
melaksanakan pemberian layanan pada anak berkebutuhan khusus. Sehingga data yang
ditelusuri pada saat identifikasi ataupun asesmen merupakan data yang apa adanya dan
nyata dari anak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan paradigma pendidikan ABK?
2. Bagaimana proses identifikasi pada peserta didik berkebutuhan khusus?
3. Bagaimana proses asesmen pada peserta didik bekebutuhan khusus?

C. Tujuan
1. Untuk memahami sejarah dan paradigma pendidikan ABK.
2. Untuk mengetahui proses identifikasi pada peserta didik berkebutuhan khusus.
3. Untuk mengetahui proses asesmen pada peserta didik berkebutuhan khusus.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Paradigma Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus


a) Sejarah Pendidikan
Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa anak
membutuhkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan tipikal atau biasa
agar dapat mencapai potensi mereka. Akar dari kesadaran ini dapat ditelusuri di
Eropa pada tahun 1700-an ketika para pionir tertentu mulai membuat upaya-upaya
terpisah untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Salah satu upaya tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga residensial


yang didirikan di Amerika Serikat untuk mengajar penyandang cacat terbanyak di
awal 1800-an. Hal ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yang memimpin
negara-negara lain dalam pengembangan pendidikan khusus di seluruh dunia.

Pengenalan yang perlahan-lahan terhadap pendidikan khusus sebagai sebuah


profesi yang membutuhkan keahlian telah merangsang perkembangan bidang ini.
Sehingga organisasi-organisasi profesi dan kelompok-kelompok pendukung mulai
didirikan dan menjadi kekuatan yang dahsyat di belakang banyaknya perubahan
yang mengakar dan memberikan kekuatan munculnya layanan-layanan pendidikan
khusus. (Delphie, 2006)

Sejarah perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan


diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika
Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar pakar
Pendidikan Luar biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least
restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.
Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep
pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk
anak kebutuhan khusus dari segregatif ke intergratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata


terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan
deklarasi “Education for All.‟ Implikasi dari statement ini mengikat bagi semua
anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan
khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang
selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education.”
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan
inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan
menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif. (Herawati, 2016)

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun


2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan
Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus
dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin
bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas dan layak. Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia
tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000
mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan
program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia
pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun
2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan
konsep pendidikan inklusif. ( Herawati, 2016)

b) Paradigma Pendidikan
Terselenggaranya pendidikan inklusif memerlukan adanya perangkat-
perangkat pendidikan yang sesuai dengan filosofi pendidikan inklusif itu sendiri.
Perangkat tersebut diantara sekolah dituntut untuk menjadi sebuah sekolah yang
ramah (welcome), guru yang ramah, pembelajaran yang mengakomodir perbedaan
setiap individu. Untuk mengimplementasikan perangkat pendidikan inklusif tersebut
perlu adanya penyesuaian terhadap SDM, sarana pembelajaran, media
pembelajaran, kurikulum, penataan lingkungan kelas dan interaksi sosial antar anak
dalam kelas.
Pada intinya implikasi penting dari perubahan paradigma tersebut adalah
pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman dan perbedaan kebutuhan
individu. Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif menyebabkan
adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal ini
dimaksudkan menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar dan
mengajar.

Pergeseran lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi yang


sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi
mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang
sama. Perubahan lainnya dari pengajaran berpusat kepada kurikulum dalam proses
belajar mengajarnya menjadi berpusat kepada anak. Pendidikan inklusif berarti
memandang eksistensi anak agar tumbuh dan berkembang secara alami dan optimal
sesuai dengan potensi masing-masing. Pendidikan dipandang sebagai
upayamemberdayakan individu yang memiliki keragaman, dimana anak tidak lagi
dibedakan berdasarkan label atau karakteristik tertentu dan tidak ada diskriminasi
antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Semua anak berada dalam satu
sistem pendidikan yang sama).

Pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tercantum cita-cita bangsa,


salah satunya adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, dan UUD 1945 pasal 31
ayat 1 menyatakan “Tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Undang
Undang nomor 4 tahun 1997 pasal 5 menyebutkan “setiap penyandang cacat
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan dan
penghidupan”.

Dalam upaya mewujudkan demokratisasi pendidikan di Indonesia, perlu


diselaraskan dengan program UNESCO “Education for All”, hal tersebut perlu
didukung oleh lembaga formal, agar pendidikan dapat berjalan secara baik perlu
melibatkan masyarakat. Paradigma Pendidikan Luar Biasa di Indonesia telah
mengalami perkembangan dengan terjadinya perubahan segregrasi kearah yang
lebih inklusif. Hal ini telah ditegaskan oleh Deklarasi Pendidikan Untuk Semua,
yang menyatakan bahwa selama memungkinkan semua anak seharusnya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang mungkin ada pada
mereka.
Paradigma baru pendidikan inklusif adalah merujuk pada kebutuhan belajar
bagi semua peserta didik dengan suatu fokus spesifik pada mereka yang rentan
terhadap marjinalisasi atau pemisahan. Pendapat ini mengisyaratkan melalui
pendidikan inklusif berarti sekolah harus menciptakan dan membangun pendidikan
yang berkualitas dan mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik,
sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya.

B. Proses Identifikasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus


Cahya (2013: 28) memaparkan bahwa identifikasi sebagai usaha seseorang (orang
tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui anak mengalami kelai
nan/ penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, dan emosional) dalam pertumbuhan atau pe
rkembangan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak- anak normal). Habibi
(2018: 153) mengatakan bahwa identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sua
tu yang dimaknai sebagai proses penjaringan atau proses menemukan kasus, yaitu mene
mukan anak yang mempunyai kelainan/ masalah, atau profesi pendeteksi dini terhadap a
nak usia dini dengan tujuan untuk mengetahui kebutuhan anak dan kondisi kesehatan, ba
ik fisik, psikolog, ataupun sosial. Identifikasi dapat diketahui kondisi seorang anak, apak
ah pertumbuhan dan perkembangan mengalami penyimpangan atau tidak. Jika mengala
mi kelainan/penyimpangan , dapat diketahui apakah anak tergolong (1) tunanetra, (2) tun
arungu, (3) tunagrahita, (4) tunadaksa, (5) tunalaras, (6) lambat belajar, (7) autis, (8) AD
HD, (9) Anak kesulitan belajar spesifik, (10) Anak gangguan komunikasi, (11) Gifted. S
angat penting untuk menandai munculnya kelainan atau kesulitan pada anak usia dini.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan, identifikasi sebagai usaha seseor
ang untuk mengetahui apakah seseorang mengalami kelainan/ penyimpangan dalam pert
umbuhan/ perkembangan dibandingkan dengan anak lain seusianya.

 Tujuan Identifikasi

Budyartati (2016: 44-45) memaparkan bahwa untuk mengetahui informasi an


ak mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, dan emosional) dal
am pertumbuhan perkembangan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (ana
k-anak normal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk menyusun program pemb
elajaran sesuai keadaan dan kebutuhan, kemudian akan dilakukan assessment yang h
asilnya dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan kem
ampuan dan ketidakmampuannya.

Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi dan dalam upaya menanggulangi


problem belajar pada anak, kegiatan identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakuka
n untuk lima keperluan, yaitu sebagai berikut:

1) Penjaringan (screening)

Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan alat identifi


kasi anak berkebutuhan khusus. Identifikasi berfungsi menandai anak-anak yan
g menunjukkan gelaja-gejala seperti: sering sakit-sakitan, mudah mengantuk di
dalam kelas, sulit berkonsentrasi, lamban dalam menerima pelajaran, prestasi
belajar selalu di bawah rata-rata kelas, ataupun kesulitan untuk dibaca. Proses
tersebut dapat membantu mengetahui anak-anak yang mengalami kelainan/
penyimpangan tertentu sehingga tergolong anak berkebutuhan khusus.

