Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENDIDIKAN INKLUSIF

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAGIAN 2

DOSEN PEMBIMBING :
Dr.Imam Yuwono, M.Pd
Dewi Ekasari Kusumastuti, M.Pd

Rizky Ziddan (1810120110004)


Aliyya Khairunnisa Adzahra (1810120220010)
Ellisa Nurramadhani (1810120120016)
Maisyaroh (1810120120006)
Norlaila (1810120120030)
Nur Febriani Ghadah (1810120120014)
Putri Pratiwi (1810120220006)
Rismalia Meitiyanah (1810120120008)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN KIMIA

2020
KATA PENGANTAR

      Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF”.

Adapun makalah SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF ini


telah saya usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya tidak lupa
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang
dada dan tangan terbuka saya menerima bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik sehingga saya dapat memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah tentang SEJARAH DAN


PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Banjarmasin,15 Oktober 2020

                                                                                                                           Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 5

1.3 Tujuan..................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 6
2.1 Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia..................................................................... 6

2.2 Sejarah Pendidikan Inklusif Di Indonesia................................................................ 8

2.3 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia.......................................................... 12


2.4 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia.................................................... 13

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 18


3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 18
3.2 Saran........................................................................................................................ 18
Daftar Pustaka................................................................................................................... 19
Lampiran............................................................................................................................ 21
Deskripsi Tugas Anggota Kelompok............................................................................... 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Menurut Yuwono (2015) Pendidikan inklusif adalah menciptakan pendidikan


yang bermutu, adil, dan tanpa diskriminasi. Pendidikan Inklusif merupakan jalan bagi
anak-anak penyandang Disabilitas dan penyandang ketunaan lainnya untuk dapat
menunjukkan eksistensi mereka dengan segala kelebihan yang mereka miliki. Banyak
kita temui anak-anak yang memiliki bakat yang luar biasa dari segi seni, tari, musik,
intelejensi, maupun kecakapan Lifeskill lainnya[ CITATION Haf17 \l 1057 ] . Munculnya
pemikiran tentang pendidikan inklusif dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang
terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan social,
ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Factor utama yang menyebabkan mereka
terpinggirkan / tertolak adalah factor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga
pendidikan menjadi isu utama utnuk mengatasi masalah ini.

Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia mulanya diprakarsai dan


diawali dari negara – negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Tuntutan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia
tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education
for all”. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan
inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive
education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang


pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional
dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju
pendidikan inklusif. Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.

Dengan adanya pendidikan inkulsif, sekolah dituntut melakukaan berbagai


perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang
berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi. Dengan begitu anak yang
memiliki kebutuhan khusus dapat terpenuhi pendidikannya sesuai dengan potensi
masing-masing

4
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut rumusan masalah makalah ini adalah sebagai


berikut :

1. Bagaimana sejarah pendidikan inkulsif di dunia?


2. Bagaimana sejarah pendidikan inkulsif di Indonesia?
3. Bagaimana perkembangan Pendidikan Inklusif di dunia ?
4. Bagaimana perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia ?

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan tersebut tujuan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sejarah pendidikan inkulsif di dunia.


2. Untuk mengetahui sejarah pendidikan inkulsif di Indonesia.
3. Untuk mengetahui perkembangan Pendidikan Inklusif di dunia.
4. Untuk perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia.

5
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pendidikan Inklusif di Dunia

Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia mulanya diprakarsai dan


diawali dari negara – negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika
Serikat pada tahun 1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar – pakar
Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least
restrictive environment,yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.
Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep
pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif (Irdamurni, 2020).
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama
sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi
dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi
“education for all”. Implikasi dari statmen ini mengikat bagi semua anggota
konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus)
mendapatkan layanan pendidikan secara memadai(Irdamurni, 2020).
Berdasarkan buku yang ditulis Irdamurni (2020) Sebagai tindak lanjut
deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya
dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive education”. Untuk
memperjuangkan hak – hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan
simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi
Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan
program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak
benar – benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Perkembangan sistem Pendidikan Luar Biasa di Amerika Serikat hampir sama
dengan di Inggris meskipun perbedaan pendapat dan masalah sosial yang
melatarbelakangi lebih besar. Konsep mainstreaming ternyata cocok diterapkan di
Amerika Serikat. Puncaknya adalah dengan diundangkannya Public Law (94-142)
yang dikenal dengan Education for All Handicapped Childen Act tahun 1975. Ada
empat hal yang ditekankan dalam undang – undang ini yaitu :
1. Zero reject (tidak satu pun sekolah yang menolak anak bersekolah karena cacat).
2. Non discriminatory assesment (tes identifikasi yang tidak diskriminatif).
3. Individuallized educational plan (program pembelajaran yangg diindividualkan).
4. Least restrictive environment (lingkungan yang paling tidak terbatas).
Sejak itu banyak perubahan dalam layanan PLB di Amerika Serikat, Shanker
(1996) mencatat empat perkembangan dalam 20 tahun kemudian, yakni sebagai
berikut:
1. Public Law 89-199 tahun 1983. Perundangan ini mengharuskan sekolah
merencanakan program transisi pada tingkat sekolah lanjutan, mengadakan pelatihan

