Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KELOMPOK 4

“ DAKWAH ISLAM WALISONGO”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia

Dosen Pengampu : Yulianto, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh :

1. Ego Sabirin ( 203111219)


2. Ghaitsa Shofa Rahmahdani (203111227)
3. Fitria Jamilatul Fahmi (203111235)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Dakwah Islam
Walisongo“. Penyusunan makalah ini didukung dari berbagai referensi buku dan jurnal
sehingga dapat memperlancar penyusunannya. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih
atas bimbingan dari Bapak Yulianto, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah
sejarah kebudayaan islam di indonesia.

Makalah ini disusun agar menambah wawasan pembaca. Kami memahami


bahwa makalah yang kami tulis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun untuk
penyempurnaan makalah ini.

Surakarta, 29 September 2022

2
DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

A. Latar Belakang.............................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4

C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 4

BAB II ..................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6

A. Dakwah Lewat Asimilasi Pendidikan........................................................... 6

B. Dakwah Lewat Asimilasi Seni Dan Budaya................................................. 8

C. Dakwah Melalui Perkawinan...................................................................... 12

D. Dakwah Lewat Perekonomian .................................................................... 20

BAB III ................................................................................................................. 23

PENUTUP ............................................................................................................ 23

A. Kesimpulan ................................................................................................. 23

B. Saran ........................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Proses Penyebaran Agama Islam di Indonesia tak luput dari peran 9
Sunan yang disebut sebagai Wali Songo yang dimana mereka mengalkulturasi
budaya islam dengan budaya Hindu-Buddha melalui berbagai macam cara seperti
dakwah melalui Pendidikan, Seni dan Budaya, Perkawinan, serta Perekonomian.
Upaya yang dilakukan juga penuh dengan perjuangan dan pengorbanan, sehingga
nilai-nilai agama yang disampaikan oleh beliau masih menjadi pegangan kita pada
masa ini dalam segala aspek kehidupan. Pada masa sekarang , budaya yang masih
terjaga akan nilai tradisi dan adatnya disekitar masyarakat harus dilestarikan oleh
generasi selanjutnya, agar tidak hilang dan dilupakan begitu saja. Dengan cara, kita
dapat mengajarkannya serta membiasakannya dengan nilai budaya dan islam sejak
dini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa peran walisongo dalam dakwah melalui asimilisasi Pendidikan ?


2. Apa peran walisongo dalam dakwah melalui asimilisasi Seni dan Budaya ?
3. Apa peran walisongo dalam dakwah melalui asmilisasi Perkawinan ?
4. Apa peran walisongo dalam dakwah melalui asimilisasi Perekonomian ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui peran Walisongo dalam dakwah melalui asimilisasi


Pendidikan
2. Untuk mengetahui peran Walisongo dalam dakwah melalui asmilisasi Seni
dan Budaya

4
3. Untuk mengetahui peran Walisongo dalam dakwah melalui asimimlisasi
Perkawinan
4. Untuk mengetahui peran Walisongo dalam dakwah melalui asimilisasi
Perekonomian

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dakwah Lewat Asimilasi Pendidikan

Usaha yang dilakukan Wali Songo dalam mengembangkan dakwah Islam


yang tidak kalah penting adalah lewat jalur pendidikan, yaitu dengan mengambil-
alih lembaga pendidikan Syiwa-Buddha yang disebut asrama atau dukuh yang
kemudian dirubah sesuai ajaran Islam menjadi lembaga pendidikan pondok
pesantren. Usaha tersebut menunjukkan hasil yang menakjubkan, karena para guru
sufi dalam lembaga Wali Songo mampu menyusun nilai-nilai sosio-kultural religius
yang dianut masyarakat Syiwa-Buddha dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam
menyusun nilai-nilai Ketauhidan Syiwa-Buddha (adwayasashtra) dengan ajaran
tauhid Islam yang dianut oleh para guru sufi.

Dengan bantuan informasi dari seorang arif yang sudah tercerahkan, para
guru sufi mengambil alih sistem pendidikan Syiwa-Buddha yang disebut dukuh,
yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Terdapat naskah-
naskah kuno berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berasal
dari era Majapahit, yang memuat tata krama siswa di dukuh dalam menuntut
pengetahuan, yang disebut Gurubakti yang berisi tata tertib, sikap hormat, serta
sujud bakti yang wajib dilakukan oleh para siswa kepada guru rohaninya. Isi dari
tata krama tersebut yaitu:

1) Para siswa tidak boleh duduk berhadapan dengan guru


2) Para siswa tidak boleh memotong pembicaraan guru
3) Para siswa harus menuruti apa yang diucapkan guru
4) Para siswa harus mengindahkan nasihat guru meski dalam keadaan marah
5) Para siswa harus berkata-kata yang menyenangkan terhadap guru

6
6) Jika guru datang, para siswa harus turun dari tempat duduknya
7) Jika guru berjalan, para siswa harus mengikuti dari belakang
8) Dan sebagainya

Selain itu, gagasan gurubakti dalam Silakrama mencakup 3 triguru yaitu:

1) Orang tua yang melahirkan (guru rupaka)


2) Guru yang mengajarkan pengetahuan rohani (guru pangajyan)
3) Raja (guru wisesa)

