Anda di halaman 1dari 37

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA

MASA KEJAYAAN ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ilmu Pendidikan Islam

MAKALAH

Dosen Pengampu;

Dr.H. Muslim,M.Pd.

Oleh:

Dwi Nurjanah 2101010414

Apriansyah Putra 2101010376

INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEPTEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
inayahnya kepada penulis sehinnga penulis mampu menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen pembimbing dengan baik dan benar, dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, serta diberikan kemudahan dan kelancaran dalam
mengerjakan tugas tersebut.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita


Nabiyuna Wahabibuna Muhammad SAW. Semoga kita termasuk umatnya yang
diberi syafaat dan karomahnya di yaumul kiamat nanti, amin ya robbal alamin.

Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dengan judul “ Perkembangan Pendidikan
Agama Islam Pada Masa Kejayaan Islam ”.Serta menambah wawasan kami
sebagai mahasiswa dalam memahami mata kuliah Ilmu Pendidkan Islam.

Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah


serta bahasa yang digunakan, dan kami sangat mengharapkan kritik serta saran
dari para pembaca untuk bahan pertimbangan perbaikan makalah kami dan kami
ucapkan banyak terimakasih atas waktunya.

Kediri, September 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan masalah.........................................................................................2

C. Tujuan pembahasan.......................................................................................2

BAB II......................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................3

A. Masa Kejayaan islam....................................................................................3

a. Daulah Umayyah.......................................................................................4

b. Daulah Abbasiyah.....................................................................................5

B. Perkembangan Pendidikan Agama Islam Pada Masa Abbasiyah.................7

a. Kurikulum.................................................................................................8

b. Metode Pengajaran....................................................................................9

c. Murid.......................................................................................................10

d. Institusi Pendidikan.................................................................................11

e. Konsep Pendidikan Islam........................................................................12

C. Lembaga Pendidikan Islam.........................................................................13

a. Kuttab......................................................................................................14

b. Madrasah Menengah...............................................................................14

c. Pendidikan Tinggi (Madrasah Nizhamiyyah).........................................14

d. Perpustakaan dan Observatorium............................................................15

ii
D. Kontekstualisasi Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kini.......................15

a. Kurikulum...............................................................................................16

b. Metode Pengajaran..................................................................................17

c. Murid.......................................................................................................17

d. Institusi Pendidikan.................................................................................17

e. Konsep Pendidikan Islam........................................................................18

E. KLASIFIKASI ILMU MENURUT ULAMA MUSLIM...........................18

a. Jabir Ibnu Hayyan...................................................................................18

b. Al-Kindi...................................................................................................19

c. Al-Farabi.................................................................................................20

d. Ibnu Nadhim............................................................................................22

e. Al-Ghazali...............................................................................................23

f. Ibnu Khaldun...........................................................................................26

g. Klasifikasi Ilmu Keislaman Lainnya.......................................................28

BAB III..................................................................................................................30

PENUTUP..............................................................................................................30

A. KESIMPULAN...........................................................................................30

B. Saran............................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai agama besar yang telah berusia 15 abad lebih, Islam telah membuktikan
dirinya untuk survive sampai saat ini. Berbagai gejolak yang timbul dikarenakan
adanya ancaman dari internal dan eksternal Islam, menyebabkan agama ini harus
mampu membuktikan dirinya sebagai agama yang dipilih Allah sebagai agama
terakhir yang membawa misi rahmah li al-'âlamîn.

Islam semakin dapat membuktikan kedewasaannya dalam semua lini kehidupan.


Tidak hanya kematangan spiritual saja yang telah mereka capai, akan tetapi pilar-pilar
kehidupan juga mereka tancapkan di tengah kemajemukan masyarakat dunia.
Ditemukannya korelasi antara ilmu pengetahuan dan agama, kemajuan intelektual,
kematangan ekonomi, teknologi, tingginya nilai-nilai sosial dan budaya telah
membuktikan bahwa Islam masih pantas menjadi "kiblat' peradaban dunia, tidak saja
pada masa klasik, akan tetapi juga pada zaman modern.

Berbagai keunggulan yang dimiliki Islam tersebut, tentu saja juga melibatkan
peran pendidikan sebagai media pewarisan tradisi keilmuan. Pendidikan diposisikan
sebagai satu-satunya pintu bagi siapapun, termasuk penguasa, untuk tetap
melestarikan kebesaran agama agung ini. Peran penguasa sebagai pemegang
kebijakan politik, menjadi sangat berarti dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Para penguasa Islam dengan tegas menunjukkan keberpihakannya pada


pengembangan pendidikan Islam. mereka telah mencurahkan perhatian khusus bagi
pengembangan pendidikan Islam pada setiap masa kekuasaannya. Keberpihakan
tersebut diberikan semisal dalam pengalokasian anggaran secara khusus dalam
pengembangan pendidikan, seperti peningkatan kesejahteraan ulama (pendidik),
pembangunan observatori, pengembangan pusat penerjemahan dan pengembangan
perpustakaan. Tulisan singkat ini akan mencoba memotret relasi politik (kekuasaaan)

1
terhadap keberlangsungan pewarisan tradisi keilmuan (pendidikan) yang berlangsung
dalam dunia Islam.1

B. Rumusan masalah
Dari batasan masalah di atas ,maka masalah yang akan dibahas adalah sebagai
berikut:

1. Apa yang dimaksud masa kejayaan islam?


2. Bagaimana perkembangan pendidikan agama islam pada masa Abbasiyah?
3. Apa saja lemabaga pendidikan yang terdapat pada masa Abbasiyah?
4. Bagaimana implementasi sistem pendidikan islam pada masa daulah
abbasiyah dan pada masa sekarang?
5. Bagaimana klasifikasi pembagian ilmu menurut ulama muslim?

C. Tujuan pembahasan
1. Mengetahui sejarah pada masa kejayaan islam
2. Mengetahui perkembangan pendidikan agama islam pada masa kejayaan
3. Mengetahui sistem pendidikan islam pada masa kejayaan
4. Mengetahui implementasi sistem pendidikan islam pada masa daulah
abbasiyah dan pada masa sekarang
5. Mengetahui klasifikasi pembagian ilmu menurut ulama muslim

1
Mohammad Thoha, “Politik Pendidikan Islam (Potret Sejarah Periode Klasik Sampai Abad Pertengahan)”,
Jurnal Tadris, Vol 8, no 1 (2013).

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa Kejayaan islam


Pada masa kejayaannya islam berkembang pesat dan mencapai kesuksesan
dalam segala bidang. Bahkan, pada masa kejayaannya, islam mendapat julukan the
Golden Age of Islam atau masa keemasan kejayaan islam2

Masa ini dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan islam, yang di


tandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan islam dan
madrasah-madrasah (sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam
berbagai pusat kebudayaan islam. Lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan
universitas-universitas tersebut nampak sangat dominan pengaruhnya dam
membentuk pola kehidupan dan pola budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu
pengetahuan yang berkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan
pembentukan dan pengembangan berbagai macam aspek budaya kaum muslimin.

Kalau masa sebelumnya, pendidikan hanya sebagai jawaban terhadap tantangan


dari pola budaya yang telah berkembang dari bangsa-bangsa yang baru memeluk
agama islam,tetapi sekarang harus merupakan jawaban terhadap tantangan
perkembangan dan kemajuan kebudayaan islam sendiri yang sangat pesat.
Kebudayaan islam telah berkembang begitu cepatnya sehingga mengungguli dan
bahkan menjadi puncak budaya umat manusia pada zaman itu. Kebudayaan islam
pada zaman itu, bukan saja mendatangkan kesajahteraan bagi kaum muslimin saja,
tetapi juga mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia umumnya, mendatangkan
rahmatan lil’alamin. Dalam perkembangan kebudayaan islam, nampak adanya dua
faktor yang saling mempengaruhi, yaitu faktor intern atau pembawaan dari ajaran
islam itu sendiri, dan faktor ekstern, yaitu berupa rangsangan dan tantangan dari luar.3

2
Ma’sumatun Ni’mah, Masa Kejayaan Islam (Klaten: Cempaka Putih).
3
Arif Rahman, Sulton Firdaus, “Masa Kejayaan Islam Dan Tokoh-Tokohnya”.

