Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI PESANTREN


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam Yang Di
Bimbing Oleh Bpk. Patoni, M.Hum

Disusun Oleh :
1. Muhamad Ardi (21130058)
2. Moh Suryadi Oloan P (21130142)
3. Muhamad Ikbal Syarif (21130029)
4. Fachri Adnan (21130006)
5. Sopian Sauri (21130147)
6. Arini Mayang Fauni (21130036)
7. Halimatu Sadiyah (21130047)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA (UNUSIA)
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Allhamdulillah, Segala puji dan syukur kami penjatkan ke hadirat  Allah SWT. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas mengenai “Sejarah
Peradaban Islam Di Pesantren”. Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada baginda
Nabi Muhammad Saw, beserta keluarganya, sahabatnya dan kita sekalian sebagai umatnya yang
mengharapkan syafa’atnya di hari kiamat nanti. Aamiin Ya Robbal Alamin.
Dalam menyelesaian makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang terbaik.Tetapi kami
menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah
kami yang akan datang.
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan, semangat dan
masukan.
Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada
umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah SWT.
Kami selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Patoni, M,Hum selaku
Dosen Sejarah Peradaban Islam. Semoga makalah yang kami susun dapat dinilai dengan baik
dan bermanfaat bagi pembaca. Aamiin Yaa Robbal Alamin.

Jakarta, 16 Desember 2021

Kelompok 13

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Pesantren menghadapi kolonialisme atau penjajah.......................................................................3
B. Tradisi dan Budaya Pesantren.........................................................................................................5
C. Perkembangan Pendidikan Pesantren.........................................................................................7
D. kitab kuning dan ilmu-ilmu pesantren............................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................................12
PENUTUP................................................................................................................................................12
Kesimpulan..........................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan berbasis islam yang ada di
Indonesia yang di dalamnya mengajarkan berbagai macam pelajaran keagamaan mengenai
islam dan sebagai salah satu lembaga yang berperan banyak dalam pendidikan moral dan
akhlak mulia bagi para santri di dalamnya. Pondok pesantren yang ada di Indonesia
memeiliki sejarah yang unik dan mempunyai ciri khas tersendiri di bandingkan dengan
pondok pesantren yang ada di negara lain.
Pondok pesantren adalah lembaga tertua di Indonesia (nusantara), Pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat pada masyarakat muslim Indonesia,
dalam perjalanannya mampu menjaga dan memepertahankan keberlangsungan dirinya serta
memiliki model pendidikan multi aspek, sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa pondok
pesantren telah memainkan peranan yang besar dalam usaha memperkuat iman,
meningkatkan ketakwaan, membina akhlak mulia, mengembangkan swadaya masyarakat
Indonesia ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan formal, non-formal
daan formal.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren selalu menarik untuk
dikaji dan diteliti, hal ini dikarenakan peran serta fungsi yang dimainkan oleh pesantren
sejak awal lahirnya di Indonesia sampai pada masa kemerdekaan pesantren tetap memainkan
peran dan fungsi yang sangat besar dalam merebut kemerdekaan bangsa ini dari tangan
penjajah. Keberadaan pondok pesantren di Indonesia hampir bersamaan dengan datangnya
umat Islam di Negeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri ini
sebenarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Islam datang dengan membawa pandangan
hidup baru yang ditandai oleh munculnya semangat rasionalisme dan intelektualisme.
Pada zaman pra kolonial salah satu peran terpenting pesantren adalah sebagai agen
perubahan sosial yang mampu merubah pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya dari
hal yang statis dan mistis menuju pola pandangan hidup yang dinamis, rasional dan progresif
yang disebut dengan proses Islamisasi. Pada gilirannya nanti, rasionalitas dan dinamisasi
inilah yang kemudian memicu bangsa Indonesia untuk tergerak menentang segala bentuk
kolonialisme di bumi Nusantara.

iii
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran pesantren dalam menghadapi kolonialisme atau penjajahan


2. Bagaimana tradisi dan budaya pesantren
3. Bagaimana perkembangan Pendidikan pesantren
4. Bagaimana sejarah kitab kuning dan ilmu-ilmu pesantren

C. Tujuan

1. Agar kita mengetahui bagaimana peran pesantren dalam menghadapi kolonialisme atau
penjajahan
2. Agar kita mengetahui bagaimana tradisi pesantren dan budaya pesantren
3. Agar kita mengetahui bagaimana perkembnagan Pendidikan pesantren
4. Agar kita mengetahui sejarah kitab kuning dan ilmu-ilmu yang ada di pesantren

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pesantren menghadapi kolonialisme atau penjajah