Dari ketiga guru tersebut, yang paling memperoleh penghormatan adalah


guru pangajyan, karena guru pangajyan telah membukakan kesadaran untuk
mengenal kehidupan di dunia dan akhirat. Khusus untuk guru pangajyan di dukuh-
dukuh yang mengajarkan sikap spiritual dan berhak melakukan upacara keagamaan
diberi gelar susuhunan. Oleh karena itu, guru-guru sufi yang memimpin dukuh di
masa lalu juga mendapat gelar susuhunan.Dukuh kemudian disebut pesantren, yaitu
tempat para santri belajar. Kata santri berasal dari istilah sashtri yang bermakna
orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra). Selain gagasan gurubakti,
seorang wiku (siswa) di sebuah dukuh dalam menuntut pengetahuan diwajibkan
menjalankan ajaran yamabrata, yaitu ajaran yang mengatur tata cara pengendalian
diri, meliputi (1) prinsip hidup yang disebut ahimsa (tidak menyakiti, tidak
menyiksa, tidak membunuh), (2) menjauhi sifat krodha (marah), (4) moha (gelap
pikiran), (4) mana (angkara murka), (5) mada (takkabur), (6) matsarya (iri dan
dengki), dan (7) raga (mengumbar nafsu).
Seorang wiku (siswa) diharuskan memiliki sifat kasih sayang terhadap
semua makhluk, namun ditegaskan bahwa seorang wiku (siswa) boleh melakukan
kekerasan, yaitu membunuh atau menyakiti orang jahat yang berlaku kejam
terhadap dirinya sebagai bentuk usaha bela diri. Akan tetapi, kekerasan tidak boleh
dilakukan terhadap penjahat yang sudah tertangkap dan tidak berdaya. Selain itu,

7
seorang wiku (siswa) juga harus memiliki sifat satya, yang artinya jujur, tidak
bicara kotor, ucapannya tidak menyakiti hati, tidak memaki, tidak menggerutu dan
menyumpahi, serta tidak berdusta. Sifat satya juga berarti taat dan setia terhadap
sesuatu, seperti perilaku wiku (siswa) terhadap makanan, minuman, tata cara
berpakaian, tempat tinggal, hingga perhiasan. Yang mana hal tersebut dikenal
dengan satyabrata. Di antara isi satyabrata yang sangat mirip dengan syariat Islam
adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan dan minuman, yaitu seorang
siswa diharamkan memakan daging babi, anjing, landak, biawak, kura-kura, badak,
kucing, tikus, ular, dan sebagainya. Selain itu, seorang wiku (siswa) tidak boleh
memakan makanan yang tidak suci atau menjijikkan dan diragukan kesuciannya.
Selain makanan, seorang wiku (siswa) juga wajib menghindari minuman keras
yang memabukkan seperti arak, anggur, ciu, dan sebagainya. Pada akhir abad ke-
15, Kerajaan Majapahit terpecah-belah dan diikuti peperangan berebut kekuasaan
dari dinasti-dinasti yang mengaku sebagai keturunan Majapahit di berbagai
kerajaan kecil. Hal tersebut mengakibatkan pusat-pusat pendidikan keagamaan
lama mengalami kemunduran karena dukuh-dukuh tidak terurus. Menurut P.J.
Zoetmulder dalam Kalangwan (1983), seiring lenyapnya keraton-keraton, baik
sentral maupun regional, disusul dengan terancamnya pusat-pusat keagamaan yang
pada akhirnya akan lenyap seiring berjalannya waktu, memiliki peran yang sangat
besar dalam proses hilangnya sastra Jawa Kuno kakawin yang terpengaruh oleh
Hindu India, dengan digantikannya era sastra Jawa tengahan bercorak Islam
tembang. Pusat-pusat pendidikan keagamaan lama seperti dukuh, asrama, dan
padepokan yang lenyap seiring terjadinya perubahan, muncul kembali dalam wujud
pusat-pusat pendidikan keagamaan Islam yang disebut pesantren, yang tidak lain
adalah pusat pendidikan keagamaan dukuh tetapi dalam bentuk yang baru.

B. Dakwah Lewat Asimilasi Seni Dan Budaya


Seni pertunjukan yang mampu menjadi sarana komunikasi dan transformasi
informasi kepada publik, terbukti dijadikan sarana dakwah yang efektif oleh Wali
Songo dalam usaha penyebaran berbagai nilai, paham, konsep, gagasan, pandangan,

8
dan ide yang bersumber dari Agama Islam. Pada masa Majapahit, seni pertunjukan
umumnya berkaitan dengan fungsi-fungsi ritual yang mengacu pada nilai-nilai
budaya yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan Hindu-Buddha. Seni
pertunjukan yang berkaitan dengan fungsi-fungsi ritual keagamaan memiliki ciri-
ciri khas, yaitu:
1) Membutuhkan tempat pertunjukan yang biasanya dianggap sacral
2) Membutuhkan pilihan hari dan waktu yang tepat yang juga dianggap sacral
3) Membutuhkan pemain terpilih, yang dianggap suci atau bersih secara
spiritual
4) Membutuhkan sesajen yang banyak jenis dan macamnya
5) Tujuan spiritual lebih diutamakan daripada nilai estetis
6) Menggunakan busana khusus

