Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA PADA MASA


PENGARUH ISLAM

Dosen Pengampu: Dr. Risma Margaretha Sinaga, M.Hum

Yusuf Perdana, S.Pd., M.Pd

Oleh :

Kelompok 3

1. Nuril Huda 1913033011


2. Meta iskarina 1913033023
3. Monica Septiani 1913033041
4. Ratu Rahma Safitri 1913033042
5. Yesi Oktania Putri 1953033006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafaatnya di akhirat nanti.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah pada mata kuliah Sejarah pendidikan
dengan judul “ Perkembangan Pendidikan di Indonesia Pada Masa Pengaruh
Islam”.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penyusun mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
Ibu Dr. Risma Margaretha Sinaga,M.Hum dan Bapak Yusuf Perdana, S.Pd.,M.Pd
yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandar Lampung, 31 Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 4

2.1 Sejarah Pendidikan di Indonesia Pada Masa Pengaruh Islam ................. 4


2.2 Tujuan dan Landasan Pendidikan di Indonesia Masa Pengaruh Islam ..10
2.3 Lembaga Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia pada Masa Pengaruh
Islam ......................................................................................................14
2.4 Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia ............................................. 20
2.5 Pesantren dan Perubahan Sosial di Indonesia ....................................... 23

BAB 111 PENUTUP .......................................................................................29

3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 30

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan aspek penting bagi perkembangan sumber daya


manusia, sebab pendidikan merupakan wahana atau salah satu instrument yang
digunakan bukan saja untuk membebaskan manusia dan keterbelakangan,
melainkan juga dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan diyakini mampu
menanamkan kapasitas baru bagi semua orang untuk mempelajari pengetahuan dan
keterampilan baru sehingga dapat diperoleh manusia produktif. Hakekat
pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia itu sendiri, dengan demikian
urutan pendidikan pertama adalah manusia. Perbuatan mendidik sendiri diarahkan
kepada manusia untuk mengembangkan potensi-potensi dasar manusia agar
menjadi nyata sebagai penentu keberhasilan pembangunan nasional dibidang
pendidikan. Hal tersebut diperlukan sebagai bekal dalam rangka menyongsong
datangnya era global dan pasar bebas yang penuh dengan persaingan. Untuk
mencapai keberhasilan dalam dunia pendidikan, maka keterpaduan antara kegiatan
guru diharapkan mampu mengatur, mengarahkan, dan menciptakan suasana yang
mampu mendorong motivasi siswa untuk belajar (Kusumawardani,2012:1).

Perkembangan pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan dari waktu


ke waktu. Pendidikan terstruktur pertama kali hadir pada masa pengaruh kerajaan
bercorak Hindu dan Budha di Nusantara. Pada perkembangan selanjutnya setelah
keruntuhan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Budha lembaga pendidikan
Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat
pada zamannya. Adapun diantara lembaga pendidikan Islam yang dibangun dan
berkembang di Indonesia antara lain adalah; pesantren, surau, dan madrasah.
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat
tradisional dan juga modern untuk mendalami ilmu agama Islam, dan
mengimpilimentasikannya dalam kehidupan sehari-hari dengan penekanan pada
moral dalam hidup bermasyarakat, sedangkan surau adalah sebuah tempat ibadah

1
yang pertama kali berdiri di sumatra barat tepatnya di minangkabau yang mana saat
ini dijadikan sebagai sarana pendidikan agama (Akhiruddin,2015:196).

Perkembangan lembaga pendidikan di Indonesia pada masa pengaruh Islam


dalam sejarahnya mempunyai latar belakang, corak, dan peranan yang berbeda,
serta perjuangan dalam mewujudkan lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa
islami tersebut, bagi para ulama tidaklah mudah. Dengan demikian, dalam kajian
ini akan dibahas tentang perkembangan pendidikan di Indonesia pada masa
pengaruh Islam.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa


permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana tujuan dan landasan pendidikan di Indonesia pada masa


pengaruh Islam ?
2. Apa saja lembaga pendidikan dan pengajaran di Indonesia pada masa
pengaruh Islam?
3. Bagaimana corak dan sifat pendidikan di indonesia pada masa pengaruh
Islam?
4. Bagaimanakah dinamika pendidikan Islam di Indonesia?
5. Bagaimanakah Pesantren dalam perubahan sosial di Indonesia?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan dari penulisan


makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang tujuan dan landasan pendidikan di indonesia


masa pengaruh Islam .
2. Untuk mengetahui tentang lembaga pendidikan dan pengajaran di Indonesia
masa pengaruh Islam.

2
3. Untuk mengetahui tentang corak dan sifat pendidikan di Indonesia masa
pengaruh Islam.
4. Untuk mengetahui dinamika pendidikan Islam di Indonesia.
5. Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi di Pesantren.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Pendidikan Indonesia Pada Masa Pengaruh Islam

Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar


asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula
terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran
Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama
Hindu masih kuat. Didapati pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam
bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang di selenggarakan di rumah-
rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Kitab-kitab ini adalah menjadi
ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Pada perkembangan
selanjutnya pendidikan Islam mengalami perubahan bentuk baik dari segi
kelembagaan, materi pengajaran, metode maupun struktur organisasinya sehingga
melahirkan suatu betuk yang baru yang disebut madrasah (Muhammad
Sabarudin,2015: 141).

Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan


secara semaksimal, dan para muballiq ketika itu melaksanakan penyiaran agama
Islam kapan dan dimana saja pada setiap kesempatan dengan cara yang mudah
diterima oleh masyarakat. Hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin,
mereka mendirikan masjid sebagai tempat beribadah dan mengerjakan shalat Jumat
dan pada tiap-tiap kampung, mereka mendirikan Surau (di Sumatera Barat) atau
Langgar untuk mengaji dan membaca Alquran, dan sebagai tempat untuk
mendirikan shalat lima waktu. Pendidikan Islam yang berlangsung di langgar
bersifat elementer, di mulai dengan mempelajari huruf abjad Arab (hijaiyyah) atau
kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca
dari kitab suci Alquran. Pendidikan semacam ini dikelola oleh seorang petugas
yang disebut Amil, Moden atau Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping
memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai
guru.Pengajian Alquran pada pendidikan Langgar ini dapat dibedakan atas dua
tingkatan yaitu :

4
1. Tingkatan rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan
sampai bisa membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampung.
2. Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan
pelajaran lagu, kasida dan berzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan
(Muhammad Sabarudin,2015:141-142).

