Anda di halaman 1dari 27

IAIN DI ERA GLOBALISASI PELUANG DAN

TANTANGAN DARI SUDUT


PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PENGAMPU:

ASAWAN, S.Ag, MM
NIDN. 2116077801

MATA KULIAH: PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6

Nama : KIKI FITRIANI


Npm : 1901020084
Nama : NURSALIMAH SARUMPAET
Npm : 1901020120

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR AL ULUUM
ASAHAN-KISARAN
T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang diharapkan
mampu menambah pengetahuan pembaca mengenai “IAIN DI ERA
GLOBALISASI PELUANG DAN TANTANGAN DARI SUDUT
PENDIDIKAN ISLAM”. Tanpa pertolongan dari-Nya tentunya kami tidak akan
mampu untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat berangkaikan salam, semoga selalu tercurah kepada junjungan
Nabi Muhammad saw, semoga dengan kita yang selalu bershalawat kepadanya
mendapatkan pengakuan kelak di yaumul mahsyar kelak. Aamiin
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak, baik yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan membantu memberikan
tambahan data, informasi, serta motivasinya. Khususnya kepada Dosen mata
kuliah Pendidikan Islam dalam Sisdiknas, Buya Aswan, S.Ag, MM atas
bimbingan yang diberikan, karena tanpa hal tersebut kami tidak akan mampu
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Sehingga
dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kita.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Kisaran, Nopember 2022


Penyusun

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan............................................................................................... .1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................3
BAB II Pembahasan................................................................................................4
A. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)............................................................4
B. Peran IAIN dalam Penegakan Nilai-nilai Moral di Era Globalisasi............5
C. IAIN dan Tuntutan Perkembangan Zaman..................................................7
D. Ciri-ciri dan Dampak Negatif Globalisasi..................................................10
E. Beberapa Problema yang Dihadapi IAIN...................................................12
F. Persiapan dalam Menghadapi Globalisasi..................................................16
G. IAIN dengan Mandat yang Diperluas........................................................20
H. Perubahan IAIN Menjadi UIN...................................................................20
BAB III Penutup....................................................................................................22
Daftar Pustaka.......................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


IAIN sedang “berada di persimpangan jalan” yaitu posisi IAIN yang berada
pada titik temu antara tradisi ilmu pengetahuan pribumi dan sejumlah tradisi ilmu
asing, antara negara dan masyarakat sipil, serta ilmu pengetahuan umum dan ilmu
agama. IAIN sedang berada dalam berbagai perubahan sosial yang menuntut IAIN
untuk melihat dirinya apakah juga harus berubah atau tidak.
Saat ini IAIN berada dalam sebuah pergulatan dirinya sendiri dan di luar
dirinya. IAIN ada diposisi apakah mempertahankan tradisi kajian ilmu keislaman
dan berhadap-hadapan dengan globalisai yang mendatangkan modernisasi,
industrialisasi dan kapitalisasi. Semua perubahan ditatanan sosial ini membuat
IAIN yang merupakan “benteng” umat Islam Indonesia ini harus beradapatasi
dengan perubhan-perubahan.
Tradisi fakultas yang ada di IAIN biasanya terdapat lima fakultas, yaiu:
Ushuluddin, Tarbiyah, Syari’ah, Da’wah, dan Adab. Pada lima fakultas-fakultas
inilah Islam dalam “makna sempit” dikaji dan dikembangkan di IAIN. Pada
awalnya fakultas-fakultas ini diharapkan mampu menjawab tantangan zaman,
sehingga IAIN pun dimandatkan harapan sosial yang begitu besar disamping
harapan akademik.
Jika dilhat tujuan pendirian perguruan tinggi Islam setidaknya didorong oleh
tiga tujuan sebagai berikut: Pertama, untuk melakukan pengkajian dan
pengembangan ilmu-ilmu Islam secara lebih tinggi, sistematis, dan terarah;
Kedua, untuk melakukan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam; Ketiga,
untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan berbagai fungsionaris
keagamaan baik pada birokrasi negara, lembaga sosial, dan pendidikan Islam
swasta.1 Tiga mandat IAIN tersebut sering mengalami berbagai benturan,
misalnya banyaknya kritik masyarakat apakah IAIN akan mampu
mempertahankan diri sebagai lembaga akademik namun disisi yang lain ingin
1
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Kencana, 2018), h.170.

1
melakukan dakwah. Banyak pandangan masyarakat bahwa saat ini IAIN lebih
condong kepada pengembangan akademik dan sudah mulai melupakan peran
dakwahnya.
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi IAIN, mulai dari perkembangan
sains dan teknologi, dan tuntutan masyarakat akan perguruan tinggi Islam yang
link and match membuat IAIN terus melakukan berbagai ijtihad, salah satunya
adalah dengan melakukan perubahan kelembagaan menjadi UIN. Namun
perubahan menjadi UIN ini tidaklah berjalan dengan baik, karena terdapat
pandangan yang akan menghilangkan Islam sebagai core bussiness sebagaimana
yang dilakukan masa IAIN akan hilang dan tidak diminati. IAIN terus menyikapi
perubahan, saat ini Berdasarkan website Diktis terbaru, terdapat 11 Universitas
Islam Negeri, 25 Institut Agama Islam Negeri, dan 19 Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri. Namun tidak tertutup kemungkinan satu persatu IAIN akan hilang.2
Berdasarkan konteks masalah di atas, dapat dilihat bahwa IAIN sebagai
perguruan tinggi agama Islam negeri memiliki banyak peluang sekaligus
tantangan. Perlu kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi Islam yang merespon
berbagai perubahan di era saat ini. Sehingga IAIN bisa merespon kebutuhan
masyarakat. Makalah ini akan fokus membahas bagaimana IAIN menyikapi
perubahan sosial di Era Globalisasi. Kajian dilakukan berdasaran data-data
empiris dan teoritis serta juga melakukan refleksi refleksi untuk memproyeksikan
peluang dan tantangan IAIN di masa mendatang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan konteks di atas, maka dalam makalah ini akan membahas
beberapa masalah, di antaranya:
1. Apa itu IAIN?
2. Bagaimana peran IAIN dalam penegakan nilai-nilai moral di era
globalisasi?
3. Bagaimana IAIN dan tuntutan perkembangan zaman?

