Oleh :
Kelompok 3
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafaatnya di akhirat nanti.
Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah pada mata kuliah Sejarah pendidikan
dengan judul “ Perkembangan Pendidikan di Indonesia Pada Masa Pengaruh
Islam”.
Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penyusun mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
Ibu Dr. Risma Margaretha Sinaga,M.Hum dan Bapak Yusuf Perdana, S.Pd.,M.Pd
yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
yang pertama kali berdiri di sumatra barat tepatnya di minangkabau yang mana saat
ini dijadikan sebagai sarana pendidikan agama (Akhiruddin,2015:196).
1.3. Tujuan
2
3. Untuk mengetahui tentang corak dan sifat pendidikan di Indonesia masa
pengaruh Islam.
4. Untuk mengetahui dinamika pendidikan Islam di Indonesia.
5. Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi di Pesantren.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
1. Tingkatan rendah, yaitu merupakan tingkatan pemula, yaitu di mulai dengan
sampai bisa membacanya yang diadakan pada tiap-tiap kampung.
2. Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut di atas, juga ditambah dengan
pelajaran lagu, kasida dan berzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan
(Muhammad Sabarudin,2015:141-142).
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14
M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan
Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota,
dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan. Menurut
Ibnu Batutah, Samudra Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi
Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara
Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang
cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan
5
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang
mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama,antara lain: Amir
Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara
diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid
mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid
dengan posisi seluruh wajah murid menghadap guru (Muhammad
Sabarudin,2015:142-143).
6
2. Pendidikan Islam di Kerajaan Aceh Darussalam
7
Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan
Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula
ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para
ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan
berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran
agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh
menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga
yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar
ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic
dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh
Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika. Tokoh pendidikan agama
Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan
seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang
beraliran wujudiyah. (Muhammad Sabarudin,2015:145).
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah
satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai
Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daras (fakultas). Wujudiyah di Aceh Kitab
yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnyaDengan melihat
banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan
Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam.
8
Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. (Muhammad
Sabarudin,2015:145).
Terlepas dari kitab-kitab agama di zaman Demak yang terbilang sedikit, dalam
kenyataannya agama Islam berkembang dan menyebar ke seluruh wilayah
Indonesia dengan pesatnya. Hal ini dikarenakan peranan para Sunan dan Kyai
dalam melaksanakan pendidikan dan penyiaran Islam mengikuti sistem yang telah
diajarkan nabi. Selain itu, dengan memberikan suri tauladan yang baik dalam
perangai dan perbuatan nyata. Ada hubungan khusus yang terjalin antara Kerajaan
Demak dan Walisongo, dimana peranan walisongo di bidang dakwah sangatlah
besar .(Muhammad Sabarudin,2015:146).
9
menurut banyaknya modin di desa itu. Hal itu disebabkan di tiap Pengajian Qur’an,
modin bertindak sebagai pengajar. Meskipun tidak ada undang-undang wajib
belajar, namun anak laki-laki dan perempuan yang berumur 7 tahun harus belajar
di Pengajaian Qur’an di desa masing-masing atas kehendak orang tuanya sendiri.
Hal tersebut menjadi semacam adat yang berlaku saat itu. Karena jika ada anak
yang berumur 7 tahun atau lebih tidak belajar mengaji, dengan sendirinya menjadi
olok-olokan teman seusianya (Muhammad Sabarudin,2015:147).
Selain itu ada pula Pengajian Kitab yang dikhususkan pada murid-murid yang
telah mengkhatamkan al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab biasanya adalah modin
terpandai di desa itu. Bisa juga modin dari desa lain yang memenuhi syarat, baik
dari kepandaiaan maupun budi pekertinya. Guru-guru tersebut diberi gelar Kiyai
Anom. Waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan
ditulis dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pelajarannya
antara lain Usul 6 Bis, kemudian matan Taqrib, dan Bidayatul Hidayah karya Imam
Ghazali dalam ilmu akhlak. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan, seorang
demi seorang bagi murid pemula dan halaqah bagi pelajar lanjutan. Di beberapa
kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan asrama atau pondok untuk
melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke tingkatan tinggi. Gurunya bergelar
Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren ini berperan sebagai lembaga
pendidikan tingkat tinggi. Kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren besar ialah
kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam
bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Bermacam-macam ilmu agama
diajarkan disini, seperti: fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya.
Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang
mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi
(Muhammad Sabarudin,2015:147).