3
Perkembangan islam pada masa kejayaan tidak terlepas dari jasa dua kerajaan
besar, yaitu Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Periode 650-1250 M
merupakan masa kejayaan Islam. Periode ini juga disebut periode klasik. Pada periode
ini lahir dua periode besar, yaitu Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Daulah
Umayyah berdiri setelah masa kekhalifahan. Daulah Umayyah didirikan oleh keluarga
Bani Umayyah. Daulah ini berkuasa selama dua periode dengan sistem monarki yang
berpusat di Damaskus dan Andalusia atau Spanyol. Adapun Daulah Abbasiyah berdiri
setelah Daulah Umayyah runtuh. 4

a. Daulah Umayyah
Daulah Umayyah berdiri pada tahun 661-750 M di Damaskus (Suriah).
Daulah ini didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, putra Abu Sufyan bin Harb
bin Umayyah. Muawiyah merupakan khalifah pertama dari Daulah Umayyah.
Muawiyah memiliki jasa sangat besar terhadap kemajuan Daulah Umayyah.
Pada masa kepemimpinan Muawiyah pusat pemerintahan Islam dipindahkan
dari Mekah ke Damaskus, Suriah. Daulah Umayyah bertahan di Damaskus lebih
kurang selama 90 tahun. Daulah Umayyah di Damaskus mencapai kejayaannya
pada masa khalifah keenam, yaitu di bawah kepemimpinan al-Walid I atau al-
Walid bin Abdul Malik. Salah satu bukti kejayaan Islam pada masa itu yaitu
luasnya wilayah kekuasaan Daulah Umayyah.
Pada masa pemerintahan Daulah Umayyah di Damaskus, wilayah Andalusia
(Spanyol) menjadi bagian wilayah kekuasaan Islam. Ketika itu Gubernur Graf
Julian meminta bantuan Khalifah al-Walid I untuk membebaskan negerinya dari
kepemimpinan Raja Roderick yang senang berbuat sewenang-wenang. Khalifah
al-Walid kemudian memerintahkan Musa bin Nusair yang menjabat sebagai
gubernur di Afrika Utara untuk melakukan penyerangan. Musa kemudian
mengutus Panglima Tariq bin Ziyad untuk memimpin pasukan. Saat hendak
berperang Tariq membakar kapal untuk menyalakan semangat pasukannya.
Pasukan Tariq pun berhasil mengalahkan kembali pasukan Raja Roderick. Berkat
keberhasilan tersebut, Tariq bin Ziyad diangkat menjadi gubernur di Andalusia.
Pada masa pemerintahan Marwan II (Daulah Umayyah) muncul gerakan-
gerakan anti pemerintah. Salah satu gerakan yang terkenal yaitu Abbasiyah.
Gerakan tersebut terus menentang peraturan pemerintah. Pada bulan Januari 750

4
Ma’sumatun Ni’mah, Masa Kejayaan Islam (Klaten: Cempaka Putih).

4
M Khalifah Marwan II mengirim pasukan untuk melawan serangan dari
Abbasiyah. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama pertempuran Zab Hulu
yang terjadi di anak Sungai Tigris, sebelah timur Mosul. Khalifah Marwan II dan
pasukannya mengalami kekalahan sehingga sejak saat itu pemerintahan Daulah
Umayyah mengalami keruntuhan.
Abdurrahman bin Hisyam bin Abdul Malik adalah satu-satunya keturunan
yang berhasil melarikan diri ke Afrika Utara dengan bantuan salah satu pengikut
setianya. Abdurrahman bin Hisyam bin Abdul Malik masuk ke Afrika Utara dan
menyeberang ke Andalusia (Spanyol) Di tempat itulah kemudian ia merintis
Daulah Umayyah baru yang berpusat di Cordoba, Andalusia. Kerajaan Islam ini
kemudian lebih dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Umayyah di
Andalusia (Spanyol). Pada masanya
Abdurrahman lebih dikenal dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil. Nama ad-
Dakhil menjadi gelar namanya karena ia menjadi pendatang baru di Andalusia.

b. Daulah Abbasiyah
Daulah Abbasiyah muncul setelah Daulah Umayyah di Damaskus runtuh.
Daulah Abbasiyah dipelopori oleh Abu Abbas as-Saffah, salah satu keturunan
Bani Abbas (paman Rasulullah saw). Sebelumnya Abbasiyah merupakan suatu
gerakan antipemerintah. Abbasiyah pertama kali dipimpin oleh Abdullah bin
Abbas. Setelah Abdullah wafat, perjuangan dilanjutkan oleh Muhammad.
Muhammad pun akhirnya wafat pada tahun 125 H/743 M. la digantikan oleh
anaknya, Ibrahim al-Imam. Setelah Ibrahim wafat, gerakan tersebut dipimpin oleh
saudaranya yang bernama Abu Abbas as-Saffah. Pada tahun 132 H/750 M Daulah
Abbasiyah resmi diterima umat Islam dan menggantikan Daulah Umayyah.
Sistem pemerintahan pada masa Daulah Abbasiyah berubah-ubah sesuai
perkembangan politik, sosial, budaya, dan kebijakan pemimpin Sistem
pemerintahan pada masa Daulah Abbasiyah dibagi menjadi lima periode, di
antara lima periode tersebut terdapat tiga suku yang paling lama memerintah
yaitu Bani Buwaihi, Bani Saljuk, dan Bani Abbas. Bani Abbas hanya berkuasa
lebih kurang selama 183 tahun. Sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah secara
global sebagai berikut.
1) Periode pertama

5
Periode pertama dimulai dari berdirinya pemerintahan Abbasiyah hingga
pemerintahan Khalifah al-Wasiq tepatnya pada tahun 132-232 H atau 750-
847 M. Pada periode ini dalam sistem pemerintahan terdapat pejabat
yudikatif, eksekutif, sekretaris negara, kepolisian negara, dan angkatan
bersenjata. Dalam lembaga eksekutif terdapat wazir atau hakim yang
memimpin departemen.
2) Periode kedua
Periode kedua dimulai ketika Khalifah al-Mu'tasim menjadi pemimpin
Abbasiyah hingga kepemimpinan Khalifah al-Muqtadir pada tahun 232-334
H atau 874-945 M. Pemerintahan pada periode ini fokus pada perbaikan
pertahanan dan kekuatan tentara.
3) Periode ketiga
Periode ketiga adalah masa kepemimpinan Bani Buwaihi 334447 H atau 945-
1055 M. Bani Buwaihi membagi kekuasaannya pada tiga bersaudara, yaitu
Ali yang memimpin wilayah utara, Hasan yang memimpin wilayah selatan,
dan Ahmad yang memimpin wilayah al Ahwaz, Wasit, dan Bagdad.
4) Periode keempat
Periode keempat dimulai pada masa Khalifah al-Muqtadi hingga Khalifah al-
Musta'sim 447-590 H atau 1055-1199 M. Pemerintahan Bani Abbasiyah
pada periode ini dikuasai oleh Bani Seljuk. Pusat pemerintahan dan kegiatan
keilmuan berada di Bagdad.
5) Periode kelima
Periode kelima adalah masa ketika Daulah Abbasiyah tidak dikuasai oleh
suku tertentu yaitu pada tahun 590-656 H atau 1199 M 1258 M. Daulah
Abbasiyah merdeka dengan pusat pemerintahan berada di Bagdad. Akan
tetapi, pada masa ini pemerintahan Daulah Abbasiyah mengalami
kemunduran karena wilayah kekuasaan yang semakin sempit dan lembaga
keamanan melemah.
Pada awal pemerintahannya, Daulah Abbasiyah mencapai kejayaan dan
kegemilangan. Kejayaan Daulah Abbasiyah dapat dilihat dari keadaan Kota
Bagdad yang ramai serta kemakmuran masyarakat yang semakin meningkat.
Daulah Abbasiyah mencapai kejayaan, terutama pada masa Khalifah Harun ar-
Rasyid dan putranya yang bernama al-Ma'mun. Pada masa pemerintahan kedua
khalifah tersebut kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,

6
kebudayaan, dan kesastraan berada pada masa keemasan. Pada masa inilah
pemerintah Islam menjadi negeri termakmur dan tidak tertandingi hingga dijuluki
The Golden Age.
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran tepatnya sejak masa kekhalifahan
al-Mu'tasim. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga Daulah Abbasiyah runtuh
Kemunduran Daulah Abbasiyah dipengaruhi beberapa faktor berikut.
1) Luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan.
2) Lambatnya komunikasi dalam kepemimpinan.
3) Ketergantungan pada militer yang sangat tinggi.
4) Krisis keuangan karena besarnya pembiayaan militer.
5) Munculnya beberapa pemberontakan seperti pemberontakan yang dilakukan
oleh Zanj dan Qaramitah.
6) Konflik aliran pemikiran Islam yang sering menimbulkan pertumpahan
darah..
7) Hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang berhasil
menguasai Kota Bagdad

B. Perkembangan Pendidikan Agama Islam Pada Masa Abbasiyah


Masa pemerintahan Daulah Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam
berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada zaman ini
umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan, sehingga
ilmu pengetahuan baik aqli (rasional) ataupun yang naqli mengalami kemajuan
dengan pesatnya.

Secara garis besar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai


puncak kejayaan pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Hal ini dapat dilihat dari
adanya gerakan penerjemahan buku dari berbagai bangsa dan bahasa. Sehingga
dengan gerakan penerjemahan buku tersebut, munculah para tokoh Islam sesuai
dengan keahliannya.

Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga
berkembang, meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmuilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu
Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain dan juga

7
berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah,
Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya.

Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu


pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang
pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang
sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang
memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya
(Saryadi Al-Faqier. Masa Bani Abbasiyah II (Masa Jaya/ Khalifah Harun Al- Rasyid).
Kemajuan-kemajuan tersebut karena didukung oleh banyak hal, diantaranya adalah
sistem pendidikan Islam. Beberapa komponen pendidikan yang mendukung kemajuan
dan kejayaan Daulah Abbasiyah yaitu: 5

a. Kurikulum
Kurikulum pada lembaga pendidikan Islam di masa Klasik pada mulanya
berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan
kultural, materi kurikulum semakin luas (Hanun Asrohah, 1999:73).
Perkembangan kehidupan intelektual dan kehidupan keagamaan dalam Islam
membawa situasi lain bagi kurikulum pendidikan Islam. Maka diajarkanlah ilmu-
ilmu baru seperti tafsir, hadits, fikih, tata bahasa, sastra, matematika, teologi,
filsafat, astronomi, dan kedokteran. Pada masa kejayaan Islam, dalam (Hanun
Asrohah, 1999:73) mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah
Al- Qur’an Dalam berbagai kasus ditambahkan nahwu, cerita, dan berenang.
Dalam kasus-kasus lain dikhususkan untuk membaca Al- Qur’an sebagian
prinsip-prinsip pokok agama. Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa,
kurikulum tingkat rendahnya sedikit berbeda yaitu ditegaskan pentingnya
pengajaran khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping
ilmu-ilmu pokok seperti Al- Qur’an.
Kurikulum pendidikan Islam pada masa Daulah Abbasiyah didominasi oleh
ilmu-ilmu agama khususnya Al- Qur’an pengajarannya. Selain Al- Qur’an, Hadits
juga merupakan mata pelajaran yang paling penting karena merupakan sumber
agama kedua setelah Al- Qur’an. Mempelajari hadits banyak diminati oleh para
penuntut ilmu, terbukti dengan banyaknya kelas-kelas hadits.

