Anda di halaman 1dari 29

ISU-ISU AKTUAL

DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Dosen Pembimbing :
Indra Fajar Nurdin, S.Pd., M.Ag.

Disusun Oleh :
Laila Safitri (16410064)
Amri Adhitya (16410067)
Wening Tirtaningrum (16410077)
Chaamid Nur Fajri (16410095)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang membahas
tentang isu terkini mengenai pendidikan multikultural untuk memenuhi tugas mata
kuliah Isu-Isu Aktual dalam Pendidikan dengan judul: Isu Pendidikan Multikultural
yang dibimbing oleh Bapak Indra Fajar Nurdin, S.Pd., M.Ag., dengan lancar dan
tanpa halangan apa pun.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Indra Fajar Nurdin, S.Pd., M.Ag. selaku dosen mata kuliah Isu-Isu Aktual
dalam Pendidikan yang telah membantu dan membimbing dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan
agar makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat.

Yogyakarta, Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan .......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Multikultural ........................................... 3
B. Sejarah Pendidikan Multikultural ................................................ 5
C. Pendekatan Pendidikan Multikultural .......................................... 6
D. Urgensi Pendidikan Multikultural ................................................ 8
E. Isu-Isu dalam Pendidikan Multikultural ...................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 17
DARTAR PUSTAKA ......................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, pendidikan menjadi suatu hal yang amat penting. Melalui
pendidikan, kesejarteraan dan martabat manusia bisa menjadi lebih baik. Hal ini
sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah: 11 yang mana Allah akan
meninggikan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan pendidikan menjadi lebih
kompleks. Salah satunya adalah keberagaman. Keberagaman merupakan
keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Adanya perbedaan antarmanusia kerap kali
dapat menimbulkan konflik. Hal ini terjadi karena belum tumbuhnya kesadaran
untuk saling memahami antar satu sama lainnya. Akibatnya, timbullah persekusi dan
diskriminasi di beberapa tempat.
Pendidikan multikultural merupakan inovasi dalam bidang pendidikan yang
mulai dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman berupa perbedaan dan
keberagaman. Bukan hanya perbedaan lahiriah (etnis, ras, suku, agama, dan ainnya),
tetapi juga perbedaan pandangan. Pendidikan multikultural berusaha memberikan
peluang yang sama kepada setiap manusia dalam hal kesempatan untuk memperoleh
pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan multikultural menjadi bagian yang sangat
penting untuk dipelajari, baik oleh guru maupun calon guru.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pendidikan Multikultural?
2. Bagaimana sejarah singkat timbulnya Pendidikan Multikultural?
3. Apa saja pendekatan dalam Pendidikan Multikultural?
4. Apa saja urgensi Pendidikan Multikultural?
5. Apa saja isu-isu dalam Pendidikan Multikultural?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Pendidikan Multikultural.
2. Mengetahui sejarah singkat timbulnya Pendidikan Multikultural.
3. Mengetahui pendekatan dalam Pendidikan Multikultural.
4. Mengetahui urgensi Pendidikan Multikultural.
5. Mengetahui isu-isu dalam Pendidikan Multikultural.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Multikultural


1. Pengertian Pendidikan
Sebagaimana dikutip Dwi Siswoyo (2013), bahwasanya J.B. Thomas,
G. Terry Page, dan A.R. Marshal (1980) dalam International Dictionary of
Education mendefinisikan pendidikan sebagai proses pengembangan
perilaku dan kemampuan manusia secara keseluruhan. Menurut Driyarkara,
inti dari pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Carter V. Good (1945) mengemukakan bahwa pendidikan adalah
proses untuk mengembangkan sikap dan perilaku yang bernilai positif di
masyarakat tempat ia tinggal. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan adalah proses usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan proses pembelajaran dan suasana belajar agar peserta
didik dapat mengembangkan segala potensinya untuk memiliki kepribadian,
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, akhlak mulia, kecerdasan,
dan keterampilan yang dibutuhkan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Demikianlah pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh beberapa
ahli, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan proses
usaha sadar yang berlangsung sepanjang hayat untuk mengembangkan
segenap potensi dalam diri manusia sehingga dapat mencapai tujuan
pendidikan.

2. Pengertian Multikultural
Sebagaimana dikutip oleh Yaya Suryana dan A. Rusdiana (2015),
menurut Spradely (1997), multikultural merupakan proses transaksi
pengalaman dan pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat dalam
menafsirkan pandangan yang berbeda menuju arah kultur yang baru.

3
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi (2011) mengemukakan bahwa dalam
konteks pendidikan Islam, multikultural merupakan sikap menerima
keberagaman ekspresi budaya manusia dalam memahami pesan utama
agama.
Demikianlah pengertian multikultural yang dikemukakan oleh
beberapa ahli, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa multikultural
merupakan proses interaksi dalam masyarakat mengenai sikap saling
menerima keberagaman dan perbedaan pandangan.

3. Pengertian Pendidikan Multikultural


Sebagaimana dikutip oleh Yaya Suryana dan AA. Rusdiana (2015)
mengenai pendapat Cusher dan Andersen (1994) yang menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural merupakan pendidikan tentang keragaman
kebudayaan. Selanjutnya, Benyamin Molan (2016) mengutip pendapat James
Banks (1993) yang mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai gerakan,
ide, dan pembaharuan pendidikan, serta proses pendidikan yang bertujuan
untuk mengubah struktur pendidikan agar setiap manusia berhak memperoleh
kesempatan untuk belajar dan memperoleh pendidikan.
Selanjutnya, dikutip dari buku karya Ngainun Naim dan Achmad Sauqi
(2011) bahwasanya Ainurraafiq Dawam mengemukakan bahwa pendidikan
multikultural merupakan proses pengembangan segala potensi manusia untuk
menghargai pluralitas sebagai konsekuensi keberagaman etnis, suku, budaya,
dan agama. Dengan demikian diharapkan terciptanya suasana kedamaian,
keamanan, dan keharmonisan dalam kultur yang berbeda.
Pendidikan multikultural sebagai langkah awal untuk membangun
karakter peserta didik dalam upaya untuk mengakui dan menghargai segala
bentuk perbedaan. Pendidikan multikultural bukan hanya sebagai program
pemerintah dalam menjalankan program-program Negara. Pendidikan
multikultural diharapkan dapat menjadi solusi bagi bangsa Indonesia dalam
menciptakan pendidikan yang berlandaskan pada kesetaraan dalam

