Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PENDIDIKAN PESANTREN DAN PENDIDIKAN


ANDRAGOGI

Dosen Pengampu : Fitriani, M.Ed

Disusun Oleh : Kelompok 4

1. Kiki Alia
2. Dj Siti Fatonah
3. Nurul Faizah
4. Feri Zulkarnain
5. Ardiansyah

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI

UNIVERSITAS NGGUSUWARU

TAHUN AKADEMIK 2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulilahi Robbil’Alamin puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


Subhanahu wa Ta’ala karena dengan berkat dan rahmat dan hidayah-Nya lah sehingga
penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah lengkap “Pendidikan Pesantren ” ini
yang in syaa Allah dapat bermanfaat. Tak lupa penulis kirimkan salam dan shalawat kepada
nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena berkat beliaulah, sehingga ummat
manusia dapat terlepas dari zaman jahilia menuju zaman modern seperti saat ini.Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua yang telah menjadi sumber motivasi bagi
penulis. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada para dosen penanggung jawab atas
segala bimbingannya dalam menyusun makalah ini. Rasa terima kasih juga penulis
ucapkan kepada teman-teman atas bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat dibutuhkan, agar laporan selanjutnya dapat lebih baik
lagi. Semoga makalah ini dapat memberikan konstribusi pengetahuan yang bermanfaat bagi
pembaca.

Bima , Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C.Tujuan Penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Positivisme...................................................................... 3
B. Sejarah Kemunculan Positivisme...................................................... 19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 28
B. Saran.................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok
Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia.
Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Karenanya
banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan
kajian.
Pendidikan Pondok Pesatren merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang keunikannya
serta simbol – simbol yang dipergunakannya tidak akan pernah ditemukan di Lembaga
Islam mananapun didunia, sebuah lembaga pendidikan yang sama sekali berbeda dari
pakem induknya, yang denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan darah dalam
upaya penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama sekali korban
nyawa, agama yang pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau jawa ini, dengan
ketelitian dan penelitian mendalam oleh tokoh – tokoh islam pada masa awal penyebaran
ajaran islam di Indonesia telah mengantarkan pada keberhasilan penyebaran islam di bumi
jawa.1
Pondok Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di Indonesia dengan
sistem lingkungan pendidikan yang integral, menurut Agus Sunyoto ada dua hal yang
dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren Sebagai Lembaga Pendidikan; (1) Proses
Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren melakukan Pembentukan karakter dan, (2)
Proses Pengajaran; dengan Proses Pengajaran Pondok Pesatren melakukan pengembangan

1[1] Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Suluk Abdul Jalil Edisi ke 4, tokoh sentral yang telah
meneliti bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak
pusat agama hindu – bhuda adalah syekh Lemah Abang atau yang lebih dikenal dengan Syekh Siti
Jenar yang mempunyai nama kecil San Ali, atau Abdul Jalil (santri generasi pertama Padepokan Giri
Amparan Jati) yang dalam kaca mata kita dianggap bid’ah ajarannya, beliaulah yang menelorkan
adanya sebuah konsep Pendidikan Pondok Pesatren, , merupaka orang yang telah meneliti
bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat
agama hindu – bhuda

1
nalar.2 Abdurrahman Wahid menyamakannya dengan sistem yang dipergunakan Akademi
Militer dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda yang disitu ada seseorang
dapat mengambil pengalaman secara integral, menurutnya ada tiga elemen yang mampu
membentuk Pondok Pesatren; (1) Pola Kepemimpinan pondok pesatren yang mandiri tidak
pernah terkooptasi oleh negara, (2) Kita – kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari
berbagai abad dan, (3) Sistem nilai (Volue System) yang digunakan adalah bagian dari
masyarakat luas_Inilah yang menurut Abdurrahman Wahid kemudian disebut ciri Pondok
Pesatren sebagai Sub Kultur.3 Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren merupakan
pola pendidikan integral antara yang religius dengan Pendidikan sosial yang merupakan
pusat pengembangan ilmu yang bernafaskan islam dengan spesifikasi untuk
mempertahankan ajaran al-sunnah dengan mengembangkan kajian keilmuan melalui
khazanah kitab kuning_yang belakangan mengalami perkembangan sangat pesat tidak
hanya pada khazanah kitab kuning juga sudah merambah pada pendidikan umum, inilah
yang membawa banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren
sebagai bahan kajian
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena
“modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi
daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya,
hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah
suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi
masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah
mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga
yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini
pun peran itu masih tetap dirasakan.
Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus
kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam sejumlah aspek tertentu,

2[2] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar
Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda

3[3] Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, Said Aqiel Siradj et al. Cet. Bandung : Pustaka Hidayah,
1999. Hal. 13-14

2
pesantren juga harus dipahami sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri karena
peran sejarah yang dimainkanya.4 maka tidak heran kalau kemudian Abdurrahman Wahid
menyebutnya sebagai Sub Kultur disebabkan kemampuan untuk melakukan transformasi
total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya.5

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut; (1) Apa yang melatarbelakangi munculnya Pendidikan Pondok Pesatren, (2)
Pendidikan Andragogi ?

C. Tujuan Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah diatasmaka penulis merumuskan tujuan penulisan
sebagai berikut; (1) untuk mengetahui Apa yang melatarbelakangi munculnya Pendidikan
Pondok Pesatren, (2) untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pendidikan Andragogi .