6
bagi orangtua, dan masyarakat serta menyediakan pusat informasi. Layanan PLB
dipeluas pada tingkat sekolah lanjutan.
2. Public Law 99-457 tahun 1986. Perundangan ini mengharuskan penyediaan layanan
khusus bagi penyandang cacat usia balita.
3. Public Law 101-476 dan 102-119 tahun 1990-1991. Perundangan ini pada dasranya
merupakan penggantian istilah handicaps dengan disabilities. The education for act
handicapped children act diganti dengan the individual with disabillities education
act. dengan istilah ini jangkauan layanan pendidikan khusus juga diperluas bagi anak
penderita autistik dan geger otak berat.
4. Keputusan kongres tahun 1994. Memberikan rekomendasi pelaksanaan Public Law
tahun 1990-1991 tentang the individuals with disabillities education act. pada
dasranya rekomendasi ini mendorong munculnya integrasi (inklusi penuh)
penyandang cacat di kelas – kelas biasa.

Pada tanggal 3 Desember 1992 dicanangkan sebagai hari Disabilitas


Internasional oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa. Sehingga hampir di seluruh
dunia memperingatinya. Disabilitas sendiri merupakan kata serapan yang berasal dari
Bahasa Inggris Disability yang berarti Cacat. Osborne mengungkapkan dalam
Mudjito, dkk (2012), mengungkapkan kategori Disabilitas menurut IDEA yang
merupakan singkatan dari The Individual with Disabilities Education Act dengan:
a. with mental Retardation, hearing impairments including deafness, speech or
language impairments, visual impairments including blindness, ortopedic
impairments, autism, traumatic brain injury, other health impairments, or
spescific learning disabilities, and
b. who by reason ther of, need special attention and related service

Menurut defenisi di atas terlihat bahwa, anak-anak penyandang disabilitas


dikategorikan menjadi dua bagian, yang pertama anak-anak yang mengalami masalah
segi fisik, psikologis, maupun ketidak-mampuan mengikuti pembelajaran tertentu.
Kelompok selanjutnya merupakan anak normal yang tumbuh seperti anak-anak pada
umumnya, namun mereka tidak mendapatkan kesempatan sekolah dikarenakan
kondisi tempat tinggalnya yang jauh dari sekolah, berasal dari keluarga miskin,
permasalahan rumah tangga dan lain sebagainya [ CITATION Haf17 \l 1057 ]..

Beberapa perkembangan sejarah pendidikan inklusif dibeberapa negara lain :

a) Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif di Negara Swedia


Analisis dan interpretasi presentasi komprehensif sejarah Swedia tentang
perkembangan pendidikan khusus di negara Swedia sejak 1842, ketika
memperkenalkan apa yang disebut "sekolah umum" (allmänfolkskola). Tujuan
dari sekolah itu melekatkan semua warga negara pada pendidikan (sampai 1842
hanya warga yang tergolong menengah dan lapisan sosial atas masyarakat bisa
mendapatkan pendidikan). Dalam prakteknya ternyata mendidik lembaga dibagi
menjadi dua kelompok: satu memberikan pelatihan bagi segmen penduduk

7
miskin dan anak-anak cacat, pendidikan untuk anak-anak dari strata sosial
masyarakat menengah dan lain-lain. Dengan demikian, upaya untuk
memperkenalkan elemen pendidikan inklusif dirunut sejak saat itu.
Namun,lembaga-lembaga yang disebutkan kemudian dibagi menjadi dua kategori
- pendidikan khusus dan pendidikan umum sekolah [ CITATION Ros93 \l 1057 ].