4
memperoleh pendidikan, artinya bahwa setiap manusia berhak memperoleh
kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Dikutip dari buku karya Benyamin Molan (2016) bahwasanya Abraham
A. Maslow dalam Theory of Human Motivation mengemukakan bahwa salah
satu kebutuhan mendasar manusia (basic needs) adalah
pengakuan/penghargaan. Esensi pendidikan multikultural adalah
penghargaan dan pengakuan terhadap segala perbedaan.
Di dalam buku Yaya Suryana dan AA Rusdiana (2015) Farida Hanum
(2005) menjelaskan bahwa dengan adanya pendidikan multikultural
diharapkan para peserta didik dapat saling menerima perbedaan, memiliki
rasa empati, dan bersikap toleransi pada sesamanya tanpa memandang status
sosial, golongan, dan lain-lain.

B. Sejarah Singkat Pendidikan Multikultural


Choirul Mahfud (2006) mengemukakan bahwasanya Amerika dan negara-
negara Eropa Barat hingga Perang Dunia II hanya mengenal satu kebudayaan
(monocultural), yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Sedangkan, golongan
lain yang berada di luar golongan tersebut disebut sebagai golongan minoritas
yang hak-haknya dibatasi.
Gerakan-gerakan sosial untuk menyuarakan persamaan hak sebagai warga
muncul di Amerika pada tahun 1950-an dan mencapai puncaknya pada tahun
1960-an. Gerakan-gerakan tersebut seperti (1) pelarangan diskriminasi orang kulit
putih kepada orang kulit hitam dan berwarna di tempat umum, serta (2)
perjuangan memperoleh hak-hak sipil, karena golongan minoritas banyak yang
tertinggal dari golongan kulit putih dalam jabatan dan posisi derta berbagai bidang
pekerjaan.
Tatang M. Amirin (2012) mengemukakan bahwa di tahun 1970-an, para
pejabat pemerintah dan kaum intelek yang pro terhadap demokrasi dan HAM
menyebarkan konsep multikulturalisme tersebut dalam bentuk pendidikan dan
pengajaran melalui sekolah-sekolah. Maka, terbentuklah gagasan pendidikan

5
multikultural. Gagasan pendidikan multikultural sebagai gerakan reformasi untuk
mengadakan perubahan pendidikan yang dinilai telah melakukan ketidakadilan
terhadap masyarakat yang berada di luar “white male Protestant Anglo Saxon
(WMPA)”. Adapun Pendidikan Multikultural menurut Banks,

“Multicultural education is a reform designed to make some major changes


in the education of students. Multicultural education theorists and
researchers believe that many schools, college, and university practices
related to race and ethnicity are harmful to students and reinforce many of
the ethnic stereotype and discriminatory practices in U.S. society.” (Banks,
2002, p.1).

Pendidikan multikultural adalah sebuah reformasi yang dirancang untuk


membuat beberapa perubahan besar dalam pendidikan. Gerakan ini berupaya
memberikan peluang kepada semua orang untuk memperoleh pengetahuan tanpa
melihat etnis, budaya, jenis kelamin, dan lan-lain.

C. Pendekatan Pendidikan Multikultural


Pendekatan pendidikan multikultural merupakan suatu cara yang dilakukan
untuk menumbuhkan nilai-nilai dan sikap toleransi dalam diri setiap individu. Dalam
konteks bangsa Indonesia yang majemuk, pendekatan ini diperlukan agar masyarakat
dapat menerima dan menghargai keanekaragaman etnis di Indonesia. Namun, dalam
penerapannya masih banyak ditemui permasalahan-permasalahan yang terjadi di
masyarakat. Inilah yang menjadi tantangan bagi seorang pendidik nantinya ketika
terjun dalam masyarakat dan menemukan permasalahan yang berkaitan dengan
multikulturalisme, seperti rasisme ataupun diskriminasi yang masih sering terjadi
dalam dunia pendidikan.
Upaya untuk mengatasi permasalahan multikulturalisme dalam dunia
pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan pendidikan multikultural dalam
konteks pembelajaran di sekolah. Sekolah bukan hanya sebagai sarana untuk
memperoleh pendidikan formal, melainkan juga untuk melatih siswa bersosialisasi

6
dan menanamkan sikap toleransi dengan siswa lain yang berbeda kultur.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Choirul Mahfud (2006) dalam bukunya
mengenai “Pendidikan Multikultural” bahwasanya pendekatan pendidikan
multikultural dibagi menjadi lima, antara lain :
1. Membedakan antara pandangan pendidikan dan persekolahan, atau
pendidikan multikultural dengan program sekolah formal.
Pendidikan dan persekolahan merupakan dua istilah yang berbeda.
Pendidikan merupakan suatu proses transfer ilmu pengetahuan yang tidak
terbatas ruang dan waktu. Sedangkan persekolahan merupakan proses
transfer ilmu pengetahuan yang terikat dan terbatas pada instansi formal saja.
Pendidikan multikultural seharusnya tidak hanya terbatas pada aspek yang
didapat di dalam sekolah formal saja, melainkan juga terkait dengan program
informal di luar sekolah. Juga tentunya tanggungjawab dalam
mengembangkan sikap toleransi dalam kebudayaan tidak hanya ada pada guru
saja, namun juga tanggungjawab masyarakat di luar sekolah, seperti keluarga
dan masyarakat.