BAB II
PEMBAHASAN

4[4] Ibid Pengantar Penyunting Buku Pondok Pesantren Masa Depan, Hal 7.

5[5] Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001, hal
10

3
1. Definisi Pesantren

A. Konsep Pendidikan Pesantren

Jauh sebelum masa kemerdekaan, pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren)


telah menjadi sistem pendidikan nusantara. Hampir di seluruh peloksok nusantara,
khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang
lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh,
Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa. Namun demikian, secara historis awal
kemunculan dan asal-usul pesantren masih menyisakan kontroversi di kalangan para ahli
sejarah.

Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga
pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van
Bruinessen yang memandang bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal
Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip dari Soegarda Poerbakawatja—memandang
pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari
Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.

Ada dua alasan yang dikemukakan Steenbrink untuk memperkuat pandangan bahwa
pesantren diadopsi dari India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk.
Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan di pesantren
seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab melainkan dari India. Selain
itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran
agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di
atas kemudian diambil oleh Islam.

Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India
dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh
negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya
terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak

4
mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya
meminta sumbangan ke luar lingkungan pesantren.

Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-
usul pesantren berasal dari India. Sementara itu Bruinessen berpendapat bahwa pesantren
yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia besar kemungkinan berasal
dari Arab. Alasannya tentang posisi Arab—khususnya Mekah dan Madinah—sebagai pusat
orientasi bagi umat Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di pesantren.
Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul
pesantren dari tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai
berikut:

"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari
di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di
Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari Indonesia
(meskipun syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran
perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di
sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi
tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya
boleh jadi orang Indonesia sendiri)."

Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang
menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan
pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika
madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan
lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut
masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon
ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat kiai-kiai besar hampir semua
menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka di

5
tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah air
dalam bentuk pesantren.

Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren
dari India dan Arab, perlu ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa
yang digunakan di pesantren, pendapat bahwa asal-usul pesantren dari India atau Arab
tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang dominan
digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata "santri" yang
digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik yang
berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk
mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru di
pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki-laki dan
nyai untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai
dan nyai dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.

Istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan oleh banyak kalangan
sehingga terjadi banyak penafsiran tentang istilah – istilah tersebut disebabkan memang
istilah yang dipakai ini tidak akan pernah ditemukan pada pakem induknya.
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti
ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata
pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti
menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap
sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan
menurut Clifford Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya
ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang
yang pandai membaca dan menulis.6[6]

6[6] Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd.
com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)

6
Sedangkan menurut Agus Sunyoto lebih rinci menjelaskan bahwa istilah Pondok
Pesatren pertama kali dikenalkan oleh murid Padepokan Giri Amparan Jati generasi ke
empat yaitu Raden Sahid (Syaikh Malaya, atau Sunan Kalijaga) pada saat musyawarah
pergantian kepemimpinan ketika Pendiri Padepokan Giri Amparan Jati Syaikh datuk Kahfi
mangkat. Istilah Pondok Pesatren berasal dari kata Pondok yang diambil dari kata Funduq
yang berarti Penginapan, sedangkan kata santri diambil dari bahasa sansekerta Syastri yang
berarti orang yang mempelajari kitab suci. Kemudian kedua kata tersebut dipadukan
menjadi Pondok Pesatren yang bermakna “Tempat tinggal para murid yang mempelajari
kitab suci”7[7]
Dari semua pemaparan para ahli dapat kita simpulkan bahwa Pondok Pesantren merupakan
pusat pendidikan keislaman yang para muridnya di-asrama-kan dalam rangka memahami
kitab suci yang diharapkan menghasilkan generasi penerus keberlangsungan penyebaran
ajaran agama islam yang militan pada masa yang akan datang dengan melestarikan ajaran –
ajaran islam semasa nabi Muhammad SAW. serta dalam rangka mencetak manusia –
manusia yang taat terhadapa agama.

B. Sejarah Pendidikan Pesantren


Tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan tepatnya istilah pondok
pesantren itu mulai diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya sehingga
kita sulit untuk menentukan Pondok Pesantren mana yang pertama kali didirikan, Menurut
Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi
terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya pesantren itu sendiri
juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu
panjang...8[8] menurut Wahjoetomo, model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan
berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Menurutnya pondok pesantren yang

7[7] Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3
Cet. 4 Yokyakarta : LKiS Hal 103

8[8] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi;Esai-esai Pesastren, hlm 12.

7
pertama kali ada adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.9[9]
Menurut Dr. Suryadi Siregar DEA, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren
pertama ia menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat.
Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum
sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih
banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok
organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin
tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama
empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat
dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk
keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-
tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan
tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan
agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian
dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal sekarang ini
pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh
orang-orang Hindu di Nusantara.10[10] Pendapat kedua ini senada dengan apa yang
disampaikan oleh Agus Sunyoto dalam sebuah Work Shope Kaum Muda Nahdhatul Ulama
yang diselenggarakan di Kediri pada tanggal 25 September 2005 (Sejarah Pendidikan
Pesantren dan bagaimana Nalar Barat menghabisi Dunia Pesantren).
Dengan sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang proses
munculnya Pendidikan Pondok Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren tidak lepas
dari pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia dan merupak anti tesis dari

9[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70

10[10] Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus STMIK Bandung
tanggal, 12 Desember 1996 (On line). (http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0
/pontrenmodelpt.pdf. diakses tanggal 14 Juli 2010)