Dengan identifikasi, guru orang tua, ataupun tenaga professional terkait,


dapat dilakukan kegiatan penjaringan secara baik dan hasilnya dapat digunakan
untuk penanganan lebih lanjut.

2) Pengalihtanganan (referal)

Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga profesional lain untuk


membantu mengatasi masalah anak yang bersangkutan disebut proses
pengalihtanganan (referal). Jika tenaga professional tidak tersedia, maka dapat
dibantu ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB).
Gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan selanjutnya anak-anak
yang teridentifikasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama,
anak yang perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga professional) untuk memperoleh
pemeriksaan labih lanjut, misalnya: psikolog, dokter, orthopedagog (ahli PLB),
dan terapih, kemudianditangani oleh guru. Kedua, anak yang tidak perlu dirujuk
ke ahli lain dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk
layanan pembelajaran yang sesuai.

3) Klasifikasi
Kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan anak yang telah
dirujuk ketenaga profesional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut
atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Setelah dilakukan
pemeriksaan oleh tenaga profesional akan ditemukan masalah yang perlu
ditangani lebih lanjut, misalnya: pengobatan, terapi, atau latihan-latihan khusus,
sehingga guru akan berkomunikasi kepada orang tua siswa.

Guru tidak mengobati atau memberi terapi sendiri tetapi memfasilitasi


dan meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak. Guru hanya
memberikan pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Jika tidak
ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak memerlukan penanganan
lebih lanjut, anak dapat dikembalikan ke kelas untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan khusus di kelas reguler.

4) Perencanaan Pembelajaran

Identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan program pengajaran


(PPI) yang didasarkan pada hasil pemeriksaan para ahli yang telah diklasifikasi
sesuai dengan kebutuhan khususmasing-masing anak. Setiap jenis dan tingkat
kelainan anak berkebutuhan khusus memerlukan program pembelajaran yang
berbeda antara satu dengan yang lain.

5) Pemantauan kemajuan belajar anak

Kemajuan belajar dipantau untuk mengetahui apakah program


pembelajaran yang diberikan berhasil atau tidak. Dalam kurun waktu tertentu,
anak yang tidak mengalami kemajuan yang signifikasi, perlu ditinjau kembali
beberapa aspek yang berkaitan, misalnya: diagnosis yang telah dibuat tepat atau
tidak, program pembelajaran individual (PPI), bimbingan belajar khusus yang
dibuat sesuai atau tidak, serta metode pembelajaran yang digunakan sesuai atau
tidak.

Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan


pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tegolong anak berkebutuhann
khusus atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang
dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuh, guru
dan pihak lain yang terkait dengannya. Sedangkan langkah selanjutnya, yang sering
disebut asesmen, dan bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti
dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain. Identifkasi akan
dilanjutkan dengan asesment, yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan
progam pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan ketidakmampuannya.

C. Asesmen Peserta Didik Berkebutuhan Khusus


Asesmen merupakan kegiatan profesional yang dilakukan secara khusus menentu
kan diagnosa dari gangguan atau kelainan yang dialami seseorang. Menurut Lenner (198
8 ) asesmen didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang seseorang anak
yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan de
ngan keadaan anak. Dalam konteks pendidikan , Hargrove dan Poteet ( 1984 ) menempat
kan asesmen sebagai salah satu dari tiga aktivitas penting di bidang pendidikan bahkan
mengawali dari aktifitas yang lain, ialah (1) asesmen (2) diagnostik (3) preskriptif. Deng
an demikian maka asesmen dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan berdasarkan dia
gnosis tersebut dilakukan langkah berikutnya ialah preskrepsi, yakni perencanaan progra
m pendidikan.