2
Fridiyanto, Dinamika Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, (Jurnal Management
Education, Higher Education Management, Islamic Higher Education, 2019), h. 3.

2
4. Apa ciri-ciri dan dampak globalisasi?
5. Apa problem yang dihadapi IAIN?
6. Bagaimana persiapan dalam menghadapi globalisasi?
7. Bagaimana IAIN dengan mandat yang diperluas?
8. Bagaimana perubahan IAIN menjadi UIN?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui apa itu IAIN
2. Mengetahui peran IAIN dalam penegakan nilai-nilai moral di era
globalisasi.
3. Mengetahui IAIN dan tuntutan perkembangan zaman.
4. Mengetahui ciri-ciri dan dampak globalisasi.
5. Mengetahui problem yang dihadapi IAIN.
6. Mengetahui persiapan dalam menghadapi globalisasi.
7. Mengetahui IAIN dengan mandat yang diperluas.
8. Mengetahui perubahan IAIN menjadi UIN.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1960
di Yogyakarta, setelah menggabungkan dua lembaga pendidikan tinggi Islam
dikala itu, yaitu PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang
berkedudukan di Yogyakarta dengan ADIA (Akademik Dinas Ilmu Agama) yang
berkedudukan di Jakarta. Setelah diresmikan IAIN do Yogyakarta ini, secara
bertahap berkembanglan IAIN di seluruh Indonesia, yang sampai dengan tahun
1973 berjumlah 14 buah.
Didirikannya lembaga ini dengan maksud untuk memberi pengajaran dan
pendidikan universitas serta menjadi pusat untuk mengembangkan dan
memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam.3
Dalam perjalanan panjang selama 52 tahun IAIN di Indonesia ini telah banyak
menghasilkan lulusannya baik pada strata satu, maupun pada strata dua dan tiga.
Dengan demikian kiprah para alumninya telah tersebar luas di masyarakat, yang
meliputi sebagai pendidik, da’i, birokrat, polisi, pers, wiraswasta, dan lain
sebagainya.
Pada beberapa dekade terdahulu, sesuai dengan tuntutan pembangunan di
tanah air, alumni IAIN telah banyak terserap sebagai pegawai negeri yang
kebanyakan bertugas di lingkungan Kementrian Agama. Pada beberapa tahun
belakangan ini sesuai dengan kebijakan pemerintah tentang zero growth, yang
bermakna bahwa pengangkatan pegawai berdasarkan kepada penggantian yang
meninggal dan pensiun. Keadaan yang seperti ini berdampak kepada banyaknya
alumni IAIN yang tidak bisa diangkat sebagai pegawai negeri, sedangkan
persiapan mereka untuk terjun ke dunia kerja tidak memungkinkan karena
kemampuan yang terbatas. Kenyataan ini merupakan suatu problema yang amat
serius untuk dipecahkan oleh pengambil kebijakan di lingkungan IAIN.

3
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Buku Tahunan Institut Agama Islam
Negeri Al Jamiah Al Islamiah Al Hukumiah, (Yogyakarta, 1960), h.28

4
Selain dari persoalan pokok yang dialami oleh output IAIN, dari sisi raw
input IAIN pun pada saat sekarang ini tidak pula kecil masalah yang dihadapi.
Sejak dikeluarkannyaUU No. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan PP Nomor 28 dan
29 Tahun 1990, yang mengenai pendidikan dasar dan pendidikan menengah, yang
diikuti pula dengan surat keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan serta
Mentri Agama yang mempertegas madrasah adalah sekolah yang bercirikan
agama Islam.
Dengan demikian, Madrasah Aliyah sebagai sumber utama raw input IAIN
memiliki kesamaan dengan SMA dari sudut kurikulum pengetahuan umum,
karena itu banyak tamatan Madrasah Aliyah yang menjadikan tujuan utama
melanjutkan studi tidak lagi ke IAIN tetapi ke perguruan tinggi umum, hal ini
berpengaruh kepada terjaringnya raw input IAIN yang berkualitas.

B. Peran IAIN dalam Penegakan Nilai-nilai Moral di Era Globalisasi


IAIN sebagai lembaga pendidikan Islam harus mampu menyiapkan sumber
daya manusia yang dapat berfikir kritis dengan fokus dan tidak hanya sebagai
penerima informasi global, tetapi juga harus memberikan bekal kepada peserta
didik agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan mengembangkan segala hal yang
diterima melalui arus informasi tersebut, yakni manusia yang kreatif dan
produktif.4
Menghadapi problem yang demikian berat, IAIN sebagai lembaga pendidikan
Islam tidak bisa menghadapinya dengan model-model pendidikan dan
pembelajaran seperti yang sudah ada sekarang ini. IAIN harus terus menerus
melakukan pembenahan dan inovasi serta bekerja keras untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang ada dan juga melakukan langkah-langkah baru ke
arah kemajuan khususnya Sumber Daya Manusia.5
Berdasarkan pengembangan keilmuan, dari berbagai problem yang muncul di
atas, jelas tidak bisa direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang selama ini ada di

4
Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003), h.78.
5
A. Malik Fadjar (ed), PlatformReformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 10.