Menurut ilmuwan Swedia James Rosenqvist (Departemen Pendidikan,


Universitas Lund),pengembangan pendidikan khusus di Swedia dapat dibagi
menjadi tiga tahap:
1. Tahap tidak ada perbedaan antara anak berkebutuhan pendidikan khusus (sekolah
khusus tidakDidistribusikan oleh nosology, mereka menerima anak-anak dengan
penyimpangan dari “norma”, tujuan darisekolah mengajar anak-anak
keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup);
2. Tahapan pendistribusian SLB sesuai dengan perbedaan kesehatan anak
(khususSekolah didistribusi secara nosologi, itu merupakan awal dari
perkembangan pendidikanprogram yang memperhatikan karakteristik masing-
masing kelompok);
3. Tahap integrasi (pendidikan khusus secara bertahap diganti dengan bentuk
pendidikan inklusif).

b) Sejarah Perkembangan Pendidikan di Negara Islandia


Pendidikan inklusif di Islandia menjadi bagian dari kebijakan demokratisasi
pendidikan setelah menerima Schools Act (1974). Tujuan utama dari pendidikan
menengah wajib disaat itu adalah persiapan mahasiswa untuk hidup dan berkarya
dalam masyarakat demokratis. Sebenarnya istilahnya"Inklusi" muncul hanya 20
tahun setelah penandatanganan Pernyataan Salamanca dan kerangka
tindakanmenuju pendidikan orang dengan kebutuhan khusus (1994) oleh Islandia
bersama dengan negara-negara Nordik lainnya(1994). Namun, dokumen tahun
1974 itu sendiri memiliki implikasi yang jelas terhadap perkembangan negara
pendidikan inklusif: perlunya menyediakan akses yang sama ke pendidikan
sekolah umum kualitatif dari semua anak tanpa kecuali, tanpa mengisolasi dari
keluarga. Jadi tujuan utama sekolah lokal adalah untuk mempertimbangkan
perbedaan setiap anak dan mengembangkan program pendidikan yang fleksibel
dan rencana untuk pendekatan pendidikan individual [CITATION Jon16 \l 1057 ].

2.2 Sejarah Pendidikan Inklusif di Indonesia

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif di dunia tersebut,


maka Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program
pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu
yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi
kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali
dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan
inklusif.Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang

8
pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional
dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju
pendidikan inklusif [ CITATION Ang16 \l 1057 ].
Abin Syamsudin (2004) mengemukakan bahwa perubahan paradigma
pendidikan di Indonesia mengacu kepada dua hal yang melatar belakanginya, yaitu:

1) Perubahan mengikuti perkembangan sosial politik, perubahan dimaksud adalah


perubahan pandangan dari memandang bahwa pendidikan anak didasarkan atas
keadaan karakteristik aak. Menjadi pendangan bahwa pendidikan anak didasarkan
pada perspektif kebutuhan anak.
Dengan visi adanya perbedaan antara normal dan tidak normal (normal-abnormal).
Normal dengan berkelainan (normal-exceptional), mampu dengan tidak mampu
(able-disable). Dengan jenis – jenis yang meliputi: Retardasi mental, gangguan
mental, gifted, talented, gangguan fisik, buta, tuli, gangguan sosial, gangguan ganda,
kesulitan belajar, terabaikan. Kini berubah ke arah layanan pendidikan berdasarkan
kebutuhan, yaitu: Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan.
Maka pendidikan diberikan untuk semua, tidak lagi didasarkan atas karakteristik.
2) Perubahan paradigma sistem pendidikan. Perubahan dimaksud secara garis besar
adalah sebagai berikut: sampai dengan tahun 1900 pendidikan khusus masih belum
mendapat perhatian, anak berkebutuhan khusus terasing dari masyarakat, dan
cenderung mendapat penolakan.