8
penolakan – penolakan penduduk lokal jawa terhadap ajaran Islam_yang semula
merupakan pusat keagamaan Hindu-Bhuda,
Menurutnya orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa
kholifah Ali Bin Abi Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama
sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk lokal karena pengaruh asumsi bahasa_karna
kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani, sedangka kata Yamani dalam
Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut nyawa yang ada di neraka jadi
Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada perpindahan suku – suku di negri persia
menuju kenegri jawa, yang juga tidak ada sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386
M. terjadi imigrasi besaran – besaran penduduk muslim Cina ke selatan 11[11]
Ini dapat dilihat dari penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perlak pada abad 12
M ia menjelaskan bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok Pribumi
penyembah berhala, penduduk Cina Muslim dan Arab Muslim, dan juga bisa dilihat dari
catatan H. Ma’huan salah seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang masuk ke Aceh pada
tahun 1405 M. Ia menyebutkan ada tiga kelopok penduduk, sama seperti pernyataan
marcopolo dan ia menyebutkan Laksamana Cheng Ho pernah berlabuh dipelabuhan tuban
dalam catatan perjalannya dituliskan bahwa peduduk disekitar pelabuhan tuban mayoritas
Cina Muslim, 12[12]
Baru pada tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah dari Negeri campa
menuju jawa, waktu itu penduduk lokal sama sekali belum mau menerima Ajaran Islam.
Kemudian Raden Rahmat pindah ke ngampel delta mendirikan padepokan untuk dijadikan
pusat belajar agama islam, wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan Padepokan Ampel
Delta. 13[13]

11[11] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar
Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU.
Kediri 25-27 September

12[12] Ibid

13[13] Ibid

9
Menurut Slamet Muljana (2005:48) yang dikutip dari Serat Kanda dalam
Pararaton, terbitan Dr. J. Brandes, Raden Sayid Rahmat14[14] (Sunan Ampel) datang dari
Campa menuju Jawa untuk menemui saudara ibunya Putri Dwarawati, istri dari
Angkawijaya (Raja Majapahit), Raden Sayid Rahmad diterima baik oleh Prabu
Angkawijaya yang kemudian diizinkan menetap di Daerah Ngampel.
Setelah Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi datang dari daratan
cina menuju tanah jawa, kemudian menetap di Cerebon mendiami daerah Giri Amparan
Jati mendirikan sebuah padepokan yang kemudian juga dikenal dengan sebutan padepokan
Giri Amparan Jati pada saat itu penduduk lokal jawa mayoritas masih menganut agama
Hindu-Budha, dan anggapan bahwa agama Islam adalah agamanya para pembesar kerajaan,
karna disinyalir waktu itu para pembesar kerajaan telah memeluk agama Islam. 15[15]
Dalam perkembangannya Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat menjadi ratusan
murid yang berasal dari daerah dermayu, tegal, semarang, dan demak.
Berangkat dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana agar ajaran
islam ini bisa diterima seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan penelitian tentang bagaimana
cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa harus ada darah yang mengalir dalam proses
islamisasi yang akan dilakukan nanti_menurut Agus Sunyoto orang yang banyak meneliti
tentang kultur masyarakat jawa waktu itu adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).
Nama Pondok Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah dewan guru
yang dibentuk ketika syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat, dewan guru tersebut
adalah Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim Akbar, K Gedeng Pasambangan, Ki Gedeng
Babatan, Ki Gedeng Surantaka, Haji Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin
Hasanuddin, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden Sahid, dan
Raden Qosim. kemudian forum musyawarah ini mempercayakan atau mengangkat Raden
Syarif Hidayatullah sebagai ketua dewan guru atau pengasuh dari padepokan giri amparan
jati. Dan dalam sidang yang sama kemudian Syarif Hidatullah mengusulkan agar nama

14[14] Dalam Preambule Prasaran, berita dari Klenteng Sam Po Kong di semarang nama lain dari
Sunan Ngampel atau Sayid Rahmatullah adalah Bong Swi Hoo

15[15] Bisa dilihat di bukunya Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu;Perjuangan dan Ajaran Syaikh
Siti Jenar Buku 3. Cet Ke IV Yogyakarta: LkiS, 2004.

10
padepokan di rubah menjadi pondok yang kemudian atas usul raden sahid nama pondok di
tambah dengan pesantren untuk membedakan padepokan tempat orang hindu belajar
agamanya dengan orang islam yang mencari ilmu.16[16]
Terlepas benar dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang
dilakukan oleh para penyiar islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang
teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini, tidak terdapat dalam ajaran Islam yang
ada dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi budaya Islam terhadap
budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah pembaharuan budaya, apa yang dilakukan
oleh para penyiar Islam masa itu suatu langkah yang sangat tepat karna menurut Cillford
Geertz yang dikutip dari Ward Goodenough; kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–
pikiran dan hati manusia, jadi suatu kebudayaan masyarakat terdiri dari apa saja yang harus
diketahui dan dipercayai seseorang supaya dapat berjalan dengan suatu cara yang dapat
diterima oleh anggota-anggotanya.17[17] Tidak heran kalau kemudian proses islamisasi
yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat cepat, karna memang apa
yang silakukan oleh para da’i islam waktu itu memang masuk dalah roh budaya penduduk
lokal.
C. Bentuk-Bentuk Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik
tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi
sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat
mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Menurut
Yacub yang dikutip oleh Khozin (2006:101) mengatakan bahwasanya ada beberapa
pembagian pondok pesantren dan tipologinya yaitu :
1. Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan
kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun

16[16] Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu, Ibid hal. 213

17[17] Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture:
Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992. hal 13.