5
lembaga IAIN seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, aqidah akhlak, dan tarikh. Ilmu-
ilmu tersebut,perlu diinterpretasi sehingga mampu menjawab persoalan aktual
pada lingkungan hidup, seperti: global warning, datangnya industri, adanya
pencemaran limbah beracun, penggundulan hutan, gedung pencakar langit, polusi
udara, dan problem sosial antara lain banyaknya pengangguran, penegakan
hukum, hak asasi manusia dan sebagainya.
Arus globalisasi dalam pendidikan Islam termasuk IAIN bisa menimbulkan
paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni pertentangan dua visi moral secara
dianetral, contohnya guru menekankan dan mendidik para siswanya berdisiplin
berlalu lintas tetapi realita di lapangan sopir bus tidak berlalu lintas dengan baik,
guru mengajar anak didiknya untuk tidak dan menghindar tawuran antar pelajar
akan tetapi siswa melihat dilayar televisi anggota DPR RI tidak bisa
mengendalikan emosinya di mata bangsa, di sekolah diadakan razia pornografi di
media televisi, internet menampilkan pornografi termasuk iklan-iklan yang
merangsang hawa nafsu syahwat, dan lain-lain.6
Dampak globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi
praktik IAIN sebagai lembaga pendidikan Islam, seperti terjadinya kontra
moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam dengan realitas di
lapangan berbeda, maka gerakan pembaruan dalam diri IAIN hendaknya melihat
kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga ajaran Islam yang hendak
dididikkan dapat landing dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar
dapat dirasakan makna dan faedahnya, akan tetapi mengabaikan lingkungannya
tentu akan kehilangan makna ibadah itu sendiri.
IAIN dalam tataran idealisme mengalami benturan nilai dengan peristiwa
yang terjadi di berbagai belahan dunia, dimana dalam era global ini kita bisa
langsung melihat layar televisi mengenai perang antar negara, kerusuhan massal,
unjuk rasa yang anarkis, pemberontakan gerakan sparatis, dan lain-lain. IAIN
sebagai lembaga Pendidikan Islam berperan mengajarkan aurat kaum hawa
apabila menginjak dewasa atau baligh, akan tetapi arus global non-Islami
menciptakan sebaliknya yakni buka paha tinggi dan buka wilayah dada,
6
Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), h. 64.

6
sebagaimana yang ditayangkan di televisi dan internet, berupa pornografi dan
pornoaksi, adalah trends modernitas. Disinilah peran IAIN dijalankan, yakni
memberikan penjelasan yang tepat mengenai moralitas tersebut.

C. IAIN dan Tuntutan Perkembangan Zaman


IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi agama yang diarahkan untuk
mencetak intelektual-kyai/tuan guru atau tuan guru/kyai-intelektual. Studi Islam
(Islamic studies) merupakan wilayah kajian IAIN dari sejak lembaga itu pertama
kali didirikan hingga sekarang ini. Di satu sisi kuatnya studi Islam di IAIN telah
menjadi ciri khas lembaga pendidikan ini. Namun, di sisi lain hal itu telah
menimbulkan munculnya persepsi di kalangan masyarakat Muslim bahwa IAIN
lebih merupakan lembaga agama, bahkan lembaga dakwah, daripada lembaga
akademik. Hal itu antara lain tercermin dalam harapan masyarakat Muslim
terhadap IAIN, terutama alumni IAIN, untuk lebih memainkan peran sebagai
ulama daripada ilmuwan. Padahal sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, IAIN
sebenarnya dimaksudkan sebagai pusat riset bagi pengembangan ilmu-ilmu
keislaman. Cita-cita ini hanya mungkin diwujudkan dengan memperteguh posisi
IAIN sebagai lembaga akademis.7
Harapan terhadap IAIN sebenarnya dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok. Pertama, harapan yang bersifat sosial (social expectations). Kedua,
harapan yang bersifat akademik (academic expectations). Setelah berlangsung
lebih dari lima dekade, dengan berbagai perubahan baik pada tingkat nasional
maupun global, tampak bahwa harapan yang bersifat sosial itu lebih kuat
dibandingkan dengan harapan yang bersifat akademik. Padahal keduanya
merupakan satu kesatuan yang ingin diwujudkan oleh IAIN.     
Masyarakat menginginkan alumni IAIN, tidak hanya memahami doktrin
Islam, lebih dari itu juga melaksanakan bahkan mampu menjadi pemimpin
dalam ibadah mahdlah dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Dalam shalat
berjamaah, mahasiswa atau alumni IAIN diharapkan mampu menjadi imam;
dalam kegiatan sosial keagamaan, mahasiswa atau alumni IAIN diharapkan
7
Ulil Amri Syafri, Menuju Perguruan Tinggi Islam:Antara Da’wah dan Intelektualisme
Islam, dalam Jurnal Dakwah, STID Muhammad Natsir, 2009, h.3.

7
mampu membaca doa dan seterusnya. Masyarakat mamandang bahwa bidang-
bidang kegiatan tersebut merupakan otoritas IAIN.
Harapan peran (role expectations) tersebut sudah melekat, bahkan menjadi jati
diri IAIN. Lebih jauh masyarakat bahkan mengasumsikan setiap mahasiswa atau
alumni IAIN adalah pribadi-pribadi yang taat menjalankan ibadah dengan baik
dan teratur serta berakhlak mulia. Mereka akan merasa aneh dan janggal
menemukan mahasiswa atau alumni IAIN tidak mampu menjalankan peran yang
mereka harapkan. Jelas bahwa masyarakat tidak banyak mengetahui IAIN sebagai
lembaga akademis dengan berbagai fakultas dan jurusan yang tidak selamanya
mencetak ulama.
Harapan peran semacam itu tidak hanya datang dari kalangan masyarakat
awam. Kalangan tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan juga menaruh
harapan yang sama. Mereka berharap lulusan IAIN muncul menjadi kader-kader
pimpinan umat atau pun ulama muda dan organisator. Mereka menginginkan agar
alumni IAIN mempunyai kemampuan untuk menggerakkan berbagai lembaga dan
organisasi Islam baik dalam bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi, maupun
politik. Dengan demikian, masjid yang jumlahnya ratusan ribu, juga majelis-
majelis taklim, lembaga dakwah, lembaga Bazis dan berbagai organisasi Islam
akan menjadi pusat-pusat pemberdayaan umat yang digerakkan oleh para alumni
IAIN.
Selanjutnya dari kalangan pemerintah harapan peran yang muncul tidak jauh
berbeda. Pemerintah berharap-sesuai dengan tujuan awal pendirian lembaga ini
alumni IAIN mampu menjadi administratur Islam. Mereka diharapkan mampu
mengelola administrasi pemerintah dan swasta, khususnya yang berkaitan dengan
kelembagaan Islam. Antara lain, unit kantor Departemen Agama, pesantren,
masjid, majelis taklim dan berbagai unit kelembagaan Islam lainnya. Di samping
sebagai administratur, pemerintah juga berharap juga lulusan IAIN mampu
menjadi pembina rohani di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta seperti di
kantor-kantor, rumah sakit, panti jompo dan sebagainya.
Orang tua yang menyekolahkan anaknya di IAIN juga menaruh semangat
harapan yang sama. Mereka ingin agar anaknya menjadi ulama dalam arti