2.1.1 Pusat Pengkajian Islam Pada Masa Kerajaan Islam


1. Pendidikan Islam di Zaman Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang


didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum.
Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik
Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H). Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari
Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasaii pada zaman pemerintahan Malik Az-
Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i,
mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta
mempraktekkan pola hidup yang sederhana. Keterangan Ibnu Batutah tersebut
dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai
berikut:

a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh


mazhab Syafi’i
b. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d. Biaya pendidikan bersumber dari negara.

Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14
M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan
Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota,
dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan. Menurut
Ibnu Batutah, Samudra Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi
Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara
Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang
cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan

5
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang
mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama,antara lain: Amir
Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara
diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid
mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid
dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru (Muhammad
Sabarudin,2015:142-143).

1. Pendidikan Islam di Kerajaan Perlak

Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang


pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak
terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri
Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat
Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu. Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat
pendidikan Islam Dayat Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi,
materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu
bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat.
Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang, pendirinya adalah ulama
Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M inilah pusat
pendidikan pertama (Muhammad Sabarudin,2015:143).

Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin


yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang
arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan
Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang
sudah alim Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab
agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam
Syafi’i. Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah
berjalan cukup baik (Muhammad Sabarudin,2015:143).

6
2. Pendidikan Islam di Kerajaan Aceh Darussalam

Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam


Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra
Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali
Mughayat Syah (1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan
pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh
seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan
dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah
masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang
peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim. Jenjang pendidikan yang ada di
Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah).
Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan
mempunyai multi fungsi antara lain:

a. Sebagai tempat belajar Alquran


b. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan
membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah
Islam.

Fungsi lainnya adalah sebagai berikut :

a. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.


b. Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Alquran di bulan puasa.
c. Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
d. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri / bulan
puasa
e. Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota
kampung.
f. Tempat bermusyawarah dalam segala urusan
g. Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera
dapat membedakan mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah
kiblat sholat (Muhammad Sabarudin,2015:144).

7
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan
Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula
ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para
ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan
berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran
agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh
menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga
yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar
ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic
dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh
Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika. Tokoh pendidikan agama
Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan
seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang
beraliran wujudiyah. (Muhammad Sabarudin,2015:145).

Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-


Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan
karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu. Ulama penting lainnnya adalah
Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah
murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan pahamUlama dan pujangga lain
yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia
menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam
dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu
dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah
kitab Bustanul Salatin.

Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah
satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai
Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daras (fakultas). Wujudiyah di Aceh Kitab
yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnyaDengan melihat
banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan
Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam.

8
Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. (Muhammad
Sabarudin,2015:145).

3. Pendidikan Islam di Kerajaan Demak

Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak


mempunyai kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan
masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan
agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat
pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam. Kitab keluaran Demak
adalah Usul 6 Bis, yaitu kitab yang ditulis tangan berisi 6 kitab dengan 6
Bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Sarkandi. Isinya tentang dasar-dasar
ilmu agama Islam. Kitab lainnya adalah Tafsir Jalalain, karangan Syekh Jalaluddin
dan Jalaluddin as Suyuthi. Ada pula kitab agama Islam yang hingga kini masih
dikenal, yaitu Primbon, berisi catatan tentang ilmu-ilmu agama, macam-macam
doa, obat-obatan, ilmu gaib, bahkan wejangan para wali. Selain itu, dikenal pula
kitab-kitab yang dikenal dengan nama Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga,
Wasita Jati Sunan Geseng dan lain-lain. Dimana seluruh kitab tersebut berbentuk
diktat dan ditulis tangan .(Muhammad Sabarudin,2015:146).

Terlepas dari kitab-kitab agama di zaman Demak yang terbilang sedikit, dalam
kenyataannya agama Islam berkembang dan menyebar ke seluruh wilayah
Indonesia dengan pesatnya. Hal ini dikarenakan peranan para Sunan dan Kyai
dalam melaksanakan pendidikan dan penyiaran Islam mengikuti sistem yang telah
diajarkan nabi. Selain itu, dengan memberikan suri tauladan yang baik dalam
perangai dan perbuatan nyata. Ada hubungan khusus yang terjalin antara Kerajaan
Demak dan Walisongo, dimana peranan walisongo di bidang dakwah sangatlah
besar .(Muhammad Sabarudin,2015:146).

4. Pendidikan Islam di Kerajaan Mataram

Beberapa tempat Pengajian Qur’an diadakan di desa-desa. Di sana diajarkan


huruf hijaiyah, membaca al Qur’an, pokok-pokok dan dasar ilmu agama Islam. Cara
mengajarkannya adalah dengan menghafal. Jumlah tempat Pengajian Qur’an adalah

9
menurut banyaknya modin di desa itu. Hal itu disebabkan di tiap Pengajian Qur’an,
modin bertindak sebagai pengajar. Meskipun tidak ada undang-undang wajib
belajar, namun anak laki-laki dan perempuan yang berumur 7 tahun harus belajar
di Pengajaian Qur’an di desa masing-masing atas kehendak orang tuanya sendiri.
Hal tersebut menjadi semacam adat yang berlaku saat itu. Karena jika ada anak
yang berumur 7 tahun atau lebih tidak belajar mengaji, dengan sendirinya menjadi
olok-olokan teman seusianya (Muhammad Sabarudin,2015:147).

Selain itu ada pula Pengajian Kitab yang dikhususkan pada murid-murid yang
telah mengkhatamkan al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab biasanya adalah modin
terpandai di desa itu. Bisa juga modin dari desa lain yang memenuhi syarat, baik
dari kepandaiaan maupun budi pekertinya. Guru-guru tersebut diberi gelar Kiyai
Anom. Waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan
ditulis dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pelajarannya
antara lain Usul 6 Bis, kemudian matan Taqrib, dan Bidayatul Hidayah karya Imam
Ghazali dalam ilmu akhlak. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang
demi seorang bagi murid pemula dan halaqah bagi pelajar lanjutan. Di beberapa
kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan asrama atau pondok untuk
melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke tingkatan tinggi. Gurunya bergelar
Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren ini berperan sebagai lembaga
pendidikan tingkat tinggi. Kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren besar ialah
kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam
bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Bermacam-macam ilmu agama
diajarkan disini, seperti: fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya.
Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang
mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi
(Muhammad Sabarudin,2015:147).