11
sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode
sorogan dan weton.
2. Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal
(madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan
pendidikan keterampilan.
3. Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik
beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari
siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
4. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan
vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga
Kerja, dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari
kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren
yaitu :
1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami
ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan
dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab
berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren
Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten
Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun
dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti
kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang
dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk
madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun
sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan

12
ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas
keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang
Jawa Timur adalah contohnya.
4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar
disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama
dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh
semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.
(2002:149-150)18[28]

D. Unsur-unsur Pesatren
Zamakhsyari Dhofier, dalam karyanya ‘Tradisi Pesantren’ menentukan bahwa untuk
berstatus sebagai pesantren seharusnya ada lima elemen yang pokok, yaitu pondok, masjid,
santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan seorang kiai19[18]

1. Kyai; adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Ia merupakan
penggagas atau pendiri, oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren
sangat bergantung pada peran seorang kyai Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa
dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga
amat di segani oleh masayrakat di lingkungan pesantren.20[19]. Dhofier berpendapat “Para
kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang
senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian
mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang
awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam bentuk-

18[28] Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia skripsi
untuk memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam di STAIN Jember (on line).
(http://baim32.multiply.com/journal/item/36/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14
Juli 2010)

19[18] Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. P18. 1982

20[19] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 28

13
bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban” 21[20]. Menurut
Agus Sunyoto, sebutan kyai merupakan gelar kebangsawanan umat hindu yang di adopsi
oleh umat islam, kyai adalah orang yang disegani, orang yang faham dan mendalam tentang
ilmu agamanya.
2. Pondok; adalah tempat mukim para santri yang belajar tengtang teks-teks
keagamaan, sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para santri tinggal
bersama, belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan
sebutan “kyai”. Tempat mukim para santri ini berada dalam lingkungan komplek pesantren
dimana kyai bertempat tinggal, tempat mukim para santri ini merupakan ciri khas tradisi
pesantren jawa yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-
masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Amin
Haedari, berpendapat Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama
bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya
tentang islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut
secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan
kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua
pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup
untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama
khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para
santri menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan menganggap
para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi. Sikap ini juga
menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal
bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri tumbuh perasaan pengabdian kepada
kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber
tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.22[21]

21[20] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 56

22[21] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 32

14
3. Masjid; merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan
dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-
kitab klasik. Kedudukan masjid merupakan pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren, manivestasi universalisme dari system pendidikan tradisional. Dengan
kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al
Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar
dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan
islam. Dimanapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid
sebagi tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural.
Lembaga-lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu
mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang
paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban
sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama
yang lain. Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya
pertama-pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya
diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin
sebuah pesantren.23[22]
4. Santri; orang yang belajar kitab teks – tek keagamaan, Menurut pengertian yang
dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai
bilaman memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk
mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting
dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren,
terdapat dua kelompok santri:

a. Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap
dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tingGal di
pesantren tersebut biasanya mdrupakan suatu kelompgk tersendiri yang
23[22] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 49

15
memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-
hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santRi-santri m5da
tentang kitab-kitab dasar $an menengah.
b. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari
rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar
dapat dilihat d!ri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan
semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan
memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.24[23]
c. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia
pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren
ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini
akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang
di jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau
ulama’ di jawayang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam
pengetahuan dan memperluas penguasaan ilmuagamanya dengan cara
me.gembara dari pesantren ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren
mengadopsi system pendidikan modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi
kelana ini mulai di tinggalkan.25[24]

5. Pengajaran Kitab Kuning; berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan


kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran
kitab kuning berbahasa Arab tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul
merupakan satu-satunya methode yang secara formal `i ajarkaj dalam pesantren di
Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman
dengan tujuan inginmemperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih,
24[23] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 52

25[24] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 37

16
Fiqih, Kitab TafSir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya
mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna
menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe
pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok
takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai
dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain,
namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan
sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai. Keseluruhan
kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke dalam delapan
kelompok yaitu, 1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih;
4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang lain seperti
tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai
teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih
dan tasawuf.26[25] Agar bisa menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang
isi dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai
tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama
islam yang lain.27[26]

Sedangkan Metode Pengajaran dilakukan dengan sistematis mulai dari pengenalan


teori sampai pada tingkat praksis (teknis melaksanakannya), Metode Pengajaran Pondok
Pesantren terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk
disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing
dan mencatat jika perlu. Dilakukan setelah sembahyang fardhu. Di jawa barat metode
ini dikenal dengan Bandongan, sedangkan di Sumatra di kenal dengan sebutan
Halaqah

26[25] HM. Amin Haedari, dkk, Op Cit hlm 39

27[26] HM. Amin Haedari, dkk, Ibid hlm 41

17
b. Sorogan yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang
dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan
bagian yang paling rumit dari keseluruhan metode Pendidikan Islam Tradisional sebab
sistem ini menuntut kesabaran kerjinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri/
kendatipun demikian, metode ini dianggap paling intensif karna dilakukan seorang
demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
c. Hafalan yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat terntentu dari
kitab yang dipelajarinya28[27]