8
mempunyai pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup, melaksanakan
ajaran agama dan mampu memberi bimbingan agama serta berakhlak yang baik.
Selanjutnya setelah tamat mendapat pekerjaan yang layak. Demikian besarnya
harapan orang tua ini sehingga beberapa mahasiswa mengaku masuk IAIN bukan
atas kemauannya sendiri, melainkan lebih didorong oleh kemauan orang tuanya.
Karena masih berkutat di sekitar social expectations, dapat dikatakan bahwa
harapan terhadap IAIN tersebut secara umum bersifat tradisional. Tidak jauh
beranjak dari harapan yang ditumpukan kepada lembaga-lembaga pendidikan
Islam tradisional. Sebagaimana diketahui, masyarakat Muslim meletakkan
harapan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam pada fungsi-fungsi strategis
yang dimainkannya. Di antara fungsi strategis itu adalah: pertama, sebagai media
penyampai pengetahuan agama (transfer of Islamic knowledge). Kedua, sebagai
media pemelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, sebagai
media pencetak ulama (reproduction of ulama). Tampaknya, fungsi-fungsi
strategis itulah yang sampai saat ini masih diharapkan oleh kebanyakan
masyarakat Muslim Indonesia terhadap IAIN.
IAIN sendiri, sejauh yang dapat dilihat, masih kuat berpegang teguh pada
upaya memenuhi harapan-harapan yang bersifat sosial. Hal ini antara lain terbukti
dengan model kajian keislaman yang sebagian besar masih bersifat normatif;
praktik ibadah dan praktikum membaca al-Qur'an masih menjadi kewajiban setiap
mahasiswa IAIN. Kajian-kajian yang bersifat historis dan sosiologis terhadap
Islam dan masyarakat Muslim masih sangat terbatas, baik dari kauantitas maupun
cakupan wilayah. Kalaupun terdapat kajian sejarah dan kebudayaan Islam, fokus
utamanya adalah sejarah Islam abad pertengahan dengan model kajian sejarah
dinasti atau kerajaan. Kajian sejarah sosial belum banyak dikenal, atau baru
bersifat rintisan. Tidak heran jika mahasiswa IAIN tidak banyak mengenal
masyarakat Muslim Asia Tenggara, bahkan Indonesia sendiri. Mahasiswa IAIN
lebih mengenal Islam secara normatif ditambah sejarah Islam pada masa klasik
saja.

9
D. Ciri-ciri dan Dampak Negatif Globalisasi
1. Ciri-ciri Globalisasi
Globalisasi kata serapan berasal dari bahasa Inggris globalization yang
berakar kata global yang artinya mencakup atau meliputi seluruh dunia.
Globalisasi juga dimaknai penyempitan dunia, sebab dunia seakan menjadi
satu kesatuan tanpa batas, yang mendorong manusia untuk berorientasi dan
mentransformasi peradapan dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi
dan revolusi informasi.8 Secara lebih jauh globalisasi akan menimbulkan
perubahan-perubahan dalam struktur kehidupan bangsa di dunia termasuk
Indonesia.
Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah
menghadirkan risalah peradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik
secara spirit, akhlak maupun materi. Di dalamnya, ada aspek duniawi dan
ukhrowi yang saling melengkapi. Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh
dan integral. Universalitas atau globalitas Islam menyerukan kepada semua
manusia, tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan
deferensiasi lainnya.
Semenjak abad VII H., nabi Muhamad Saw sudah menerapkan konsep
globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya ketika beliau
mengirim utusannya membawa surat-surat beliau kepada para raja dan para
pemimpin di berbagai negara tetangga. Di antara para raja dan pemimpin itu
adalah Raja Romawi dan Kisra Persia. Dengan demikian, ketika beliau wafat
maka seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah
dirintis oleh beliau. 
Globalisasi akan dapat menciptakan kecendrungan untuk peningkatan
kerjasama internasional dan regional. Namun kepentingan nasional setiap
bangsa masih tetap kuat juga. Dalam era persaingan ini setiap negara
berusaha mewujudkan kemakmuran ekonomi dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan perubahan ekonomi
8
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001), h. 128.