10
Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam upaya
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, keatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mengacu pada tujuan pendidikan nasional tersebut jelas sekali bahwa peran
nilai-nilai agama menjadi sangat penting dalam setiap proses pendidikan yang
terjadi di sekolah. Karena terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa serta
berakhlak mulia tidak mungkin terbentuk tanpa peran dari agama. Menurut Malik
Fajar, yang dikutip oleh Yunus Hasyim Syam, Pendidikan adalah masalah yang
tidak pernah tuntas untuk dibicarakan, karena itu menyangkut persoalan manusia
dalam rangka memberi makna dan arah normal kepada eksistensi fitrinya (Jannah,
2013: 161-162).
11
yang keras dan serius dalam upaya mewujudkan citacitanya. Karenanya,
pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan potensi manusia
dalam segala aspek; spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, dan
lain-lain.) baik secara individual, masyarakat dan manusia pada umumnya
(Awwaliyah, 2018: 39).
Landasan atau dasar pendidikan Islam yang pokok adalah Al-Qur’an dan
Sunnah/Al-Hadits, selain itu sifat dan perbuatan para sahabat dan Ijtihad.
Sedangkan dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia disesuaikan dengan
dasar filsafat negaranya dan perundang-undangan yang dijadikan pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama di sekolah-sekolah atau di lembaga formal
lainnya. Dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia ada tiga jenis yaitu dasar
hukum yuridis, dasar hukum agama dan dasar hukum sosial psikologis. Pertama,
dasar hukum yuridis yaitu Undang-undang dan berbagai peraturan pemerintah yang
meliputi dasar ideal (pancasila sila pertama: Ketuhanaan Yang Maha Esa); dasar
12
konstitusional (UUD 1945 Bab XI Pasal 29 ayat 1 dan 2; ayat 1: negara berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa; ayat 2: negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama
dan kepercayaannya itu); dasar operasional yaitu dasar yang secara langsung
mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia
(Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN). Kedua, dasar hukum agama
yaitu dasar-dasar yang bersumber dari ajaran agama Islam yang tertera dalam Al-
Qur’an dan Hadits Nabi. Ketiga, dasar hukum sosial psikologis, yaitu pranata sosial
tentang kebutuhan terhadap nilai-nilai agama, sehingga mereka merasa tenang dan
tentram hatinya ketika mereka dapat mendekatkan diri dan mengabdi kepada Allah
Swt (Masdudi, 2014: 8).
a. Dasar Pokok. Yaitu al Qur’an dan al Hadist berupa. Nabi Muhammad SAW
sebagai pendidik pertama pada masa awal pertumbuhan Islam telah menjadikan
al Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam di samping sunnah beliau sendiri.
Dalam pendidikan Islam sunnah mempunyai dua fungsi, yaitu: (1) menjelaskan
sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al Qur’an dan hal-hal yang tidak
terdapat di dalamnya, (2) menyimpulkan metode dan strategi pendidikan dari
kehidupan Rasullullah bersama sahabat (Indarsih, 2020: 219)
13
c. Dasar Operasional. Dasar operasional pendidikan Islam adalah dasar yang
terbentuk sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Menurut Hasan Langgulung, dasar
operasional ada enam macam, yaitu:
4) Dasar Politik. Yaitu dasar yang memberi bingkai dan ideologi yang digunakan
sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan.
6) Dasar Fisiologis. Yaitu dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik,
memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-
dasar operasional lainnya (Indarsih, 2020: 221).
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti
murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq ()فندوق
14
yang berarti penginapan. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai
menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik- adik kelasnya, mereka
biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan
keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat
meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan teks (Syaharuddin dan Heri
Susanto, 2019:23).
Metode wetonan yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri
yang juga memegang dan memerhatikan kitab yang sama. Dengan metode tersebut,
santri hanya menyimak, memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan
pembahasan isi kitab yang dilakukan oleh kyai. Tidak digunakan absensi kehadiran,
evaluasi, dan tidak ada pola klasikal. Dalam proses belajarnya, biasanya kyai
15
dikelilingi santrinya yang membentuk lingkaran, yang disebut halaqah
(Akhiruddin, 2015:200).
2. Sorogan
3. Muhawarah
4. Mudzakarah
16
5. Bandungan (bahasa Sunda)
Metode ini hanya berlaku di pesantren yang terdapat di Jawa Barat. Istilah
“bandungan” artinya “perhatikan” dengan seksama ketika kyai membaca dan
membahas isi kitab. Santri hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat
yang dianggap sulit pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri
diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya (Akhiruddin, 2015:201).