2. Konsep Andragogi
A. Konsep Andragogi danPedagogi
1). Konsep Andragogi
Istilah andragogi seringkali dijumpaidalam proses pembelajaran orang dewasa
(adult learning), baik dalam proses pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah)
maupun dalam proses pembelajaran pendidikan formal. Pada pendidikan nonformal teori
dan prinsip andragogy digunakan sebagai landasan proses pembelajaran pada berbagai
satuan, bentuk dan tingkatan (level) penyelenggaraan pendidikan nonformal. Pada
pendidikan formal andragogi seringkali digunakan pada proses pembelajaran pada tingkat
atau level pendidikan menengah ke atas. Namun demikian dalam menerapkan konsep,
prinsip andragogi pada proses pembelajaran sebenarnya tidak secara mutlak harus berdasar
pada bentuk, satuan tingkat atau level pendidikan, akan tetapi yang paling utama adalah
berdasar pada kesiapan peserta didik untuk belajar. Kondisi itu terjadi karena kita

28[27] Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana

18
menganggap bahwa semua murid, peserta didik (warga belajar) itu adalah sebagai orang
dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan yang aktif dalam merencanakan arah
belajar, memiliki bahan, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganlisis dan
menyimpulkan serta mampu

2).Konsep Pedagogi
Pedagogi berasal dari bahasa Yunani paedagogeo, dimana terdiri dari pais genetif, paidos
yang berarti anak dan agogo berarti memimpin, sehingga secara harfiah pedagogi, berarti
memimpin anak. Dalam bahasa Yunani kuno, kata pedagogi bermakna seorang budak
(pengawas rumah
tangga) yang mengawasi pengajaran putra tuannya atau majikannya, ketika itu anak
perempuan tidak diberi pengajaran khusus, pembantu rumah tangga ini mengantar,
menunggu dan menemani pulang putra tuannya ke pada saat dan dari sekolah atau
gymnasium.
Kata pedagogi juga diturunkan dari bahasa latin yang bermakna mengajari anak, sementara
dalam bahasa Inggris istilah pedagogi (pedagogy) digunakan untuk merujuk kepada teori
pengajaran, dimana guru berusaha memahami bahan ajar, mengenal siswa dan
menentukkan cara
Menurut Sudarwan Danim (2010, 48 – 49), ada tiga isu terkait dengan penggunaan
istilah pedagogi, yakni (1) pedagogi merupakan sebuah proses yang bertujuan, dalam
makna umum istilah pedagogic digunakan untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan praktik
mengajar anak-anak, (2) banyak pekerjaan “pedagogi sosial” yang telah digunakan untuk
menggambarkan prinsip- prinsip mengajar anak-anak dan kaum muda, dan (3) pengertian
pedagogi telah dipahami dan dominan mewarnai proses pembelajaran dalam konteks
sekolah. Secara tradisional istilah pedagogi adalah seni mengajar. Sementara dilihat dari
pedagogi modern, dilihat dari hubungan dialektis yang bermanfaat antara pedagogi sebagai
ilmu dan pedagogi sebagai seni.

B. Peserta Didik dan Prinsip andragogi

19
Pembelajaran andragogi merupakan pembelajaran yang diperuntukan untuk orang
dewasa. Sebenarnya pembelajaran andragogi ini memiliki ciri-ciri belajar, unsur-unsur
belajar, serta aspek-aspek pembelajaran lain yang sama pada belajar mengajar pada
umumnya. Hakikat pembelajaran andragogi pun sama dengan hakikat belajar pada
umumnya yaitu adanya perubahan pada diri pembelajar. Yang membedakan utamanya
adalah pada sisi pembelajar dimana pada pembelajaran andragogi merupakan peserta didik
yang sudah dewasa baik secara usia maupun aspek lainnya.

Oleh karena pembelajaran andragogi ini merupakan proses belajar untuk orang
dewasa, maka mulai dari perencanaan, penerapan, hingga evaluasi pembelajarannya perlu
disesuaikan, termasuk pula perlakuan kepada si pembelajar. Memang pada dasarnya konsep
pembelajarannya sama, namun peserta didiksudah memiliki tingkatan berbeda dalam
pembelajaran dibanding peserta didik pada umumnya. Pembelajaran andragogi memiliki
sasaran khusus yaitu manusia yang sudah dewasa dimana sudah mengalami fase
pembelajaran sebelumnya sehingga mereka sebagai pembelajar sudah mengetahui dasar
dan hakikat belajar mengajar.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP – UPI (2007, 2-4) menyebutkan ada beberapa
prinsip pembelajaran berbasis andragogi ini, antara lain yaitu:

 Peserta didikmemiliki konsep diri. Peserta didikmemiliki persepsi bahwa dirinya


mampu membuat suatu keputusan, dapat menghadapi resiko sebagai akibat
keputusan yang diambil, dan dapat mengatur kehidupan secara mandiri. Harga diri
amat penting bagi orang dewasa, dan dia memerlukan pengakuan orang lain
terhadap harga dirinya. Perilaku yang terkesan menggurui, cenderung akan
ditanggapi secara negatif oleh orang dewasa. Implikasi praktis dalam pembelajaran,
apabila peserta didikdihargai dan difasilitasi oleh pendidik maka mereka akan
melibatkan diri secara optmal dalam pembelajaran. Kegiatan belajarnya akan
berkembang ke araah belajar antisipatif (berorientasi ke masa depan) dan belajar