10
masyarakat, perubahan tata kehidupan dan prilaku manusia. Dimana manusia
semakin cerdas, profesional dan trampil mengolah alam dan lingkungan
hidup bagi kebutuhan hidupnya. Namun tanpa disadari telah muncul pula
penurunan kualitas kepribadian manusia.
Mengutip buku Geografi dan Sosiologi, ciri-ciri globalisasi yang dikutip
dari berbagai sumber ialah:
a. Meningkatnya perdagangan global
b. Meningkatkan aliran modal internasional dan investasi
c. Ketergantungan antar negara di bidang ekonomi
d. Meningkatkan interaksi budaya dan perkembangan media massa
e. Masalah suatu negara menjadi perhatian internasional
f. Penyebaran informasi semakin mudah
g. Batas antar negara semakin menipis
h. Meluasnya kegiatan perdagangan.
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya
fenomena globalisasi di dunia:
a. Perubahan dalam konsep dan waktu seperti adanya telepon genggam,
televisi, dan internet menjadikan komunikasi semakin cepat.
b. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi
saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan
international.
c. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa.
d. Meningkatkan masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan krisis
multinasional, instalasi regional, dan lain-lain.
2. Dampak Negatif Globalisasi
Globalisasi yang merupakan perkembangan zaman mengakibatkan gaya
hidup manusia menjadi berubah yang semula mereka saling membutuhkan
menjadi bersikap individualis dan tak peduli dengan orang lain. Globalisasi
selain menghadirkan dampak positif untuk hidup mudah, nyaman, murah,
indah, maju. Juga mendatangkan dampak negatif yaitu menimbulkan
keresahan, penderitaan dan penyesatan.

11
Bagi masyarakat, globalisasi merupakan sebuah fenomena yang banyak
menimbulkan dampak negatif yang dibawa oleh negara-negara Barat dengan
tujuan agar masyarakat mengikuti cara hidup di negara mereka. Efek-efek
negatif tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang mempunyai nilai materi
(tidak produktif) dianggap sebagai tindakan yang rasional.
b. Jatuhnya manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material.
c. Peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi
wewenang sains (sekularistik).
d. Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku
dan tindakan.
e. Terjadinya frustasi eksistensial seperti hasrat yang berlebihan untuk
berkuasa merasa hidupnya tidak bermakna.
f. Terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya
dan miskin, konsumeris. 9
Demikian kondisi era globalisasi sebagai ancaman bagi umat Islam.
Dimana dengan meyebarnya alat komunikasi, kita dapat mengakses dan
melihat gambar-gambar jorok. Dengan melihat pruduk iklan menjadikan
menjadikan masyarakat berbudaya kumsumtif dengan gaya hidup seperti apa
yang ada pada sinetron atau bahkan senang dengan gaya hidup global.
Dengan melihat adegan kekerasan menjadikan sifat dan mental anak kecil
meniru kekerasan. Sedangkan bagi faham kebebasan menjadikan anak ABG
mendefinisikan kebebesan sama dengan kebebasan pada dunia sekuler,
sehingga disini nilai agama, norma dan budaya lokal terancam. Kebebasan
tersebut adalah kebebasan yang menjurus pada kepuasan lahiriah (pleasure),
egoisme, dan hedonisme

E. Beberapa Problema yang Dihadapi IAIN


1. Raw input

9
Tim Penyusun. Pengantar Studi Islam. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009), h.
235

12
Banyaknya peraturan-peraturan pemerintah, maka lembaga-lembaga
pendidikan yang ada dituntut untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-
peraturan yang dimaksud. Madrasah mulai dari tingkat dasar sampai
menengah disebut dengan sekolah yang berciri khas Islam. Penanaman ini
mengandung konsekuensi bahwa kurikulumnya sama dengan kurikulum
sekolah dan ditambah dengan ciri khas Islam.
Untuk Madrasah Aliyah Umum (MAN), kurikulumnya sama persis
dengan Sekolah Umum (SMU), yakni yang terdiri dari 3 program: IPA, IPS,
dan Bahasa. Dari pembagian program tersebut dapat diambil kesimpulan:
a. Siswa MAN tidak dipersiapkan secara akademik untuk memasuki
Perguruan Tinggi Islam.
b. Kesiapan mental siswa MAN juga bukan ditempa untuk memasuki
Perguruan Tinggi Islam
Bertolak dari 2 asumsi di atas, maka secara kuantitatif tidak mustahil akan
berkurangnya minat siswa MAN untuk memasuki IAIN. Selain itu,
seandainya mereka memasuki IAIN, permasalahan yang mendasar adalah
ilmu-ilmu basic keagamaan dan bahasa arab yang mereka miliki lemah,
sehingga kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kurikulum IAIN.
2. Tenaga Pengajar
Sejak diberlakukan standar minimal pendidikan dosen yang mengajar di
perguruan tinggi, maka IAIN telah berupaya untuk menyesuaikan tuntutan
tersebut sehingga tamatan s-2 telah mendomonasi pendidikan dosen IAIN,
sebagian telah ada yang berpendidikan doktor dan guru besar. Kendatipun
demikian, beberapa permasalahan dosen IAIN juga ditemukan diantaranya,
sedikitnya hasil penelitian yang dipublikasikan pada majalah-majalah yang
terakreditasi. Begitu juga riset-riset yang bersumber dari hibah bersaing kecil
sekali yang memperolehnya. Tulisan-tulisan ilmiah dalam buku cetak, baru
sebagian dosen IAIN yang melaksanakannya. Pemakalah-pemakalah pada
seminar nasional dan internasional masih sangat terbatas jumlahnya.
3. Out put