5
Achmad Lazim, “Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan)”, Jurnal Tabyin, Vol 02, no 2 (2020).

8
Selain hadits, ilmu tafsir juga menjadi salah satu materi kurikulum
pendidikan Islam yang sangat penting pada masa itu, meskipun secara umum para
sahabat melarang untuk menafsirkan Al- Qur’an Ilmu tafsir menjadi sangat
penting karena sangat diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-
orang murtad. Sedangkan materi kurikulum yang paling populer dan diminati
oleh pelajar yaitu ilmu fikih. Mereka tertarik dengan ilmu fikih karena ingin
mendapat jabatan-jabatan di pengadilan atau melihat besarnya penghasilan ahli-
ahli fikih. Sehingga mereka harus mendalami ilmu fikih. Selain ketiga ilmu di
atas, ada ilmu kalam, ilmu seni dakwah, dan filsafat yang juga merupakan materi
kurikulum yang penting. Ilmu-ilmu tersebut menjadikan daulah Abbasiyah
menjadi terkenal dan mencapai puncak kejayaannya karena didukung oleh
penguasa yang cinta akan ilmu pengetahuan.

b. Metode Pengajaran
Metode pengajaran, terjadi proses internalisasi dan pemilikan ilmu, pelajar
akan dengan mudah menyerap ilmu yang disampaikan guru-gurunya. Menurut
Rahmawati (2005:73). Pada masa Abbasiyah, pengajaran yang diberikan kepada
murid-murid dilakukan seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti
sekarang. Jadi guru harus mengajar muridnya dengan berganti-ganti. Mereka
belajar dengan duduk bersila mengelilingi gurunya atau yang disebut berhalaqah.
Cara halaqah ini merupakan metode mengajar yang dipakai di lembaga
pendidikan tingkat tinggi. Sedangkan menurut Hanun Asrohah, (1999:77) metode
pengajaran pada masa Daulah Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam, yaitu lisan, hafalan, dan tulisan.
 Metode lisan bisa berupa dikte, ceramah, qiro’ah, dan diskusi. Dikte (imla’)
adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan
aman karena pelajar mempunyai catatan. Metode ini dianggap penting karena
pada masa itu, bukubuku cetak sangat sulit dimiliki. Metode ceramah juga
disebut al- sama’ sebab dalam metode ini guru menjelaskan sedangkan siswa
mendengarkannya.
 Metode hafalan dipakai pada masa lalu juga sangat khas dan merupakan ciri
umum pendidikan masa kini.
 metode tulisan dianggap sebagai metode yang paling penting dalam proses
belajar mengajar pada masa itu karena merupakan metode peniruan karya-

9
karya ulama. Dalam Rahmawaty (2005:18) yang dikutip dari Charles
Michael Stanton menjelaskan bahwa sebelum guru menyampaikan materi, ia
terlebih dahulu menyusun ta’liqoh yang memuat silabus dan uraian yang
disusun oleh masingmasing tenaga pengajar atau guru berdasarkan catatan
perkuliahannya, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang
bersangkutan. Ta’liqoh memuat rincian jumlah pelajaran dan dapat
disampaikan dalam jangka waktu 4 tahun.

c. Murid
Komponen yang mendukung kemajuan sistem pendidikan Islam pada masa
Abbasiyah yaitu kehidupan muridnya. Menurut Rahmawaty(2005:80) ciri utama
kehidupan murid pada sekolah dasar masa itu bahwa ia diharuskan belajar
membaca dan menulis bahan pengajaran yang berupa syair. Mereka tidak hanya
belajar membaca saja, melainkan juga menghafalkan Al-Qur’an Murid-murid
yang berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an lebih cepat akan diberi keistimewaan
dengan diperbolehkan libur. Mereka yang berhasil lulus dengan hasil gemilang
akan dikirab dengan naik unta dan di sepanjang jalan mereka dilempari buah
almond. Belajar di tingkat dasar tidak ditentukan lamanya, melainkan tergantung
dari kemampuan anak. Murid yang cerdas otaknya akan cepat selesai, sedang
murid yang kurang mampu akan lambat dan lama belajarnya.
Hubungan antara guru dan murid seperti anak dan orang tuanya. Apabila
anak berbuat salah, maka guru akan menegur dan mengarahkan dengan lemah
lembut serta keras apabila sudah tidak bisa menguasai keadaan. Guru juga
mengarahkan pelajaran lanjutan yang harus ditempuh sesuai dengan bakat,
kemampuan, dan kecerdasan anak. Contoh apabila siswa kuat hafalannya, maka
ia akan disarankan untuk mempelajari hadits. Karena itu bisa saja seorang murid
langsung masuk ke pendidikan tingkat tinggi tanpa harus menempuh pendidikan
lanjutan, atau menyelesaikan pendidikan dasar terlebih dahulu. Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa waktu belajar yang ditempuh oleh seorang murid tidak sama
atau seragam.
Menurut Muniruddin dalam Denden (2005:60), bahwa ciri khas sistem
pendidikan Islam di masa Klasik antara lain :
 Pelajar diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa saja dan kapan saja ia
menyelesaikan pelajarannya,

10
 Kualitas suatu pendidikan bergantung kepada guru, bukan kepada lembaga
atau Teacher oriented, bukan institution oriented. Senada hal itu. Deden
Makbuloh mengatakan bahwa pelajar itu tidak memilih sekolah yang baik
melainkan memilih guru (syekh) yang termasyhur kealiman dan
kesalehannya. Murid bebas memilih guru. Kalau pengajaran guru tidak
memuaskan baginya, boleh pindah ke guru yang lain, dan
 Sistem rihlah ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk
mencari ilmu. Cara seperti ini menjadi ciri yang paling menarik dalam
pendidikan Islam di masa klasik karena yang mengadakan perjalanan ilmiah
tidak hanya pelajar, namun juga gurunya. Mereka berpindahpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain untuk mengajar sekaligus belajar, sehingga
system rihlah ilmiyah ini disebut dengan learning society (masyarakat
belajar).
Sistem perjalanan ilmiah ini menurut Hanun Asrohah mempunyai pengaruh
yang sangat besar bagi umat Islam. Karena akan terjadi jalinan budaya antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Kebebasan perjalanan ke berbagai
daerah Islam menyebabkan pertukaran pemikiran yang terus berlangsung antar
masyarakat Islam yang disebut Proses cultur contact. Hal ini menyebabkan
dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang.
Dari ciri-ciri sistem pendidikan Islam pada masa daulah Abbasiyah ini dapat
disimpulkan bahwa kehidupan murid ditandai dengan integrasi ilmiah dan
rohaniah. Kemajuan intelektual yang ada didukung dengan ketekunan, sikap
kritis, kreatif dan imajinatif. Adapun kepopuleran seorang guru atau syekh
(seorang tokoh) karena karya-karyanya yang nyata, jasa, dan dukungan para
murid yang mencintai karya-karya gurunya.

d. Institusi Pendidikan
Dalam Hanun (1999:46), institusi pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun dari
daulah Abbasiyah ini termasuk dalam kategori lembaga pendidikan Islam Klasik.
George Maksidi membagi institusi pendidikan Islam Klasik berdasarkan kriteria
materi pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Islam menjadi dua tipe
pendidikan, yaitu : tipe institusi pendidikan inklusif (terbuka) terhadap
pengetahuan umum dan institusi pendidikan eksklusif (tertutup) terhadap
pengetahuan umum. Sedang Institusi pendidikan Islam klasik menurut Charles

11
Michaeldalam Muhtifah (2005:27) bahwa berdasarkan kriteria hubungan institusi
pendidikan dengan negara yang berbentuk teokrasi, ada dua macam, yaitu :
Institusi pendidikan Islam formal dn institusi pendidikan Islam informal (Lailial
Muhtifah, Konsep Dasar Pendidikan Multikultural Di Institut Pendidikan Islam
Zaman Al-Ma’mun (813-833 M), Sejarah Sosial Pendidikan Islam). Berdasarkan
penggolongan tersebut, institusi pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
 Maktab/kuttab adalah institusi pendidikan dasar. Mata pelajaran yang
diajarkan adalah khat,kaligrafi, Al-Qur’an dan syair,
 Halaqah, artinya lingkaran. Halaqah merupakan institusi pendidikan Islam
setingkat denganpendidikan tingkat lanjutan atau college. Mata pelajaran
yang diajarkan adalah ceramah guru tentang suatu karya pemikiran seorang
tokoh, dengan cara membacakan, menerangkan, atau menyampaikan
komentar orang lainterhadap suatu karya pemikiran.
 Majlis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk kegiatan
transmisikeilmuan dariberbagai disiplin ilmu,
Toko buku dan perpustakaan berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan
Islam.Di Baghdad terdapat 100 toko buku. Sedangkan perpustakaan yang ada
pada masa itu yaitu perpustakaan umumdan perpustakaan pribadi.