Semenjak dikeluarkannya Undang-undang pendidikan nomor 12 tahun 1954


pendidikan bagi anak-anak yang memiliki kelainan fisik dan mental sudah terjamin
secara hukum. Jaminan itu diberikan dalam bentuk sekolah bagi anak-anak
penyandang disabilitas yang diakomodir oleh berbagai macam sekolah luar biasa.
SLB-A untuk Tuna netra, SLB-B bagi tuna rungu-wicara, SLB-C untuk tuna grahita,
SLB-D untuk tuna daksa, SLB-E untuk tuna laras, SLB-G untuk tuna ganda. Jaminan
pendidikan itu semakin menguat khususnya semenjak keluarnya program pemerintah
tahun 1984 tentang program wajib belajar enam tahun. Imbas dari program tersebut
menghendaki seluruh anak usia sekolah dasar wajib bersekolah dan menamatkan
pendidikan minimal enam tahun. Berbagai program pendukungpun disusun, mulai
dari pendirian sekolah baru, paket A, sekolah kecil hingga sekolah terbuka. Perubahan
juga dirasakan oleh sekolah-sekolah luar biasa yang ada, dengan daya tampung yang
terbatas makanpemerintah melebur SLB yang ada menjadi SDLB (Sekolah Dasar
Luar Biasa), SMPLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) dan SMALB (Sekolah
Menengah Atas Luar Biasa) [ CITATION Haf17 \l 1057 ].

Keseriusan pemerintah mengenai hak-hak penyandang disabilitas dalam


bidang Pendidikan dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003. Yang di dalamnya termaktub hak-hak penyandang disabilitas, yakni dalam Bab
IV Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang berbunyi;
1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
pendidikan yang bermutu.

9
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang–


Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan
bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus
untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.Selanjutnya melalui surat
edaran (Kemendiknas, 2010: 6) Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.
380/C.C6/MN/2003 20 Januari 2003: ”setiap kabupaten/ kota diwajibkan
menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif di sekurang-kurangnya 4
(empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, SMK” [ CITATION Haf17 \l 1057 ].

Di samping itu perhatian badan dunia terhadap penyandang Disabilitas juga


tidak hanya sebatas peringatan ceremonial semata, tepatnya 13 Desember 2006
dimana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor
A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Menindak lanjuti resolusi tersebut
Pemerintah Indonesia menandatangani Convention on the Rights of Persons with
Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30
Maret 2007 di New York. Penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan
Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-
hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi
kesejahteraan para penyandang disabilitas [ CITATION Haf17 \l 1057 ].

Selanjutnya Pemerintah Mengesahkan Konvensi yang telah ditanda tangani


tersebut dengan melahirkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Adapun Pokok-Pokok Isi Konvensi
tersebut menurut Hafiz (2017) ialah:

a. Pembukaan
Pembukaan berisi pengakuan harga diri dan nilai serta hak yang sama bagi
penyandang disabilitas, yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan
untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu,
pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran
terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang.
b. Tujuan
Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin
kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas,
serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang
tidak terpisahkan (inherent dignity).

10
c. Kewajiban Negara
Kewajiban negara merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui
penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap
negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan
praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik
perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam
segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga,
seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
d. Hak-hak Penyandang Disibiitas
Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari
eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk
mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan
kesamaan dengan orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan
perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan
darurat.
e. Implementasi dan Pengawasan Nasional
Negara Pihak harus menunjuk lembaga pemerintah yang menangani masalah
penyandang disabilitas yang bertanggungjawab terkait pelaksanaan Konvensi ini,
dan membangun mekanisme koordinasi di tingkat pemerintah untuk memfasilitasi
tindakan tersebut.
f. Laporan Negara Pihak dan Peran Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas
Negara Pihak wajib membuat laporan pelaksanaan Konvensi ini 2 (dua) tahun
setelah konvensi berlaku, dan laporan selanjutnya paling lambat setiap 4 (empat)
tahun atau kapan pun jika diminta Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Komite Pemantau Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas membahas laporan
yang disampaikan oleh Negara Pihak dan memberikan pertimbangan mengenai
cara dan sarana meningkatkan kapasitas nasional untuk pelaksanaan Konvensi ini.
Komite juga melakukan kerja sama internasional dan koordinasi dengan Komite
Pemantau Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional dan badan-badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya .

Sebenarnya Pemerintah telah membentuk berbagai peraturan perundang-


undangan yang di dalamnya juga mengatur pelindungan terhadap penyandang
disabilitas. Di dalam berbagai undang-undang di atas banyak memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi para penyandang disabilitas, namun baru
pada Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009 Pemerintah melalui Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan memberikan solusi baru dalam dunia pendidikan. Dimana dalam
Permendikbud tersebut ditetapkan tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Lebih
lanjut dikatakan dalam Permendikbud ini didefenisikan Pendidikan inklusif adalah
Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua

11
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya [ CITATION
Haf17 \l 1057 ].