2. Menghindari pandangan yang menyamakan antara kelompok etnik dengan


kebudayaan
Kelompok etnik merupakan golongan orang yang terlibat satu sama lain terus-
menerus dalam suatu aktivitas. Kebudayaan tidak hanya terbatas pada suatu
kelompok etnik, melainkan juga melibatkan etnis atau budaya lain. Dalam
konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini bertujuan untuk
menghilangkan stereotipe identitas etnis di masyarakat dan memberi
pemahaman bahwa terdapat kesamaan dan perbedaan dalam setiap individu.
3. Menciptakan integrasi budaya dalam lingkungan peserta didik agar tercapai
tujuan pendidikan multikultural
Upaya untuk mendukung sekolah yang terpisah secara etnik merupakan
pertentangan terhadap tujuan pendidikan multikultural. Pengintegrasian

7
budaya dalam lingkungan peserta didik dapat dilakukan dengan membentuk
kelompok peserta didik yang terdiri dari berbagai etnis dan budaya.
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam kebudayaan
Kebudayaan yang akan diadopsi harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
5. Pendidikan meningkatkan kesadaran akan adanya kompetensi dalam
kebudayaan sehingga mencegah terjadinya dikotomi antara masyarakat
pribumi dan non-pribumi
Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran individu agar
menghindari dikotomi dan mengapresiasi kebudayaan yang dibawa oleh tiap
peserta didik.

Sebagaimana dikemukakan (Rahim, 2012), terdapat lima pendekatan yang


diperoleh dari model-model pendidikan multikultural di negara-negara maju, antara
lain:

1. Pendidikan mengenai perbedaan dalam kebudayaan atau multikulturalisme


2. Pendidikan mengenai pemahaman kebudayaan
3. Pendidikan untuk pluralisme kebudayaan
4. Pendidikan dwi budaya
5. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia

D. Urgensi Pendidikan Multikultural


Choirul Mahfud (2006) mengemukakan bahwa pendidikan multikultural
penting untuk dipelajari. Urgensi pendidikan multikultural diantaranya :
1. Pendidikan multikultural berfungsi sebagai sarana untuk memecahkan konflik
Kultur masyarakat Indonesia yang beragam menjadi tantangan bagi bangsa
Indonesia, utamanya dalam bidang pendidikan untuk membentuk perbedaan
kultur tersebut menjadi sebuah kekuatan, bukan kelemahan. Saat ini, masih
banyak konflik dan permasalahan yang terjadi di Indonesia. Pendidikan
multikultural memiliki tanggungjawab besar dalam mempersiapkan generasi

8
bangsa menghadapi arus budaya dalam era globalisasi dan menyatukan bangsa
yang terdiri dari berbagai macam kultur. Pendidikan multikultural dapat
diaplikasikan dalam pelajaran kebangsaan dan moral.
2. Dengan pendidikan berbasis multikultural, diharapkan siswa tidak melupakan
budayanya.
Pendidikan multikultural juga berfungsi untuk membina peserta didik agar
tidak melupakan budayanya. Pengaruh globalisasi yang semakin berkembang
perlu diantisipasi oleh para guru agar peserta didik tidak terjerumus dalam
pengaruh negatif globalisasi. Pertemuan budaya asing dan budaya masyarakat
Indonesia menjadikan masyarakat kini dapat dengan mudah mengakses
informasi apapun melalui media seperti televisi, internet, dan telepon seluler.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menyikapi
sebaik mungkin budaya yang masuk dan berkembang.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum Nasional
Landasan pengembangan kurikulum Nasional yang berbasis pendekatan
multikultural didasarkan pada empat prinsip, yaitu :
a. Keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat
b. Keragaman budaya menjadi dasar dalam mengembangkan komponen
kurikulum
c. Kurikulum berperan sebagai sarana mengembangkan kebudayaan daerah
dan nasional
4. Pendidikan multikultural relevan di era demokrasi saat ini.

(Arifudin, 1970) mengemukakan bahwasanya pendidikan multikultural


diharapkan mampu untuk menangani berbagai keragaman yang ada dengan cara
menumbuhkan sikap saling menghargai terhadap perbedaan. Perbedaan adalah
rahmat, karena Allah swt. menciptakan manusia dengan penuh keberagaman. Oleh
karena itu, pendidikan multikultural perlu dipandang sebagai suatu upaya untuk
mengimplementasi nilai-nilai toleransi dalam masyarakat. Dengan adanya nilai-nilai

9
ini dapat menjadikan masyarakat lebih toleran dan menghargai identitas etnis orang
lain.

Sementara itu, (Muliadi, 2012) menjelaskan bahwasanya pendidikan


multikultural sangat diperlukan sebagai strategi pembelajaran yang dapat
diaplikasikan pada semua mata pelajaran, dengan pertimbangan-pertimbangan antara
lain :

1. Pendidikan multikultural sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Dalam


falsafah bangsa Indonesia yang suka gotong royong, membantu, menghargai
antar suku dan yang lainnya.
2. Pendidikan multikultural diharapkan menjadi solusi untuk konflik yang terjadi
saat ini. Keberhasilan dalam dunia pendidikan tidak serta-merta mampu
mengatasi konflik dalam masyarakat dalam hal kultur. Konflik atau
pertentangan tersebut disebabkan oleh model pendidikan Indonesia yang
cenderung mengedepankan kognitif intelektual sehingga melupakan
kompetensi budaya yang perlu dimiliki untuk hidup bermasyarakat.
3. Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi pada
bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia bukanlah
pendidikan yang hanya berorientasi pada keterampilan saja, tetapi juga pada
kecerdasan ganda atau multiple intelligence.
4. Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada
kekerasan. Pendidikan multikultural berguna untuk melatih dan membangun
karakter siswa agar bersikap humanis dan demokratis di lingkungan mereka.

