PENDIDIKAN INKLUSIF
BAGIAN 2
DOSEN PEMBIMBING :
Dr.Imam Yuwono, M.Pd
Dewi Ekasari Kusumastuti, M.Pd
PENDIDIKAN KIMIA
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF”.
Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang
dada dan tangan terbuka saya menerima bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik sehingga saya dapat memperbaiki makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 5
1.3 Tujuan..................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 6
2.1 Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia..................................................................... 6
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
4
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia
6
bagi orangtua, dan masyarakat serta menyediakan pusat informasi. Layanan PLB
dipeluas pada tingkat sekolah lanjutan.
2. Public Law 99-457 tahun 1986. Perundangan ini mengharuskan penyediaan layanan
khusus bagi penyandang cacat usia balita.
3. Public Law 101-476 dan 102-119 tahun 1990-1991. Perundangan ini pada dasranya
merupakan penggantian istilah handicaps dengan disabilities. The education for act
handicapped children act diganti dengan the individual with disabillities education
act. dengan istilah ini jangkauan layanan pendidikan khusus juga diperluas bagi anak
penderita autistik dan geger otak berat.
4. Keputusan kongres tahun 1994. Memberikan rekomendasi pelaksanaan Public Law
tahun 1990-1991 tentang the individuals with disabillities education act. pada
dasranya rekomendasi ini mendorong munculnya integrasi (inklusi penuh)
penyandang cacat di kelas – kelas biasa.
7
miskin dan anak-anak cacat, pendidikan untuk anak-anak dari strata sosial
masyarakat menengah dan lain-lain. Dengan demikian, upaya untuk
memperkenalkan elemen pendidikan inklusif dirunut sejak saat itu.
Namun,lembaga-lembaga yang disebutkan kemudian dibagi menjadi dua kategori
- pendidikan khusus dan pendidikan umum sekolah [ CITATION Ros93 \l 1057 ].
8
pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional
dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju
pendidikan inklusif [ CITATION Ang16 \l 1057 ].
Abin Syamsudin (2004) mengemukakan bahwa perubahan paradigma
pendidikan di Indonesia mengacu kepada dua hal yang melatar belakanginya, yaitu:
9
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
a. Pembukaan
Pembukaan berisi pengakuan harga diri dan nilai serta hak yang sama bagi
penyandang disabilitas, yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan
untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu,
pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran
terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang.
b. Tujuan
Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin
kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas,
serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang
tidak terpisahkan (inherent dignity).
10
c. Kewajiban Negara
Kewajiban negara merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui
penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap
negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan
praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik
perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam
segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga,
seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
d. Hak-hak Penyandang Disibiitas
Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari
eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk
mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan
kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan
perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan
darurat.
e. Implementasi dan Pengawasan Nasional
Negara Pihak harus menunjuk lembaga pemerintah yang menangani masalah
penyandang disabilitas yang bertanggungjawab terkait pelaksanaan Konvensi ini,
dan membangun mekanisme koordinasi di tingkat pemerintah untuk memfasilitasi
tindakan tersebut.
f. Laporan Negara Pihak dan Peran Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas
Negara Pihak wajib membuat laporan pelaksanaan Konvensi ini 2 (dua) tahun
setelah konvensi berlaku, dan laporan selanjutnya paling lambat setiap 4 (empat)
tahun atau kapan pun jika diminta Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas membahas laporan
yang disampaikan oleh Negara Pihak dan memberikan pertimbangan mengenai
cara dan sarana meningkatkan kapasitas nasional untuk pelaksanaan Konvensi ini.
Komite juga melakukan kerja sama internasional dan koordinasi dengan Komite
Pemantau Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional dan badan-badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya .
11
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya [ CITATION
Haf17 \l 1057 ].
12
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh
Deklarasi tentang Hak Asai Manusia (PBB 1948) (yang menyatakan tentang hak
pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989),
itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya
pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil
konferensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan
masalah marginalisasi itu[ CITATION Yuw15 \l 1057 ].