13
Masalah yang sering muncul dari output IAIN adalah tentang lapangan
kerja, dan persoalan ini tidak hanya dialami oleh alumni IAIN saja, tetapi
hampir seluruh alumni perguruan tinggi. Oleh karena itu, IAIN harus
memberikan ketrampilan berwiraswasta kepada mahasiswanya. Keterampilan
itu dapat diberikan dalam bentuk intrakurikuler, esktrakurikuler ataupun
pelatihan-pelatihan yang terjadwal.
Selain dari itu, pengembangan keprofesian yang dimiliki oleh alumni
IAIN harus dapat dipertahankan dan ditingkatkan serta dapat dijual di
masyarakat. Artinya masyarakat membutuhkannya.
4. Proses belajar mengajar
Proses belajar mengajar ini tergantung pada dua hal pokok, pertama
sarana dan fasilitas, kedua keterampilan tenaga pengajar, sampai sekarang
masalah pertama pada umumnya baru terpenuhi pada hal-hal bersifat primer.
Sedangkan masalah ketrampilan mengajar sikap mental adalah salah satu
yang paling menentukan kesuksesan belajar-mengajar.
a. Kurikulum
Permasalahan yang diusahakan pada kurikulum IAIN ini, perlu
perampingan, sehingga mata kuliah yang betul-betul terarah kepada
pembentukan indikator-indikator individu yang diciptakan. Tumpang
tindih dalam pembahasan bidang ilmu-ilmu agama sering muncul, dan
dapay disajikan dalam bentuk yang utuh. Selain itu, perlu diprogram jenis
ketrampilan yang mungkin dapat diwujudkan.
b. Kesiapan Menghadapi Globalisasi
Secara konsepsiona, pendidikan Islam itu bertujuan untuk membentuk
pribadi muslim seutuhnya mengembangkan seluruh potensi manusia, baik
yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah. Dengan demikian,
pendidikan Islam itu berupaya untuk mengembangkan individu seutuhnya
sekaligus pewarisan nilai-nilai Islam.10
Secara lebih khusus lagi, pendidikan Islam itu berupaya untuk
membentuk khalifah Allah di bumi sekaligus sebagai ‘abd Allah (sesuai
10
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2014), h. 128.

14
tuntunan Al Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 30 dan surat asz-Dzariyaat
(51) ayat 56). Pakar-pakar pendidikan Islam kontemporer pun seperti:
Naquib Al Attas, Hasan Langgulung dan Ali Ashraf juga berpendapat
yang intinya adalah menempatkan pendidikan Islam itu pada proporsi
yang sesungguhnya, yang pada beberapa abad sebelumnya tidak demikian.
Reformasi pendidikan Islam telah dimulai pada penghujung abad ke-
19 dan awal abad ke-20. Salah satu diantaranya yang paling mendasar
adalah meletakkan kedudukan ilmu dalam pandangan Islam. Telah lama
terjadi di dunia Islam konsep keilmuan melenceng dari posisi yang
sebenarnya. Ilmu yang berkembang pada masa sebelum reformasi itu
adalah ilmu-ilmu yang terfokus kepada hablun minallah saja, dan
mengabaikan ilmu yang berkenaan dengan hablun minannas dan hablun
minal’alam.
Konferensi Islam Internasional tentang pendidikan telah mencoba
menata kurikulum pendidikan Islam yang sesuai dengan semangat
pembaruan pendidikan Islam tersebut. Pembagian ilmu menurut
pandangan Islam yang dibagi kepada dua bagian yaitu perennal
knowledge dan acquired knowledge yang oleh konferensi internasional
tentang pendidikan telah disusun mulai dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Di dalam penyusunan subjek-subjek tersebut telah
dirancangkan seluruh ilmu yang mesti dikuasai oleh setiap Muslim.
Aplikatifnya tentu tidak lepas dari tujuan institusional dari suatu lembaga
pendidikan tersebut. Dalam hal ini tentu ada lembaga pendidikan yang
penekanannya kepada ilmu yang tergolong acquired knowledge dan ada
pula perennial knowledge yang masing-masingnya mesti pula
menempatkan keseimbangan yang wajar sesuai dengan tujuan institusional
masing-masing pula.
IAIN sejak berdirinya telah berupaya untuk merancangkan kedua jenis
ilmu tersebut dalam program kurikulumnya secara seimbang dengan tetap
mengedepankan tujuan institusionalnya, yakni untuk menyiapkan tenaga

15
dalam bidang ilmu agama. Penyusunan kurikulum yang tergolong ilmu
acquired knowledge disesuaikan dengan fakultas dan jurusannya.
Di dalam menyahuti perkembangan era globalisasi yang mau tidak
mau akan muncul, perlu mendapat perhatian dalam beberapa hal.
Pertama, kurikulum, permasalahan yang muncul adalah kurikulum
bagaimanakah yang adaptif buat dunia global tersebut. Ilmu-ilmu basic
tetap ilmu perennial knowledge tetapi bagaimanakah supaya outputnya
bernuansa global. Kedua, kualitas, sudah dimaklumi bahwa era global
tersebut adalah era kompetitif, pada era ini dikedepankan adalah
keunggulan. Untuk meningkatkan kualitas tersebut tidak mungkin semata-
mata diserahkan kepada IAIN saja dalam arti memadakan dan
memanfaatkan fasilitas, sarana dan faktor-faktor pendidikan yang ada saja,
tetapi diharapkan seluruh civitas akademika IAIN turut terlibat di
dalamnya, terlebih-lebih mahasiswanya. Mahasiswa di abad global tidak
hanya menggantungkan pembinaan dirinya pada berlangsungnya proses
belajar dan mengajar semata-mata. Fasilitas pembelajaran yang terbuka
luas bagi mahasiswa di era global harus dimanfaatkan, dengan demikian
proses belajar mengajar tersebut tidak hanya tergantung dan terfokus
kepada intrakurikuler saja. Dalam hal ini lembaga formal (IAIN) akan
bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Dalam kaitan ini program
kerjasama dengan lembaga-lembaga di luar IAIN memiliki kedudukan
yang amat penting. Kualitas hasil pendidikan ditentukan oleh banyak
faktor, antara lain sarana dan fasilitas, tenaga pengajar, peserta didik,
lingkungan yang kondusif. Kesemuanya ini mesti berorientasi global, bila
tidak, sudah dapat dibayangkan tidak mungkin dapat menyahuti tuntutan
global tersebut.
Masalah yang ketiga adalah kelembagaan. Mengingat makin
bervariasinya minat dan tuntutan masyarakat pada era global tersebut.
Boleh jadi tuntutan untuk mengubah IAIN menjadi universitas di masa
yang akan datang kelihatannya semakin mendapat tempat. Mengubah
IAIN menjadi universitas bukanlah mudah, banyak kendala intern dan

16
ekstern yang muncul. Akan tetapi karena ia merupakan tuntutan dan
kebutuhan masa depan, kesulitan tersebut harus dicarikan
penyelesaiannya.