e. Konsep Pendidikan Islam


Konsep pendidikan yang ditemukan pada masa Daulah Abbasiyah khususnya
pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun, yaitu konsep dasar pendidikan
multikultural.Penerapan konsep ini di institusi Bayt al-Hikamah dengan institusi
lain berbeda. Adapun penerapan konsep dasar pendidikan multikultural di Bayt
al-Hikmah bersifat eksternal dan umum, yaitu semua orang bebas berekspresi,
terbuka, toleransi dan kesetaraan dalam mencari ilmu, menerjemahkan,
beribadah, bekerja, dan melakukan segala kegiatan yang bermanfaat.Sedangkan
menurut Lailian (2005: 30-31), penerapan konsep ini selain di Bayt al-Hikmah
lebih bersifat internal dan khusus yang lebih menekankan pada aspek keragaman
dan kesederajatan peserta didik dalam proses pembelajaran.Adapun gambaran
adanya konsep dasar pendidikan multikultural di institusi selain Bayt al-Hikmah
sebagai berikut: (a) Nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan. Murid mempunyai
kebebasan memilihmateri pelajaran, guru, dan membentuk halaqah-halaqah, (b)

12
Nilai-nilai keadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan kelompok minoritas
tampak pada proses rekrutmen murid. Murid-murid yang tidak mampu atau
yatim, diberi kesempatan untuk menuntut ilmu.Mereka digaji setiap bulan,
diberikan keperluan alat tulis belajar dan mendapat fasilitas yang luar biasa dari
lembaga wakaf, (c) Nilai-nilai keadlilan dan hubungan yang harmonis tergambar
dalam hubungan antara guru dan murid. Guru memberikan perhatian dan
perlakuan yang sama kepada semua murid.Konseppendidikan multikultural dalam
Lilian 2005: 31) ini ternyata membawa pengaruh yang sangat besar dalam
kemajuanperadaban bangsa antara lain seperti: (1) terjalinnya asimilasi antara
bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan di bidangilmu pengetahuan dan teknologi, (2) gerakan terjemah
yang dikelola dalam suasana keberagaman, kesederajatan, perbedaan-perbedaan
kebudayaan toleransi terhadap semua kelompok dan agama khususnya Kristen
membawa pengaruh pada kemajuan

C. Lembaga Pendidikan Islam


Masa kejayaan pendidikan Islam merupakan satu periode dimana pendidikan
Islam berkembang pesat yang ditandai dengan berkembangnya lembaga pendidikan
Islam dan madrasah (sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam
berbagai pusat kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan sangat dominan
pengaruhnya dalam membentuk pola kehidupan dan pola budaya umat Islam.
berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang melalui lembaga pendidikan itu
menghasilkan pembentukan dan pengembangan berbagai macam aspek budaya umat
Islam. Pada masa kejayaan ini, pendidikan Islam merupakan jawaban terhadap
tantangan perkembangan dan kemajuan kebudayaan Islam. kebudayaan Islam telah
berkembang dengan cepat sehingga mengungguli dan bahkan menjadi puncak budaya
umat manusia pada masa itu.6

Pada masa keemasan Islam (Daulah Abasiyah) segenap aspek kehidupan


mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Bidang pendidikan
adalah salah satunya. Bidang pendidikan mengalami kemajuan melalui lembaga-
lembaga pendidikan yang berkembang pada saat itu. Islam mentransmisikan
ajarannya dengan baik lewat lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan
6
Arif Rahman, Sulton Firdaus, “Masa Kejayaan Islam Dan Tokoh-Tokohnya”.

13
mumpuni di bidangnya. Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada
zaman keemasan Islam (Daulah Abbasiyah) yaitu sebagai berikut:7

a. Kuttab
Kuttab ialah lembaga pendidikan tingkat dasar nonformal yang terintegrasi
dengan masjid atau memfungsikan masjid sebagai madrasah. Materi yang
diajarkan kepada para murid berupa baca tulis al Qur’an, tata bahasa arab, kisah
para nabi dan juga sastra. Pada masa ini, fungsi masjid tidak hanya sebagai
tempat ibadah, melainkan juga sebagai pusat transmisi ilmu pengetahuan
(sains).20 Melalui lembaga ini, para murid diharapkan memiliki kepandaian
dalam bidang al-Quran, tata bahasa Arab, sastra serta mampu mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari dan mempersiapkan dirinya ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.

b. Madrasah Menengah
Madrasah Menengah pada masa kepemimpinan Daulah Abbasiyah
merupakan lembaga pendidikan lanjutan dari pendidikan jenjang tingkat dasar.
Materi yang diajarkan pada tingkat ini berbeda dengan jenjang pendidikan dasar.
Materi yang diajarkan pada tingkat menengah (madrasah) berupa al-Qur’an,
bahasa Arab dan sastra, tafsir, Fiqih, hadist dan ilmu tata bahasa.21 Materi yang
diajarkan pada tingkat ini merupakan kelanjutan dari jenjang sebelumnya.
Artinya, ada kesinambungan materi pendidikan dari berbagai jenjang untuk
mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Tujuan pendidikannya yaitu
terciptanya insan yang beriman, bertakwa, berwawasan luas serta memiliki
akhlak yang mulia.

c. Pendidikan Tinggi (Madrasah Nizhamiyyah)


Madrasah Nizhamiyah merupakan sebuah prototype dalam lembaga
pendidikan tinggi Islam, tonggak baru bagi penyelenggaraan pendidikan Islam
serta memiliki karakteristik tradisi pendidikan Islam formal dengan sistem
asrama. Materi yang diajarkan pada jenjang pendidikan tinggi meliputi ilmu-ilmu
agama (al Qur’an, hadist, tafsir), filsafat, bahasa, sastra dan lain sebagainya. Para
pencari ilmu mempelajari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan (sains)
tersebut berdasarkan peminatan yang dipilihnya. Materi keagamaan dijadikan
7
Tri Wibowo, “Dinamika Sains dalam Islam pada Masa Keemasan (Daulah Abbasiyah): Kontribusi &
Rekonstruksi dalam Perkembangan Keilmuan Kekinian”, Jurnal Tsaqofah & Tarikh, Vol 6, no 1 (2021).

14
dasar dan pokok dalam kegiatan pembelajaran di lembaga pendidikan ini. Maka
tidak heran jika pada masa ini, banyak melahirkan ilmuwan yang tidak hanya
pandai dalam ilmu agama, namun juga menguasai ilmu-ilmu umum (natural
science dan social science) yang memiliki kontribusi besar bagi perkembangan
dan kemajuan pada masa keemasan Islam (Daulah Abbasiyah).

d. Perpustakaan dan Observatorium


Perpustakaan dan observatorium digunakan sebagai tempat riset dan pusat
kajian ilmiah mengenai ilmu keagamaan, kealaman, social kemasyarakatan dan
kebudayaan. Tempat-tempat tersebut digunakan juga sebagai tempat kegiatan
pembelajaran bagi para pencari ilmu dari segenap penjuru negeri. Kegiatan
pembelajaran dilakukan melalui metode diskusi, membaca referensi dan
bekerjasama dalam mendapatkan segenap ilmu pengetahuan pada berbagai
bidang. Pada zaman ini, di setiap sudut yang berisi perkumpulan orang biasanya
membahas mengenai ilmu. Tiada hari tanpa bertambahnya ilmu dan kemanfaatan
bagi diri dan masyarakatnya. Maka tidak heran jika masyarakat dan penguasa
masa Daulah Abbasiyah dikenal juga sebagai bangsa yang cinta dan
mengagungkan ilmu pengetahuan

D. Kontekstualisasi Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kini8


Pendidikan mempunyai peran dalam tugas menyiapkan sumber daya manusia
untuk pembangunan. Sedangkan di Indonesia pendidikan Islam sering menghadapi
problematika yang tidak ringan terutama masalah akhlak, sehingga diperlukan
kesungguhan dan ketekunan serta tekad yang kuat untuk mengatasinya secara
bersama-sama.

Dari pembahasan tentang sistem pendidikan Islam pada masa daulah Abbasiyah,
maka dapat diambil pengertian bahwa dalam Islam tidak ada sistempendidikan yang
baku, melainkan hanya terdapat nilai-nilai moral dan etis ajaran Islam. Hal inilah yang
membedakan sekaligus sebagai ciri khas sistem pendidikan Islam dengan pendidikan
yang tidak Islam.Hal ini pula salah satu dari perbedaan sistem pendidikan Islam masa
daulah Abbasiyah dan masa sekarang.

8
Sri Wahyuningsih, “Implementasi Sistem Pendidikan Islampada Masa Daulah Abbasiyah Dan Pada Masa
Sekarang” Jurnal Kependidikan, Vol 2, no 2 (2014).

15
Karena itulah perlunya kontekstualisasi sistem pendidikan Islam masa daulah
Abbasiyah pada masa kini, yaitu menghubungkan sistem pendidikan Islam masa
daulah Abbasiyah dengan situasi dunia nyata sekarang agar dapat dianalisa kelebihan
dan kekurangan dari sistem tersebut untuk kemudian dicari sistem yang lebih baik lagi
yang disesuaikan dengan kenyataan saat ini untuk diterapkan pada pendidikan
sekarang dalam rangka mengatasi problematika pendidikan Islam.

Pada kenyataannya sekarang ini nilai-nilai moral dan etis ajaran Islam sudah
mulai terkikis dengan budaya-budaya kafir dari negara barat.Umat Islam sendiri
kebanyakan lebih cenderung meniru budaya barat dari pada mengamalkan dan
mengembangkan ajaran Islam.Hal inilah yang menyebabkan munculnya berbagai
problematika yang dihadapi oleh pendidikan Islam yang terkait dengan ilmu, amal
dan akhlak umatnya.