Pesantren menjadi satu-satunya Lembaga Pendidikan islam yang secara konsisten
mengembangkan dan menentang kolonialisme Ketika bangsa ini dijajah oleh penjajah belanda.
Pada saat itu pesantren telah menanamkan bibit-bibit patriotisme dan fanatisme. Sebagai
Lembaga Pendidikan islam, pesantren menjadi “training center” dan “cultural center” islam
yang di lembagakan oleh masyarakat islam itu sendiri (Arifin ). Ziemek (1986: 56) dalam
disertasinya menunjukan melalui penelitian disertasi berjudul “Pesantren dalam Perubahan
Sosial” bahwa jumlah terbesar dari Gerakan perlawanan dalam sejarah terhadap kekuasaan
kolonial belanda berasal dari para kyai dengan pesantren-pesantrennya sebagai basis perjuangan.
Menurut Mahmud Arif (2008 : 177-178) dalam disertasinya Pendidkan Islam Transformatif
pesantren melakukan perlawanan terbuka dalam bentuk sikap nonkooperatif dan pengobaran
semangat anti penjajah. Langkah ini di latarbelakangi oleh semakin menguatnya budaya barat
modern dan kebijakan diskriminatif pemerintah colonial belanda terhadap umat islam.
Kedatangan penjajah belanda tidak hanya merusak tatanan yang ada di dalam sistem
negara, belanda juga ikut campur dalam urusan agama, itulah yang membuat masyarakat islam
khususnya pesantren merasa harus terlibat secara langsung dalam perjuangan melawan kolonial
belanda secara terbuka. Hal inilah yang mengubah pesantren yang semula sebagai Lembaga
Pendidikan menjadi a center of anti-Dutch sentiment. Perlawan terhadap kolonial yang di
lakukan oleh pesantren terjadi di seluruh penjuru nusantara.
Pada masa penjajahan belanda banyak tokoh-tokoh pesantren yang menjadi tokoh
perjuangan bangsa Indonesia dan gigih terlibat dalam berbagai perlawanan menentang belanda.
Sebagai contoh misalnya dalam perang Diponegoro di jawa. Pangeran Diponegoro adalah
seorang santri, ia juga dibantu oleh kyai Mojo dan Sentot Prawirodirjo. Mereka bahu membahu
menentang penjajah belanda. Begitu juga saat terjadi perang paderi yang melibatkan tokoh
sentralnya yaitu Imam Bonjol yang juga seorang santri. Lalu perang yang terjadi di Aceh yang
dipimpin oleh Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Mutia, panglima polim, dan tokoh-tokoh lain
yang merupakan golongan santri pesantren.
Salah satu tokoh yang perjuangannya dan nilai-nilai dari perjuangannya tidak pernah
hilang hingga kini adalah HadhirotusSyekh KH. Hasyim Asy’ari. Tak bisa dipungkiri bahwa
KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu tokoh yang berperan besar bagi pembangunan
identitas ke-indonesiaan yang berbasiskan iman. Salah satu peran penting beliau adalah
keluarnya fatwa resolusi jihad melawan kolonialisme belanda hingga melahirkan peristiwa 10
november di Surabaya1. Yang kemudian di kenang sebagai hari pahlawan. Guru para kyai dan

1
Saputra, Inggar, Resolusi Jihad: Nasinalisme kaum Santri Menuju Indonesia Merdeka, Jurnalnu,Vol. 3 no.1. Tahun
2019

v
poros santri di tanah jawa ini telah memiliki peran yang sangat penting dalam perjuangan bangsa
ini. Salah satu dari kebrilianan KH. Hasyim Asy’ari adalah didirikannya organisasi massa
Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926 2. Organisasi besar yang sampai dengan
detik ini masih sangat di perhitungkan di Indonesia bahkan di dunia internasional.
Banyak hal yang mempengaruhi semangat perjuangan KH. Hasyim Asy’ari, salah
satunya adalah di latarbelakangi oleh pemberontakan kolonial terhadap pendirian pesantren.
Belanda mengirimkan tentaranya dalam jumlah besar untuk menghancurkan fasilitas pesantren
tebu ireng dan membakar kitab-kitab milik pesantren. Tidak sampai di situ, belanda bahkan
membakar pondok pesantren tebu ireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Namun semua
itu tidak menyurutkan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari malah membuat semangat beliau dan
para santri untuk terus berjuang melawan kolonial belanda.
Ketika jepang akhirnya berkuasa, KH. Hasyim Asy’ari juga melakukan perlawanan
terhadap jepang. Salah satu bentuk perlawanan KH. Hasyim Asy’ari adalah Ketika beliau
menolak malakukan seikerei yang di anggap perbuatan musyrik, dan juga menolak menyanyikan
kimigayo (lagu kebangsaan jepang). Dan hal inilah yang membuat KH. Hasyim Asy’ari
ditangkap dan di penjara selama empat bulan oleh jepang (Bustami : 2015). Serangan dari jepang
tidak kalah dengan belanda, namun tidak menyurutkan semangat juang KH. Hasyim Asy’ari dan
para santri dari pesantren untuk tetap memperjuangkan dan mempertahankan kesatuan bangsa
Indonesia.
Dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, para Kyai dan santri dengan
penuh kesadaran telah menjadikan pondok pesantren sebagai pusat perjuangan dan benteng
pertahanan rakyat dan menggambarkan bahwa pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia mempunyai peran dan andil yang begitu besar.