20
partisipatif (bersama orang lain) dengan berpikir dan berbuat di dalam dan terhadap
dunia kehidupannya.
 Peserta didikmemiliki akumulasi pengalaman. Setiap peserta didikmempunyai
pengalaman situasi, interaksi, dan diri yang berbeda antara seorang denga yang
lainnya sesuai dengan perbedaan latar belakang kehidupan dan lingkungannya.
Pengalaman situasi merupakan sederet suasana yang dialami peserta didikpada
masa lalu yang dapat digunakan untuk merespon situasi saat ini. Pengalaman
interaksi menyebabkan pertambahan kemahiran peserta didikdalam memadukan
kesadaran untuk melihat dirinya dari segi pandangan orang lain. Pengalaman diri
adalah kecakapan peserta didikpada masa kini dengan berbagai situasi masa lalu.
Implikasi praktis dalam pembelajaran, peserta didikakan mampu berurun rembug
berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya. Pengalaman mereka dapat
dijadikan sumber belajar yang kaya untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran.
Peserta didikyang memprlajari sesuatu yang baru cenderung dimaknai degan
menggunakan pengalaman lama. Sejalan dengan itu peserta didik peserta didikperlu
dilibatkan sebagai sumber dalam pembelajaran. Pengenalan dan penerapan konsep-
konsep baru akan lebih mudah apabila berangkat dari pengalaman yang dimiliki
orang dewasa.
 Peserta didikmemiliki kesiapan berlajar. Kesiapan belajar peserta didikakan seirama
dengan peran yang ia tampilkan baik dalam masyarakat maupun dalam tugas/
pekerjaan. Implikasainya, urutan program pembelajaran perlu disusun berdasarakan
perlu disusun berdasarkan urutan tugas yang diperankan orang dewasa, bukan
berdasarkan urutan logis mata pelajaran. Penyesuaian materi dan kegiatan belajar
perlu direlevansikan denga kebutuhan belajar dan tugas/pekerjaan peserta didik
orang dewasa.
 Peserta didikmenginginkan dapat segera memanfaatkan hasil belajarnya. peserta
didikberpartisipasi dalan pembelajaran karena ia sedang merespon materi dan
proses pembelajaran yang berhubungan denga peran dalam kehidupannnya.
Kegiatan belajarnya senantiasa berorientasi pada realitas (kenyataan). Oleh karena

21
itu pembelajaran perlu mengarah pada peningkatan kemampuan untum
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Implikasi praktisnya,
pembelajaran perlu berorientasi pada pemecahan masalah yang relevan dengan
peranan peserta didikdalam kehidupannya. Pengalaman belajar hendaklah dirancang
berdasarkan kebutuhan dan masalah yang dihadapi orang dewasa, seperti kebutuhan
dan masalah dalam pekerjaan, peranan sosial budaya, dan ekonomi.
 Peserta didikmemiliki kemampuan belajar. Kemampuan dasar untuk belajar tetap
dimiliki setiap orang, khususnya orang dewasa, sepanjang hayatnya. Penurunan
kemampuan belajar pada usia tua bukan terletak pada intensitas dan kapasitas
intelektualnya, melainkan kecepatan belajarnya. Implikasi praktisnya, pendidik
perlu mendorong peserta didiksebagai peserta didik untuk belajar sesuai dengan
kebutuhan belajarnya dan cara belajar yang diinginkan, dipilih dan ditetapkan oleh
orang dewasa.
 Peserta didikdapat belajar efektif apabila nelibatkan aktivitas mental dan fisik.
Peserta didikdapat menentukan apa yang akan dipelajari, dimana dan bagaimana
cara mempelajarinya serta kapan melakukan kegiatan belajar. Peserta didikbelajar
dengan melibatkan pikiran dan perbuatan. Implikasai praktisnya, peserta didikakan
belajar akan belajar secara efektif dengan melibatkan fungsi otak kiri dan otak
kanan, menggunakan kemampuan intelek dan emosi, serta dengan memanfaatkan
berbagai media, metode, teknik dan pengalaman belajar.

Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan diatas terlihat bahwa pembelajaran pada peserta
didikmemiliki prinsip atau perbedaan dengan pembelajaran pada umumnya. Hal inilah yang
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan ketika akan melakukan pembelajaran berbasis
andragogi.

Pada umumnya dapat ditarik kesimpulan peserta didiksudah memiliki dasar dari konsep
belajar dan siap untuk belajar, ini membuat peserta didikdapat dengan mudah belajar dan
segera menerapkan hasil belajarnya. Untuk itulah perlu dirancang konsep pembelajaran
yang mampu menjembatani atau mempermudah untuk pembelajar agar segera dapat

22
memanfaatkan apa yang didapat dari proses belajarnya. Tidak perlu menjelaskan atau
memberikan materi secara detail kepada pembelajar karena peserta didikdapat belajar
secara mandiri detail dari materi yang dipelajari. Yang perlu ditekankan utamanya adalah
bagaimana pembelajaran andragogi yang dilakukan ini dapat memberikan manfaat positif
terutama dalam menunjang kehidupan si pembelajar.

C. Faktor yang mempengaruhi belajar orang dewasa


1. Faktor psikologis
Tingkah laku dalam proses mengingat, menyimpan, menginterprestasikan respon,
menanggapi, faktor psikologis ikut mempengaruhi peserta didikdalam belajar.Menurut
Tom dik yang dideskripsikan oleh Mulok tahun 1953 mengatakan bahwa gejala-gelaja
psikologis yang disebutkan di atas mengalami penurunan pada peserta didikterutama
pada POD pertengahan(setengah baya dan orang manula).
Semua aspek psikologis tersebut diatas mempengaruhi kegiatan
belajar.Seandainya peserta didikmengalami keterlambatan menangkap suatu ide yang
disampaikan atau ide-ide baru, hal tersebut merupakan kewajaran.Dalam hal ini
dibutuhkan pemahaman dan kesadaran pendidik akan berbagai kondisi yang seperti
disebutkan di atas.