Seni pertunjukan tertua salah satunya adalah sebagaimana yang tercatat


dalam Prasasti Balitung berangka tahun 829 Saka (907 Masehi) adalah wayang
yang digelar untuk Tuhan. Kemudian, dalam Prasasti Wilasrama yang berangka
tahun 852 Saka (930 Masehi), telah menyebut keberadaan seni pertunjukan yang
dalam bahasa Jawa Kuno disebut Wayang Wwang. Pertunjukan Wayang Wwang
merupakan pertunjukan ritual keagamaan, dalam pergelarannya dikaitkan pula
dengan usaha-usaha spiritual yang disebut murwakala atau ruwatan, yaitu kegiatan
semacam upacara spiritual yang bertujuan agar orang bebas dari nasib buruk, dan
terhindar dari bencana-bencana yang bersifat gaib. Karena pertunjukan wayang
bersifat spiritual, maka kedudukan dalang diposisikan setara dengan orang suci atau
pendeta, bahkan dewa-dewa.
Dalam konteks memosisikan seni pertunjukan wayang sebagai seni
pertunjukan yang bersifat spiritual dengan sejumlah upacara ritual yang khas, Wali
Songo melakukan pengambilalihan seni pertunjukan ini dengan sejumlah
penyesuaian yang selaras dengan ajaran Tauhid dalam Islam. Menurut R.
Poedjosoebroto dalam Wayang Lambang Ajaran Islam (1978), menjelaskan bahwa
Sultan Demak yang pertama setelah mempertimbangkan secara matang-matang

9
dengan beberapa orang dari para wali tentang keberadaan seni pertunjukan wayang,
memperoleh pandangan bahwa:
1) Seni wayang perlu dilestarikan dengan memperhatikan perubahan-
perubahan yang sesuai dengan zaman
2) Seni wayang dapat dijadikan sebagai alat dakwah Islam yang baik
3) Bentuk wayang yang mirip arca-arca seperti manusia harus diubah karena
diharamkan menurut Islam
4) Cerita-cerita dewa harus diubah dan diisi paham yang mengandung
keislaman untuk membuang kemusyrikan
5) Cerita wayang harus diisi dakwah agama yang mengandung tentang
keimanan, ibadah, akhlak, kesusilaan, dan sopan santun
6) Cerita wayang karangan Walmiki dan Wiyasa harus diubah menjadi cerita
yang berjiwa Islam
7) Menerima tokoh-tokoh wayang dan kejadian-kejadiannya sebagai lambang
yang perlu diberi tafsiran tertentu sesuai dengan ajaran Islam
8) Pergelaran wayang harus disertai tata cara serta sopan santun yang baik,
jauh dari perbuatan maksiat
9) Seluruh unsur seni wayang diberi makna yang sesuai dengan dakwah Islam,
termasuk alat-alat gamelan dan nama-nama tembang macapatnya, sehingga
pemberian makna dapat berturut-turut secara sistematis menurut ajaran
agama yang benar

Dengan sembilan ketetapan yang telah ditetapkan oleh Sultan Demak


bersama Wali Songo, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat deformatif
dalam rangka penyesuaian seni pertunjukan wayang dengan ajaran Islam. Pada
mulanya pertunjukan wayang yang sampai masa Majapahit digambar di atas kain
dengan diberi warna, dikenal dengan nama Wayang Beber Purwa atau Karebet
diiringi dengan gamelan slendro. Kemudian pada awal kekuasaan Demak, wayang-
wayang mulai digambar pipih dua dimensi sehingga menjauhi kesan berbentuk
manusia seperti pada relief-relief candi. Selain itu bahan wayang tidak lagi

10
digambar di atas kain, tetapi digambar di atas selembar kulit kerbau dengan warna
putih dan hitam. Pada saat itu wayang tidak lagi berwujud gambar utuh, tetapi
berupa satuan-satuan gambar lepas dengan tangan menyatu dengan tubuh. Meski
sudah dipisah-pisah, gambar-gambar wayang tersebut masih terlihat mirip dengan
Wayang Beber atau Karebet. Kemudian pada awal abad ke-16, Sunan Kalijaga
menyempurnakan wayang dengan tangan agar bisa digerakkan dan warna-warna
yang digunakannyapun semakin beraneka ragam.Usaha-usaha mengembangkan
wayang sebagai seni pertunjukan untuk sarana dakwah, ternyata tidak hanya
mengembangkan bentuk-bentuk gambar wayang beserta kelengkapan sarana
pertunjukannya saja, melainkan yang tak kalah penting adalah adanya usaha
penyusunan pakem cerita pewayangan yang tidak bertentangan dengan Tauhid.
Seperti cerita tentang seseorang yang memiliki banyak pasangan dalam waktu yang
bersamaan, yang menyangkut tokoh Drupadi sebagai isteri kelima bersaudara
Pandawa, diubah menjadi cerita seseorang yang hanya memiliki satu pasangan,
dengan menggambarkan tokoh Drupadi sebagai isteri Yudhistira, putra tertua
Pandu. Dewa-dewa yang merupakan tokoh sembahan yang hidup di kayangan,
dibikinkan susunan silsilah sebagai keturunan Nabi Adam dari jalur Nabi Syits.
Tokoh-tokoh idola dalam ajaran Kapitayan seperti Danghyang Semar, Kyai Petruk,
Nala Gareng, dan Bagong dimunculkan sebagai punakawan yang memiliki
kekuatan diluar kodrat alam yang mampu mengalahkan dewa-dewa Hindu. Dan
lain sebagainya.