2
Royani, Ahmad. Pesantren Dalam Bingkai Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Jurnal Islam Nusantara,
Vol. 1 No.2 Tahun 2018

vi
B. Tradisi dan Budaya Pesantren

1. Tradisi

Tradisi sering dibahasakan dengan adat istiadat. Ada hal yang berkaitan erat dengan
tradisi, pertama adalah karakter, kedua adalah kondisi geografis. Semua tradisi adalah sesuatu
yang diciptakan. Tradisi serta adat istiadat tercipta karena berbagai macam alasan. Tradisi
berkembang seiring dengan mengalirnya waktu, namun juga bisa diubah atau ditransformasikan
sesuai kehendak pihak yang berkompeten atasnya3.Dalam dunia pesantren, kekayaan tradisi yang
berkelindan dapat dijadikan modal menuju puncak sebuah tradisi dan kejayaan baru. Dalam
konteks ini, sistem pendidikan sangat berpengaruh dalam membentuk tradisi. Di tengah tuntutan
pesantren untuk bisa melewati fase transisi menuju penguatan tradisi pada zaman modernisasi
ini, pesantren juga dituntut untuk memperkuat dasar-dasar metodologi pendidikannya. Hal
penting yang perlu dirumuskan kembali ketika membincang dunia pesantren adalah sistem,
tradisi, dan proses pendidikan pesantren yang dapat menjamin keberlangsungan ruh pendidikan
itu sendiri. Sistem tradisional pengajaran pesantren dengan pola interaksi kiai-santri yang masih
menganut manhaj Ta’lim al-Muta’allim, pengajian intensif sistem sorogan dan model ngaji
berkah ala bandongan adalah justru yang terbukti telah berhasil menelorkan alumnus pesantren
yang handal. Jika pesantren mampu mempertahankan ruh pendidikan serta tradisinya yang
positif dan lantas mengembangkan sisi yang belum optimal, niscaya pesantren akan mampu
untuk terus memberikan sumbangsih positif bagi kehidupan bangsa Indonesia. Tetapi,
sebagaimana diingatkan oleh Steenbrink dengan teorinya bahwa, ketika diperkenalkan lembaga
pendidikan yang lebih modern dan teratur, lembaga pendidikan berkonsep tradisional secara
otomatis akan mengalami penggerusan atau perlahan-lahan mulai ditinggalkan peminatnya.4
Sebagai hasil dari pergulatan tradisi, kebudayaan, sistem pengajaran klasikal, dan pola
hubungan interaksi kiai-santri-masyarakat yang dibangunnya, pesantren akhirnya memiliki pola
serta klasifikasi yang spesifik. Corak dan ragam jenis pesantren dapat dilihat dari struktur dan
sistem pengajaran yang ada. Pada perkembangan mutakhirnya, pesantren (terutama pesantren
tradisional) dianggap sebagai lembaga edukasi yang kurang relevan dan tidak menjanjikan masa
depan. Sistem dan metodologi pesantren dianggap ketinggalan zaman bila tidak berubah
mengikuti perkembangan modern. Penilaian masyarakat yang demikian itu sempat mengalami
pembenaran di awal-awal masa modernisasi pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, tatkala asumsi
dan justifikasi tersebut digeneralisir atas pesantren era sekarang, tentu hal tersebut akan terkesan
sebagai bentuk penilaian yang amat tergesa-gesa. Terlebih lagi melihat semakin menjamurnya
tren ‘pembaruan’ yang dilakukan hampir sebagian besar pesantren di Indonesia dalam upayanya
mensinkronisasi antara konsep pendidikan khas pesantren dengan konsep modern yang sampai
menghilangkan tradisi serta visi misi pesantren. Pada prinsipnya, pesantren tidak apatis
terhadapmodernitas dan tuntutan zaman, mengingat itu sebuah keniscayaan (sunatullah) dan
3
. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor 25 / KEP / M. PAN / 04 / 2002 tentang: Pedoman
Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara ( Jakarta: 2002).
4
. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1997 ), h.240