2.3 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Dunia

Pendidikan inklusif awalnya muncul dalam literatur penelitian pada akhir


1980-an. Dibingkai sebagai alternatif dari pendidikan khusus, pendidikan inklusif
memperluas tanggung jawab sekolah dan sistem sekolah untuk meningkatkan akses,
partisipasi, dan kesempatan belajar bagi populasi siswa yang terpinggirkan.
Menggunakan lensa budaya untuk membingkai praktik pendidikan, pendidikan
inklusif dapat dilihat sebagai interaksi kolaboratif, saling konstitutif, responsif antara
peserta didik dan guru (Skrtic, et al. 1996). Pendidikan inklusif menawarkan
kemungkinan untuk merubah pengertian dominan tentang ras, bahasa, kemampuan,
jenis kelamin, dan agama (Slee 2001). Ainscow (2005) menyarankan bahwa
pendidikan inklusif membutuhkan pengorganisasian sekolah sebagai komunitas
praktik melibatkan partisipasi dan memberikan hak istimewa pada jenis praktik
tertentu.

Munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif dilatarbelakangi adanya


sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi
dalam kehidupan social, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Factor utama yang
menyebabkan mereka terpinggirkan / tertolak adalah factor pendidikan (UNESCO,
1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama utnuk mengatasi masalah ini. Jika
mengacu pada data International Consultative Forum on Education for (2000) di
dunia ini terdapat 115 juta orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah.
90% dari jumlah itu berada di negara yang pernghasilannya rendah hingga menengah
serta lebih dari 80 juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika.
Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka drop out/putus sekolah
padahal pendidikannya belum selesai [ CITATION Yuw15 \l 1057 ].

Berdasarkan itu maka negara-negara yang termasuk dalam Perserikatan


Bangsa-bangsa (PBB) mencoba mencari solusinya. Mereka, melalui lembaga di
bawah naungan PBB, yaitu UNESCO, mengusulkan untuk mengadakan suatu
konferensi internasional. Usulan itu diterima oleh PBB karena tidak bertentangan
dengan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1948) dan Konvensi Hak Anak (1989).
Konferensi pun terlaksana pada tahun 1990 di Thailand dengan nama The Jomitien
World Conference on Education for All, diikuti oleh hampir seluruh negara anggota
PBB, beberapa organisasi di bawah naungan PBB (UNESCO, UNICEF, WHO, dll)
serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional dan internasional. Di dalam
konferensi itu, mereka berupaya serius mencari solusi. Dalam konferensi ini lah
munculnya konsep pendidikan untuk semua[ CITATION Yuw15 \l 1057 ].

12
Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa konferensi tersebut dilandasi oleh
Deklarasi tentang Hak Asai Manusia (PBB 1948) (yang menyatakan tentang hak
pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang) dan Konvensi Hak Anak (1989),
itulah dokumen internasional pertama yang menjadi rujukan hukum munculnya
pemikiran pendidikan inklusif dikemudian hari. Selanjutnya, UU dan dokumen hasil
konferensi tersebut terus digunakan untuk menjadi landasan dalam memecahkan
masalah marginalisasi itu[ CITATION Yuw15 \l 1057 ].

Hasil dari konferensi diantaranya menyatakan bahwa : (1) memberi


kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang
sesuai bagi anak. Dalam kenyataannya hasil konferensi belum termasuk di dalamnya
anak-anak berkebutuhan khusus.

Mengingat hasil konferensi itu, memunculkan pemikiran kritis dari organisasi


berkebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus serta didukung oleh beberapa
negara. Kemudian mereka membuat suatu konferensi dengan landasan konferensi
sebelumnya ditambah dengan Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk
Orang-Orang Berkembutuhan khusus (PBB, 1993). Konferensi ini dinamai The
Salamanca World Conference on Special Needs Educations [ CITATION UNE94 \l 1057 ].
Dari konferensi inilah mucul prinsip-prinsip dan konsep dasar dari pendidikan
inklusif, yang selanjutnya dikenal dengan pernyataan Salamanca tentang pendidikan
inklusif.