Adapun kontekstualisasi sistem pendidikan Islam masa daulah Abbasiyah pada


masa kini antara lain sebagai berikut :

a. Kurikulum
Menurut Ahmad Tafsir, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang
harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih luas lagi kurikulum bukan hanya
sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses
pendidikan di sekolah(Ahmad Tafsir,Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
(Bandung : Rosdakarya, 1992), hal. 53). Kurikulum pada lembaga pendidikan
Islam di masa daulah Abbasiyah padamulanya berkisar pada bidang studi
tertentu, kemudian materi kurikulum semakin luas dan berkembang seiring
dengan perkembangan sosial dan budaya. Karena perkembangan tersebut, maka
pada masa sekarang siswa diwajibkan mengikuti dan mempelajari serangkaian
kegiatan sekolah yang dapat memberikan pengalaman belajar.

Kurikulum pendidikan Islam pada masa Daulah Abbasiyah didominasi oleh


ilmu-ilmu agama khususnya Al-Qur’an sebagai fokus pengajarannya, begitu juga
dengan masa sekarang, akan tetapi, sekarang ini setiap materi atau ilmu-ilmu
agama itu saling terkait dan saling mendukung kelulusan siswa. Artinya setelah
melalui proses perkembangan, kurikulum pendidikan Islam sekarang
sesungguhnya lebih rinci dan lengkap dibandingkan dengan kurikulum pada masa
daulah Abbasiyah. Akan tetapi ternyata dijumpai banyak kendala dalam

16
penerapan kurikulum saat ini, diantaranya kurangnya profesionalisme dan
kompetensi guru serta kurang maksimal dalam pelaksanaan kurikulum tersebut.

b. Metode Pengajaran
Pada masa Abbasiyah, pengajaran yang diberikan kepada murid-murid
dilakukan seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti
sekarang.Sedangkan metode yang dipakai dalam pengajaranpun tidak hanya tiga
metode, melainkan banyak. Antara lain : metode bermain peran, rekreasi,
tanyajawab, diskusi dan lain-lain.

c. Murid
Kondisi siswa/murid pada masa Abbasiyah dan sekarang antara lain :

 Pada masa Abbasiyah, pelajar diberi kebebasan untuk belajar kepada siapa
saja dan kapan saja ia menyelesaikan pelajarannya.Sedang pada masa
sekarang, pelajar memang bebas belajar kepada siapa saja, tetapi tetap
mengikuti aturan dan jenjang pendidikan yang ditempuhnya dengan guru
yang ada dan sudah ditentukan oleh di lembaga pendidikan tersebut. Begitu
juga dengan jangka waktu menyelesaikan pelajarannya sekarang dibatasi
dengan waktu. Hal inilah yang menyebabkan seorang murid belum tentu
mendapat pendidikan yang maksimal dari guru yang betul-betul kompeten
atau mampu di bidangnya. Karena murid tidak bisa memilih guru, dan waktu
belajarnya dibatasi, sehingga penyerapan ilmunya tidak matang.
 Kualitas suatu pendidikan bergantung kepada guru, bukan kepada lembaga
atauTeacher oriented, bukan institution oriented. Kalau sekarang adalah
institution oriented.Karena suatu lembaga yang baik, pastilah akan didukung
oleh manajemen, kurikulum, tenaga pendidik, sarana prasarana pendidikan
yang baik pula.
 Pada masa sekarang tidak ada sistem rihlah ilmiyah.

d. Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan yang ada pada masa daulah Abbasiyah masih berupa
kelompok-kelompok yang bertempat dimana saja untuk bisa belajar, sedangkan
institusi pendidikan masa sekarang sudah berupa suatu bangunan tempat

17
berlangsungnya suatu proses belajar mengajar yang disebut madrasah, pondok
pesantren, majlis taklim, majlis dakwah, dan perpustakaan.

e. Konsep Pendidikan Islam


Konsep pendidikan yang ditemukan pada masa daulah Abbasiyah khususnya
pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun, yaitu konsep dasar pendidikan
multiculturalyaitu semua orang bebas berekspresi, terbuka, toleransi dan
kesetaraan dalam mencari ilmu, menerjemahkan, beribadah, bekerja, dan
melakukan segala kegiatan yang bermanfaat. Pada masa sekarangpun sama.

E. KLASIFIKASI ILMU MENURUT ULAMA MUSLIM 9

a. Jabir Ibnu Hayyan


Pemilik nama lengkap Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan ini lebih dikenal dengan
nama Geber di dunia Barat (NN, 2012). Ia dilahirkan di Kuffah, Irak pada tahun
750 M (sampai 803 M). Jabir dikenal sebagai ahli kimia yang ia dapat setelah
berguru kepada Barmaki Vizier pada masa pemerintahan Harun ar Rasyid di
Baghdad. Di Baghdad ia mengembangkan teknik eksperimentasi sistematis di
dalam penelitian kimia, sehingga setiap eksperimen dapat direproduksi kembali.
Pada bidang ini, dialah penemu Hukum Perbandingan Tetap. Selain itu, dia juga
berkontsribusi dalam penyempurnaan proses kristalisasi, distilasi, kalsinasi,
sublimasi dan penguapan serta pengembangan instrumen untuk melakukan
proses-proses tersebut.

Sebagai ahli kimia, Jabir telah menelurkan banyak karya. Bahkan, diantara
beberapa karyanya tersebut ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Beberapa karya Jabir yang tercatat antara lain:

 Kitab Al-Kimya (diterjemahkan ke Inggris menjadi The Book of the


Composition of Al-chemy)
 Kitab Al-Sab’een
 Kitab Al Rahmah
 Al Tajm
 Al Zilaq al Sharqi

9
Fiqru Mafar, “Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman Abad Pertengahan”, Jurnal Perpustakaan Unilak, Vol 3,
no 1 (2012).

18
 Book of The Kingdom
 Book of Eastern Mercury
 Book of Balance (NN, 2012).
Jabir Ibnu Hayyan merupakan ulama pertama yang melakukan klasifi kasi
ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Namun, sampai saat ini, menurutnya,
klasifi kasi tersebut tidak tercatat. Hal ini menyebabkan klasifi kasi ilmu
pengetahuan menurut Jabir tidak dapat diketahui oleh generasi berikutnya (Ulyan,
1999). Dari hasil penelusuran penulis, diperoleh informasi bahwa Jabir Ibnu
Hayyan membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian, yaitu ilmu Agama dan
ilmu Dunia (Mujahid, 2010). Ilmu Agama terdiri dari ilmu Syar’iyyan dan ilmu
‘aqliyan. Selanjutnya, ilmu ‘aqliyan dibagi lagi menjadi ilmu hurûf dan ilmu
ma’ani. Selanjutnya ilmu huruf dibagi lagi menjadi ilmu Thabi’i dan ilmu
Ruhani. Ilmu Thabi’i dibagi menjadi empat bagian, yaitu Panas, Dingin, Kering
dan Lembab. Ilmu yang bersifat Ruhani dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu
ilmu Nûrâni dan Zhulmânîy. Sementara itu, ilmu Maânî dibagi juga menjadi 2
bagian yaitu ilmu yang bersifat Falsafi yan dan ilmu Ilâhiyan. Sedangkan ilmu
Syar’iyyan terbagi menjadi ilmu-ilmu yang Zâahiran dan Bâthinan. Sementara
itu, ilmu Dunia juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ilmu Syarifan dan
Wadh’iyan (buatan).

b. Al-Kindi
Abu Yusuf Ya’qab ibn Ishaq al-Kindi merupakan fi lusuf muslim yang hidup
pada 252-260 H/866-873 M (Esposito, 2012). Ia dilahirkan di Irak dari suku
Kindah. Al-Kindi banyak menghabiskan hidupnya di Basrah, namun meninggal
di Baghdad. Sebagai fi lusuf kenamaan, dia banyak menulis karya dalam berbagai
bidang, seperti geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik (yang di
bangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fi sika, medis, psikologi, meteorologi,
dan politik. Pemikiran Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh pemikiran fi lusuf
Yunani seperti Plato dan Aristoteles.

Prestasi terbesar Al-Kindi adalah mendorong penerjemahan teks Yunani.


Selain itu, dia berusaha untuk membudidayakan fi lsafat agar bisa berkembang
dalam masyarakat Islam sehingga dikenal sebagai Bapak Filusuf Islam. Hal ini
sebagaimana pernah ia ungkapkan dalam karya Fi mahiya al-Naum wa al-ru’ya.

19
Dalam karya tersebut, dia mengungkapkan bahwa mimpi jembatan antara
spiritual dan fi sik dunia.

Karya Al-Kindi terbagi ke dalam beberapa bidang, antara lain fi lsafat,


logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika,
psikologi, politik dan meteorologi. Namun sayang, begitu dia wafat, karya-
karyanya banyak yang hilang. Para sejarawan berpendapat bahwa salah satu
penyebab hilangnya karya-karya fi lusuf kenamaan tersebut adalah hancurnya
kota Baghdad akibat serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Beberapa karya Al-Kindi antara lain:

 Fi mahiya al-Naum wa al-ru’ya


 Fi Istikhraj al-Mu’amma
 al-Falsafah al-Ulā fī mā dūna ath-Thabi’iyyah wa at-Tawhīd
 Tanjim Ikhtiya-rat al-Ayyam
 Ilahyat-e-Aristu
 al-Mosiqa
 Mad-o-Jazr
 Aduiyah Murakkaba
 Al-Kubra fi al-Ta’lif (Kartanegara, 2009).
Dalam klasifikasi ilmu pengetahuan, Al-Kindi membagi ilmu pengetahuan ke
dalam dua kelompok besar, yaitu ilmu agama dan ilmu dunia. Selanjutnya, Al-
Kindi berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tersebut terbagi lagi menjadi tiga
golongan yaitu ilmu teori, ilmu praktis, dan ilmu produksi. Pemikiran Al-Kindi
tentang ilmu pengetahuan ini banyak dipengaruhi oleh fi lsafat Yunani,
Aristoteles (Ulyan, 1999).

c. Al-Farabi
Sebagai seorang filusuf muslim, Al-Farabi dikenal sebagai penerus teori-teori
yang dikeluarkan oleh Al-Kindi. Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad
al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun
870 M. Ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Nasr. Ayahnya adalah Muhammad
Auzlagh merupakan seorang panglima perang Persia yang menetap di Damsyik.
Sedangkan ibunya berasal dari Turki (Nurisman, 2004).