F. Persiapan dalam Menghadapi Globalisasi


Berdasarkan berbagai sumber referensi, penulis menguraikan beberapa
langkah persiapan IAIN dalam menghadapi globalisasi.
1. Menghilangkan Dikotomi Keilmuan di IAIN
Paradigma Ilmu Umum dan Ilmu Keislaman (akhirat) merupakan akar
masalah sulitnya terjadi perkembangan paradigma keilmuan di IAIN. IAIN
perlu memperluas paradigma keilmuannya sebagaimana berbagai konsep
dengan berbagai nama yang ditawarkan, sebut saja Interkoneksi Ilmu,
Integrasi Ilmu, atau Reintegrasi Ilmu.
Menghilangkan paradigma dikotomis ini tidak cukup lagi dengan
konsep-konsep akademis dan filosofis saja. Namun juga membutuhkan
langkah taktis berbentuk kebijakan yang diambil ole Pemerintah. Sehingga
tidak tertutup kemungkinan bahwa integrasi ilmu suatu saat diharapkan juga
terwujud menjadi integrasi kelembagaan. Pada tahap integrasi kelembagaan
inilah nntinya tidak akan ada lagi dikotomi. Karena dalam sejarahnya
dikotomi ilmu ini dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda atas saran Snouck
Hurgronje tentang perlunya memisahkan lembaga pendidikan Islam dengan
lembaga pendidikan umum, sehingga dibentuk berbagai ordonansi
(peraturan).
Meningkatkan Kualitas Dosen melalui proses seleksi
Posisi terdepan dalam mempertahankan dan membenahi kualitas dan
meningkatkan daya saing IAIN salah satu langkah operasional yang
dilakukan adalah melakukan proses seleksi dosen yang ketat. Dikarenakan
banyaknya program studi umum di IAIN maka untuk membentuk kualitas
dosen seharusnya proses perekrutan tidak hanya menguji kecakapan atau
keahlian calon dosen di ilmunya saja, tetapi juga harus mengetahui atau
paling tidak peduli dengan corak dn paradigma keilmuan di IAIN. Maka

17
setiap calon dosen yang akan masuk di IAIN harus memiliki kecakapan
Bahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadits, Sejarah Peradaban Islam dan Filsafat
Islam. Hal ini diperlukan agar proses integrasi dan menghapuskan dikotomi
ilmu di IAIN dapat berjalan dengan baik. Misalnya seorang calon dosen
Biologi di IAIN maka seharusnya calon dosen juga memahami bagaimana
Biologi dalam Islam. Selanjutnya setelah proses seleksi dosen yang ketat,
maka pemerintah dan IAIN harus mempersiapkan secara intensif setiap
wawasan dosen yang telah lulus seleksi, terutama bagi dosen yang non studi
Islam. Seperti Ilmu Ekonomi, Ilmu Komputer, Ilmu Fisika, Ilmu Politik, dan
sebagainya yang membutuhkan sentuhan keislaman.
2. Memperkuat Riset dan Pengembangan
Pemerintah seyogyanya dapat mengeluarkan kebijakan yang pro bagi
aktivitas riset dan pengembangannya. Corak-corak penelitian di IAIN juga
mulai diarahkan tidak lagi semata-mata sebagai laporan beban kerja dosen,
namun benar-benar mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang
sedang dihadapi masyarakat. Tanpa adanya kegiatan riset yang berkualitas,
maka IAIN tidak akan mampu mengejar ketertingalan dalam berbagai aspek
keilmuan dibandingkan dengan masyarakat Barat. Jika Barat berhasil sukses
mengembangkan berbagai ilmu melalui riset. Maka sebenarnya pemerintah
akan dapat menyelesaikan permasalahan sosial politik dan kebudayaan
dengan pendekatan keilmuan yang dikembangkan di IAIN yang didukung
dengan riset.
3. Meningkakan kualitas dan kualitas pengabdian masyarakat
Aktivitas pengabdian pada masyarakat menjadi jembatan pertemuan
antara masyarakat kampus dan masyarakat. Dari teoritis langsung kepada
penerapan praktis, serta dari konseptual menjadi akrab terhadap realitas. IAIN
dapat membenahi kualitas dan kuantitas aktivitas pengabdian pada
masyarakat sehingga masyarakat merasakan dampak langsung dari kegiatan
sivitas IAIN. Jika aktivitas pengabdian masyarakat berjalan dengan baik dan
bekualita, maka hal ini akan menjadi media promosi dan sosialisasi IAIN
kepada masyarakat. Salah satu aktivitas pengabdian masyarakat yang harus