Untuk mengukuhkan pernyataan dan konsep pendidikan inklusif yang


dihasilkan di Salamanca dan diharapkan menjadi konsep milik bersama maka PBB
melalui UNESCO menyelenggarakan konferensi pendidikan untuk semua (PUS)
kedua di Dakar tahun 2000. Dari Konferensi PUS kedua ini lah mulai muncul
kerangka aksi pelaksanaan pendidikan inklusif yang dibagi berdasarkan
wilayah/region. Contohnya, pada bulan oktober 2002 kelompok kerja Asia Pasifik
meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja
regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam
pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk sepuluh tahun yang akan datang
(Raharja, 2006)

 1960-an : Pendidikan intergrasi (terutama bagi tunanetra) mulai dipraktekkan di


berbagai negara.
 1980-an : Istilah “inclusive education” diperkenalkan dan dipraktekkan di Canada
dan berkembang ke AS dan negara-negara lain.
 1994-an : Istilah pendidikan inklusif pertama kali meuncul dalam dokumen
kebijakan internasional: The Salamanca Statement, The World Conference on
Special Needs Education.

2.4 Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia

Proses menuju pendidikan inklusif bagi anak luar biasa di Indonesia


hakekatnya sudah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1960-an yang ditandai dengan
13
berhasil diterimanya beberapa lulusan SLB Tunanetra di Bandung masuk ke sekolah
umum, meskipun ada upaya penolakan dari pihak sekolah. Lambat-laun terjadi
perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia
menerima siswa tunanetra. Selanjutnya, pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai
menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen
Keller International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi
[ CITATION Ang16 \l 1057 ].

Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan


Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat.
Sangat disesalkan, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi
pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. Pada
akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan
inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di
bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB (Tarsidi, 2007).

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka


Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program
pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu
yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi
kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali
dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.
Sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan pendidikan
inklusif bagi penyandang cacat, pada tahun 2002 pemerintah secara resmi mulai
melakukan proyek ujicoba di di berbagai 9 propinsi yang memiliki pusat sumber dan
sejak saat itu lebih dari 1500 siswa berkelainan telah bersekolah di sekolah reguler,
dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 6.000 siswa atau 5,11% dari seluruh jumlah
anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,5% atau
15.181 siswa yang tersebar pada 796 sekolah inklusif yang terdiri dari 17 TK, 648
SD, 75 SLTP, dan 56 SLTA [ CITATION Ang16 \l 1057 ].

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang


pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional
dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju
pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar,
pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan
menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya
terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin
bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas dan layak. [ CITATION Ang16 \l 1057 ].

Tahun 1901-1980 perhatian pemerintah mulai kepada pendidikan tunanetra


dan anak berkebutuhan khusus lainnya dalam Konsep segregasi dan sekaligus
mendapatkan perhatian diberbagai daerah dengan dibukanya lembaga-lembaga
pendidikan khusus (SLB/sekolah luar biasa) (Irdamurni, 2020).Di indonesia,

14
pendidikan inklusi sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1986 namun dalam bentuk
yang sedikit berbeda. Sistem pendidikan tersebut dinamakan Pendidikan Terpadu dan
disahkan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No.002/U/1986 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu di Indonesia. Pada
pendidikan terpadu anak berkebutuhan khusus juga ditempatkan di sekolah umum
namun mereka harus menyesuaikan diri pada sistem sekolah umum. Sehingga mereka
harus ‘’siap’’ untuk diintegrasikan ke dalam sekolah umum. Apabila ada kegagalan
pada anak maka anak dipandang yang bermasalah. Sedangkan yang dilakukan oleh
pendidikan inklusi adalah sebaliknya, sekolah dibuat siap dan menyesuaikan diri
terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Apabila ada kegagalan pada anak
maka sistem yang dipandang bermasalah [ CITATION Yuw15 \l 1057 ] . Pada dekade
1990-2000 dengan munculnya paradigma pendidikan untuk semua yang telah menjadi
kesepakatan masyarakat dunia. Maka semua anak berhak mendapat layanan
pendidikan dengan Konsep Inklusi. Di mana sekolah-sekolah reguler secara bertahap
dapat menerima anak-anak berkebutuhan khusus yang berada disekitar sekolah
tersebut (Irdamurni, 2020).

Berdasarkan pernyataan di atas maka Pendidikan inklusif hanya merupakan


salah satu model penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model
yang lain di antaranya adalah sekolah segregasi dan Pendidikan terpadu. Menurut
jurnal yang ditulis Herawati (2012) perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas
sebagai berikut.