Berbagai masalah yang muncul dalam dunia pendidikan yang berkaitan dengan
multikulturalisme tentunya menjadi refleksi bagi para pendidik dalam memberikan
pendidikan yang baik untuk peserta didiknya. Penanaman nilai-nilai toleransi di
sekolah perlu dilakukan agar peserta didik memahami bahwa perbedaan adalah hal
yang baik dan harus dihargai. Dalam membangun karakter peserta didik yang toleran
dan humanis, peran guru agama sangat diperlukan. Sebagaimana dikutip dari pendapat

10
(Zainiyati, 2007), bahwasanya terdapat beberapa materi dalam pendidikan agama
Islam yang dapat dikembangkan dengan multikultural, antara lain :

Pertama, materi Al-Qur’an dan Hadis. Dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain
ayat-ayat mengenai keimanan, pendidik juga dapat memberikan
pemahaman mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan sikap manusia
terhadap sesamanya yang berlainan keyakinan.

Kedua, materi Akhlak. Wawasan mengenai bagaimana baiknya akhlak terpuji dan
buruknya akhlak tercela perlu ditanamkan pada peserta didik agar peserta
didik dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
perlunya mempelajari adab dalam bertetangga, adab dalam menuntut ilmu,
dan sebagainya juga berguna agar peserta didik dapat menghargai dan
menerapkan nilai-nilai yang didapatnya.

Ketiga, materi Fiqih. Materi Fiqih dapat diperluas menjadi kajian Fiqih Siyasah
(Pemerintah). Pendidik dapat memberikan pemahaman mengenai konsep
dasar kebangsaan yang telah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw.,
seperti ketika Rasulullah memimpin masyarakat Madinah yang memiliki
beragam kultur sehingga menjadi kota yang ideal di bawah pimpinan
Rasulullah saw.

Keempat, materi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Dari materi sejarah kebudayaan
Islam, pendidik dapat memberikan pemahaman yang bersumber dari
praktik-praktik sosial yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. di
Madinah. Bagaimana Rasulullah saw. memimpin masyarakat yang
multikultural sehingga menjadi fakta tentang pengakuan dan penghargaan
terhadap nilai pluralisme dan toleransi yang diajarkan Rasulullah saw.

11
Isu-Isu Dalam Pendidikan Multikultural
1. Agama
Isu-isu pendidikan multikultural bidang agama sering terjadi. Hal ini sulit
dihindari mengingat beragamnya agama yang ada di Indonesia dengan berbagai
doktrinnya masing-masing. Sikap ketidakmultikulturan dapat terlihat dari
bagaimana seorang siswa memangdang sahabatnya yang beda agama. Mereka
yang cenderung menutup diri dan curiga akan susah menerima perbedaan itu dan
menciptakan jurang pemisah antara “kami” dan “mereka”. Ketidakharmonisan
hubungan ini kalau dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan berbagai masalah
dalam proses pembelajaran. Misalnya contoh isu :
a. Radikalisme
Kata Radikalisme berasal dari kata radix yang berasal dari Bahasa Latin
yang berarti akar dengan mendapat tambahan isme yang berarti suatu paham.
Dengan begitu paham radikalisme berarti juga mengakar, fundamental. Tetapi
seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan istilah radikalisme berarti gerakan
separatis, intoleransi, (“Membangun kesadaran inklusifmultikultural untuk
deradikalisasi pendidikan Islam | Jurnal Pendidikan Islam,”, p. 135)
Dalam dunia pendidikan, sikap intoleransi terhadap perbedaan pemeluk
agama lain sangat mungkin terjadi. Doktrin ekslusif keagamaan, sempitnya
wawasan juga turut andil dalam melahirkan sikap seseorang menjadi intoleran.
Radikalisme keagamaan menurut Rubaidi dicirikan sebagi berikut :
1. Menjadikan Islam sebagai ideologifinal dalam mengatur kehidupan
individual dan politik kenegaraan.
2. Nilai-nilai Islam yang diambil langsung dari timur tengah tanpa
memperhatikan konteks social masyarakat.
3. Purifikasi yang harus sesuai Al Quran dan Sunnah dan cenderung hati-
hati dalam menerima budaya non Timur Tengah.
4. Menolak ideologi non Timur Tengah

12
5. Gerakan kelompok yang sering kali berbeda dengan masyarakat luas
atau pemerintah.(“Membangun kesadaran inklusifmultikultural untuk
deradikalisasi pendidikan Islam | Jurnal Pendidikan Islam,” n.d., p.
136)
Seperti kasus yang telah tercatat di Yogyakarta, dimana terdapat sekolah
menengah pertama negeri yang mendapatkan laporan bahwa siswanya
mempraktekkan tindak intoleransi keagamaan dengan manggil temannya dengan
panggilan kafir. maka sang wali murid melaporkannya ke pihak DPRD
Yogyakarta (“DPRD kota Yogya terima aduan kasus intoleransi di sejumlah
sekolah | merdeka.com,” n.d.)
Dengan begitu pendidikan multikultural di sekolah perlu diadakkan guna
menghilangkan arus radikalisme yang intoleran. Contoh kasus lain yang terbaru:

b. Kata “Kafir” Dihapus, Perlukah?


Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan mengenai kata kafir. Hal ini terjadi
setelah pelaksanaan Munas salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama (NU). Dilansir dari salah satu situs berita nasional, detik.com,
setidaknya ada 5 hal yang menjadi putusan dalam Munas NU tersebut, yaitu:

1. Istilah Kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu


negara dan bangsa.
2. Berdasarkan konstitusi tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa
kecuali Mahkamah Agung.
3. Terkait dengan fatwa, oleh karena hanya institusi yang diberi mandat oleh
konstitusi dan peraturan perundang-undangan, yang sah mengeluarkan
fatwa, maka NU menegaskan tidak satu pun lembaga yang
mengatasnamakan dirinya sebagai mufti.
4. Mengenai sampah plastik yang sudah jadi permasalahan dunia. Indonesia
jadi negara terbesar kedua penyumbang sampah plastik setelah China.