6. Majelis taklim
Metode majelis taklim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang
bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri atas berbagai lapisan yang memiliki
latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan
usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian seperti ini hanya diadakan pada waktu
tertentu saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali, atau sebulan sekali.
Materi yang diajarkan bersifat umum berisi nasihat-nasihat keagamaan yang
bersifat amar ma’ruf nahi munkar. Ada kalanya materi diambil dari kitab-kitab
tertentu, seperti tafsir Quran dan Hadits (Akhiruddin, 2015:202).
2. Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab madrasatun berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut
dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi
pengajaran . Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti
sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid,
dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula ( Suwito,
2005: 214).
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau
tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang
berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
Secara hirarkies, Madrasah bila dipelajari dari segi historis, memiliki tiga
perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern, seperti madrasah ibtidaiyyah
17
sama dengan sekolah dasar (SD), madrasah Tsanawiyah sama dengan sekolah
menengah pertama (SMP), dan Madrasah Aliyah sama dengan sekolah menengah
atas (SMA) ( Siregar,2018:8).
3. Surau
18
akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Setelah mengalami islamisasi, surau
akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan sejak itu pula surau
tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang mistis atau sakral. Surau menjadi media
aktivitas pendidikan umat Islam dan tempat segala aktivitas social kyai
(Akhiruddin, 2015:209-210).
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi
keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh syekh
Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping
sebagai tempat shalat, juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya
tarekat (suluk). Sebutan surau biasanya dikonotasikan dengan istilah langgar atau
mushalla. Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa
disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum
langgar atau mushalla berdiri sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan istilah
langgar biasanya digunakan untuk shalat dan mengaji bagi kaum muslim di Jawa.
Setelah melaksanakan ibadah shalat, para jama’ah melanjutkan dengan membaca
Al-Quran bersama yang dipimpin imam (guru) yang ditunjuk sebagai pendidik di
surau kyai (Akhiruddin, 2015:210).
19
Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang
siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai materi-materi di atas
dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan
mempelajari Al-Quran dua atau tiga kali baru berenti dari pengajaran Al-Quran.
b. Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahwu, ilmu fiqih,
ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca
sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah
itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek
hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui
cara menghafalkan materi dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini
biasanya dilakukan pada siang hari. Metode pendidikan di surau bila dibandingkan
dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan di surau
memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan
menghafal muatan teoritis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada
lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks (Syaharuddin dan Heri
Susanto, 2019:23).
4.Meunasah
20
Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal
dari bahasa Arab Madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di
setiap gampong. Bangunan ini seperti rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan
bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi
serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda
serta orang laki-laki yang tidak mempunyai isteri. Setelah Islam mapan di Aceh,
meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong
(Akhiruddin, 2015:213-215).
21
Bewet Quran. Biasanya pelajaran diawali dengan huruf hijaiyah, seperti yang
terdapat dalam buku Qaidah Baghdadiyah, dengan metode mengeja huruf,
kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz amma,
sambil menghafal surat-surat pendek.
22
mengalami perjalanan panjang. Namun dalam perjalanan sejarah pendidikan di
Indonesia, kelembagaan dalam bentuk institusi pesantren maupun madrasah juga
mengalami aneka perubahan. Dalam pada itu, seiring perkembangan zaman, pola
pengelolaan dan manajemen madrasah terus mengalami perubahan, baik dari sisi
institusi maupun metodologinya. Pendidikan Islam menjadi dinamis karena
perubahan-perubahan yang terus berlangsung (Taufik Churahman dan Musfiqon,
2008: 90-91).
Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia bisa dilihat; Pertama,
Kerajaan Islam Aceh. Kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah kerajaan
Samudera Pasai di daerah Aceh yang berdiri pada abad ke-10 M, dengan rajanya
yang pertama Al Malik Ibrahim Bin Mahdun, yang kedua bernama Al Malik Al
Saleh dan yang terakhir bernama Al Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/abad ke
15H). Seorang pengembara dari Maroko yang bernama Ibnu Batutah pada tahun
1345 M sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Al Malik Al
Zahir saat perjalanan ke Cina. Ibnu Batutah menuturkan bahwa ia sangat
mengagumi kerajaan Samudera Pasai dimana rajanya sangat alim dalam ilmu
agama dan menganut mazhab Syafii, fasih berbahasa Arab dan mempraktekkan
pola hidup sederhana.