1. Sekolah Segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkerbutuhan khusus dari
sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segresi ini berupa satuan
pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta
didik. Seperti SLB/ A untuk anak Tuna netra, SLB/B untuk anak tuna rungu, SLB/E
untuk anak tuna laras dan lain-lain. Sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama
sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, sampai pada system pembelajaran dan evaluasinya.
Kelemahan dari sekolah segresi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial
anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.

2. Sekolah integrasi atau terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan


kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah
reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual
anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada
peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka
konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem
yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak
yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler.
Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak
berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individu

15
anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di
lingkungan sosial yang luas dan wajar.

3. Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada


sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan
dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata
lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan
dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang
menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak
berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai
dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya
dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukan berbagai perubahan,
mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada
kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

Perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia Kementrian Pendidikan dan


Kebudayaan lewat Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen
Dikdasmen) merilis data bahwa dari 514 kabupaten/kota di seluruh tanah air, masih
terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Lebih lanjut disampaikan
bahwa dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, baru 18 persen yang
sudah mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Sekitar 115 ribu anak berkebutuhan
khusus bersekolah di SLB, sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah
reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar 299 ribu. Untuk memberikan
akses pendidikan kepada ABK yang tidak bersekolah di SLB, Kemendikbud telah
menjalankan program Sekolah Inklusi. Sekolah Inklusi adalah sekolah regular (non-
SLB) yang juga melayani pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Di sekolah
reguler, anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak-anak reguler lainnya,
dengan pendampingan guru khusus selama kegiatan belajar mengajar. Saat ini
terdapat 32-ribu sekolah reguler yang menjadi Sekolah Inklusi di berbagai daerah
[ CITATION Mau17 \l 1057 ]

Untuk menjalankan amanah undang-undang pemerintah melakukan berbagai


upaya agar penyelenggaraan Pendidikan Inklusif terus digalakkan di berbagai daerah
di Indonesia termasuk dengan memberikan Piagam Penghargaan bagi Provinsi dan
Kabupaten/kota yang mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara Pendidikan
Inklusif. Diantara Provinsi yang telah mendeklarasikan diri menjadi penyelenggara
Pendidikan Inklusif diantaranya; Pada tahun 2012 dimulai oleh Provinsi Kalimantan
Selatan, kemudian pada tahun 2013 dilanjutkan oleh Provinsi Aceh, Sumatra Selatan,
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Pada tahun 2014 Provinsi Sulawesi
Tenggara mendeklarasikan diri dengan disusul oleh Provinsi Sumatra Barat, Provinsi
Bali dan Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun 2015 hanya Provinsi Sumatera

16
Utara yang tercatat mendeklarasikan diri. Baru pada tahun 2016 Nusa Tenggara
Timur dan Jawa Timur menjadi Provinsi yang mendeklarasikan penyelenggara
pendidikan Inklusif [ CITATION Haf17 \l 1057 ].

Menurut Hafiz (2017) pendidikan Inklusif merupakan jalan bagi anak-anak


penyandang Disabilitas dan penyandang ketunaan lainnya untuk dapat menunjukkan
eksistensi mereka dengan segala kelebihan yang mereka miliki. Banyak kita temui
anak-anak yang memiliki bakat yang luar biasa dari segi seni, tari, musik, intelejensi,
maupun kecakapan Lifeskill lainnya.
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di sekolah-sekolah biasa memberikan
dampak secara tidak langsung kepada para penyandang disabilitas, dimana
keberadaan anak-anak normal yang berada dilingkungan belajar mereka dapat
melupakan sejenak kekurangan yang mereka alami. Begitupun sebaliknya, anak-anak
normal yang menjadi teman sekelas mereka menjadi lebih empati, suka menolong,
berbagi dan mendahulukan kepentingan teman mereka yang lebih membutuhkan
bantuan daripada ego mereka sendiri. Hal ini susah mereka dapatkan ketika mereka
hanya bergaul dengan sesama anak normal, terkadang tidak mau mengalah karena
mereka sama-sama merasa lebih satu dengan yang lain. Akan tetapi dengan
bergaulnya mereka dengan penyandang Disabilitas mereka melihat langsung teori-
teori yang dipaparkan oleh Guru mereka tentang budi pekerti yang harus mereka
miliki dalam kehidupan sehari-hari [ CITATION Haf17 \l 1057 ].