13
Sampah plastik ini disebabkan oleh faktor industri dan rendahnya budaya
masyarakat menyadari bahaya sampah plastik.
5. Money game dengan sistem Multi Level Marketing (MLM) yang
mengandung unsur manipulasi, tipu daya, tidak transparan, pihak yang
dirugikan, syarat menyalahi prinsip akad Islam, bukan barang tapi bonus,
maka hukumnya haram. (Dadang Hermansyah, 5 Rekomendasi Munas
Ulama NU: Soal Sebutan Kafir hingga Sampah Plastik, Detik News,
Diakses pada 9 Maret 2019, https://news.detik.com/berita/d-4449710/5-
rekomendasi-munas-ulama-nu-soal-sebutan-kafir-hingga-sampah-
plastik.)

Terlepas dari berbegai penjelasan terkait poin pertama, keputusan Munas NU


secara eksplisit menyebutkan bahwa kata kafir tidak dikenal dalam sistem
kewarganegaraan.

Makna kata kafir seringkali kita jumpai dalam al-quran. Setidaknya ada 525
ayat al-quran yang memuat kata kafir. para mufassirin pun berbeda pendapat
terkait maknsa kafir ini. Berikut beberapa pendapat mengenai kata kafir menurut
para mufassirin

1. HAMKA: Orang kafir itu orang yang tidak mau percaya, mulutnya menentang
dan perbuatannya melawan.
2. Muhammad Ali Ash-Shabuni: Orang kafir adalah orang yang sebenarnya
melihat kebenaran, tapi tidak mau mengikutinya, mereka mendengarnya tapi
tidak mau peduli kepadanya.
3. Sayyid Quthb: Kafir adalah orang yang hatinya gelap gulita, beku, terlukis dari
celah-celah gerakan yang tetap dan pasti, gerak penutup terhadap hati dan
pendengaran dan penutupan terhadap pandangan dan pengelihatan.
(Muhammad Nabiel Akbar, 2018, p. 2-3)

14
Berbeda dengan ulama mufassirin yang disebut sebelumnya, M. Quraish
Shihab, menafsirkan kata kafir lebih menunjuk pada konteks kata kafir dalam al-
quran, sehingga beliau tidak hanya menyatakan satu makna kafir saja. Dalam
sebuah jurnal disebutkan setidaknya ada 5 pemaknan M. Quraish Shihab terhadap
kata kafir, yaitu:

1. Berdasar al-quran surah Al-Maidah ayat 72 yang berbunyi:

‫ٱَّللَ ُه َو ۡٱل َمسِي ُح ۡٱب ُن َم ۡريَ َۖ َم َوقَا َل ۡٱل َمسِي ُح َٰ َيبَنِ ٓي‬
َّ ‫لَقَ ۡد َكفَ َر ٱلَّذِينَ قَالُ ٓواْ إِ َّن‬
َّ ‫ٱَّللَ َر ِبي َو َر َّب ُك ۡ َۖم ِإنَّ ۥهُ َمن يُ ۡش ِر ۡك ِب‬
َّ ‫ٱَّللِ فَقَ ۡد َح َّر َم‬
ُ‫ٱَّلل‬ َّ ْ‫ٱعبُدُوا‬ ۡ ‫ِإ ۡس َٰ َٓر ِءي َل‬
‫صار‬ ‫ن‬ َ ‫أ‬ ۡ
‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ل‬ َّ
‫لظ‬ َٰ ‫ علَ ۡيه ۡٱلجنَّةَ وم ۡأو َٰىهُ ٱلنَّ َۖار وما ل‬٧٢
َ ِ َ‫ين‬ ِ ِ ِ َ َ ُ َ َ َ َ ِ َ

72. Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya


Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai
Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim
itu seorang penolongpun.

Dalam menafsirkan kata kafir yang terdapat pada ayat di atas, M. Quraish
Shihab memberi pengertian, kafir yang dimaksud adalah pengingkaran terhadap
keesaan dan wujud Allah s.w.t, Para RasulNya dan mendustakan hari Kemudian.
(Muhammad Nabiel Akbar, 2018, p. 8)
Artinya, kafir disini dimaknai secara teologis. Kata kafir dipakai saat
seseorang tidak mengimani bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Orang kafir
dimaksud orang yang enggan bersaksi sebagaimana syahadat bagi umat Islam.

15
2. Enggan bersyukur atas nikmat dan anugerah yang telah Allah s.w.t limpahkan.
َّ ۡ َ َ َ ُۡ َ َ ٞ ۡ ُ َ ُ َ َّٰ َ َّٰ َّ َ ۡ َ ۡ َ َ َ
‫ت وهو مؤمِن فَل كفران ل ِسعيِهِۦ ِإَونا‬ ِ ‫فمن يعمل مِن ٱلصلِح‬