Begitulah latar lahirnya seni pertunjukan yang berasal dari zaman Wali
Songo, yang merupakan seni pertunjukan hasil asimilasi seperti Wayang Purwa dan
Wayang Wong yang membawakan kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata,
Karebet dan Wayang Krucil yang membawakan kisah-kisah panji, Kentrung dan
Jemblung yang membawakan kisah-kisah menak dan babad, drama tari seperti
jatilan dan sandul, seni genjring, tari topeng, yang diikuti berkembangnya seni
sungging, seni ukir, seni batik, seni lukis, seni suara, seni musik, seni arsitektur

11
yang bercirikan Islam, yang berkembang di lingkungan masyarakat muslim, yang
umumnya terproses dalam pendidikan pesantren.

C. Dakwah Melalui Perkawinan


Dakwah ini bermula dari Sunan Ampel yang dimana ia dinikahkan oleh
Bupati Tuban yang bernama Arya Teja dengan anak perempuannya yaitu Nyi
Ageng Manila. Sehingga, sunan Ampel pun turut menikahkan saudara-saudaranya
dengan kerabat dekat Nyi Ageng Manila dengan tujuan untuk mempererat ukhuwah
diantara mereka. Dakwah melalui perkawinan yaitu terjadi diantara pedagang
muslim dan para muballigh dengan anak penguasa wilayah atau tempat tersebut.
Semula, dari kesaktian ilmu pengetahuan dan obat-obatan yang mereka dapatkan
ilmunya secara turun termurun dari Ulama sebelumnya dan juga didapatkan
berdasarkan tuntunan hadist serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Ketika
diadakannya sayembara bagi siapapun yang dapat menyembuhkan putri atau putra
dari penguasa dengan janji bahwa jika yang disembuhkan adalah seorang putra atau
laki laki, maka akan dijadikan saudara. Sementara, jika yang disembuhkan adalah
seorang putri atau perempuan, maka akan dijadikan seorang istri. Dengan ini para
pedagang muslim dan muballigh saling berlomba-lomba untuk memenangkan
sayembara tersebut dengan maksud ingin menyebarkan agama islam melalui
perkawinan yang dimana secara garis keturunan menjadi sosok muslim dan penerus
generasi islam selanjutnya serta pengaruh Islam menjadi Lebih kuat dari
sebelumnya. Demikian, Dakwah melalui Perkawinan, yang mungkin dijaman
sekarang lebih dikenal dengan taaruf1.
Dalam budayanya, para masyarakat jawa banyak sekali mengambil ritual
yang sudah diajarkan oleh para walisongo dalam perkawinan. Seperti tradisi adat
perkawinan keraton Surakarta dan Yogyakarta yang memiliki ciri khas tersendiri
dalam penyelenggaraan acaranya. Yang dimana bertujuan untuk melestarikan dan

1
Achmad Syafrizal, ‘Islamuna: Jurnal Studi Islam’, Islamuna: Jurnal Studi Islam, 2.2 (2015), 235–53
<http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/islamuna/article/view/664/617>.

12
mewariskan kebudayaanya dengan berbagai kegiatan sosial yang berada pada
kehidupan sehari-hari. Dimulai dari pemilihan jodoh berdasarkan adat jawa dan
adat islam hingga terlaksananya sebuah pernikahan atau perkawinan. Adapun
pelaksanaanya sebagai berikut2 :
1) Pemilihan jodoh berdasarkan adat jawa dan adat islam :
a) Adat jawa
Secara mayoritas, masyarakat jawa masih kental dengan adat
yang sudah turun-temurun dari nenek moyangnya seperti melihat
weton untuk mengetahui apakah pasangan ini layak untuk
mengadakan sebuah perkawinan atau tidak. Menurut Empu
Brojodiningrat, Seorang konsultan Pakuwon ada tiga hal
pertimbangan dalam memilih jodoh yaitu : sak bobot, sak traju, dan
sak timbangan. Sak bobot berarti diharapkan para suami istri ini
sekufu (sama) dalam status sosial, harta, maupun pendidikannya.
Selanjutnya, sak traju yang diartikan sebagai serasi, seimbang, dan
diharapkan harmonis seiring dengan berjalannya waktu. Terakhir,
sak timbangan yang diartikan sebagai pasangan yang seimbang
dalam hal pangkat atau pemikiran3.
Dalam memilih suami yang ideal harus dapat Hangayomi,
Hangayemi, dan Hanyayangi. Hangayomi berarti mampu menafkahi
istri dan anak secara lahir dan batin serta tidak membuat hidupnya
dalam kesukaran. Selanjutnya, Hangayemi berarti dapat membuat
situasi dan kondisi rumah tangga aman, nyaman, dan tentram. Dan
terakhir, Hanyayangi berarti memberikan kasih sayang dan materi
kepada istri, anak, serta keluarganya.
Sementara, dalam memilih istri yang ideal harus dapat
Mugen, Tegen, dan Rigen. Mugen berarti sang istri diharapkan
2
FATKHUR ROHMAN, ‘MAKNA FILOSOFI TRADISI UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA
KRATON SURAKARTA DAN YOGYAKARTA (Studi Komparasi)’, 2015
<https://doi.org/10.21831/ltr.v15i2.11823>.
3
Ibid, h. 41-42