2.2 Tujuan dan Landasan Pendidikan di Indonesia Pada Masa Pengaruh


Islam

2.2.1 Tujuan Pendidikan di Indonesia Pada Masa Pengaruh Islam

10
Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam upaya
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, keatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengacu pada tujuan pendidikan nasional tersebut jelas sekali bahwa peran
nilai-nilai agama menjadi sangat penting dalam setiap proses pendidikan yang
terjadi di sekolah. Karena terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa serta
berakhlak mulia tidak mungkin terbentuk tanpa peran dari agama. Menurut Malik
Fajar, yang dikutip oleh Yunus Hasyim Syam, Pendidikan adalah masalah yang
tidak pernah tuntas untuk dibicarakan, karena itu menyangkut persoalan manusia
dalam rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi fitrinya (Jannah,
2013: 161-162).

Pendidikan Islam adalah kegiatan yang dilaksanakan secara terencana dan


sistematis untuk mengembangkan potensi anak didik berdasarkan pada kaidah-
kaidah agama Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk
mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui
latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan serta panca indera yang
dimilikinya. Dalam Perspektif budaya, pendidikahn Islam adalah sebagai pewarisan
budaya, yaitu sebagai alat transmisi unsur-unsur pokok budaya kepada para
generasi, sehingga identitas umat tatap terpelihara dalam tangangan zaman(Jannah,
2013: 164).

Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah untuk menjadikan manusia sebagai


‘abdi Allah atau hamba Allah. Pendidikan seharusnya bertujuan menciptakan
pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia yakni dengan berbagai
latihan spiritual, intelektual, rasional, perasan bahkan kepekaan tubuh manusia.
Oleh karena itu, pendidikan semacam ini memerlukan suatu usaha dan pemikiran

11
yang keras dan serius dalam upaya mewujudkan citacitanya. Karenanya,
pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan potensi manusia
dalam segala aspek; spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, dan
lain-lain.) baik secara individual, masyarakat dan manusia pada umumnya
(Awwaliyah, 2018: 39).

Sejak awal berkembangnya Islam, pendidikan menjadi prioritas utama


masyarakat muslim Indonesia. Islamisasi menjadi alasan utama melaksanakan
pengajaran Islam walaupun dengan cara yang sangat sederhana. Kebutuhan
masyarakat Islam dengan pendidikan mendorong masyarakat Islam Indonesia
mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke
dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer
lembaga keagamaan HinduBudha menjadi pesantren. Umat Islam Minangkabau
mengambil alih surau yang merupakan peninggalan adat masyarakat setempat
menjadi lembaga pendidikan Islam dan di Aceh meunasah ditransfer menjadi
lembaga pendidikan Islam. Adanya Islamisasi dan pendidikan Islam yang sangat
pesat di Nusantara pada saat itu berhasil membentuk masyarakat Islam yang
mendorong lahirnya kerajaan Islam di Nusantara. Beberapa kerajaan Islam pada
masa sebelum zaman penjajahan adalah: Pertama, Kerajaan Perlak, Kerajaan Pasai,
Kerajaan Aceh, dan Kerajaan Siak di Sumatera. Kedua, Kerajaan Demak, Kerajaan
Pajang, dan Kerajaan Mataram di Jawa. Ketiga, Kerajaan kembar Gowa-Tallo di
Sulawesi Selatan (Nursyarief, 2014: 257).

2.2.2 Landasan Pendidikan Pada Masa Islam

Landasan atau dasar pendidikan Islam yang pokok adalah Al-Qur’an dan
Sunnah/Al-Hadits, selain itu sifat dan perbuatan para sahabat dan Ijtihad.
Sedangkan dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia disesuaikan dengan
dasar filsafat negaranya dan perundang-undangan yang dijadikan pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama di sekolah-sekolah atau di lembaga formal
lainnya. Dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia ada tiga jenis yaitu dasar
hukum yuridis, dasar hukum agama dan dasar hukum sosial psikologis. Pertama,
dasar hukum yuridis yaitu Undang-undang dan berbagai peraturan pemerintah yang
meliputi dasar ideal (pancasila sila pertama: Ketuhanaan Yang Maha Esa); dasar

12
konstitusional (UUD 1945 Bab XI Pasal 29 ayat 1 dan 2; ayat 1: negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa; ayat 2: negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama
dan kepercayaannya itu); dasar operasional yaitu dasar yang secara langsung
mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia
(Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN). Kedua, dasar hukum agama
yaitu dasar-dasar yang bersumber dari ajaran agama Islam yang tertera dalam Al-
Qur’an dan Hadits Nabi. Ketiga, dasar hukum sosial psikologis, yaitu pranata sosial
tentang kebutuhan terhadap nilai-nilai agama, sehingga mereka merasa tenang dan
tentram hatinya ketika mereka dapat mendekatkan diri dan mengabdi kepada Allah
Swt (Masdudi, 2014: 8).

Dasar pendidikan Islam dibagi dalam tiga kategori, yaitu:

a. Dasar Pokok. Yaitu al Qur’an dan al Hadist berupa. Nabi Muhammad SAW
sebagai pendidik pertama pada masa awal pertumbuhan Islam telah menjadikan
al Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam di samping sunnah beliau sendiri.
Dalam pendidikan Islam sunnah mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) menjelaskan
sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al Qur’an dan hal-hal yang tidak
terdapat di dalamnya, (2) menyimpulkan metode dan strategi pendidikan dari
kehidupan Rasullullah bersama sahabat (Indarsih, 2020: 219)

b. Dasar Tambahan. Pada masa Khulafaurrasyidin sumber pendidikan Islam mulai


mengalami perkembangan. Lebih luas, dasar pendidikan Islam terdiri dari
macam, yaitu; al-Qur’an, sunnah, qaul al-Shahabat, masail al mursalah, ’urf, dan
pemikiran hasil ijtihad intelektual Islam. Contoh usaha para sahabat dalam
pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pendidikan Islam
sampai sekarang, di antaranya: Abu Bakar melakukan kodifikasi Al-Qur’an;
Umar bi Khattab melakukan reaktualisasi terhadap ajaran Islam yang dapat
dijadikan prinsip strategi pendidikan; Usman bin Affan sebagai pemersatu
sistematika penulisan Al-Qur’an; Ali bin Abi Thalib sebagai perumus konsep-
konsep pendidikan.