vii
bukan monopoli kelompok tertentu. Sinergitas tradisi pesantren dengan modernitas juga bukan
hal yang utopis mengingat keduanya merupakan respon atas realitas. Seyogyanya, pembaruan
dalam sistem, tradisi, dan kurikulum pesantren tetaplah mengedepankan spirit al muhafazatu ‘ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah} (memelihara hal lama yang baik dan
mengambil hal baru yang lebih baik).5
2. Budaya
Budaya berasal dari bahasa sansekerta “budhaya” sebagai bentuk jamak dari kata dasar
“budhi” yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan akal pikiran, nilai-nilai dan
sikap mental.Sedangkan Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang berbasis Islam
yang tumbuh dan berkembang serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sisitem asrama
dimana santri2 menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau, madrasah yang
sepenuhnya berada dibawah kedaulatan seorang kiyai dengan ciri yang khas dan bersifat
karismatik serta imdependen dalam segala hal. Budaya pesantren merupakan suatu kebiasaan
yang di ajarkan oleh pondok pesantren kepada santrinya. Budaya tersebut diajarkan dan
diturunkan dari generasi ke generasi, dan tidak akan mudah budaya dalam suatu pesantren itu
akan hilang, dan ditunjang dari visi dan missi suatu pondok pesantren. Membahas budaya, jelas
tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri karena pada dasarnya apabila dilihat dari
bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (Imput) dan luaran (output) serta bisa juga
dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah
organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi
dianggap sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola
kehidupan (aspek fisiologis) dan sytem budaya (aspek kultur) yang berlaku dan dituruti.6

5
. Anwar, Ali. 2011. Pembaruan Pendidikan Pesantren Lirboyo Kediri. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
6
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka.

viii
C. Perkembangan Pendidikan Pesantren

Sebagai institusi pendidikan Islam di Indonesia yang paling tua,Pesantren memiliki akar
transmisi sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikannya dapat dilacak, meskipun
diakui ada perselisihan di kalangan ahli sejarah dalam mengidentifikasi pendiri pesantren
pertama kali. Sebagian mereka menyebut Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang dikenal dengan
nama Syaikh Maghribi dari Gujarat, India sebagai pendiri pertama pesantren di tanah Jawa 7.
Mohammad Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel (Raden Rahmat) sebagai pendiri
pesantren pertama kali di Kembang Kuning Surabaya. Bahkan Kyai Machrus Aly
menginformasikan bahwa di samping Sunan Ampel, ada yang menganggap Sunan Gunung Jati
(Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama sewaktu
mengasingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat, beribadan secara istiqamah untuk ber-
taqarrub kepada Allah. Dalam perspektif Syed Muhammad Naquib al-Attas, Maulana Malik
Ibrahim oleh kebanyakan ahli sejarah dikenal sebagai penyebar pertama Islam di Jawa yang
mengislamkan wilayah wilayah pesisir utara Jawa, bahkan berkali-kali mencoba menyadarkan
raja Hindu-Budha Majapahit, Vikramawardhana (berkuasa 788-833/1386-1429) agar mau masuk
Islam. Sementara itu, diidentifikas bahwa pesantren mulai eksis sejak munculnya masyarakat
Islam di Nusantara.
Seiring perjalanan waktu, pesantren berkembang terus sambil menghadapi berbagai
rintangan. Sikap tersebut bukan ofensif, melainkan tidak lebih dari defensif; hanya untuk
menyelamatkan kehidupannya dan kelangsungan dakwahnya. Pesantren tidak pernah memulai
konfrontasi sebab orientasi utamanya adalah melancarkan dakwah dan menanamkan pendidikan.
Pada tahapan selanjutnya, pesantren diterima oleh masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika
pesantren kemudian menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya terutama yang telah menjadi
Muslim. Giliran selanjutnya, pesantren berhadapan dengan tindakan Tiran kaum kolonial
Belanda. Imperialis yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad ini selain menguasai
politik, ekonomi dan militer, juga mengemban missi penyebaran agama Kristen. Bagi Belanda,
pesantren merupakan antitesis terhadap gerak kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat.
Anggapan demikian dipopulerkan sebagai basis argumentatif bagi Belanda untuk menekan
pertumbuhan pesantren. Sutari Imam Barnadib menuturkan bahwa penjajah malah menghalangi
perkembangan agama Islam sehingga pondok pesantren tidak dapat berkembang secara normal.
Bahkan pada tahun 1882 Belanda membentuk pristerraden yang bertugas mengawasi pengajaran
agama di pesantren.
Secara kuantitatif dengan demikian persaturan yang membelanggu perkembangan pesantren
bukan hanya dua kali sebagaimana dilansir GF. Pijper41 melainkan minimal 4 kali. Kemudian
pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru lantaran
penolakan Kyai Hasyim Asy’ari yang kemudian diikuti kyai pesantren lainnya terhadap saikere
(penghormatan terhadap kaisar Tenno Haika sebagai keturunan Dewa Amaterasu) dengan cara
membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pagi pukul 07.00 sehingga mereka
ditangkap dan dipenjara Jepang. Ribuan santri dan kyai Berdemontrasi mendatangi penjara yang
kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk melakukan gerakan bawah tanah melawan
Jepang.
7
. Machrus Aly, ―Hakikat Cita Pondok Pesantren‖, dalam Soeparlan Soerjopratondo dan M. Syarif, Kapita Selekta
Pondok Pesantren (Jakarta: Paryu Barkah, tt), hlm. 40.