13
untuk setia dirumah dan tetap diperbolehkan keluar saat ada urusan
saja. Selanjutnya, Tegen berarti sang istri mengerjakan semua
pekerjaan rumah tangga yang sudah menjadi kewajibannya seperti
mengasuh anak, memasak, dan mengatur lingkungan dalam
keluarga. Dan terakhir, Rigen berarti sang istri diharapkan pandai
mengelola keuangan rumah tangga dan nafkah yang berasal dari
suami untuk mengatur kebutuhan sehari-hari.
b) Adat Islam
Dalam adat islam laki-laki sebagai peminang dan perempuan
bisa menerima atau menolak pinangan tersebut. Berdasarkan pada
hadist Rasulullah, terdapat 4 ketentuan dalam memilih pasangan
(wanita) yaitu dimulai dari hartanya, kecantikannya, nasabnya, serta
agamanya. Jika memilih Wanita karena agamanya, InsyaAllah sudah
dipastikan baik semuanya. Berikut adalah hadistnya :
‫تنكح المزأة ألربع‬: ‫ ولدينها؛ فاظفز بذات الدين تزبت يداك‬،‫ ولحسبها ولجمالها‬،‫لمالها‬.
Latin : (Tunkahu al-mar‟atu li arbain : limaaliha, wa lihisaabiha, wa
lijamaaliha, wa lidiiniha, faadzfar bidzaati ad-diini. Tarabat yadaaka)

Artinya : Orang suka menikah kepada Wanita itu karena empat hal:
yaitu karena keturunannya, karena kecantikannya, karena
kekayaannya, dan karena keagamaannya, maka menikah kepada
yang beragama niscaya engkau beruntung”.(HR. Bukhari Muslim)4

Faktor agama dalam memilih pasangan sangatlah pentingnya


untuk tercapainya keluarga yang Sakinah. Jika terjadinya sebuah
percekcokan dalam rumah tangga, masih bisa teratasi dengan adanya
pegangan agama.5
2) Nontoni

4
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), 70-71
5
Kusdar dkk, Pendidikan Agama Islam... h.124

14
Pada tahap ini dibutuhkannya seorang perantara, perantaranya adalah
seorang utusan dari salah satu sanak calon wanita. Maksud dari tahapan ini
adalah diharapkan untuk melihat calon dari dekat dan juga bisa bertemu
secara langsung meskipun hanya sekilas. Pertemuan ini terjadi Ketika si
wanita menjamu tamunya dengan minuman ata makanan ringan. Biasanya,
tamu disambut oleh keluarga calon perempuan yang terdiri dari ayah, ibu,
dan keluarga lainnya.
3) Nakokake/ Nembung/ nglamar
Selanjutnya, pada tahap ini si perantara menanyakan kepada calon
pengantin pria apakah ia sudah memiliki calon pengantin Wanita lainnya.
Jika belum ada, si pengutus dari calon pengantin pria akan
memberitahukannya bahwa ia ingin untuk berbesan dengan keluarga calon
pengantin Wanita. Si calon pengantin pria akan bertanya pada calon
pengantin Wanita apakah ia bersedia diperistri atau tidak. Jika calon
pengantin Wanita setuju, Langkah selanjutnya adalah menentukan hari “H”
dengan datangnya utusan dari calon pengantin pria untuk melakukan
peningset atau kekancingan rembug.
Peningset atau kekancingan rembug adalah simbol yang menyatakan
bahwa calon pengantin Wanita sudah terikat walaupun secara tidak resmi
oleh calon pengantin pria. Biasanya, peningset ini berisi perhiasan, uang,
atau makanan khas daerah masing-masing. Dan peningset ini disertai
dengan acara pasok tukon yaitu barang-barang pemberian berupa pisang
sanggang, beberapa sandang bagi calon pengantin Wanita, dan upakarti
yaitu bantuan pangan untuk membantu upacara pernikahan seperti gula,
beras, bumbu-bumbu dan lain-lain. setelah semua telah dilakukan, para dua
keluarga pengantin akan menentukan hari pernikahan. dimaksudkan supaya
pernikahan berjalan dengan lancar dan mendatangkan kebahagiaan.
4) Pasang Tarub atau janur
Langkah selanjutnya adalah pasang Tarub. Pasang Tarub adalah daun
kelapa yang sebelumnya dianyam kemudian diberi kerangka dari bambu

15
dan ijuk sebagai talinya. Agar pemasangan Tarub berjalan dengan lancar
dilakukannya upacara tumpengan. Lalu dipasangkannya pohon pisang raja
yang ditaruh di sebelah kanan dan kiri pintu masuk, ini disebut dengan
Tuwuhan6. Bahan-bahan digunakan sebagai Tuwuhan antara lain : a) Dua
Batang Pohon Pisang Raja yang buahnya sudah matang, b) Dua janjang
kelapa gading, c) Dua untai padi yang sudah tua, d) Dua batang tebu ulung
yang lurus, e) Daun beringin secukupnya, f) Daun dadap serep. Maka dari
itu, Tarub dilambangkan sebagai petuah atau nasihat serta harapan dan doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa7.
5) Midodareni
Upacara Midodareni dimulai dengan acara siraman, jadi acara siraman
dilakukan sebelum rangkaian upacara Midodareni. Setelah selesai siraman,
calon pengantin membasuh wajahnya dengan air kendi yang dibawa oleh
ibunya istilah ini disebut dengan raup. Dan kendi yang sudah digunakan itu
dibanting oleh sang ibu sambil mengatakan “ cahayanya sekarang sudah
pecah seperti bulan purnama”.
Setelah berganti busana, terdapat acara memotong rambut yang
dilakukan oleh orang tua pengantin Wanita. Rambut dipotong dan dikubur
depan rumahnya. Selanjutnya, setelah rambut dipotong terdapat acara “
dodol dawet” yang dimana sang ibu dari calon Wanita akan berjualan dawet
dan uang yang digunakan untuk membeli dawet dibuat dari kreweng.
Kreweng yaitu pecahan genting yang berbentuk bulat. Dan terakhir adalah
upacara Midodareni, Midodareni berasal dari kata widadari yang berarti
bidadari dengan harapan si calon pengantin Wanita dapat membuat suasana
dalam pernikahan seperti widadari.
6) Akad Nikah (Ijab dan Kabul)