Kedua, Kerajaan Islam di Jawa. Salah seorang raja Majapahit yang bernama
Sri Kertabumi mempunyai istri yang beragama Islam yang bernama Putri Cempa,
dari Putri Cempa inilah lahir seorang putra yang bernama Raden Fatah yang
dikemudian hari menjadi raja kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu kerajaan
Demak. Tentang berdirinya kerajaan Demak para ahli sejarah berbeda pendapat,
sebagian berpendapat bahwa kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478 M. pendapat
ini berdasarkan atas jatuhnya kerajaan Majapahit. Adapula yang berpendapat
23
bahwa kerajaan Demak berdir pada tahun 1518 M. Hal ini berdasarkan bahwa pada
tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya masa pemerintahan Prabu Udara
Brawijaya VII yang mendapat serbuan tentara Raden Fatah dari Demak.
24
kebijakan di dalamnya ke dalam empat periode sebagai berikut: Pertama, masa pra
kemerdekaan, yaitu masa penjajah Belanda yang menerapkan diskriminatif
terhadap rakyat jajahannya dan termasuk pelit dalam memberikan pendidikan bagi
rakyatnya. Belanda membiarkan kebodohan agar mudah ditindas, dijajah dan
diadudomba. Kemudian sedikit ada perubahan setelah ada tekanan internasional
yang dikenal dengan politik etis, salah satunya menyedikan pendidikan kepada
rakyat secara terbatas dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja yang dipekerjakan
di beberapa perusahaan milik Belanda. Belanda tidak suka terhadap keberadaan
pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren, madrasah dan sebagainya
karena dianggap sebagai sarang pemberontak, dan pembangkang yang dikenal
sebagai konsep jihad dan menganggap Belanda sebagai orang kafir yang harus
diperangi, sehingga umat Islam bersikap non-kooperatif, tidak mau bekerjasama
dengan pemerintah Belanda.
Kedua, masa pasca kemerdekaan yang dikenal masa Orde Lama. Pada masa
ini terjadi upaya pembaruan dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang
lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman, namun suhu politik pada saat itu
sedang mengalami pancaroba dan mencari bentuknya. Ketiga, masa Orde Baru,
pendidikan pada masa ini bersifat sentralistik, represif dan depolitisasi masyarakat
yang harus berorientasi kepada loyalitas terhadap pemerintahan. Anggaran alokasi
untuk pendidikan sangat minim bila dibandingkan dengan negara-negara
berkembang lainnya yang tidak pernah mencapai 10% dari APBN. Keempat, masa
Orde Reformasi, dimana semakin berkembangnya wacana demokrasi, sehingga
menghasilkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Yovita Dyah
Permatasari, 2017: 227).
25
Perubahan sosial menurut Gillin dan Gillin merupakan suatu variasi dari cara-
cara hidup yang diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun kerena adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat Samuel
Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi
yang terjadi dalam pola kehidupan manusia (Muhammad Shodiq, 2011:118).
Perubahan yang terjadi pada dunia pesantren saat ini tidak lain hanyalah untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan untuk memenuhi
tuntutan dan kebutuhan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
dikelola seutuhnya oleh kyai dan santri pada dasarnya berbeda diberbagai tempat
baik kegiatan maupun bentuknya. Hal ini terbukti adanya beberapa pesantren yang
telah mengalami perubahan dan mengembangkan diri baik dalam sistem pengajaran
maupun dalam kurikulum. Pada saat seperti saat ini masih ada beberapa pesantren
yang senantiasa mempertahankan sistem pelajaran tradisional yang menjadi ciri
khasnya, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikannya tanpa memperkenalkan pengajaran ilmu
pengetahuan umum. Saat ini perubahan juga terjadi pada dunia pesantren. Pertama,
pada sistem pendidikan pesantren tidak hanya mengajarkan kitab-kitab klasik tetapi
juga mengajarkan santri-santrinyanya dengan ilmu-ilmu modern. Kedua, berdirinya
pesantren yang mana dulu pesantren tumbuh dan berkembang di masyarakat
pedesaan akan tetapi sekarang banyak pesantren tumbuh dan berkembang di
masyarakat perkotaan. Ketiga, dalam segi kyai juga mengalami perubahan di mana
26
pada pesantren pedesaan kita mengenal ”kyai nasab” akan tetapi seiring tumbuh
dan berkembangnya pesantren-pesantren diperkotaan muncullah ”kyai nasib” yang
mana dalam penemuan penulis dilapangan adalah sebutan kepada seseorang yang
mempunyai keahlian dalam bidang agama dan mempunyai manajerial yang bagus
dalam mengelola pesantren (Muhammad Shodiq, 2011:119).