20
Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fi kh,
hadis, dan tafsir al-Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Pada tahap selanjutnya, Al-Farabi melanjutkan pendidikannya di Baghdad dan
bertemu dengan para fi lusuf dan penerjemah. Dari sinilah dia mulai tertarik pada
logika dan kemudian belajar kepada Abu Bisyr Matta Ibnu Yunus.

Pada tahun-tahun berikutnya dia menjalani kehidupannya di Damaskus


sebagai Ulama Istana. Namun, bukan di tengah kota tempat yang ia sukai. Sebuah
kebun yang terletak di pinggiran kota adalah tempat yang paling ia sukai. Di
tempat inilah kemudian Al-Farabi banyak menghasilkan karya-karya terutama
tentang fi lsafat. Banyaknya karya tentang penyelidikan fi lsafat secara
mendalam, terutama tentag fi lsafat Plato dan Aristoteles, Al-Farabi juga dikenal
dengan sebutan Mu’alim Tsani (Guru Kedua). Dimana Guru Pertama adalah
Aristoteles.

Al-Farabi telah banyak menulis berbagai karya tulis, terutama di bidang


logika. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:

 Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah


 Ihsha’ al-Ulum
 Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
 Kitab Tahshil al-Sa’adah
 ‘U’yun al-Masa’il
 Risalah fi al-Aql
 Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Afl atun wa Aristhu
 Risalah fi Masail Mutafariqah
 Al-Ta’liqat
 Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat (Nurisman, 2004)
Dalam dua karyanya (Tanbih ‘ala Sa’adah dan Ihsa’ al-‘Ulum) Al-Farabi
membagi ilmu pengetahuan ke dalam lima kelompok besar (Ulyan, 1999). Dalam
literatur lain, disebutkan bahwa Al-Farabi telah membagi ilmu pengetahuan ke
dalam tujuh kelompok besar, yaitu logika, percakapan, matematika, fi sika, metafi
sika, politik, dan ilmu fi qih (hukum) (NN, 2012).

21
Ilmu logika dibagi ke dalam delapan bagian, diawali dengan kategori dan
diakhiri dengan syair. Ilmu percakapan dibagi lagi ke dalam tujuh bagian, seperti
bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu
percakapan terdiri dari ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang
benar, aturan membaca dengan benar, dan aturan mengenai syair yang baik.
Matematika dibagi dalam tujuh bagian.

Fisika (ilmu kealaman) dibagi menjadi delapan bagian. Metafi sika dibagi
dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan
bahasan kedua mengenai fi lsafat ilmu. Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu
sipil dan menjurus pada etika dan politika. Ilmu agama dibagi dalam ilmu fi qih
dan imu ketuhanan/kalam (teologi).

d. Ibnu Nadhim
Ibnu Nadhim Muhammad Ibnu Ishaq an-Nadhim berasal dari Baghdad, Iraq
(STMIK AMIKOM, 2007). Kecintaannya terhadap buku mungkin menurun dari
jejak sang ayah yang juga ahli bibliografi . Kata “Al-Nadhim” merupakan gelar
yang melekat pada dirinya yang berarti “sahabat orang-orang terkemuka”.

Dalam masa belajaranya, Ibnu Nadhim telah berguru kepada para ulama
terkemuka seperti Al-Sirafi , Al-Munajin, Abu Sulayman al-Mantiqi, dan lain-
lain. Dia juga hidup di lingkungan Bani al-Jarrah yang mendapatkan banyak
pengetahuan tentang berbagai macam ilmu pengetahuan seperti ilmu logika dan
ilmu pengetahuan umum baik yang berasal dari Yunani, Persia, juga India. Hal
inilah yang membuatnya tertarik terhadap berbagai ilmu pengetahuan. Ia juga
dikenal sebagai penjual buku. Ibnu Nadhim wafat pada tahun 385 H/995 M.
Sebagai seorang ilmuwan, Ibnu Nadhim lebih dikenal sebagai seorang
bibliografer.

Tidak dapat dipungkiri, keterkenalan Ibnu Nadhim tidak akan terlepas dari
kitab Fihrist. Kitab yang juga dikenal dengan nama Index of Nadhim ini berisi
bibliografi karya bangsa Arab maupun bangsa non Arab yang ditulis dalam
bahasa arab (Nakosteen, 1996). Karya Ibnu Nadhim lain yang terkenal adalah Al-
Ausaf wa Tasybihaat.

22
Dalam kitabnya yang terkenal, Fihrist, Ibnu Nadhim membagi ilmu
pengetahuan ke dalam sepuluh kategori sebagai berikut (Nakosteen, 1996).

 Bahasa dari berbagai bangsa, baik Arab maupun non Arab, karakteristik
tulisan, keanekaragaman tulisan, dan lain-lain.
 Tata bahasa dan fi lologi.
 Sejarah, biografi , dan silsilah.
 Puisi dan penyair.
 Filsafat dan cendikiawan skolastik.
 Hukum, ahli fi qh, dan ahli hadits.
 Filsafat dan ilmu pengetahuan kuno.
 Legenda, dongeng, guna-guna, sihir, dan sulap.
 Sekte dan kepercayaan.
 Pembicaraan mengenai ahli kimia dan para pencari peninggalan para fi lusuf
di antara para fi lusuf kuno dan modern serta nama buku-bukunya.

e. Al-Ghazali
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali adalah
pemikir yang muncul pasca puncak kemajuan Islam (Mutamam, 2007). Beliau
lahir pada 450 H/1058 M, di desa Thus, Khurasan, Iran (Ibnu Rusn, 1998). Pada
masa kecil, beliau berguru agama kepada Ahmad Bin Muhammad Razkafi ,
seorang ulama setempat. Setelah itu, beliau pergi ke Jurjan untuk belajar kepada
Abu Nasr Ismaili.

Setelah belajar di Jurjan, Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya di Naisabur


untuk belajar kepada Al-Juwainy yang dikenal juga dengan sebutan Imamul
Haramain. Ilmu yang dipelajari darinya adalah ilmu kalam, ilmu ushul, madzhab
fiqh, retorika, logika, tasawuf, dan fi lsafat. Setelah wafatnya Al-Juwainy, Al-
Ghazali pergi ke Mu’askar. Di tempat itu, Al-Ghazali sering berbincang dengan
para ulama. Dari perbincangan tersebut, di kemudian hari, nama Al-Ghazali
kemudian dikenal dan diunggulkan oleh para ulama di sana.

Pada tahun 484 H/1091 M, Al-Ghazali diangkat menjadi ustad pada


Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Karena kecerdasannya, pada umur 34 tahun,
beliau kemudian diangkat sebagai pimpinan di universitas tersebut. Pada saat

23
menjadi pimpinan itulah beliau menulis berbagai macam karya yang meliputi
bidang fi qh dan ilmu kalam.

Setelah 4 tahun menjadi pimpinan universitas, Al-Ghazali sempat mengalami


krisis rohani. Hal ini mendorongnya untuk pergi ke Syam untuk belajar
mengendalikan hawa nafsunya. Beliau memutuskan untuk berdiam di salah satu
masjid di Damaskus. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan spiritualnya ke
Baitul Maqdis sebelum kemudian pergi ke Mekah dan Madinah untuk
menunaikan ibadah Haji.

Setelah selesai melanglang buana, Al-Ghazali kembali ke Universitas


Nidhamiyah untuk mengajar di sana. Tidak diketahui secara pasti berapa lama
beliau mengajar di sana sebelum kemudian kembali ke tempat asalnya di Thus.
Di sana beliau mendirikan madrasah. Akhirnya, pada tahun 505 H/1111 M Al-
Ghazali wafat pada usia 55 tahun.

Sebagai ulama yang produktif, Al-Ghazali telah menghasilkan banyak sekali


karya. Karyakaryanya banyak membicarakan tentang fi lsafat, akhlak, tasawuf,
keagamaan, metafi sika dan fiqh. Berikut beberapa karya Al-Ghazali yang telah
dikenal oleh masyarakat luas (Mutamam, 2007).