6
Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2012), cet.1, h.
61-63
7
Hamidin,Buru Pintar Perkawinan Nusantara,(Yogyakarta: DIVA Press,cet 1,2002),h.10-13

16
Akad nikah adalah acara yang sangat penting dalam pernikahan. Akad
nikah dilakukan sebelum resepsi. Acara ini disaksikan oleh kedua orang tua
mempelai dan keluarga terdekat. Dalam adat islam, akad ini bisa dilihat
dengan 2 orang saksi (satu dari pihak pria dan satu dari pihak Wanita), asal
ada penghulu dan wali dari pengantin Wanita. Pelaksanaanya dilakukan
oleh petugas dari catatan sipil atau petugas agama. Proses ini merupakan
simbol tanda cinta dan ibadah dari kedua mempelai yang akan membina
sebuah rumah tangga dengan Sakinah mawaddah warahmah.
7) Panggih atau bertemu
Pertukaran kembar mayang dilakukan saat panggih dimulai. Kalpataru
dewadaru atau kembar mayang adalah sarana dalam rangkaian acara
panggih. Setelah itu dilanjutkan dengan acara balangan suruh, ngidak
endhog, dan wijiki ( acara membasuh kaki pengantin pria ). Dalam acara
panggih ini diiringi dengan ghending ( nada karawitan)8. Pengantin pria
diapit oleh sesepuh diiringi menuju tarub. Lalu, terdapat pembawa pisang
sanggan kepada orang tua pengantin Wanita untuk dihaturkan dengan
makna bahwa : a) pisang tersebut disimbolkan sebagai penebus, b)
permohonan agar pengantin wanita segera ditemukan, c) pernyataan bahwa
pengantin pria siap bertemu. Pisang sanggan adalah pisang yang diurai atau
hanampi gesang yang berarti Penganti pria telah siap untuk menerima,
menyayangi, dan mengayomi hidup pengantin wanita9.
8) Balangan Suruh
Upacara Balangan Suruh dilakukan oleh kedua mempelai yang
masing-masing membawa gantal. Gantal adalah daun sirih yang ditekuk
atau dilinting membentuk bulatan. Gantal yang dibawa pengantin Wanita
disebut godhang kasih, sementara gantal yang dibawa pengantin pria disebut
godhang tutur lalu diikat dengan benang putih atau lawe. Daun sirih ini
dilambangkan sebagai harapan untuk kedua mempelai Bersatu dalam

8
Hamidin, Buku Pintar Perkawinan Nusantara...h.28-30
9
Pringgawidagda Suwarna, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta…h. 190-195

17
menciptakan, karya dan karsa dalam satu cipta. Dan diyakini sebagai
penolak dari berbagai gangguan buruk
9) Ngidak endhog ( menginjak telur)
Upacara ini dipimpin oleh juru paes yaitu seorang yang bertugas
merias pengantin, mengenakan busana pada pengantin, lalu mengambil telur
dari bokor ( mangkok besar) kemudian diusapkan pada dahi pengantin pria
dan pengantia pria diminta untuk menginjak telur. Sang pengantin Wanita
pun mewijiki atau membasuh kaki kanan pengantin pria dengan air yang
sudah diberi bunga setaman. Makna dari ngidak endhog ini adalah Penganti
pria siap menjadi ayah, suami yang baik dan bertanggung jawab kepada
keluarganya. Sementara, pengantin pria siap melayani sang suami dengan
sepenuh hati.
10) Timbangan
Timbangan dilakukan sebelum kedua mempelai duduk di pelaminan.
Upacara timbangan dilakukan sebagai berikut : sang ayah dari pengantin
wanita duduk diantara dua mempelai, pengantin pria duduk di atas kaki
kanan sang ayah, sementara pengantin perempuan duduk diatas kaki
kirinya. Lalu, sang ayah merangkul kedua Pundak mempelai dan
mengatakan bahwa keduanya seimbang ( cocok satu sama lain) dalam
artian konotatif atau kiasan.
11) Kacar kucur
Upacara ini dilakukan oleh pengantin pria yang menuangkan barang-
barang dari kantong kain. Kemudian, pengantin Wanita menerima barang
tersebut dengan kain sindhur. Kantong kain berisikan uang recehan, beras
kuning, kacang kawak, dhele kawak, kara, dan bunga telon( mawar, melati,
kenanga, kanthil). Acara ini bertujuan agar harapannya pengantin pria dapat
bertanggung jawab dalam menafkahi istrinya.