14
pendidikan inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam bentuk
yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan
disahkan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No.002/U/1986 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada
pendidikan terpadu anak berkebutuhan khusus juga ditempatkan di sekolah umum
namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka
harus ‘’siap’’ untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan
pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh
pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri
terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Apabila ada kegagalan pada anak
maka sistem yang dipandang bermasalah [ CITATION Yuw15 \l 1057 ] . Pada dekade
1990-2000 dengan munculnya paradigma pendidikan untuk semua yang telah menjadi
kesepakatan masyarakat dunia. Maka semua anak berhak mendapat layanan
pendidikan dengan Konsep Inklusi. Di mana sekolah-sekolah reguler secara bertahap
dapat menerima anak-anak berkebutuhan khusus yang berada disekitar sekolah
tersebut (Irdamurni, 2020).
1. Sekolah Segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkerbutuhan khusus dari
sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segresi ini berupa satuan
pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta
didik. Seperti SLB/ A untuk anak Tuna netra, SLB/B untuk anak tuna rungu, SLB/E
untuk anak tuna laras dan lain-lain. Sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama
sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, sampai pada system pembelajaran dan evaluasinya.
Kelemahan dari sekolah segresi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial
anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
15
anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di
lingkungan sosial yang luas dan wajar.
16
Utara yang tercatat mendeklarasikan diri. Baru pada tahun 2016 Nusa Tenggara
Timur dan Jawa Timur menjadi Provinsi yang mendeklarasikan penyelenggara
pendidikan Inklusif [ CITATION Haf17 \l 1057 ].
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Akhirnya semoga tulisan ini memberikan pengetahuan bagi praktisi
pendidikan akan pentingnya penerapan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah
reguler pada masing-masing daerah.Semoga pendidikan inklusif dapat
diselenggarakan di Indonesia secara menyeluruh dan pelaksanaannya dapat berjalan
dengan optimal sesuai dengan landasan-landasan penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Dengan adanya pendidikan inklusi diharapkan tidak ada lagi diskriminasi
dalam dunia pendidikan. Begitu juga kepada sekolah-sekolah yang telah
menyelenggarakan pendidikan inklusif hendaknya jangan putus asa dengan birokrasi
yang ada, akan tetapi tetap berkoordinasi dengan Direktorat Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus Pusat agar pendidikan anak berkebutuhan khusus tetap terlaksana
sebagaimana mestinya.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ainscow, Mel. (2005). Developing inclusive education systems: What are the levers for
change? Journal of Educational Change 6.2: 109–124.
Angga, S. (2016). Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif. Golden Age Jurnal
Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 3. 1-14.
Direktorat PKLK, Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, Jakarta, Direktorat PKLK, 2014
Hafiz, A. (2017). Sejarah dan Perkrmbangan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal As-
Salam, Vol.1. No.3. 9-15.
Herawati, N. (2012). Pendidikan Inklusif. Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru, Vol. 2
No. 1 .
Irdamurni. (2020). Pendidikan Inklusif : Solusi dalam Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Kencana.
Jonsson, O. (2016). Democratic and Inclusive Education in Iceland: Transgression and the
Medical Gaze . Nordic Journal of Social Research, Vol. 7. 77-92.
Maulipaksi, D. (2017, Februari Rabu). Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung
Pendidikan Inklusi. Retrieved Oktober Minggu, 2020, from Kemdikbud:
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-
slb-dukung-pendidikan-inklusi
Peters, Susan J. (2004). Inclusive education: An EFA strategy for all children. Washington,
DC: World Bank, Human Development Network.
Skrtic, Thomas M., Wayne Sailor, and Kathleen Gee. (1996). Voice, collaboration, and
inclusion democratic themes in educational and social reform initiatives. Remedial
and Special Education 17.3: 142–157.
Slee, Roger. (2001). Social justice and the changing directions in educational research: The
case of inclusive education. International Journal of Inclusive Education 5.2–3: 167–
177.
19
Tarsidi, D. (June 15-17, 2004). Implementation of Inclusive Education in Indonesia. Makalah
disajikan pada 8th International Congress on Including Children with Disabilities in
the Community. Stavanger, Norway:
http://dtarsidi.blogspot.com/2007_07_05_archive.html.
UNESCO. (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special. Paris:
Auth.
20