Peran pesantren dalam perubahan sosial dapat dilakukan dengan tiga fungsinya,
yakni
Pesantren perlu mengenal pengetahuan tentang sejarah sosial, baik masa lalu, saat
ini, maupun yang akan datang, guna untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam
lingkungan pesantren dan masyarakat dengan tepat (Lukman Hakim, 2013:26).
pada era ini banyak pondok pesantren yang mengalami perubahan perjuangan
kepentingan di mana Bukan di bidang agama melainkan disangkutpautkan dengan
kepentingan politik pesantren dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang
pertarungan perebutan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama pada era
sebelumnya politik dijadikan sebagai tempat untuk memperjuangkan kepentingan
agama namun pada saat ini banyak agama yang dimanfaatkan untuk mementingkan
kepentingan politik atau untuk mendapatkan suatu kekuasaan dalam pemerintahan
27
Hal ini bisa disebabkan karena na maka dari itu suatu Pesantren harus memiliki visi
dan misi yang jelas agar tidak disalahgunakan dalam kepentingan pribadi ataupun
kepentingan politik. Untuk menyelesaikan masalah ah di atas ada beberapa hal yang
harus di kembangkan di dalam pesantren yang pertama tamadun atau memajukan
pesantren banyak pesantren yang masih dikelola sederhana manajemen dan
administrasi nya masih bersifat kekeluargaan dan semua kegiatan ditangani oleh
Kyai dalam hal ini maka Pesantren perlu berbenah diri dan lebih menyiapkan
manajemen dan administrasinya lebih matang, Kedua yaitu membangun budaya
dalam hal ini budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam Pesantren
diharapkan mampu mengembangkan dan pengaruh tradisi yang bersemangat Islam
ditengah embusan dan pengaruh genset globalisasi yang berusaha menyeragamkan
budaya melalui produk-produk teknologi modern, Yang ketiga yaitu Bagaimana
Pesantren memberikan pencerahan kepada umat Islamnya agar lebih kreatif dan
produktif dengan tidak melupakan ajaran ajaran Islam salah satu contohnya yaitu
para santri boleh dan baik jika mereka setiap dengan tradisi kepesantrenan tetapi
mereka juga harus akrab dengan teknologi teknologi yang telah berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman sehingga tidak mengalami ketinggalan di bidang ilmu
pengetahuan teknologi atau sains (Isamail, 2009:11-15).
Adanya tuntutan tuntutan yang telah ada da harus mengalami perubahan atau
menata dalam menghadapi persaingan pendidikan an-nas ada di lingkungan
masyarakat namun perubahan dan pembinaan tersebut dimaksudkan hanya sebatas
manajemen dan bukan caranya apalagi berganti baju dari Salafiyah ke ke modern
karena hal itu itu akan menyebabkan kehancuran nilai-nilai positif Santren dan
meninggalkan ajaran-ajaran Islam serta lulusan Pesantren tidak lagi menjunjung
nilai-nilai Islami. Idealnya pesantren di era mendatang harus mengimbangi dengan
perubahan zaman namun dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai yang
ada di pesantren sehingga Pesantren dapat menghasilkan santri-santri atau lulusan-
lulusan yang yang memiliki bekal ilmu ilmu Islami (Isamail, 2009:15-17).
28
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
29
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Lukman. Pesantren Dan Perubahan Sosial. Jurnal Pusaka. Vol. 01 No. 01.
2013.
Ismail. Pesantren dalam perubahan sosial. Jurnal ilmu-ilmu keislaman. Vol. 12 No.
01. 2009.
Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy’ari.
Yogyakarta: LKIS.
30
Kusumawardani. Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Jurnal Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Vol. 1 No. 2. 2012.
Mustafa, H.A. dan Abdullah Aly. 1998. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.
Sobarudin, Muhammad. Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan
Sebelum Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya. Vol. 1, No.1. 2015.
Shodiq, Muhammad. Pesantren Dan Perubahan Sosial. Jurnal Sosiologi Islam Vol.
01 No. 01. 2011.
Syaharuddin dan Heri Susanto. 2019. Sejarah Pendidikan Indonesia (Era Pra
Kolonial Nusantara sampai Reformasi). Banjarmasin: Universitas
Lambung Mangkurat.
31