12) Dulangan

18
Salah satu acara saling menyuapkan makanan dan minuman pada
mempelai masing-masing. Dalam dulangan ini biasanya dengan tumpeng.
Dimaknai sebagai harapan sang pengatin pria memiliki keteguhan hati serta
penngantin Wanita yang dapat menjaga rahasia keluarganya10.
13) Sungkeman
Sungkeman merupakan upacara yang dilakukan kedua mempelai
dengan berjengkeng didepan kedua orang tua dari kedua mempelai sambil
memegang dan mencium lutut mereka. Isi dari sungkeman yaitu: a) Tnada
bakti anak kepada orang tua yang telah merawat dan membesarkannya, b)
permohonan anak kepada orang tua agar dimaafkan segala kesalahannya,
dan c) meminta doa restu kepada orang tua agar hidupnya bahagia.
14) Kirab
Dalam upacara kirab, terdapat arak-arakan yang terdiri dari Domas
(pengiring dari pengantin wanita dan pengantin pria), cucuk lampah (penari
yang berada di barisan paling depan yang menuntun iring-iringan pengantin
dan keluarga menuju pelaminan) dan keluarga terdekat.
15) Jenang Sumsunan
Jenang sumsunan adalah bentuk rasa syukur atas acara yang berjalan
denga baik dan lancar. Jenang sumsunan ini dilakukan setelah rentetan acara
perkawinan selesai. Dan diselenggarakan pada malam hari yaitu malam
berikutnya setelah acara perkawinan.
16) Boyongan atau ngunduh manten
Disebut boyongan karena pengantin pria dan pengantin wanita diantar
kepada keluarga pengantin pria oleh keluarga pengantin wanita. Boyongan
dilakukan di rumah penganti pria akan tetapi acaranya tidak selengkap yang
dilakukan di rumah pengantin wanita. Biasanya, semua tergantung dari

10
Pringgawidagda Suwarna, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta…h. 197-198

19
pihak keluarga pengantin pria. Boyongan diadakan setelah acara
pernikahan11.

Adapun kaitannya dengan ajaran agama islam, makna dari pernikahan


secara adat jawa dan islam memiliki sebuah persamaan yaitu pernikahan yang
diharapkan mengandung sebuah doa dan restu bagi sang mempelai untuk hidup
secara Sakinah mawaddah warahmah. Masyarakat jawa mengekpresikan upacara
adat hanya untuk mengingat eksistensinya sebagai suku jawa dan ritual budaya dari
leluhur secara turun temurun . lalu dengan datangnya agama Islam yang rahmatan
lil‟aalamiin para walisongo menambahkan ritual tersebut dengan ajaran islam yang
dimaknai dengan filosofi kehidupan bagi pasangan yang akan menjalani kehidupan
baru, bertanggung jawab dalam keluarga, serta membimbing keluarganya kepada
nilai-nilai budaya dan agama. Selebihnya pada akad, didominasi oleh ritual agama
islam (ijab dan Kabul) yakni inti dari sebuah pernikahan. Mereka menggunakan
prosesi yang dimana sesuai agama yang kemudian dicatat oleh pemerintah sebagai
pengakuan sah dimata negara, masyarakat, dan keluarga serta bentuk perlindungan.
Jadi tidak ada pertentangan maupun penyelenehan dalam ajaran agama islam dari
perkawinan tersebut.

Demikian, itu semua adalah urutan budaya perkawinan yang berasal dari
daerah Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang dimana mereka masih
menjaga dan melestarikannya hingga saat ini, agar kebudayaan tersebut tidak
hilang begitu saja dan membuat generasi selanjutnya untuk menjaga akan
pentingnya acara sakral ini.

D. Dakwah Lewat Perekonomian

11
Pringgawidagda Suwarna, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya Yogyakarta…h.198

20
Pada awalnya dakwah melalui perekonomian atau perdagangan ini berasal
dari pedagang yang pada awalnya ingin berdagang hasil dagangannya yaitu
rempah-rempah, sutra, dan lain-lain ke Nusantara sambil membawa ajaran
agamanya yang dianutnya yakni ajaran Islam. Akan tetapi lebih besar pengaruhnya
Ketika Walisongo terutama sunan Gresik melakukan perdagangan disekitar
Pelabuhan yang berada di desa rumo karena di desa itu banyak sekali pendatang
yang berasal dari Persia. Serta, menjadi kepala bandar yang bertugas untuk
memantau pergerakan Pelabuhan yang kemudian suna Gresik dijuluki syekhbandar
oleh penduduk setempat. Setelah dar desa rumo, Sunan Gresik berpindah tempat ke
desa sawo yang berada di kota Gresik. Beliau diberikan sebidang tanah dipinggiran
kota oleh Raja Mahapahit. Dalam dakwahnya beliau juga mengarahkan kepada
penduduk dalam hal kehidupan seperti mengairi sawah dan ladang dari gunung.
Pada Suatu hari saat musim kemarau, air yang berasal dari gunung tidak
mengalir ke sawah maupun ladang, otomatis mengalami kekeringan sehingga para
padi dan tanaman lainnya gagal total untuk dipanen secara besar-besaran. Sunan
Gresik turun tangan setelah mengetahui berita tersebut. Dengan ilmunya, Sunan
Gresik mengajarkan kepada penduduk untuk sholat istisqo‟ yaitu sholat untuk
meminta hujan turun karena kekeringan melanda di wilayah tersebut. Dan sholat
yang dilakukan tersebut membuahkan hasil, selain padi dan tanaman lainnya mulai
membaik. Para penduduk lain yang mengetahui keajaiban tersebut juga mulai
perlahan masuk kedalam Islam. Sementara, pada Sunan Bonang beliau dianggap
memiliki kekuatan untuk mencari sumber air di tempat yang sulit juga, karena air
adalah salah satu kebutuhan pokok untuk manusia.
Pada Sunan Drajat dakwah melalui ekonomi ini dengan cara meningkatkan
etos kerja dan empati dalam kesenjangan sosial, pengentasan kemiskinan, gotong
royong, dan usaha dalam kemakmuran. Yang diharapkan oleh Sunan Gresik kita
harus berfastabiqul Khoirot yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan seperti harus
semangat dalam mencari rezeki yang halal agar Sebagian rezeki yang sudah kita
dapatkan sedikit demi sedikit bisa membantu perekonomian saudara seiman atau
saudara beda iman.