13
c. Dasar Operasional. Dasar operasional pendidikan Islam adalah dasar yang
terbentuk sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Menurut Hasan Langgulung, dasar
operasional ada enam macam, yaitu:

1) Dasar Historis. Yaitu pendidikan berdasarkan hasil pengalaman masa lalu


berupa peraturan dan budaya masyarakat. Sistem pendidikan tidaklah muncul
begitu saja tetapi ia merupakan mata rantai yang berkelanjutan dari cita-cita
dan praktek pendidikan di masa lampau baik tersurat maupun tersirat.

2) Dasar Sosial. Yaitu memberikan kerangka budaya dimana pendidikan itu


bergerak, seperti; memindahkan, memilih dan mengembangkan kebudayaan
(Indarsih, 2020: 220).

3) Dasar Ekonomi. Yaitu dasar yang memberikan perspektif terhadap potensi


manusia berupa materi, pengaturan sumber-sumber yang bertanggungjawab
terhadap anggaran belanja. Pada setiap kebijakan pendidikan haruslah
mempertimbangkan faktor ekonomis karena kondisi sosial masyarakat yang
beraneka ragam akan dapat menjadi hambatan berlangsungnya pendidikan.

4) Dasar Politik. Yaitu dasar yang memberi bingkai dan ideologi yang digunakan
sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan.

5) Dasar Psikologis. Yaitu dasar yang memberi informasi tentang kepribadian


peserta didik, pendidik, cara-cara terbaik dalam praktik, pencapaian, penilaian
dan pengukuran serta bimbingan.

6) Dasar Fisiologis. Yaitu dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik,
memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-
dasar operasional lainnya (Indarsih, 2020: 221).

2.3 Lembaga Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia Masa Pengaruh Islam


1. Pondok pesantren

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti
murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (‫)فندوق‬

14
yang berarti penginapan. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai
menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik- adik kelasnya, mereka
biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan
keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat
meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan teks (Syaharuddin dan Heri
Susanto, 2019:23).

Menurut Lathiful Khuluq, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisonal


yang sudah ada sejak sekitar abad XIII M. Dalam perkembangannya, pesantren
menjadi lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang subur di daerah
pedesaan atau di daerah terpencil ( Khuluq, 2000: 5).

Pondok Pesantren dalam tinjauan historis pada mulanya merupakan lembaga


pendidikan penyiaran agama Islam konon tertua di Indonesia. Sejalan dengan
dinamika kehidupan masyarakat, fungsi itu telah berkembang menjadi semakin
kaya dan bervariasi, walaupun pada intinya tidak lepas dari fungsi semula.
Berdirinya suatu pesantren mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada
intinya adalah memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada
umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat tentang sosok
kyai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi. Kemudian masyarakat
belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya, maupun luar daerah. Oleh karena itu
mereka membangun tempat tinggal disekitar tempat tinggal kyai ( Akhiruddin,
2015:197).

Adapun metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah


sebagai berikut:
1. Wetonan

Metode wetonan yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri
yang juga memegang dan memerhatikan kitab yang sama. Dengan metode tersebut,
santri hanya menyimak, memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan
pembahasan isi kitab yang dilakukan oleh kyai. Tidak digunakan absensi kehadiran,
evaluasi, dan tidak ada pola klasikal. Dalam proses belajarnya, biasanya kyai

15
dikelilingi santrinya yang membentuk lingkaran, yang disebut halaqah
(Akhiruddin, 2015:200).

2. Sorogan

Metode sorogan adalah metode pembelajaran sistem privat yang dilakukan


santri kepada seorang kyai. Dalam metode sorogan ini, santri datang kepada kyai
dengan membawa kitab kuning atau kitab gundul, lalu membacanya di depan kyai
dan menerjemahkannya. Metode sorogan sebagai metode yang sangat penting
untuk para santri, terutama santri yang bercita-cita menjadi kyai. Karena dengan
metode sorogan, santri akan memperoleh ilmu yang meyakinkan dan lebih fokus
kepada persyaratan utama menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-
ilmu yang paling prinsipil di pondok pesantren (Akhiruddin, 2015:201).

3. Muhawarah

Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa Arab


yang diwajibkan oleh pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok.
Kegiatan tersebut biasanya digabungkan dengan latihan muhadharah dan
muhadastah yang biasanya dilaksanakan 1-2 minggu sekali. Tujuan kegiatan
tersebut adalah untuk melatih keterampilan para santri untuk berpidato
(Akhiruddin, 2015:201).

4. Mudzakarah

Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik


membahas masalah diniah seperti ibadah dan akidah serta masalah agama pada
umumnya. Dalam mudzakarah terdapat dua tingkat kegiatan: pertama, mudzakarah
diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan
melatih para santri dalam memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab
yang tersedia. Kedua, mudzakarah yang dipimpin oleh kyai, dan hasil mudzakarah
para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Saat
mudzakaran inilah santri menguji keterampilannya, baik dalam bahasa arab
maupun keterampilannya dalam mengutip sumbersumber argumentasi dalam kitab-
kitab klasik islam (Akhiruddin, 2015:201).

16
5. Bandungan (bahasa Sunda)

Metode ini hanya berlaku di pesantren yang terdapat di Jawa Barat. Istilah
“bandungan” artinya “perhatikan” dengan seksama ketika kyai membaca dan
membahas isi kitab. Santri hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat
yang dianggap sulit pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri
diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya (Akhiruddin, 2015:201).

6. Majelis taklim

Metode majelis taklim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang
bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri atas berbagai lapisan yang memiliki
latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan
usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian seperti ini hanya diadakan pada waktu
tertentu saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali, atau sebulan sekali.
Materi yang diajarkan bersifat umum berisi nasihat-nasihat keagamaan yang
bersifat amar ma’ruf nahi munkar. Ada kalanya materi diambil dari kitab-kitab
tertentu, seperti tafsir Quran dan Hadits (Akhiruddin, 2015:202).

2. Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab madrasatun berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut
dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi
pengajaran . Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti
sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid,
dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula ( Suwito,
2005: 214).

Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau
tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang
berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.

Secara hirarkies, Madrasah bila dipelajari dari segi historis, memiliki tiga
perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern, seperti madrasah ibtidaiyyah

17
sama dengan sekolah dasar (SD), madrasah Tsanawiyah sama dengan sekolah
menengah pertama (SMP), dan Madrasah Aliyah sama dengan sekolah menengah
atas (SMA) ( Siregar,2018:8).

Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak


menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam
pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan
pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya.
Sedangkan sebagian metode pengajarannya sudah tidak lagi menggunakan sistem
halaqah seperti di pesantren, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan
modern barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis
untuk proses belajar mengajar. Tetapi dari segi metode lain, madrasah masih tetap
menggunakan pengajaran seperti hafalan, latihan, dan praktek. Metode tersebut
sebenarnya merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah SAW. Terutama ketika
beliau memberikan pelajaran Al-Quran. Pada masa perkembangan berikutnya,
pendidikan Islam yang dilakukan di Madrasah menggunakan metode talqin, dimana
guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah, hafalan guru lalu
menjelaskan maksudnya. Metode ini disebut sebagai metode tradisional; murid
mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, mengahafal dan setelah itu
berusaha memahami arti dan maksud pelajaran yang ( Mustafa dan Aly,1998:151).

3. Surau

Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaannya meluas


sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di
Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah
digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu-Budha. Surau
dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada tahun 1356 M. yang
dibangun pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak. Sebagaimana
diketahui dalam lintasan sejarah Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa
keemasan bagi agama Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan
bahwa eksistensi dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi
pemeluk agama Hindu-Budha. Setelah keberadaan agama Hindu-Budha mulai
surut dan pengaruh selanjutnya digantikan Islam, surau akhirnya mengalami

18
akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Setelah mengalami islamisasi, surau
akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan sejak itu pula surau
tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang mistis atau sakral. Surau menjadi media
aktivitas pendidikan umat Islam dan tempat segala aktivitas social kyai
(Akhiruddin, 2015:209-210).

Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi
keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh syekh
Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping
sebagai tempat shalat, juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya
tarekat (suluk). Sebutan surau biasanya dikonotasikan dengan istilah langgar atau
mushalla. Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa
disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum
langgar atau mushalla berdiri sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan istilah
langgar biasanya digunakan untuk shalat dan mengaji bagi kaum muslim di Jawa.
Setelah melaksanakan ibadah shalat, para jama’ah melanjutkan dengan membaca
Al-Quran bersama yang dipimpin imam (guru) yang ditunjuk sebagai pendidik di
surau kyai (Akhiruddin, 2015:210).

Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami


kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
a. Pengajaran Al-Quran.

Untuk mempelajari Al-Quran ada dua tingkatan;

1. Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-


Quran. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat
yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal, keimanan
terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari
dengan menggunakan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang
dilakukan dengan cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
2. Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Quran dengan lagu,
kasidah, berjanji, tajwid, dan kitab perukunan.

19
Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang
siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai materi-materi di atas
dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan
mempelajari Al-Quran dua atau tiga kali baru berenti dari pengajaran Al-Quran.

b. Pengajian Kitab

Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih,
ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca
sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah
itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek
hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui
cara menghafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini
biasanya dilakukan pada siang hari. Metode pendidikan di surau bila dibandingkan
dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan di surau
memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan
menghafal muatan teoritis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada
lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks (Syaharuddin dan Heri
Susanto, 2019:23).

4.Meunasah

Meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban masyarakat Aceh. Di


sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong (kampung, desa) mendapatkan
pendidikan. Di setiap kampung di Aceh dibangun meunasah yang berfungsi sebagai
center of culture (pusat kebudayaan) dan center of education (pusat pendidikan)
bagi masyarakat. Dikatakan center of culture, karena meunasah ini memang
memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh dan
disebutkan center of education, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh
memulai pendidikannya di lembaga ini. Pendidikan yang dimaksudkan disini
adalah pendidikan yang berintikan agama Islam. Dengan pengertian ini terkandung
makna bahwa sejak dahulu desa-desa di seluruh Aceh telah ada lembaga sekolah
(Akhiruddin, 2015:213-215).

20
Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal
dari bahasa Arab Madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di
setiap gampong. Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi
serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda
serta orang laki-laki yang tidak mempunyai isteri. Setelah Islam mapan di Aceh,
meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong
(Akhiruddin, 2015:213-215).

Di antara fungsi meunasah itu adalah:

a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat


penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah, dan
menerima tamu.
b. b. Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca
Al-Quran. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu
dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian, pada hari
jumat dipakai ibu-ibu untuk shalat berjama’ah

Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai


tempat ibadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan,
bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama barang-barang yang
bergerak. Yang belajar di meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di
bawah umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah
guru (Akhiruddin, 2015:213-215).

Pendidikan meunasah ini dipimpin oleh Teungku meunasah. Pendidikan untuk


anak perempuan diberikan oleh teungku perempuan yang disebut teungku Inong.
Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak, teungku meunasah dibantu oleh
beberapa miridnya yang lebih cerdas yang disebut sida54. Lama pendidikan di
meunasah tidak ada batasan tetentu. Umumnya, pendidikan berlangsung selama dua
sampai sepuluh tahun. Pengajaran umumnya berlangsung malam hari. Materi
pelajaran dimulai dengan membaca Al-Quran yang dalam bahasa Aceh disebut

21
Bewet Quran. Biasanya pelajaran diawali dengan huruf hijaiyah, seperti yang
terdapat dalam buku Qaidah Baghdadiyah, dengan metode mengeja huruf,
kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz amma,
sambil menghafal surat-surat pendek.

Setelah itu baru ditingkatkan kepada membaca Al-Quran besar dilengkapi


dengan tajwidnya. Di samping itu, diajarkan pula pokok-pokok agama seperti
rukum iman, rukun islam, dan sifat-sifat Tuhan. Selain itu, diajarkan pula rukun
sembahyang, rukun puasa, dan zakat. Tak ketinggalan, pelajaran nyanyi juga
diajarkan, terutama nyanyian yang berhubungan dengan agama yang dalam bahasa
Aceh disebut dike atau seulaweut (dzikir atau shalawat). Buku-buku pelajaran yang
digunakan adalah buku-buku yang berbahasa Melayu seperti kitab Parukunan dan
Risalah Masail al-Muhtadin (Akhiruddin, 2015:213-215).

Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para teungku


tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun, biasanya tengku
mendapatkan hadiah dari murid-muridnya apabila mereka telah belajar Al-Quran
sampai juz ke-15 atau pada saat khatam Al-Quran. Hadiah-hadiah lain juga
diperoleh pada waktu upacara-upacara akad nikah, sunat, pembagian harta warisan,
perkara perdata, mengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasihat-nasihat,
dan juga zakat. Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar
sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke
meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi
masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Aceh
mempunyai fanatisme agama yang tinggi (Akhiruddin, 2015:213-215).