ix
Demontrasi tersebut menyadarkan Jepang betapa besar pengaruh Kyai Tebuireng yang
menjadi referensi keagamaan seluruh kyai Jawa dan Madura. Jepang memandang bahwa
tindakan tersebut bukan saja tidak menguntungkan, tetapi merupakan kesalahan fatal terutama
dalam upaya rekrutmen kekuatan militer dalam menghadapi sekutu. Akhirnya Kyai Hasyim
dibebaskan dan mulai saat itu, Jepang tidak mengganggu kyai dan pesantrennya. Kemudian,
pada masa kemerdekaan, pesantren merasakan nuansa baru. Kemerdekaan merupakan
momentum bagi seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih bebas, terbuka, dan
demokratis. Lembaga-lembaga pendidikan tingkat SD, SLP dan SLA Milik pemerintah mulai
bermunculan. Sekolah-sekolah partikelir (swasta) juga mulai berpartisipasi menyajikan saluran
pendidikan sebagai upaya pelayanan masyarakat. Proses pendidikan berjalan makin harmonis
dan kondusif dengan tidak mengecualikan adanya berbagai kekurangan dan keharusan
pendidikan dapat disalurkan sepenuhnya pada masa kebebasan ini. Keadaan tersebut justru
menjadi pukulan balik bagi pesantren,meskipun madrasah banyak diminati pelajar. I. Djumhur
dan Danasuparta mengisahkan bahwa lahirnya proklamasi memberi corak baru pada pendidikan
agama. Pesantren-pesantren tidak banyak lagi menjalankan tugasnya, sedangkan madrasah
berkembang dengan sangat pesat. Kurun ini merupakan musibah paling dahsyat terhadap
kehidupan dan kelangsungan pesantren. Hanya pesantren besar yang mampu menghadapinya
dengan mengadakan penyesuaian dengan pendidikan nasional sehingga musibah itu dapat
diredam. Maka pesantren-pesantren besar masih bertahan hidup, yang selanjutnya
mempengaruhi bentuk dan membangkitkan pesantren-pesantren kecil yang hampir mati, yang
klimaksnya terjadi pada tahun 1950-an8.
Kehidupan pesantren relatif normal pada masa Orde Baru, namun pada tahun 1970-an,
bersamaan dengan suburnya sekularisasi, musibah mengguncang pesantren lagi. Namun seiring
dengan hubungan pemerintah dengan umat Islam yang semakin membaik, pesantren dapat hidup
dan berkembang dengan baik, bahkan belakangan ini berkembang dengan sangat pesat dengan
segala variasinya.
Variasi pesantren tersebut dapat diteropong dari berbagai perspektif, mulai dari rangkaian
kurikulum, tingkat kemajuan dan kemodernan, keterbukaan terhadap perubahan dan dari
perspektif sistem pendidikannya. Dari segi kurikulumnya, pesantren dapat dikategorikan pada
pesantren modern, pesantren takhassus dan pesantren campuran. Martin van Bruinessen
mengelompokkan pesantren menjadi pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara
membaca huruf arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh al-Qur’an, pesantren sedang
yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu aqidah, tata bahasa arab, terkadang amalan Sufi dan
pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, Aqidah dan tasawuf yang lebih
mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya9.

8
. 20SMN al-Attas, Preliminary Statement on a General Theory of The Islamization of MalayIndonesian Archipelago
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969), hlm. 12-13.
9
. Jakarta: Paryu Barkah, tt. Arifin, Imron. Kepemimpinan Kiyai Kasus pondok Tebuireng. Malang: Kalmasahada
Press, 1993.