21
Adapun selain, 9 Sunan yang sudah disebutkan dalam hal perekonomian
terdapat Sunan Majagung yang menjabat sebagai nayaka (Menteri) dalam hal ini.
Beliau memperhatikan halal atau haramnya pemasokan makanan dan pengolahan
makanan secara efisien dalam perekonomian. Beliau juga berijtihad dalam alat-alat
pertanian, barang pecah belah, dan perabot dapur. Sementara, Sunan Kalijaga
menyumbangkan beberapa karya mengenai pertanian seperti filsafat bajak dan
cangkul. Yang diharapkanya adanya dua benda ini dapat memakmurkan rakyat
melalui penyempurnaan sarana dan prasarana sehingga dapat menarik perhatian dan
ketaatan dalam memenuhi dakwah WaliSongo serta Wali-Wali lainnya12.

12
Fantris Fitranda and Nahkar Saputra, ‘Penyebaran Islam Di Jawa Dalam Buku Atlas Relevansinya
Dengan Materi Ski Kelas Ix’, Penyebaran Islam Di Jawa Dalam Buku Atlas Relevansinya Dengan Materi
Ski Kelas Ix, 2019.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Usaha yang dilakukan Wali Songo dalam mengembangkan dakwah
Islam yang pertama adalah lewat jalur pendidikan, yaitu dengan mengambil-alih
lembaga pendidikan Syiwa-Buddha yang disebut asrama atau dukuh yang
kemudian dirubah sesuai ajaran Islam menjadi lembaga pendidikan pondok
pesantren. Kemudian yang kedua adalah lewat jalur seni dan budaya, yaitu
dengan mengambil-alih seni pertunjukan wayang yang dianggap sebagai seni
pertunjukan yang bersifat spiritual dengan sejumlah upacara ritual yang khas,
yang kemudian disesuaikan dan diselaraskan dengan ajaran Tauhid dalam Islam.
Lalu yang ketiga adalah lewat jalur perkawinan, yaitu dengan cara menikahi
anak raja atau bangsawan dengan maksud ingin menyebarkan agama islam
melalui perkawinan yang dimana secara garis keturunan menjadi sosok muslim
dan penerus generasi islam selanjutnya serta pengaruh Islam menjadi Lebih kuat
dari sebelumnya. Kemudian yang terakhir adalah lewat jalur perekonomian atau
perdagangan, yaitu para Wali Songo berdagang rempah rempah, sutra, dan lain-
lain ke Nusantara sambil membawa ajaran agama yang dianutnya yakni ajaran
islam.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah di atas masih memiliki kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, besar harapan penulis agar para
pembaca makalah memberikan kritik/ saran. Penulis pun akan melakukan
perbaikan terhadap makalah berdasarkan kritik dan saran membangun dari
pembaca serta berbagai sumber lainnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), 70-71
Achmad Syafrizal, „Islamuna: Jurnal Studi Islam‟, 2.2 (2015), 235-53
<http://www.ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/islamuna/article/vie
w/664/617>.
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo. (Tangerang Selatan, Pustaka IIMaN, 2017)

Fantris Fitranda and Nahkar Saputra, „Penyebaran Islam Di Jawa Dalam Buku Atlas
Relevansinya Dengan Materi Ski Kelas Ix‟, Penyebaran Islam Di Jawa Dalam
Buku Atlas Relevansinya Dengan Materi Ski Kelas Ix, 2019.

FATKHUR ROHMAN, „MAKNA FILOSOFI TRADISI UPACARA


PERKAWINAN ADAT JAWA KRATON SURAKARTA DAN
YOGYAKARTA (Studi Komparasi)‟, 2015
<https://doi.org/10.21831/ltr.v15i2.11823>.

Hamidin,Buru Pintar Perkawinan Nusantara,(Yogyakarta: DIVA Press,cet


1,2002),h.10-13
Hamidin, Buku Pintar Perkawinan Nusantara...h.28-30
Ibid, h. 41-42
Kusdar dkk, Pendidikan Agama Islam... h.124
Pringgawidagda Suwarna, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya
Yogyakarta…h. 190-195
Pringgawidagda Suwarna, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya
Yogyakarta…h. 197-198
Pringgawidagda Suwarna, Tata Upacara dan Wicara Pengantin Gaya
Yogyakarta…h.198
Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang,
2012), cet.1, h. 61-63

24

Anda mungkin juga menyukai