2.4 Dinamika Pendidikan di Indonesia Masa Islam

Dalam sejarahnya, pendidikan Islam di Indonesia berlangsung sejak masuknya


Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abad XVI atau XVII M. Ini artinya bahwa
pendidikan Islam telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama di
Indonesia. Keberadaannya pun telah memunculkan perubahan-perubahan yang
perlu dikaji secara ilmiah. Pada awalnya, pendidikan Islam di Indonesia dilakukan
dalam bentuk kajian di masjid, pondok pesantren, lalu menjadi madrasah setelah

22
mengalami perjalanan panjang. Namun dalam perjalanan sejarah pendidikan di
Indonesia, kelembagaan dalam bentuk institusi pesantren maupun madrasah juga
mengalami aneka perubahan. Dalam pada itu, seiring perkembangan zaman, pola
pengelolaan dan manajemen madrasah terus mengalami perubahan, baik dari sisi
institusi maupun metodologinya. Pendidikan Islam menjadi dinamis karena
perubahan-perubahan yang terus berlangsung (Taufik Churahman dan Musfiqon,
2008: 90-91).

Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia bisa dilihat; Pertama,
Kerajaan Islam Aceh. Kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah kerajaan
Samudera Pasai di daerah Aceh yang berdiri pada abad ke-10 M, dengan rajanya
yang pertama Al Malik Ibrahim Bin Mahdun, yang kedua bernama Al Malik Al
Saleh dan yang terakhir bernama Al Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/abad ke
15H). Seorang pengembara dari Maroko yang bernama Ibnu Batutah pada tahun
1345 M sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Al Malik Al
Zahir saat perjalanan ke Cina. Ibnu Batutah menuturkan bahwa ia sangat
mengagumi kerajaan Samudera Pasai dimana rajanya sangat alim dalam ilmu
agama dan menganut mazhab Syafii, fasih berbahasa Arab dan mempraktekkan
pola hidup sederhana.

Berdasarkan pendapat Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kepada system


pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Samudera Pasai, yaitu: (1) Materi
pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah Fiqh mazhab Syafii. (2)
System pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqah (3) Tokoh
pemerintahannya merangkap sebagai tokoh agama. (4) Biaya pendidikan agama
bersumber dari negara (Hasnida, 2017: 239).

Kedua, Kerajaan Islam di Jawa. Salah seorang raja Majapahit yang bernama
Sri Kertabumi mempunyai istri yang beragama Islam yang bernama Putri Cempa,
dari Putri Cempa inilah lahir seorang putra yang bernama Raden Fatah yang
dikemudian hari menjadi raja kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu kerajaan
Demak. Tentang berdirinya kerajaan Demak para ahli sejarah berbeda pendapat,
sebagian berpendapat bahwa kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478 M. pendapat
ini berdasarkan atas jatuhnya kerajaan Majapahit. Adapula yang berpendapat

23
bahwa kerajaan Demak berdir pada tahun 1518 M. Hal ini berdasarkan bahwa pada
tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya masa pemerintahan Prabu Udara
Brawijaya VII yang mendapat serbuan tentara Raden Fatah dari Demak.

Berdirinya kerajaan Islam Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di


Jawa tersebut maka penyiaran agama Islam semakin luas serta pendidikan dan
pengajaran Islam pun bertambah maju. System pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran agama Islam di Demak punya kemiripan dengan yang dilaksanakan di
Aceh yaitu denga mendirikan masjid di tempat-tempat yang menjadi sentral di suatu
daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang badal untuk
menjadi seorang guru yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber
agama Islam. Wali suatu daerah diberi gelar resmi, yaitu gelar Sunan dengan
ditambah nama daerahnya, seperti Sunan Giri yang dimana Ia menitik beratkan
kegiatannya di bidang pendidikan.Dalam hal susunan materi pelajaran beliau
mengadakan kontak dengan kerajaan pasai di Aceh yang berhaluan Ahli Sunnah
Madzhab Syafi’i. Beliau menjadi utusan para wali menghadapi Syekh Siti
Jenaryang mengajarkan ilmu Tasawuf kepada orang yang masih awam.
Kesimpulan pendapat Sunan Giri ialah bahwa Syekh Siti Jenar adalah kafir bagi
manusia dan mukmin bagi Allah (Hasnida, 2017: 240).

Ketiga, pendidikan di era Majapahit masih memiliki sistem pendidikan


(madrasah) yang sangat sederhana clan tradisional apa adanya. Namun lebih
menarik lagi, ketika era Mataram "pesantren" sudah menjadi lembaga pendidikan
yang formal. Pola tatanan atau sistem pengembangannya sudah terdapat klasifikasi
yang sudah dianggap mapan clan dapat digambakan sebagai berikut: 1) tingkatan
rendah, terdapat pengkajian al-Quran bagi anak-anak, 2) tingkatan menengah,
pengkajian kitab -kitab (al-Kutb alTurats) bagi pemuda-pemuda desa, 3) tingkata
takhasus, adalah pesantren keahlian, 4) tingkatan thariqat, pendidikan tinggi yang
disediakan untuk santri-santri senior yang sudah matang (Mohammad Asrari , 2008:
37).

Berbicara tentang dinamika pendidikan Islam di Indonesia, penulis


menggunakan fase yang telah dipetakan oleh Abuddin Nata. Ia membagi fase
dinamika pendidikan di Indonesia, dan keterlibatan pemerintah dalam perumusan

24
kebijakan di dalamnya ke dalam empat periode sebagai berikut: Pertama, masa pra
kemerdekaan, yaitu masa penjajah Belanda yang menerapkan diskriminatif
terhadap rakyat jajahannya dan termasuk pelit dalam memberikan pendidikan bagi
rakyatnya. Belanda membiarkan kebodohan agar mudah ditindas, dijajah dan
diadudomba. Kemudian sedikit ada perubahan setelah ada tekanan internasional
yang dikenal dengan politik etis, salah satunya menyedikan pendidikan kepada
rakyat secara terbatas dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja yang dipekerjakan
di beberapa perusahaan milik Belanda. Belanda tidak suka terhadap keberadaan
pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren, madrasah dan sebagainya
karena dianggap sebagai sarang pemberontak, dan pembangkang yang dikenal
sebagai konsep jihad dan menganggap Belanda sebagai orang kafir yang harus
diperangi, sehingga umat Islam bersikap non-kooperatif, tidak mau bekerjasama
dengan pemerintah Belanda.