x
D. kitab kuning dan ilmu-ilmu pesantren
Semangat memperoleh ilmu yang sebanyak banyak nya dan kemanfaatan serta keberkahan
ilmu-ilmu yang diperolehnya, para santri banyak sekali berusaha mendapatkannya melalui dua
macam pendekatan yaitu;
a. Dengan proses mengaji atau belajar kepada kiyai atau guru hampir sepanjang hari
b. Dengan mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah (puasa, solay hajat, dzikir, dan
lain lain), juga melalui riyadlah (tirakat), menjahui makan yang banyak, menjahui tidur
yang terlalui nyenyak dan menjahui banyak omongan yang tidak bermanfaat, disamping
itu berusaha selalu dapat restu dan barokah dari guru nya.
Dalam pembelajaran di pesantren dikenal dengan dua maca sistem yang umum dilakukan,
yaitu:
a. Sistem sorogan yang sifatnya individual, yakni seorang santri mendatangi seorang guru
yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umum nya berbahasa Arab. Guru tersebut
disamping membaca lafadz/teks araabnya juga menerjemahkan ke Bahasa jawa atau
Bahasa daerah lainnya dan dimana perlu memberikan komentar-komentar yang selalu
dicatat oleeh santri, yang ditulis dibawah baris teks-teks arab tersebut.
b. Sistem bondongan yang seing kali disebut juga dengan sistem weton. Dalam sistem ini,
sekelompok santri mendengarkan seorang gru yang membaca, menerjemahkan dan
menerangkan atau mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memerhatikan kitabnya
sendiri dan membuat catatan yang dipandang perlu. Kelompok bondongan ini apabila
jumlah nya tidak begitu banyak, disebut ‘halaqah’ yang arti aslinya adalah lingkaran
(lingkaran santri) yang belajar dibawah bimbingan seseorang guru.
Dipesantren- pesantren besar ada lagi sistem lain yang disebut ‘musyawarah’ yang diikuti
santri-santri senior yang sudah mampu membaca kitab kuning dengan baik, peserta
sistem ini disebut ‘musyawirin’, yang belajar sendiri kitab-kitab yang telah ditunjuk atau
disetujui oleh kiyaainya, prosesnya seperti seminar atau halaqah,dan banyak diisi dengan
dialog-dialog baik antara santri dengan kiyainya, yang umumnya dilakukan dengan
menggunakan Bahasa arab, dan merupakan Latihan bagi para santri senior untuk menguji
keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab islam
klasik.

Sebagian lagi para musyawirin itu langsung dibimbing oleh kyai pengasuh
pesantren, sedangkan ‘kiai muda’ yang menjadi asisten kiyai pengasuh, mengajar dengan
sistem bandongan, dan para santri senior juga banyak memberikan pengajian dengan
sistem bandongan dan sorogan. Dengan adanya delegasi pengajian tersebut, maka
didalam pesantren banyak kelompok pengajian yang terdiri dari bermacam ilmu. Namun
secara umum, ilmu fiqih sangat dominan dibanding ilmu-ilmu agama lainnya seperti
tafsir, hadist, tashawuf, tauhid, dan lain-lainnya. Dalam masalah ilmu fiqih di pesantren
(yang sedang atau yang besar), di kaji secara utuh dan mendalam beberapa kitab
mu’tabarah Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Iqna, Tuhfah, I’anatu at-Thalibin, al-Bajuri
(semuanya fiqih-fiqih dari madzhab Syafi’i), tetapi dalam tafsir umumnya terbatas pada
tafsir jalalain, atau tafsir al-Munir atau Ibnu Abbas. Di beberapa pesantren besar seperti
Tebuireng Jombang, memang di ajarkan juga tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Khozin, Tafsir

xi
Baidlowi, hanya saja pengajian tafsir-tafsir tersebut untuk para santri-santri senior yang
mengambil takhosus (semacam spesialis keilmuan). Sama halnya dengan bandongan
terbatas pada kitab-kitab hadist ukuran sedang, seperti bulugh al-Maram, Tajrid al-
Shorih, atau al-Muwatho karngan Malik, tetapi kitab kitab besar seperti Shohih Bukhari,
Shohih Muslim Sunan at-Turmudzy, sunan an-Nasa’iy, Sunan Abu daud Sunan Ibnu
Majah (yang dikenal al-Kutub as-Sittah), tidak banyak diajarkan baik bandongan maupun
sorogan, tapi sering juga di ajarakan maraton pada waktu waktu tertentu (biasanya pada
bulan Ramadhan) dengan sebutan “khataman”, karna kitab kitab tersebut di baca oleh
seorang guru atau kyai dari awal sampai tamat dalam waktu relatif singkat (antara 20 hari
atau 25 hari). Bidang keilmuan islam paling sedikit dikaji adalam ilmu kalam. Meskipun
pada umunya kyai kyai pesantren itu dalam masalah aqidah mengikuti aliran
al’Asy’ariyah atau al-Maturidiyah, namun kitab-kitab standar dari kedua aliran tersebut
seperti kitab al-Luma al-Ibanah, Maqalat al-Islamiyin, karangan imam al-Asyari, juga
kitab tauhid karngan imam al-Maturidi, sangat sedikit diajarkan di pesantren-pesantren
salafiyah. Yang diajarkan dalam kajian bandongan hanya kitab kitab Tauhid ringkas,
yang membahas “sifat-sifat Allah dan Nabi”, ditambah beberapa aqidah dasar, seperti
nama-nama malaikat dan tugasnya, masalah qodla dan qodar dan lain-lain masalah
aqidah yang secara umum secara terbatas10. Mungkin hal itu di sebabkan karna
konsentrasi keilmuan di pesantren lebih kepada ilmu-ilmu fiqih, atau karna madzahab
fiqih yang dianut mayoritas pengasuh pesantren adalah madzhab syafi’i, sedangkan
imam Syafi’i sendiri kurang menyukai ilmu kalam yang di nilainya sudah berbau filsafat
(paling tidak argumentasinya sudah sangat rasionalis dan filosofis). Ilmu tauhid yang
banyak di baca antara lain : Ummu al-Barahin katngan imam as-Sanusi, al-Iqtisad fi al-
I’tiqod karangan imam al-Ghazali, Jauharah Tauhid karangan syekh Ibrahim al-Laqqany.