 Al-Ma’arif al Aqliyyah Wa al-Hikmah al-Ilahiyyah, karya Al-Ghazâli ini


hanya berupa naskah yang terdapat di dua perpustakaan yaitu Paris dan
Oxford.
 Maqashid al-Falsafah, buku ini dikarang oleh al-Ghazâli sebagai
pendahuluan buku al-Tahafut.
 Taháfut al-Falasifah,
 Al-Munqidz min al-Dhalal, karya tulis al-Ghazâli ditulis pada tahun 501-502
H.29 ketika dia menetap kedua kalinya di Naisabür.
 Al-Madhnun bih ‘ala Ghair Ahli, 6. Fátihah al-Ulum, karya ini berupa naskah
tulisan tangan (naskhah khaththiyya). tersimpan di perpustakaan Paris.
 Haqaiq al-‘Ulum, karya dalam bentuk naskah yang juga tersimpan di
perpustakaan paris.
 Maqásyifah al-Qulub al- Matrahbah ila ‘Allam Ghuyub.
 Mi’yár al- ‘Ilm,

24
 Minhaj aI-Nazhr,
 Ma’árij al-Quds fi Madárij Ma’rifah al-Nafs.
 Jam al-Haqaiq fi Tajrad al-‘a’laiq,
 Ihyá ‘Ulumu al-Din, karya terbesar al-Ghazâli yang ditulis pada tahun 489
dan 495 H., buku ini memuat ide sentral A1-Ghazili menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama Islam, seperti logika, akhlak, tasawuf, dan sebagainya.
Buku ini mempunyai syarah yang banyak antara lain : Ittahaf al-Sadat al-
Muttawin (13 Jilid), Taj al-Qashidin (Ibn al-Jauzih) Ruj alIhya’ (Ibn. Yunus).
14. Bidayah al-Hidayah,
 Kitab Mizan al-’Amal, karangan al-Ghazâli ditulis di Bagdad, sebelum
memasuki dunia tasawuf, buku itu merupakan pelengkap untuk menjelaskan
pengertian yang ada di dalam Ihya’ kurang jelas
 A1-Qisthas al-Mustaqim,
 Kitab al-Sa’adah,
 Kitan Ayyuha al- Walad,
 Kitab al-Madkhul Fi iImi Ushul, (kitab pilihan tentang Ushul Fiqh)
 Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (tempat pembersihan dan Ilmu Ushul
Fiqh), merupakan kitab Ushul A1-Ghazâli yang pendahuluannya memuat
tentang pembahasan logika, dia menegaskan bahwa barang siapa yang tidak
menguasai logika, maka pengetahuannya belum terpercaya.
Menurut Al-Ghazali Sebagai sesorang pemikir, Al-Ghazali membagi ilmu
pengetahuan ke dalam tiga klasifi kasi, yaitu berdasarkan tingkat kewajibannya,
berdasarkan sumbernya, dan berdasarkan fungsi sosial (Ulyan, 1999).
Berdasarkan tingkat kewajibannya, ilmu dibagi menjadi ilmu yang dibutuhkan
oleh masing-masing individu dan ilmu yang dibutuhkan oleh jamaah (masyarakat
umum). berdasarkan sumbernya, ilmu manzilat dan ilmu ghoiru manzilat.
Sedangkan berdasarkan fungsi sosialnya, ilmu dibagi menjadi ilmu terpuji dan
ilmu tercela.

Dalam literatur lain, Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga


klasifi kasi utama, yaitu secara Epistemologis, Ontologis, dan Aksiologis (Ibnu
Rusn, 1998). Secara epistemologis, ilmu dikategorikan menjadi syar’iyyah dan
ghoiru syar’iyyah (aqliyah). Ilmu syar’iyyah adalah ilmu yang diperoleh dari para

25
Nabi. Ilmu-ilmu yang masuk ke dalam kategori ini adalah ilmu ushul, ilmu furu’,
ilmu muqaddimah, dan ilmu penyempurna. Ilmu ushul meliputi Kitabullah,
sunnah rasul, ijma’ ummat, dan peninggalan para sahabat (sejarah awal Islam).
Ilmu furu’ meliputi ilmu yang berhubungan dengan kehidupan duniawi seperti fi
qh dan ma’rifat. Ilmu muqaddimah meliputi ilmu bahasa dan tata bahasa Arab.
Sedangkan ilmu penyempurna meliputi ilmu yang berkenaan dengan al-Qur’an
seperti qiraah dan tafsir.

Ilmu Ghairu Syar’iyyah adalah ilmu yang bersumber dari akal. Ilmu ini dapat
berupa ilmu yang diperoleh dariinsting maupun dari proses belajar atau berfi kir.
Yang termasuk ke dalam kategori ilmu ini adalah geografi , matematika,
kedokteran, dan ilmu-ilmu lain yang sejenis.

Secara ontologis, ilmu dibedakan menjadi dua bagian yaitu fardhu ‘ain dan
fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang dibutuhkan untuk
melaksanakan tugas-tugas akhirat dengan baik. Ilmu ini meliputi ilmu tauhid,
syari’at, dan sirri. Ilmu fardhu kifayah merupakan ilmu yang berhubungan dengan
urusan keduniaan oleh karena itu tidak semua orang wajib memiliki ilmu ini.
Ilmu ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu abadi dan ilmu yang berkembang.
Ilmu abadi adalah ilmu-ilmu yang meliputi Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan
sejenisnya. Sedangkan ilmu yang berkembang meliputi arsitektur, sastra,
prikologi, dan sejenisnya. Secara aksiologis, ilmu dibagi menjadi ilmu terpuji,
mubah, dan tercela. Kategorisasi ini bukan didasarkan atas isi ilmu itu sendiri,
tetapi dikarenakan faktor manusia. Hal ini dikarenakan pada kasus-kasus tertentu,
suatu ilmu dapat digunakan untuk melakukan kegiatan yang terpuji, mubah, dan
tercela.

f. Ibnu Khaldun
Wali ad-Din Abu Zaid ar-Rahman bin Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadrami
al-Ishbili lahir di Tunisia pada 723 H/1332 M (Al-Azmeh, 1990). Beliau berasal
dari keluarga yang memiliki garis keturunan dari Hadramaut (Yaman) yang
bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M. Sebagai ilmuwan besar, beliau
dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak
usia dini.

26
Pelajaran pertamanya diperoleh dari ayahnya sendiri. Kepada ayahnya, dia
belajar menghafal Al-Qur’an dan ilmu tajwid. Selain itu, dia juga belajar kepada
beberapa ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Guru-guru yang paling
berpengaruh terhadap pembentukannya dalam bidang syariat, bahasa dan fi lsafat
adalah Muhammad bin Abdullah Muhaimin bin Abdil Al-Hadrami, ia seorang
Muhadditsin dan Ahli Nahwu di Maghriby. Kemudian Abu Abdillah Muhammad
bin Ibrahim Al-Abily (1282-1356 M), Muhammad bin Muhammad al-Hadrami
(1277-1348 M) dalam bidang ilmu rasional yang bisa kita sebut fi lsafat, ilmu
falak, teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika, astronomi dan musik.

Selain itu, dalam bidang bahasa gurunya Abdullah Muhammad ibnu al-
A’rabi al-Husairi, Abu al-Abas Ahmad bin al-Qashar, dan Abu Abdillah
Muhammad bin Bahr. Dalam bidang ilmu Hadits Ibnu Khaldun belajar pada
Syamsuddin Abu Abdillah al-Wadiyasyi (1274-1348), dalam bidang Fiqih Abu
Abdillah Muhammad al-Jayyani, Muhammad al-Qashar dan Muhammad bin
‘Abd al-Salam al-Hawwari (1277-1348 M).

Sebagai ulama, dia telah menulis banyak sekali karya terkenal. Di bawah ini
ditampilkan beberapa karya yang beliau hasilkan (Siswatini, 2008).

 Al-Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyamim al-’Arab wa


al-’Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi al-Shultan al- Akbar.
(Kitab contoh-contoh dan rekaman Mengenai asal-usul dan peristiwa hari-
hari Arab, Persia, Barbar, dan orang-orang sezaman dengan mereka yang
memiliki kekuatan besar). Oleh karenanya judulnya sangatlah panjang.
 Muqaddimah. kitab ini merupakan magnum opus-nya Ibnu Khaldun yang
topiknya terbagi kedalam 6 fasal besar, yaitu ilmu sosiologi umum, sosiologi
pedesaan, sosiologi politi, sosiologi kota, sosial industri, dan sosiologi
pendidikan.
 Al-Ta’rif. Awalnya kitab ini adalah lampiran dari al-I’bar dan
kemudianberdiri sendiri pula. Kitab ini berisi sejarah kehidupannya, riwayat-
hidup beberapa orang penting lainnya yang berhubungan dengan Ibnu
Khaldun., peristiwa-peristiwa tertentu, dokumen dokumen, khutbah-khutbah,
dan lain-lain. Di dalamnya juga dibahas Mengenai situasi sosial serta aturan-
aturannya.

27
 Syifa’al-sail li Tahdhib al-Masa’il. Karya ini membahas mengenai pemisahan
antara jalan tasauf dan jalan syariah serta menguraikan mengenai jalan tasauf
dan ilmu jiwa.
 Karya- karya lainnya, Ibnu Khaldun juga memberikan komentarnya terhadap
al-Burdah dengan indah. Mengikhtisar karya Ibnu Rusyd dan
menguraikannya kepada Sultan Mengenai pandangan terhadap logika dengan
cara yang menarik. Ibnu Khaldun juga mengikhtisar al-Muhassal karya Imam
Fakhruddin al-Razi, menyusun karya aritmatika dan memberi komentar
terhadap sebuah karya dalam bidang usul fi qh dengan uraian yang bagus.
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kategori besar, yaitu
aqliyah dan ilmu naqliyah (Ulyan, 1999). Ilmu aqliyah adalah ilmu yang berasal
dari buah dari aktivitas pikiran manusia dan perenungannya ilmu- ilmu ini
bersifat alamiyah bagi manusia. Ilmu ini meliputi ilmu mantiq, ilmu kedokteran
(medis, fi sika, dan pertanian), metafi sika, dan ilmu tentang berbagai ukuran atau
matematika. Sedangkan ilmu naqliyah adalah ilmu yang dikutip manusia dari
yang merumuskan landasannya dan diwariskan secara turun temurun ke generasi.
Ilmu ini berasal dari Kitabullah dan hadits. Ilmu ini terbagi menjadi lima bagian
yaitu ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an seperti tafsir dan tilawah, ilmu hadits,
ilmu fi qh, ilmu agama, dan ilmu bahasa.

g. Klasifikasi Ilmu Keislaman Lainnya


Selain nama-nama yag muncul di atas, beberapa ulama muslim lain ternyata
telah melakukan hal yang serupa. Seperti yang dilakukan Al Katib dalam
kitabnya Mafatihul Ulum (Nakosteen, 1996). Ulama yang memiliki nama lengkap
Abdullah Muhammad ibnu Yusuf al Katib atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Al Khawarizmi (Ulyan, 1999) tersebut membagi ilmu pengetahuan ke
dalam dua kelompok utama, yaitu orisinal (ilmu arab) yang terdiri dari ilmu
bahasa dan ilmu agama, dan eksternal (mancanegara) yang terdiri dari ilmu-ilmu
yang berasal dari luar bangsa arab.