َ َ َ
٩٤ ‫َُلۥ كَّٰت ِ ُبون‬

94. Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman,
maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan sesungguhnya Kami
menuliskan amalannya itu untuknya.
M. Quraish Shihab menjelaskan kata ‫( كفران‬kufran) yang terdapat pada QS. Al-
Anbiya’ ini terambil dari kata ‫( كفر‬kafara) yang diartikan tidak mengakui kebaikan
yakni tidak bersyukur. Memang al-Qur’an menggunakan kata kafir antara lain
sebagai antonim dari kata ‫( شكر‬syukur), karena ia biasa diperhadapkan dengan
kata syukur. (Muhammad Nabiel Akbar, 2018, p. 11)
Ketika kafir dimaknai sebagai lawan kata syukur, maka maknanya menjadi
lebih luas, tidak sebatas pada orang nonmuslim, akan tetapi orang muslim yang
enggan bersyukur pun bisa disebut kafir.
3. Menghalangi atau menutupi dirinya dan orang lain dari jalan Allah s.w.t.
َ ۡ َ ٗ َ َ ۡ ُ َّٰ َ ۡ َّ َ َ ْ ُّ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ
‫يل ٱَّللِ زِدنهم عذابا فوق‬ ِ ِ ‫ٱَّلِين كفروا وصدوا عن سب‬
َ ُ ُۡ ْ ُ َ َ َ َۡ
٨٨ ‫سدون‬
ِ ‫اب بِما َكنوا يف‬
ِ ‫ٱلعذ‬

88. Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami
tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu
berbuat kerusakan.

16
M. Quraish Shihab menjelaskan kata kafr pada ayat diatas untuk menunjuk
orang yang selain dirinya mengingkari kebenaran, juga menghalangi orang lain
untuk menuju kebenaran tersebut. (Muhammad Nabiel Akbar, 2018, p. 11)
4. Beriman tetapi tidak mengerjakan tuntunan agama Islam.
َ َ َّ َ َ َ َ َ ُ َ َّ ٞ َ َ ُۢ ُ َّٰ ‫فِيهِ َء َاي‬
‫ِيمَۖ َو َمن دخل ُهۥ َكن َءام ِٗناۗ َو َِّللِ لَع‬
َ ‫ام إبۡ َرَّٰه‬
ِ ‫ت بيِنَّٰت مق‬

َّ َّ َ َ َ َ
َ‫ٱَّلل‬ َ َ ٗ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ۡ ُّ
‫ت م ِن ٱستطاع إَِلهِ سبِيَل ۚ ومن كفر فإِن‬
ِ ‫حج ٱۡلي‬ ِ َّ‫ٱنل‬
ِ ‫اس‬

َ َ َّٰ َ ۡ َ ٌّ َ
٩٧ ‫غ ِِن ع ِن ٱلعل ِمني‬

97. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.
Kata kafir yang terdapat pada ayat ini ada setelah perintah untuk mengerjakan
ibadah haji. Ketika orang mengingkari kewajiban itu, maka dia bisa dikatakan
kafir.
Meskipun secara eksplisit menyebutkan satu macam ibadah yakni ibadah haji,
namun ayat ini juga berlaku pada ibadah yang lainnya. (Muhammad Nabiel
Akbar, 2018, p. 12)

17
5. Menjadikan agama sebagai permainan.

ٓ َ ۡ َ َ ۡ َ َ ْ ُ َ ۡ َ َّ َ ۡ َ َّٰ َ ۡ َ َّ ُ َّٰ َ ۡ َ ٰٓ َ َ َ
‫ونادى أصحب ٱنلارِ أصحب ٱۡلنةِ أن أفِيضوا علينا مِن ٱلما ِء‬
َ َّٰ َ ۡ َ َ َ ُ َ َّ َ َ َّ َّ ْ ٓ ُ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َّ ۡ َ
٥٠ ‫أو مِما رزقكم ٱَّللۚ قالوا إِن ٱَّلل حرمهما لَع ٱلكفِ ِرين‬
ۡ َ َ ۡ ُّ ُ َّٰ َ َ ۡ ُ ُ ۡ َّ َ َ ٗ َ َ ٗ ۡ َ ۡ ُ َ ْ ُ َ َّ َ َّ
َ‫ٱَلَ ۡوم‬ ‫ٱَّلِين ٱَّتذوا دِينهم لهوا ولعِبا وغرتهم ٱۡليوة ٱدلنيا ۚ ف‬

َ ُ َ ۡ َ َ َّٰ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ۡ ۡ َ َ ٓ َ ْ ُ َ َ َ ۡ ُ َّٰ َ َ
‫بَٔٔايتِنا َيحدون‬ ِ ‫ننسىهم كما نسوا ل ِقاء يو ِم ِهم هَّٰذا وما َكنوا‬

٥١

50. Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: "Limpahkanlah kepada


kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu". Mereka
(penghuni surga) menjawab: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
keduanya itu atas orang-orang kafir,
51. (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main
dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari
(kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan
mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat
Kami.
Pada ayat 51 surah Al-A’raf di atas memberi penjelasan ciri-ciri orang kafir
yang merujuk pada ayat sebelumnya. Orang kafir yang dimaksud adalah mereka
yang menjadikan agama sebagai bahan senda gurau, juga mereka yang tertipu oleh
kehidupan dunia.

18
Tidak hanya orang nonmuslim yang menjadikan agama sebagai permainan,
terkadang umat muslim sendiri menjadikan agama sebagai bahan candaan. Oleh
karena itu kata kafir tidak hanya merujuk pada nonmuslim.

Setelah memahami arti kata kafir dari para ahli, akan kami paparkan penjelasan dari
berbagai ulama NU terkait penghapusan kata kafir.