Dalam bidang keilmuan tasawuh kitab-kitab yang umunya diajarkan di pesantren


adalah kitab Bidayal al-Hidayah, Minhaj, al-Abidin dan Ihya Ulumuddin karangan imam
al-Ghazali dan al-Hikmah karngan imam Ibnu at-Thaillah, ada juga yang mengajarkan
Awarif al-Maarif karngan imam as-Syuhrawardy dam al-Fathu ar-Rabbaniy, kumpulan
tausiyah syekh Abdul Qadir al-Jailaniy. Disamping itu yang banyak diajarkan dalam
praktek ilmu tawasuf adalah “ilmu Thariqat” seperti Thariqat al-Qadariyah Thariqat as-
Syaqbandiyah, Tariqat as-Syahdhiliyah, Thariqat at-Thijaniyah, tetapi tidak semua
thariqat tersebut diajarkan dalam setiap pesantren, hanya salah satunya saja, tergantung
thariqat apa yang diikuti oleh kyai pengasuh pesantren bersangkutan.

Dalam bidang bahasa Arab, yang dipandang sebagi “ilmu alat” untuk memberikan
kemampuan membaca kitab-kitab tersebut diatas, mendapat perhatian besar, tetapi
konsentrasinya pada kajian “qowaidhul lughah” (nahwu dan shorof), mulai dari kitab
matan al-Jurumiyah, al-Mutammimah sampai alfiyah karngan Ibnu Malik dan syarahnya
Ibnu Aqil, para santri pesantren umunya sangat menguasainya, hanya saja dalam
kemampuan bahasa arab secara lisan (muhadtsah/conversation) mereka umunya lemah,
kecuali beberapa pesantren saja, seperti Gontor di Ponogoro, atau al-Amin di Sumenap-
Madura atau yang semodel dengan itu.

10
. Hasan, Muhammad Tholhah, op.cit, baca bagian pertama (masalah aqidah), dari hal, 3-57.

xii
Dalam tradisi pesantren dikenal juga sistem oemberian ijazah, tetapi bentuknya
tidak seperti yang kita kenal sekarang. Izajah model pesantren itu berbentuk pencantuman
nama dalam sesuatu daftar rantai transmisi pengetahuan (sanad) yang dikeluarkan oleh
guru terhadap muridnya yang telah menyelesaikan pelajaran dnegan baik tentang suatu
buku atau kitab tertentu, sehingga si murid tersebut telah menguasai dan berhak
mengajarkannya pada orang lain. Tradisi ijazah seperti itu hanya dikeluarkan untuk murid
murid tingkat tinggi dan hanya mnggunakan kitab kitab besar dan mahsyur. Sebagai
contoh seorang santri yang mengkaji kitab Shohih Bukhari kepada seorang guru ahli
hadist, setelah selesai mengaji dan sempurna maka santri tersebut diberi ijazah berupa
silsilah sanad mulai dari si guru dan berturut turut sampai berkahir pada pengarang kitab
tersebut, dalam hal ini sampai ke imam Al-Bukhari. Dan dalam pengalaman tidak banyak
yang mendapat ijazah seperti itu.