2. Faktor fisiologis
Ini merupakan faktor yang menyangkut kondisi fisik dan jasmani orang dewasa.
Lunandi 1981 mengemukakan kelemahan kondisi fisik yang dialami oleh peserta
didikyang sudah lanjut usia seperti pendengaran, pengliatan dan sering sakit fisik
lainnya.
Kondisi fisik tersebut makin menurun seiring bertambahnya usia.Faktor yang
bersifat fisik ini perlu di pahami oleh pendidik atau tutor yang senantiasa berhubungan
dengan orang dewasa.

3. Faktor sosiologis

23
Pada umumnya peserta didiktelah menduduki peran tertentu di dalam masyarakat.
Seseorang dalam rumah tangga mungkin berperan sebagai kepala keluarga, dikantornya
mungkin sebagai kepala biro dan kepala bagian. Selanjutnya, di masyarakat boleh
menjadi ketua RT, dibidang agama sebagai imam atau khatib.Dengan kata lain tidak
jarang peserta didikmempunyai jabatan ganda.Kegandaan jabatan itu juga menyita
waktunya untuk berbagai kegiatan. Berdasarkan kondisi kegandaan peran tersebut jika
tutor pembimbing peserta didikmenganjurkannya untuk melakukan suatu tugas dalam
belajar, sadarilah bahwa tugas peserta didikitu cukup ganda.
Sehubungan dengan itu, mungkin saja tugas yang diberikan tutor ada yang
terundur, tetapi perlu diingat dan diyakini bahwa peserta didikitu mempunyai tanggung
jawab yang tinggi terhadap tugas yang diterimanya, oleh sebab itu si tutor harus
memberikan kesempatan bagi peserta didikuntuk mengatur dirinya sendiri karena dialah
yang paling tahu tentang proaritas kerja yang dilaksanakannya.

4. Faktor cultural
Sesungguhnya suatu kebudayaan yang secara mutlak statis apalagi mundur, tidak
mengalami perubahan. Sekurang kurangnya sebagian unsur-unsurnya yang berubah jika
tidak seluruhnya. Tidak ada kebudayaan yang tidak berubah. Berubahnya unsur
kebudayaan tidak selalu bersamaan antara unsur yang satu dengan yang lainnya. Ada
unsur yang cepat berubah, dan ada pula unsur yang lambat berubah, namun yang jelas
perubahan tersebut tidak pernah terhenti sepanjang masa. Apalagi pada abad ke 20 ini
perkembangan iptek demikian pesat dan merambah keseluruh di bidang kehidupan.
Perubahan kehidupan terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun
lingkungan masyarakat itu sendiri.Kebudayaan baru baik yang bersifat material seperti
peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasidan yang bersifat non
material seperti paham atau konsep baru tentang KB, budaya menabung, penghargaan
terhadap waktu dan lain-lain.

24
Keterbelakangan budaya terjadi karena:
 Tempat tinggal masyarakat yang terpencil.
 Penolakan masyarakat terhadap datangnya budaya baru karena tidak dipahami atau
di kawatirkan akan merusak sendi kehidupan di dalam masyarakat yang sudah ada.
 Keterbelakangan budaya umumnya di alami oleh masyarakat daerah terpencil,
masyarakat yang tidak mampu secra ekonomis, dan masyarakat yang kurang
terdidik.Persoalannya ialah bahwa sekelompok masyarakat yang terbelakang
kebudayaannya tidak ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab mereka masih
dihimpit oleh berbagai persoalan hidup sehingga kurang memikliki dorongan untuk
maju dan berkembang.
 Keterbelakangan budaya dengan sendirinya dialami oleh peserta didikyang berada di
dalam masyarakat dan di daerah terpencil, kurang mampu secara ekonomis dan
kurang terdidik karena mereka menganggap belajar itu tidak diperlukan.Mereka
berfikiran belajar itu tidak ada nampaknya secara langsung dal;am kehidupannya.

5. Faktor sosial ekonomi


Kekurang mampuan secara ekonomi umumnya juga dialami orang dewasa.Hal itu
juga jadi penyebab kurangnya minat peserta didikuntuk belajar.Belajar dan memperoleh
pendidikan memerlukan dana atau biaya.Sebagian besar penduduk dunia termasuk di
Indonesia masih dalam kondisi ekonomi yang rendah . Penduduk yang tergolong wajib
belajar saja masih banyak yang belum memperoleh pendidikan, apalagi mereka yang
tergolong dewasa, masih banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan kondisi
tersebut mana mungkin mereka sempat memikirkan masalah pendidikan dan belajar.