1. KH. Afifudin Muhajir Situbondo


Menurut beliau, kafir yang dimaksud dalam Munas NU adalah penyebutan kata
kafir dalam konteks kewarganegaraan. Beliau menjelaskan, dalam konteks
kenegaraan kafir terbagi menjadi empat, yaitu: kafir harbi, kafir mu’ahad, kafir
musta’man, dan kafir dzimmi. Dari empat kategori tersebut, nonmuslim di Indonesia
tidak ada yang memenuhi kafir yang dimaksud (Fathoni, Penjelasan Perumus
Bahtsul Masail Munas NU soal polemik Kafir, nu.or.id, diakses pada 9 Maret 2019,
http://www.nu.or.id/post/read/103272/penjelasan-perumus-bahtsul-masail-munas-nu-
soal-polemik-kafir). Karena dari keempat jenis kafir tersebut memiliki implikasi
tersendiri dalam kedudukannnya sebagai warga negara. Selain itu, Indonesia juga
bukan negara Islam sehingga bisa menyebut kafir sebagai identitas warga negara.
Seperti yang ditulis oleh Fathoni di website nu.or.id (2019), KH. Afifudin Muhajir
juga menjelaskan, penghapusan kata kafir bukan berarti untuk seluruh kata kafir
ditiadakan. Dalam al-quran banyak menyebut kata kafir, namun tidak lantas itu
dihapuskan. Beliau menjelaskan

“Akan tetapi mengatakan, “kamu kafir”, “dia kafir”, “mereka kafir”, itu bisa
menciptakan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat plural, yang sudah damai dan
sudah diusahakan dan diciptakan dengan susah payah oleh pendahulu-pendahulu kita.
Oleh karena itu, perlu dicari kalimat lain yang lebih santun, misalnya non-Muslim. Ini
tanpa harus mengubah “Qul yaa ayyuhal kaafirun” menjadi “Qul yaa ayyuhal non-
Muslim”. Itu tidak boleh.”

19
Beliau menjelaskan dalam konteks ketika orang menyebut orang lain sebagai kafir. Pada
penjelasan di atas, tujuan penghapusan kata kafir ditujukan untuk menghindari kegaduhan
dikarenakan orang yang tidak senang ketika disebut kafir.
2. Makyun Subuki
Penjelasan Beliau termuat dalam website Nu.or.id
(http://www.nu.or.id/post/read/103218/kata-kafir-di-indonesia-menurut-akademisi
diakses pada 9/3/2019), Beliau adalah ketua jurusan di Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menjelaskan kata kafir yang
digunakan memiliki seringkali memiliki konotasi negatif. Berbeda dengan konotasi
kafir yang digunakan di zaman Rasulullah saw. yang justru sangat halus.
Menurutnya, perbedaan pemaknaan terhadap kata serapan dari bahasa asing
merupakan hal yang wajar, termasuk dalam serapan kata kafir tersebut.
3. KH Misbahul Munir
Beliau adalah ketua Aswaja Center. Menurut beliau, pemilihan kata kafir dan
nonmuslim hanya perkara pemilihan kata, namun pada substansinya tetap sama.
Perkara pemilihan kata ini juga seperti pada kata “mati”. Ada banyak padanan
kata untuk kata “mati”, seperti: wafat, meninggal, berpulang, mampus, atau modar.
Pemilihan kata untuk menyatakan mati harus disesuaikan dengan konteks kepada
siapa “mati” itu disandarkan. Contoh: untuk seorang kiai, kata wafat lebih tepat,
berbeda dengan seorang bajingan, mungkin lebih cocok dengan kata modar, atau
ayam yang lebih cocok dengan kata mati
Pada intinya, KH. Misbahul Munir ingin menjelaskan bahwa pemilihan kata harus
disesuaikan dengan konteks pembicaraan, jangan sampai kata-kata yang kita
gunakan membuat orang lain tersinggung. (Muhammad Faizin, Kafir dan Nonmuslim
hanya Masalah Pemilihan Kata, nu.or.id, diakses pada 10 Maret 2019,
http://www.nu.or.id/post/read/103231/kafir-dan-non-muslim-hanya-masalah-
pemilihan-kata)
Kurang lebih itulah penjelasan dari para tokoh di Nahdlatul Ulama, jika ada
pandangan yang lain, kurang lebih isinya akan sama. Intinya NU menginginkan agar

20
kedamaian dalam bernegara tetap terjaga, salah satu caranya adalah dengan menghapus
kata kafir.

Dari pembahasan di atas, agaknya perlu untuk membiasakan budaya tabayyun, agar
tidak mudah berselisih. Karena pernyataan hasil Munas NU tersebut telah menuai banyak
polemik. Dan jika ditelisik lebih lanjut, tidak ada niat lain untuk menghapus kata kafir
selain dalam rangka menyejukkan suasana dalam bernegara.

Selain itu, keputusan Munas NU juga tidak menjadi keharusan untuk bisa
diterapkan semua orang. Bahkan orang yang berada dalam organisasi tersebut pun tidak
harus mengikutinya jika memang tidak setuju. Karena keputusan Munas NU hanya
berupa fatwa ynag lebih bersifat himbauan.

2. Bullying
Bullying merupakan perilaku agresi, ejekan, kekerasan atau tindakan negatif
terhadap orang lain. Dalam dunia pendidikan, hal ini cukup sering terjadi karena sekolah
merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam peserta didik yang berbeda-beda.
Berbagai alasan sepele pun bisa menjadi penyebab terjadinya pembullyan terhadap
seseorang.(Widayanti & Siswati, 2009, p. 2)
Bullying termasuk dalam tindak akibat dari ketidakmultikulturalan lingkungan.
Ketika seorang anak bersikap tidak bisa menghargai perbedaan, maka yang terjadi adalah
pendiskriminasian. Karena tindakan pendiskriminasian itulah, berakibat pada berbagai
bentuk kekerasan.
Pembullyan muncul dengan merasa tiga keunggulan psikologis yang jelas seperti
berikut :
1. Perasaan berhak
Menyangkut keistimewaan dan hak untuk mengendalaikan, mengatur.
2. Fanatisme pada perbedaan
Perbedaan dipandang sebagai suatu kelemahan karena dipandang tidak layak mendapatkan
penghargaan.
3. Suatu kemerdekaan untuk mengecualikan

21
Melakukan tindakan-tindakan membatasi, mengisolasi. Berikut ini bentuk-bentuk
bullying:
a. Bentuk fisik, yaitu kekerasan fisik seperti mencubit, menampar, memukul, dsb.
b. Bentuk Verbal, yaitu berupa memaki, menggosip, mengejek
c. Bentuk Psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mendeskriminasi.