Ibnu Bultan, pada abad 11 H, mengklasifi kasikan ilmu pengetahuan ke


dalam tiga kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam, fi lsafat dan ilmu kealaman, dan
intelektual atau ilmu literatur (Mukhtar, 2005). Muncul pula klasifi kasi ilmu
pengetahuan oleh Ibnu Sina yang ternyata banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al-

28
Farabi. Hal ini dapat dilihat dalam kitabnya Fi Aqsami al ‘Ulum al ‘Aqliyah
(Ulyan, 1999). Pada tahun 606 H, Fakhrudin Ar-Razi dalam kitabnya Hadaiq al-
Anwar fi Hadaiq al-Asrar mengurutkan tulisan-tulisan berdasarkan topik-topik
tertentu. Di dalamnya juga disebutkan jenis ilmu berdasarkan buku-buku yang
pernah ditulis serta nama dan riwayat hidup penulisnya. Dalam kitab tersebut, Ar-
Razi menyebutkan terdapat enam puluh cabang ilmu pengetahuan yang ada pada
masa itu (Ulyan, 1999).

Ulama lain yang juga mengklasifikasikan ilmu pengetahuan adalah Thasy


Kubra Zadah (Ulyan, 1999). Dalam kitabnya Miftah al-Sa’adah wa Misbah al-
Siyadah, Zadah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dengan pendekatan
induktif dan deduktif. Hal inilah yang menyebabkan klasifi kasi yang ia
kemukakan mendekati sistem klasifi kasi pada masa kini.

Zadah mengklasifi kasikan ilmu pengetahuan ke dalam enam kelompok


besar. Masing-masing kelompok diawali dengan pengantar sekaligus bagan yang
menjelaskan cakupan dari ilmu yang dimaksud. Masing-masing kelompok
kemudian dibagi ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan ditandai dengan
angka.

Selain pengelompokan ilmu yang dilakukan oleh perseorangan, juga terdapat


pengelompkan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh organisasi ulama, seperti
Ikhwan Ash Shafa (Nakosteen, 1996). Organisasi ini adalah organisasi rahasia
yang terdiri dari para fi lusuf muslim sekitar abad ke-10. Menurut organisasi ini,
ilmu pengetahuan dibagi ke dalam tiga kelompok besar. Pertama, ilmu riyadiyah
yang terdiri dari ilmu tulis menulis, qiroat, syair, bahasa, nahwu, hisab,
mu’amalat, sihir, penawar sihir, kimia, dan lain-lain. Kedua, ilmu syar’iyah yang
terdiri dari fi qh, tafsir, tafsir mimpi, riwayat, dan lain-lain. Ketiga, ilmu fi lsafat
haqiqi yang terdiri dari empat risalah, riyadiyat (ilmu hisab, rekayasa, dan musik),
psikologi (ilmu mantiq, pidato, pembuktian, dan lain-lain), fi sika (ilmu tentang
benda, langit, alam semesta, dan lain-lain), dan ilahiyat (Ilmu ketuhanan)

29
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
a. Pada masa kejayaannya islam berkembang pesat dan mencapai kesuksesan dalam
segala bidang. Bahkan, pada masa kejayaannya, islam mendapat julukan the
Golden Age of Islam atau masa keemasan kejayaan islam. Perkembangan islam
pada masa kejayaan tidak terlepas dari jasa dua kerajaan besar, yaitu Daulah
Umayyah dan Daulah Abbasiyah. Periode 650-1250 M merupakan masa kejayaan
Islam. Periode ini juga disebut periode klasik. Pada periode ini lahir dua periode
besar, yaitu Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah.
b. Masa pemerintahan Daulah Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam
berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada zaman
ini umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan,
sehingga ilmu pengetahuan baik aqli (rasional) ataupun yang naqli mengalami
kemajuan dengan pesatnya. Masa Bani Abbasiyah II (Masa Jaya/ Khalifah Harun
Al- Rasyid). Kemajuan-kemajuan tersebut karena didukung oleh banyak hal,
diantaranya adalah sistem pendidikan Islam. Beberapa komponen pendidikan
yang mendukung kemajuan dan kejayaan Daulah Abbasiyah yaitu:
 Kurikulum pada lembaga pendidikan Islam di masa Klasik pada mulanya
berkisar pada bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan
kultural, materi kurikulum semakin luas
 Pada masa Abbasiyah, pengajaran yang diberikan kepada murid-murid
dilakukan seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang.
Jadi guru harus mengajar muridnya dengan berganti-ganti.
 murid pada sekolah dasar masa itu bahwa ia diharuskan belajar membaca dan
menulis bahan pengajaran yang berupa syair.
 institusi pendidikan Islam zaman Al-Ma’mun dari daulah Abbasiyah ini
termasuk dalam kategori lembaga pendidikan Islam Klasik.

30
 institusi pendidikan Islam Klasik berdasarkan kriteria materi pelajaran yang
diajarkan di sekolah-sekolah Islam menjadi dua tipe pendidikan, yaitu : tipe
institusi pendidikan inklusif (terbuka) terhadap pengetahuan umum dan
institusi pendidikan eksklusif (tertutup) terhadap pengetahuan umum.
 Konsep pendidikan yang ditemukan pada masa Daulah Abbasiyah khususnya
pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun, yaitu konsep dasar pendidikan
multikultural.
c. Pada masa keemasan Islam (Daulah Abasiyah) Bidang pendidikan mengalami
kemajuan melalui lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada saat itu.
 Kuttab
 Madrasah Menengah
 Pendidikan Tinggi (Madrasah Nizhamiyyah)
 Perpustakaan dan Observatorium
d. kontekstualisasi sistem pendidikan Islam masa daulah Abbasiyah pada masa kini
antara lain sebagai berikut :
 Kurikulum pada lembaga pendidikan Islam di masa daulah Abbasiyah
padamulanya berkisar pada bidang studi tertentu, kemudian materi kurikulum
semakin luas dan berkembang seiring dengan perkembangan sosial dan
budaya. Karena perkembangan tersebut, maka pada masa sekarang siswa
diwajibkan mengikuti dan mempelajari serangkaian kegiatan sekolah yang
dapat memberikan pengalaman belajar.
 Pada masa Abbasiyah, pengajaran yang diberikan kepada murid-murid
dilakukan seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti
sekarang.Sedangkan metode yang dipakai dalam pengajaranpun tidak hanya
tiga metode, melainkan banyak. Antara lain : metode bermain peran, rekreasi,
tanyajawab, diskusi dan lain-lain.
 pelajar memang bebas belajar kepada siapa saja, tetapi tetap mengikuti aturan
dan jenjang pendidikan yang ditempuhnya dengan guru yang ada dan sudah
ditentukan oleh di lembaga pendidikan tersebut.
 institusi pendidikan masa sekarang sudah berupa suatu bangunan tempat
berlangsungnya suatu proses belajar mengajar yang disebut madrasah,
pondok pesantren, majlis taklim, majlis dakwah, dan perpustakaan.

31
 konsep dasar pendidikan multiculturalyaitu semua orang bebas berekspresi,
terbuka, toleransi dan kesetaraan dalam mencari ilmu, menerjemahkan,
beribadah, bekerja, dan melakukan segala kegiatan yang bermanfaat.
e. Ulama muslim
 Jabir Ibnu Hayyan
 Al-Kindi
 Al-Farabi
 Ibnu Nadhim
 Al-Ghazali
 Ibnu Khaldun
 dll

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini tentunya mempunyai kekurangan.Baik dalam
segi penulisan maupun dalam hal penyampaian materi.maka dari pada itu,kritik dan
saran dari rekan-rekan pembaca.Merupakan suatu hal yang kami harapkan supaya
memberikan kemajuan yang begitu kita harapkan.

32
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Lazim, “Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan)”, Jurnal Tabyin, Vol 02, no
2 (2020).

Arif Rahman, Sulton Firdaus, “Masa Kejayaan Islam Dan Tokoh-Tokohnya”.

Fiqru Mafar, “Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman Abad Pertengahan”, Jurnal Perpustakaan


Unilak, Vol 3, no 1 (2012).

Ma’sumatun Ni’mah, Masa Kejayaan Islam (Klaten: Cempaka Putih).

Mohammad Thoha, “Politik Pendidikan Islam (Potret Sejarah Periode Klasik Sampai Abad
Pertengahan)”, Jurnal Tadris, Vol 8, no 1 (2013).

Sri Wahyuningsih, “Mplementasi Sistem Pendidikan Islampada Masa Daulah Abbasiyah Dan
Pada Masa Sekarang” Jurnal Kependidikan, Vol 2, no 2 (2014).

Tri Wibowo, “Dinamika Sains dalam Islam pada Masa Keemasan (Daulah Abbasiyah):
Kontribusi & Rekonstruksi dalam Perkembangan Keilmuan Kekinian”, Jurnal Tsaqofah
& Tarikh, Vol 6, no 1 (2021).

33

Anda mungkin juga menyukai