Masih banyak orang yang salah membuat penilaian tentang pendidikan pesantren,
yang menganggap pesantren hanya sebuah model pendidikan agama dan rohani semata,
dan mempunyai kepedulian dengan masalah kehidupan dan kebutuhan duniawi,
pandangannya hanya berorientasi pada masalah-masalah keakhiratan dan peribadatan
kepada tuhan, dalam mempersiapkan hidup sesudah mati. Penilaian yang demikian itu
banyak mempunyai kelemahan, karena meskipun kurikulum pesantren itu umumnya
terdiri dari pembelajaran ilmu-ilmu Syari’yah, seperti Tauhid, Fiqih, Akhlak, Tafsir,
Hadist, dan Tashawuf, namun apabila kita cermati dalam ilmu ilmu tersebut banyak
sekali diajarkan tentang kehidupan dan ketrampilan hidup. Banyak hadist yang dibaca
para santri, yang mengajarkan bahwa “bekerja” itu mempunyai “nilai ibadah” yang
disamping untuk mendapatkan nilai harta, juga memperoleh pahal yang besar dari allah.
Dalam kitab-kitab fiqih banyak dibahas masalah hukum dan etika, mulai masalah hukum
keluarga (al-ahlwal as-syakshyiyah), hukum perdata dan pidana, hukum etika dan sosial
(hukum muamalah). Dalam kajian yang lebih tinggilagi, baik hadist, tafsir, maupun fiqih
juga dikaji masalah sosial dan politik (al-ahkam as-shulthaniyah).

Tidak bisa diragukan, bahwa apa yang diajarkan di pesantren-pesantren,


betapapun aslinya, bukanlah hal-hal yang sifatnya semata-mata “ukhrawi”, melainkan
juga yang sifatnya “duniawi”, hanya saja masih terangkum dalam apa yang disebut
sebagai “ilmu-ilmu agama” yang belum mengalami proses diferensiasi dan spesialisasi
dalam cabang cabang ilmu yang kita kenal dalam dunia modern sekarang11.

11
. Rahardjo, Dawam, Pesantren dan Pembaruan, hal 2-3.

xiii
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Peradaban islam di Indonesia tidak bisa lepas dari pendidikan sebagai prosen
pembentukannya. Dalam hal ini, Pesantren memiliki peran penting dalam
membentuk “habitus” sosial masyarakat Islam di Indonesia sebagai mayoritas. Sistem
nilai dari pesantren, seperti kebersahajaan, tradisi keilmuan, serta penjaga budaya dan
nasionalisme membentuk prilaku masyarakat yang saat ini masih terwariskan.
Sehingga, pesantren merupakan mozaik penting dalam peradaban Islam di Indonesia,
yang memberikan andil dalam menciptakan tradisi keberagamaan yang toleran.

xiv
DAFTAR PUSTAKA

 Muhammad Rizal Fadli, Dari Pesantren Untuk Negri: Kiprah Kebangsaan KH.
Hasyim Asy’ari, Jurnal Islam Nusantara Vol.3 Nomor 2 tahun 2019
 Ahmad Khoirul Fata, M. Ainun Nadjib Kontekstualisasi Pemikiran KH. Hasyim
Asy’ari Tentang Persatuan Umat Islam, Jurnal MIQOT, Vol 38, Nomor 2 tahun 2014
 Saputra, Inggar, Resolusi Jihad:Nasionalisme Kaum Santri Menuju Indonesia
Merdeka, Jurnalnu, Vol.3, no.1 tahun 2019
 Royani, Ahmad, Pesantren Dalam Bingkai Sejarah Perjuangan Kemerdekaan
Indonesia, Jurnal Islam Nusantara, Vol.1 no.2 Tahun 2018
 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor 25 / KEP / M. PAN / 04 / 2002
tentang: Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara ( Jakarta: 2002).
 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, ( Jakarta: Bumi Aksara,
1997 ), h.240.
 Anwar, Ali. 2011. Pembaruan Pendidikan Pesantren Lirboyo Kediri. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
 4.Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernis,
Hingga Postmodernisme. Jakarta: Paramadina.
 5.Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
 Jakarta: Pustaka.
 Machrus Aly, ―Hakikat Cita Pondok Pesantren‖, dalam Soeparlan Soerjopratondo
dan M. Syarif, Kapita Selekta Pondok Pesantren (Jakarta: Paryu Barkah, tt), hlm.
40.
 20SMN al-Attas, Preliminary Statement on a General Theory of The Islamization of
MalayIndonesian Archipelago (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969),
hlm. 12-13.
 Aly, Machrus. ―Hakikat Cita Pondok Pesantren‖, dalam Soeparlan Soerjopratondo
dan M. Syarif, Kapita Selekta Pondok Pesantren.
 Jakarta: Paryu Barkah, tt. Arifin, Imron. Kepemimpinan Kiyai Kasus pondok
Tebuireng. Malang: Kalmasahada Press, 1993.
 Hasan, Muhammad Tholhah, op.cit, baca bagian pertama (masalah aqidah), dari
hal, 3-57.
 Rahardjo, Dawam, Pesantren dan Pembaruan, hal 2-3.

xv

Anda mungkin juga menyukai