Contoh akibat dari bullying


REPUBLIKA.CO.ID, PARONGPONG -- Tidak tahan karena sering menjadi
korban bullying oleh teman-teman di sekolahnya, TTP (18 tahun) nekat gantung diri
di tiang plafon rumahnya, Kampung Kancah RT 01 RW 14 Desa Cihideung,
Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat Sabtu
(13/1).(“Korban Bullying di Bandung Nekat Gantung Diri,” 2018)
Melihat begitu banyaknya korban bullying, kita semua perlu melakukan
intropeksi terhadap sistem pendidikan kita, apakah sudah benar atau belum.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan multikultural merupakan suatu proses pengembangan segala
potensi peserta didik untuk menghargai pluralitas dengan memberikan ruang dan
peluang kepada peserta didik agar memperoleh kesempatan pendidikan yang
sama.
Pendidikan multikultural timbul akibat adanya konflik diskriminasi oleh
golongan warga kulit putih yang Kristen kepada minoritas yaitu golongan warga
yang berkulit hitam dan berwarna di Amerika pada tahun 1960-an, baik dalam
kehidupan bermasyarakat maupun di hadapan hukum. Pendidikan multikultural
muncul atas inisiatif para petinggi negara dan cendekiawan yang menyebarkan
konsep multikulturalisme ke dalam bentuk pendidikan dan pengajaran melalui
sekolah-sekolah.
Pendekatan pendidikan multikultural yaitu:
1. Membedakan antara pandangan pendidikan dan persekolahan, atau
pendidikan multikultural dengan program sekolah formal.
2. Menghindari pandangan yang menyamakan antara kelompok etnik dengan
kebudayaan
3. Menciptakan integrasi budaya dalam lingkungan peserta didik agar tercapai
tujuan pendidikan multikultural
4. Pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam kebudayaan.
5. Pendidikan meningkatkan kesadaran akan adanya kompetensi dalam
kebudayaan sehingga mencegah terjadinya dikotomi antara masyarakat
pribumi dan non-pribumi

Adapun isu-isu yang berkembang mengenai Pendidikan Multikultural yaitu


seperti bullying, dan isu radikalisme yang mewabah.

23
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. N. (n.d.). MAKNA KAFIR DALAM TAFSIR AL-MISHBAH KARYA M.

QURAISH SHIHAB, 21.

Amirin, implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis

Kearifan Lokal di Indonesia | | Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan

Aplikasi. (n.d.). Retrieved February 18, 2019, from

https://journal.uny.ac.id/index.php/jppfa/article/view/1047

Arifudin, I. (1970). Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah.

INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, 12(2), 220–233.

https://doi.org/10.24090/insania.v12i2.252

DPRD kota Yogya terima aduan kasus intoleransi di sejumlah sekolah | merdeka.com.

(n.d.). Retrieved March 24, 2019, from

https://www.merdeka.com/peristiwa/dprd-kota-yogya-terima-aduan-kasus-

intoleransi-di-sejumlah-sekolah.html

Korban Bullying di Bandung Nekat Gantung Diri. (2018, January 14). Retrieved March

10, 2019, from https://republika.co.id/share/p2jm75299

Mahfud, Choirul. (2006). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Membangun kesadaran inklusifmultikultural untuk deradikalisasi pendidikan Islam |

Jurnal Pendidikan Islam. (n.d.). Retrieved from http://ejournal.uin-

suka.ac.id/tarbiyah/JPI/article/view/1131

Molan, Benyamin. (2016). Multikulturalisme: Cerdas Membangun Hidup Bersama yang


Stabil dan Dinamis. Jakarta: PT Indeks.

24
Muliadi, E. (2012). Urgensi pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis

multikultural di sekolah. Jurnal Pendidikan Islam, 1(1), 55–68.

Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. (2011). Pendidikan Multikultural: Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Siswoyo, Dwi, dkk. Ilmu Pendidikan (1st ed.). Yogyakarta: UNY Press.
Suryana, Yaya dan A. Rusdiana. (2015). Pendidikan Multikultural Suatu Upaya
Penguatan Jati Diri Bangsa: Konsep, Prinsip, dan Implementasi. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Rahim, R. (2012). SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL TERHADAP

KELOMPOK MINORITAS. Analisis : Jurnal Studi Keislaman, 12(1), 161–182.

https://doi.org/10.42042/analisis.v12i1.634

Widayanti, C. G., & Siswati, S. (2009). FENOMENA BULLYING DI SEKOLAH

DASAR NEGERI DI SEMARANG: SEBUAH STUDI DESKRIPTIF. Junal

Psikologi Undip. Retrieved from http://www.psikologi.undip.ac.id

Zainiyati, H. S. (2007). Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan

Inklusif di Sekolah. Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 1(2), 135–145.

Muhammad Nabiel Akbar, “MAKNA KAFIR DALAM TAFSIR AL-MISHBAH


KARYA M. QURAISH SHIHAB,” hlm. 2-3.

http://www.nu.or.id/post/read/103272/penjelasan-perumus-bahtsul-masail-munas-nu-
soal-polemik-kafir. (diakses pada 9/3/2019, pukul 21.05)
http://www.nu.or.id/post/read/103218/kata-kafir-di-indonesia-menurut-akademisi
(diakses pada 9/3/2019, pukul 20.43)
http://www.nu.or.id/post/read/103231/kafir-dan-non-muslim-hanya-masalah-
pemilihan-kata (diakses pada 10/3/2019, pukul 08.40)

25
http://www.nu.or.id/post/read/90711/pendidikan-multikultural-membendung-
radikalisme (diakses pada 10/3/2019, pukul 08.40)

26

Anda mungkin juga menyukai