D. Output dan Pelaksaan Pendidikan Orang Dewasa


Dari anggapan atau pandangan tersebut di atas maka timbullah istilah Pedagogi yang
berasal dari Bahasa Latin paedo yang berarti anak-anak dan agogos yang berarti memimpin
atau membimbing. Jadi, Pedagogi adalah ilmu tentang bagaimana memimpin atau
membimbing anak-anak, yangsecara singkat disebut ilmu mengajar anak-anak. Namun,

25
dalam perjalanan sejarah seterusnya kata anak-anak tersebut menjadi hilang sehingga
Pedagogi diartikan sebagai ilmu mengajar. Bahkan di dalam buku-buku tentang pendidikan
peserta didiktercantum istilah The Pedagogy of adult education atau ilmu mengajar orang
dewasa. Tentunya istilah tersebut tidak benar. Lalu di kemudian hari lahirlah istilah
Andragogi, yang berasal dari Bahasa Latin andro yang berarti peserta didik(adult) dan
agogos yang berarti memimpin atau membimbing. Jadi Andragogi adalah ilmu bagaimana
memimpin atau membimbing peserta didikatau ilmu mengajar peserta didikAndragogi
menstimulasi peserta didikagar mampu melakukan proses pencarian dan penemuan ilmu
pengetahuan yang mereka butuhkan dalam kehidupan.

Andragogi pada hakikatnya berlangsung terus-menerus, tiada henti-hentinya selama


manusia masih hidup. Andragogi adalah identic dengan konsep life long education atau
pendidikan sepanjang hayat. Di dalam andragogi, hidup sendiri adalah proses belajar. Kong
Fu Cu, seorangahli satire China mengatakan: Saya dengar dan saya lupa, Saya lihat dan
saya ingat,Saya lakukan dan saya mengerti.

Dengan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan maka kita akan mengerti
ilmu pengetahuan yang kita butuhkan untuk hidup. Jadi, semua yang kita lakukan
sepanjang hidup ini adalah belajar, misalnyamengingat masa lalu, melakukan pekerjaan
sekarang, atau merencanakan kegiatan yang akan datang. Dalam andragogi semua
kehidupan kita adalahbelajar, yaitu belajar sepanjang hayat dan belajar dari pengalaman.
Selama ini kita terkungkung oleh pengertian pendidikan yang sempit. Persepsi kita tentang
pendidikan adalah pembelajaran yang berlangsung di ruangan kelas, dengan terdapatnya
seorang pengajar yang melakukan prosestransfer ilmu pengetahuan yang dibatasi rentang
waktu tertentu. Pelajarsecara bersama-sama masuk ke ruangan kelas dan bersama-sama
pulamengakhiri pembelajarannya. Pendidikan adalah proses untuk mewariskan budaya-
budaya yang dimiliki oleh generasi yang lalu kepada generasi sekarang. Pada dasarnya,
pendidikan adalah proses memfasilitasi seseorang untuk mencari dan menemukan ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan dalam kehidupan melalui proses belajar sehingga semua
kegiatan manusia memilikipotensi yang dipergunakan untuk belajar. I do and I understand.

26
Belajar dilakukan secara kontinu dari pengalaman kehidupan. Hal ini merupakan fokus
utama dari andragogi atau pendidikan orang dewasa

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Latar belakang pondok keberadaan Pendidikan Pondok Pesatren tidak lepas dari
proses masuknya islam ke Indonesia yang mengalami beberapa penolakan dari penduduk
lokal yang kemudian dilakukan penelitian dengan hasil mentranformasikan budaya islam
kedalm buday hindu waktu itu, yang klimaksnya dari Padepokan di rubah menjadi Pondok
Pesantren. pesatren merupak pusat menimba ilmu Agama Islam dengan berpegang pada
ajaran anbi Muhammad SAW dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab kuning),
dengan system asrama yang integral antara Kyai, Santri, dan Masjid sebagai pusat
pembelajaran. Secara garis besar tipologi pondok pesatren dibedakan menjadi 2 tipe yaitu;
pertama Pondok Pesantren yang mempertahan kemurnian identitas aslinya atau yang
dikenal dengan Salafi Kedua Pondok Pesatren yang mulai mengadopsi hal – hal baru dalam

27
pendidikan (pendidikan umum) kedalam kurikulum Pondok Pesatren dan System
Pendidikannya atau yang dikenal dengan kholafi walaupun pada tingkat kholafi masih
banyak kategori model Pendidikan Pondok Pesantren.
Istilah andragogi seringkali dijumpaidalam proses pembelajaran orang dewasa
(adult learning), baik dalam proses pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah)
maupun dalam proses pembelajaran pendidikan formal. Pada pendidikan nonformal teori
dan prinsip andragogy digunakan sebagai landasan proses pembelajaran pada berbagai
satuan, bentuk dan tingkatan (level) penyelenggaraan pendidikan nonformal. Pada
pendidikan formal andragogi seringkali digunakan pada proses pembelajaran pada tingkat
atau level pendidikan menengah ke atas.

Daftar Pustaka

1. Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi
Nalar Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh
Kaum Muda
2. Said Aqiel Siradj, Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, et al. Cet.I Bandung Pustaka
Hidayah, 1999.
3. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS
,2001,
4. Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam
Indonesia skripsi untuk memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam
di STAIN Jember (on line). (http://baim32.multiply.com /journal/item/36
/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli 2010)

28
5. Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
6. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD
PRESS, Jakarta, 2005.
7. Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of
Culture: Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
8. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai
LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta
1982
9. Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus
STMIK Bandung tanggal, 12 Desember 1996 (On line).
(http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses tanggal 14
Juli 2010)
10. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
11. Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti
Jenar Buku 3 Cet. 4 Yokyakarta : LkiS
Referensi:
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP - UPI. 2012. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian
II Ilmu Pendidikan Praktis. Bandung: PT. Imperial Bhakti Utama

29

Anda mungkin juga menyukai