17
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Munculnya pemikiran tentang pendidikan inklusif dilatarbelakangi adanya


sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga tidak dapat berpartisipasi
dalam kehidupan social, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Factor utama yang
menyebabkan mereka terpinggirkan / tertolak adalah factor pendidikan (UNESCO,
1990) sehingga pendidikan menjadi isu utama utnuk mengatasi masalah ini.

Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia mulanya diprakarsai dan


diawali dari negara – negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Tuntutan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak
diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia
tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “education
for all”. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan
inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “the Salamanca statement on inclusive
education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang


pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional
dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju
pendidikan inklusif. Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.

3.2 Saran
Akhirnya semoga tulisan ini memberikan pengetahuan bagi praktisi
pendidikan akan pentingnya penerapan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah
reguler pada masing-masing daerah.Semoga pendidikan inklusif dapat
diselenggarakan di Indonesia secara menyeluruh dan pelaksanaannya dapat berjalan
dengan optimal sesuai dengan landasan-landasan penyelenggaraan pendidikan
inklusif. Dengan adanya pendidikan inklusi diharapkan tidak ada lagi diskriminasi
dalam dunia pendidikan. Begitu juga kepada sekolah-sekolah yang telah
menyelenggarakan pendidikan inklusif hendaknya jangan putus asa dengan birokrasi
yang ada, akan tetapi tetap berkoordinasi dengan Direktorat Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus Pusat agar pendidikan anak berkebutuhan khusus tetap terlaksana
sebagaimana mestinya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abin, S. M. (2004). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ainscow, Mel. (2005). Developing inclusive education systems: What are the levers for
change? Journal of Educational Change 6.2: 109–124.

Angga, S. (2016). Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan Inklusif. Golden Age Jurnal
Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol. 1 No. 3. 1-14.

Direktorat PKLK, Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, Jakarta, Direktorat PKLK, 2014

Direktoral PSLB, Profil Pendidikan Inklusif Indonesia, Jakarta Kemendiknas, 2010.

Hafiz, A. (2017). Sejarah dan Perkrmbangan Pendidikan Inklusif di Indonesia. Jurnal As-
Salam, Vol.1. No.3. 9-15.

Herawati, N. (2012). Pendidikan Inklusif. Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru, Vol. 2
No. 1 .

Irdamurni. (2020). Pendidikan Inklusif : Solusi dalam Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Kencana.

Jonsson, O. (2016). Democratic and Inclusive Education in Iceland: Transgression and the
Medical Gaze . Nordic Journal of Social Research, Vol. 7. 77-92.

Maulipaksi, D. (2017, Februari Rabu). Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung
Pendidikan Inklusi. Retrieved Oktober Minggu, 2020, from Kemdikbud:
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-
slb-dukung-pendidikan-inklusi

Mudjito, dkk. (2012). Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media Jakarta.

Peters, Susan J. (2004). Inclusive education: An EFA strategy for all children. Washington,
DC: World Bank, Human Development Network.

Raharja, D. (2006).Program Report by Visiting Foreign Research Fellows No.9. Pengantar


Pendidikan Luar Biasa (Introduction to Special Education. Tsukuba: CRICED.

Rosenqvist, J. (1993). Special Education in Sweden. European Journal of Special Needs


Education, Vol.8 No.1. 59-74.

Skrtic, Thomas M., Wayne Sailor, and Kathleen Gee. (1996). Voice, collaboration, and
inclusion democratic themes in educational and social reform initiatives. Remedial
and Special Education 17.3: 142–157.

Slee, Roger. (2001). Social justice and the changing directions in educational research: The
case of inclusive education. International Journal of Inclusive Education 5.2–3: 167–
177.
19
Tarsidi, D. (June 15-17, 2004). Implementation of Inclusive Education in Indonesia. Makalah
disajikan pada 8th International Congress on Including Children with Disabilities in
the Community. Stavanger, Norway:
http://dtarsidi.blogspot.com/2007_07_05_archive.html.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of


Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UNESCO. (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special. Paris:
Auth.

Yuwono, I. &. (2015). Pendidikan Inklusif Paradigma Pendidikan Ramah Anak.


Banjarmasin: Pustaka Banua.

20

Anda mungkin juga menyukai