Kedua, masa pasca kemerdekaan yang dikenal masa Orde Lama. Pada masa
ini terjadi upaya pembaruan dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang
lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman, namun suhu politik pada saat itu
sedang mengalami pancaroba dan mencari bentuknya. Ketiga, masa Orde Baru,
pendidikan pada masa ini bersifat sentralistik, represif dan depolitisasi masyarakat
yang harus berorientasi kepada loyalitas terhadap pemerintahan. Anggaran alokasi
untuk pendidikan sangat minim bila dibandingkan dengan negara-negara
berkembang lainnya yang tidak pernah mencapai 10% dari APBN. Keempat, masa
Orde Reformasi, dimana semakin berkembangnya wacana demokrasi, sehingga
menghasilkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Yovita Dyah
Permatasari, 2017: 227).

Dinamika modernisasi pendidikan di Indonesia mengakomodasi


perkembangan tiga model lembaga pendidikan Islam: (1) Pesantren, yang
merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia, (2) Madrasah, baik dikelola oleh
masyarakat maupun oleh pemerintah, (3) Sekolah umum yang bercirikhas Islam
(Yovita Dyah Permatasari, 2017: 237).

2.5 Pesantren dan Perubahan Sosial

25
Perubahan sosial menurut Gillin dan Gillin merupakan suatu variasi dari cara-
cara hidup yang diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun kerena adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat Samuel
Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi
yang terjadi dalam pola kehidupan manusia (Muhammad Shodiq, 2011:118).

Sejak awal pendiriannya, pesantren telah memainkan peran penting dalam


perubahan sosial di Indonesia. Pendidikan pesantren telah menghasilkan ulama
terkemuka dengan berbagai disiplin ilmu, baik agama, politik dan pemerintahan,
sastra, filsafat, dan sebagainya. Sejak diperkenalkan sistem sekolah dan
modernisasi lembaga pendidikan, pesantren disingkirkan dalam sistem pendidikan
nasional. Meskipun demikian, peran sosial pesantren dalam proses berbangsa dan
bernegara tidak bisa dianggap remeh. Penerimaan Pancasila sebagai ideologi
tunggal bangsa Indonesia adalah salah satu contoh kontribusi pesantren dalam hal
ini (Lukman Hakim, 2013:23).

Perubahan yang terjadi pada dunia pesantren saat ini tidak lain hanyalah untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan untuk memenuhi
tuntutan dan kebutuhan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
dikelola seutuhnya oleh kyai dan santri pada dasarnya berbeda diberbagai tempat
baik kegiatan maupun bentuknya. Hal ini terbukti adanya beberapa pesantren yang
telah mengalami perubahan dan mengembangkan diri baik dalam sistem pengajaran
maupun dalam kurikulum. Pada saat seperti saat ini masih ada beberapa pesantren
yang senantiasa mempertahankan sistem pelajaran tradisional yang menjadi ciri
khasnya, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikannya tanpa memperkenalkan pengajaran ilmu
pengetahuan umum. Saat ini perubahan juga terjadi pada dunia pesantren. Pertama,
pada sistem pendidikan pesantren tidak hanya mengajarkan kitab-kitab klasik tetapi
juga mengajarkan santri-santrinyanya dengan ilmu-ilmu modern. Kedua, berdirinya
pesantren yang mana dulu pesantren tumbuh dan berkembang di masyarakat
pedesaan akan tetapi sekarang banyak pesantren tumbuh dan berkembang di
masyarakat perkotaan. Ketiga, dalam segi kyai juga mengalami perubahan di mana

26
pada pesantren pedesaan kita mengenal ”kyai nasab” akan tetapi seiring tumbuh
dan berkembangnya pesantren-pesantren diperkotaan muncullah ”kyai nasib” yang
mana dalam penemuan penulis dilapangan adalah sebutan kepada seseorang yang
mempunyai keahlian dalam bidang agama dan mempunyai manajerial yang bagus
dalam mengelola pesantren (Muhammad Shodiq, 2011:119).

Peran pesantren dalam perubahan sosial dapat dilakukan dengan tiga fungsinya,
yakni

1. sebagai lembaga ilmu;


2. sebagai lembaga keagamaan;
3. sebagai lembaga sosial-keagamaan.

Pesantren perlu mengenal pengetahuan tentang sejarah sosial, baik masa lalu, saat
ini, maupun yang akan datang, guna untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam
lingkungan pesantren dan masyarakat dengan tepat (Lukman Hakim, 2013:26).

Pesantren dalam proses perubahan sosial

a. Penyelarasan Struktur Dan Fungsi Pesantren

Pesantren sesungguhnya merupakan suatu lembaga pendidikan yang berkecimpung


dalam pembentukan manusia yang mempunyai moralitas keagamaan Islam dan
sosial yang dominan diaktualisasikan dalam sistem pendidikan dan pengajaran
sehingga tujuan dan pengajaran ilmu ilmu agama sosial maupun exact di pesantren
itu merupakan suatu proses pembentukan karakter yang dititikberatkan terutama di
bidang Islami (Isamail, 2009:10).

b. Dilema Pondok Pesantren

pada era ini banyak pondok pesantren yang mengalami perubahan perjuangan
kepentingan di mana Bukan di bidang agama melainkan disangkutpautkan dengan
kepentingan politik pesantren dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang
pertarungan perebutan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama pada era
sebelumnya politik dijadikan sebagai tempat untuk memperjuangkan kepentingan
agama namun pada saat ini banyak agama yang dimanfaatkan untuk mementingkan
kepentingan politik atau untuk mendapatkan suatu kekuasaan dalam pemerintahan