Khususnya bagi penyandang kelainan penglihatan, Asesmen mempunyai fungsi y


ang lebih luas, ialah untuk pengobatan, pemberian bantuan dan juga untuk perencanaan p
endidikan. Kegiatan ini harus melibatkan tenaga profesional, seperti dokter atau tenaga
medis, dan atau petugas optic. Jika ditemukan adanya gejala klinis mengenai tanda-tanda
adanya penyakit pada organ mata, baik yang secara fungsional telah mengganggu yang d
itemukan tersebut secara klinis tidak merupakan suatu penyakit, mungkin memerlukan b
antuan alat optic atau kaca mata yang sesuai. Karena bisa terjadi setelah dilakukan tindak
an medis maupun non medis dapat mengfungsikan kembali penglihatannya dengan baik,
tetapi tidak sedikit anak yang memang mengalami kelainan penglihatan sehingga tidak m
emungkinkan lagi untuk menggunakan fungsi penglihatan secara baik.

Hasil dari asesmen dapat membantu membuat keputusan tentang pemecahan perm
asalahan pada pembelajaran. Dijelaskan lebih jauh bahwa hasil asesmen akan menjadi
bahan yang penting untuk merencanakan pendidikan yang sesuai bagi mereka. Disinilah
fungsi asesmen bagi anak khususnya dibidang pendidikan. Tujuan utama dari suatu
asesmen dalam pendidikan adalah untuk memperoleh informasi yang relevan dalam
pembuatan keputusan dalam rangka pemilihan tujuan dan sasaran pembelajaran, strategi
pembelajaran,dan program penempatan yang tepat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa anak membutu
hkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan tipikal atau biasa agar dapat
mencapai potensi mereka. Implikasi penting dari perubahan paradigma tersebut adal
ah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman dan perbedaan kebutuhan in
dividu.

2. Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada
menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tegolong anak berkebutuhann khus
us atau bukan.Identifkasi akan dilanjutkan dengan asesment, yang hasilnya akan dija
dikan dasar untuk penyusunan progam pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan
ketidakmampuannya.

3. Tujuan utama dari suatu asesmen dalam pendidikan adalah untuk memperoleh infor
masi yang relevan dalam pembuatan keputusan dalam rangka pemilihan tujuan dan s
asaran pembelajaran, strategi pembelajaran,dan program penempatan yang tepat.

B. SARAN
Perlunya mendukung pendidikan bagi mereka yang merupakan anak berkebutuhan
khusus. Anak berkebutuhan khusus memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan.
Jika dilihat secara teori mungkin mereka tidak bisa dibandingkan dengan anak normal
lainnya tetapi dengan dilihat secara potensi anak berkebutuhan khusus sangat perlu
diperhatikan. Disisi lain, pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhn khusus sangat
memiliki peran penting dalam dukungan yang di berikan kepada anak berkebutuhan
khusus agar bisa mengembangkan bakat dan kelebihan mereka dalam dunia pendidikan.
Daftar Pustaka
Budyartati. (2016). Problematika Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Magetan: CV AE Media
Grafika.
Cahya, LS. (2013). Adakah ABK Di Kelasku. Yogyakarta: Relasi Inti Media.
Delphie, Bandi. (2006). Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
Fauzan, Habib Nur, dkk. (2021). Sejarah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Abk) Men
uju Inklusi. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, vol. 3, no. 3.
Habibi, M. (2018). Analisis Kebutuhan Anak Usia Dini. Yogyakarta: CV Budi Utama.
Hargove, Linda J & Poteet, James A. (1984), Assesment in Special Education, The Education
Evaluation, New Jersey, Prentice Hall, Inc.
Herawati, N. I., (2016). Pendidikan Inklusif. EduHumaniora | Jurnal Pendidikan Dasar
Kampus Cibiru, vol.2,no.1.
Lerner, Janet,W. (1989) Learning Disabilities, Teories, Diagnosis, and teaching Strategies, U
SA: Houghton Mifflin Company.

Anda mungkin juga menyukai