27
Hal ini bisa disebabkan karena na maka dari itu suatu Pesantren harus memiliki visi
dan misi yang jelas agar tidak disalahgunakan dalam kepentingan pribadi ataupun
kepentingan politik. Untuk menyelesaikan masalah ah di atas ada beberapa hal yang
harus di kembangkan di dalam pesantren yang pertama tamadun atau memajukan
pesantren banyak pesantren yang masih dikelola sederhana manajemen dan
administrasi nya masih bersifat kekeluargaan dan semua kegiatan ditangani oleh
Kyai dalam hal ini maka Pesantren perlu berbenah diri dan lebih menyiapkan
manajemen dan administrasinya lebih matang, Kedua yaitu membangun budaya
dalam hal ini budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam Pesantren
diharapkan mampu mengembangkan dan pengaruh tradisi yang bersemangat Islam
ditengah embusan dan pengaruh genset globalisasi yang berusaha menyeragamkan
budaya melalui produk-produk teknologi modern, Yang ketiga yaitu Bagaimana
Pesantren memberikan pencerahan kepada umat Islamnya agar lebih kreatif dan
produktif dengan tidak melupakan ajaran ajaran Islam salah satu contohnya yaitu
para santri boleh dan baik jika mereka setiap dengan tradisi kepesantrenan tetapi
mereka juga harus akrab dengan teknologi teknologi yang telah berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman sehingga tidak mengalami ketinggalan di bidang ilmu
pengetahuan teknologi atau sains (Isamail, 2009:11-15).

c. Format Pesantren Masa Depan

Adanya tuntutan tuntutan yang telah ada da harus mengalami perubahan atau
menata dalam menghadapi persaingan pendidikan an-nas ada di lingkungan
masyarakat namun perubahan dan pembinaan tersebut dimaksudkan hanya sebatas
manajemen dan bukan caranya apalagi berganti baju dari Salafiyah ke ke modern
karena hal itu itu akan menyebabkan kehancuran nilai-nilai positif Santren dan
meninggalkan ajaran-ajaran Islam serta lulusan Pesantren tidak lagi menjunjung
nilai-nilai Islami. Idealnya pesantren di era mendatang harus mengimbangi dengan
perubahan zaman namun dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai yang
ada di pesantren sehingga Pesantren dapat menghasilkan santri-santri atau lulusan-
lulusan yang yang memiliki bekal ilmu ilmu Islami (Isamail, 2009:15-17).

28
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar


asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula
terjalin melalui kontak teratur dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran
Islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir, sementara di pedalaman agama
Hindu masih kuat. Didapati pendidikan agama Islam di masa prakolonial dalam
bentuk pengajian Al Qur’an dan pengajian kitab yang di selenggarakan di rumah-
rumah, surau, masjid, pesantren dan lain-lain. Kitab-kitab ini adalah menjadi
ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu agama seseorang. Pada perkembangan
selanjutnya pendidikan Islam mengalami perubahan bentuk baik dari segi
kelembagaan, materi pengajaran, metode maupun struktur organisasinya sehingga
melahirkan suatu betuk yang baru yang disebut madrasah.

Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan


secara semaksimal, dan para muballiq ketika itu melaksanakan penyiaran agama
Islam kapan dan dimana saja pada setiap kesempatan dengan cara yang mudah
diterima oleh masyarakat. Hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin,
mereka mendirikan masjid sebagai tempat beribadah dan mengerjakan shalat Jumat
dan pada tiap-tiap kampung, mereka mendirikan Surau (di Sumatera Barat) atau
Langgar untuk mengaji dan membaca Alquran, dan sebagai tempat untuk
mendirikan shalat lima waktu. Pendidikan Islam yang berlangsung di langgar
bersifat elementer, di mulai dengan mempelajari huruf abjad Arab (hijaiyyah) atau
kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca
dari kitab suci Alquran. Pendidikan semacam ini dikelola oleh seorang petugas
yang disebut Amil, Moden atau Lebai yang memiliki tugas ganda yaitu di samping
memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai
guru.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adek Kholijah Siregar. Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam. Jurnal


Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan. Vol. 1 No. 1. 2018.

Ansrori, Mohammad. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia (Kajian Historis


Dari Tradisional Menuju Kontemporer). Jurnal El-Harakah. Vol.10,
No.1. 2008.

Awwaliyah, Robiatul & Baharun, Hasan. Pendidikan Islam Dalam Sitem


Pendidikan Nasional. Jurnal ilmiah DIDAKTIKA. Vol. 19 No. 1. 2018.

Churahman, Taufiq dan Musfiqon. Dinamika Pendidikan Islam: Studi Perubahan


Kelembagaan dan Metodologi Pada Madrasah Model. Jurnal Studi
Keislaman. Vol. 12, No.1.2008.

Hakim, Lukman. Pesantren Dan Perubahan Sosial. Jurnal Pusaka. Vol. 01 No. 01.
2013.

Hasnida. Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Masa Pra


Kolonialisme dan Masa Kolonialisme (Belanda, Jepang, Sekutu). Jurnal
Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam. Vol.16, No.2. 2017.

Indarsih, Fajar. Perbandingan Pendidikan: Studi Komparatif antara Landasan


Pendidikan Nasional dengan Landasan Pendidikan Islam. Jurnal Ilmu
Pendidikan dan Pembelajaran. Vol. 02 No. 2. 2020.

Ismail. Pesantren dalam perubahan sosial. Jurnal ilmu-ilmu keislaman. Vol. 12 No.
01. 2009.

Jannah, Fathul. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jurnal


Dinamika Ilmu. Vol. 13 No. 2. 2013.

Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy’ari.
Yogyakarta: LKIS.

KM. Akhiruddin. Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara. Jurnal Tarbiya. Vol. 1


No. 1. 2015

30
Kusumawardani. Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Jurnal Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Vol. 1 No. 2. 2012.

Masdudi. 2014. Landasan Pendidikan Islam Kajian Konsep Pembelajaran.


Cirebon: Perpustakaan Nasional.

Mustafa, H.A. dan Abdullah Aly. 1998. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.

Nursyarief, Aisyah. Pendidikan Islam Di Indonesia Dalam Lintasan Sejarah


(Perspektif Kerajaan Islam). Jurnal Lentera Pendidikan. Vol. 17 No. 2.
2014.

Permatasari, Yovita Dyah. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia (Sebuah


Tinjauan Historis-Kronologis). Jurnal Studi Keislaman. Vol.8, No.2. 2017.

Sobarudin, Muhammad. Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya. Vol. 1, No.1. 2015.

Shodiq, Muhammad. Pesantren Dan Perubahan Sosial. Jurnal Sosiologi Islam Vol.
01 No. 01. 2011.

Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Syaharuddin dan Heri Susanto. 2019. Sejarah Pendidikan Indonesia (Era Pra
Kolonial Nusantara sampai Reformasi). Banjarmasin: Universitas
Lambung Mangkurat.

31

Anda mungkin juga menyukai