18
dibenai adalah kuliah kerja nyata. Dalam praktiknya aktivitas pengabdian
masyarakat ini menemui banyak masalah, sehingg tidak jarang masyarakat
merasa tidak banyak terbantu dengan kehadiran mahasiswa tersebut. Hal ini
karena mahasiswa tidak dilatih dan mempersiapkan program pengabdian
masyarakatnya dengan baik. Jika tahap awal pembenahan aktivitas
pengabdian masyarakat ini berkualitas, maka masyarakat akan memandang
positif mahasiswa dan alumni IAIN.
4. Meningkatkan Kapasitas Institusi IAIN
Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengarahkan pada
peningkatan kapasitas institusional IAIN. Banyak aspek institusional yang
harus dibenahi, salah satunya sumber daya manusia. Dosen-dosen di IAIN
harus diberikan akses luas untuk meningkatkan kapasitas dirinya, apakah itu
berbentuk studi lanjut atau mengikuti pelatihan, workshop, dan seminar-
seminar. Dosen-dosen di IAIN harus diberikan akses untuk melihat
kehidupan akademik di luar negeri, sehingga mereka memiliki perspektif
yang luas. Dengan bekal dosen yang sudah mumpuni inilah selanjutnya
secara organik IAIN akan dapat meningkatkan kualitas institusi. Tidak hanya
dosen, staf-staf administrasi juga harus meningkatkan keahlian dan
pelayananan yang mencerminkan kualitas total.
5. Mempertegas Penghapusan Dikotomi Ilmu dengan Melibatkan IAIN
dalam Proyek-Proyek Keilmuan dan Teknologi
Permasalahan utama yang dihadapi IAIN adalah begitu kronisnya stigma
bahwa IAIN hanyalah lembaga dakwah yang mengkaji Islam an sich. Tidak
hanya stigma yang dibuat masyarakat, namun pemerintah juga masih
memiliki paradigma bahwa IAIN hanya memiliki wilayah kajian keislaman,
dan seperti tidak berwenang terlibat dalam riset-riset teknologi. Jika dirujuk
dalam kajian keilmuan Islam, bahwa Islam sangatlah universal, dan Islam
tidak mendikotomi antara ilmu agama dan ilmu akhirat. Mempelajari sains
dan teknologi dalam Islam juga merupakan kewajiban umat Islam untuk
mengkajinya agar dapat mendukung setiap apa yang dibutuhkan oleh ummat.

19
Oleh karena itu pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang mempertegas bahwa IAIN bukanlah perguruan tinggi Islam yang
semata-mata mempelajari Islam sebagai doktrin atau ajaran agama, namun
IAIN juga memiliki hak untuk mengkaji, dan memperluas riset dan teknologi.
Jika kebijakan ini dilakukan maka untuk melakukan perubahan dan
meningkatkan kualitas IAIN dalam rangka menyikapi berbagai dinamik
sosial dan keilmuan sesungguhnya IAIN tidak perlu berubah menjadi UIN.
Dengan adanya kebijakan yang tidak dikotomis, maka pada masa mendatang
IAIN dapat menjadi pusat keunggulan ummat Islam, tanpa harus
menghilangkan identitasnya.
Salah satu langkah taktis yang dapat dilakukan adalah masuknya IAIN ke
bawah naungan Kemenristek dan Dikti. Dikotomi keilmuan bisa dihapuskan
ketika tidak ada pemisahan kelembagaan. Jika IAIN masih tetap terpisah dari
blue print pemerintah untuk mengembangkan riset dan teknologi maka IAIN
akan semakin terstigma sebagai lembaga yang hanya fokus melakukan
pengkajian Islam an sich yang minim aktivitas riset dan pengembangan
teknologi.

G. IAIN dengan Mandat yang Diperluas


IAIN dengan mandat yang diperluas maksudnya adalah bahwa IAIN tidak
hanya mengajarkan ilmu agama, akan tetapi diperkenalkan membuat disiplin ilmu
lain, seperti psikologi.

H. Perubahan IAIN Menjadi UIN


Wacana tentang IAIN menjadi universitas telah muncul beberapa tahun yang
lalu, tepatnya pada maa Tarmizi Taher menjadi Menteri Agama. Pemikiran itu
juga didukung sepenuhnya oleh Prof. Dr. Harun Nasution yang ketika itu beliau
menjadi Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhirnya wacana itupun berkembanglah dikalangan civitas akademika IAIN di
seluruh Indonesia terutama para pemimpinnya, karena itu tidak heran apabila ada

20
pertemuan berskala nasional para pimpinan IAIN selalu saja membicarakannya,
baik dalam diskusi formal maupun nonformal.
Ide dan cita-cita perubahan itu sangat menarik, sebab IAIN yang selama ini
berstatus institut, dimana pengembangan keilmuannya terbatas dalam bidang ilmu
agama saja, akan berkembang kepada cakupan yang lebih luas, yakni universitas
yang dimaknai dengan pengembangan keilmuan dalam berbagai rumpun pokok
keilmuan.
Ditinjau dari segi pengertian universitas dan institut, terlihat bahwa universitas
lebih luas jangkauan keilmuan yang dikembangkan dibanding institut, oleh karena
universitas mengembangkan sejumlah disiplin ilmu pengetahuan teknologi
dan/atau kesenian. Adapun institut mengembangkan sekelompok ilmu
pengetahuan teknologi dan/atau kesenian yang sejenis. Dalam PP No.60 Tahun
1999 terlihat bahwa universitas menyelenggarakan program pendidikan akademik
dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau kesenian tertentu, sedangkan institut menyelenggarakan program
pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang sejenis.11
Konferensi Islam internasional tentang pendidikan Islam tersebut berhasil
merumuskan konsep ilmu yang akan dikembangkan di lembaga pendidikan Islam
termasuk universitas. Menurut hasil konferensi tersebut ilmu terbagi dua:
pertama, ilmu-ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasar kepada wahyu,
misalnya Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, ilmu-ilmu peralihan (acquired
knowledge) termasuk di dalamnya ilmu sosial dan ilmu kealaman dan aplikasinya,
dan di dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam itu, kedua ilmu dimaksud
mesti tercakup pada semua jenis dan jenjang pendidikan.12
Selain dari yang disebutkan di atas, universitas Islam itu juga mesti bercirikan
masuknya nilai-nilai Islam ke dalam setiap disiplin ilmu yang dikembangkan
mencakup ilmu sosial, humaniora dan ilmu kealaman. Mengenai hal ini, telah
banyak perbincangan pakar tentang bagaimana upaya yang dilakukan dalam
memasukkan nilai-nilai Islami ke dalam disiplin ilmu. Harun Nasution telah
11
PP No. 60 Tahun 1999, pasal 6 ayat 5,6.
12
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam ..., h. 133.

21
membentangkan tentang perbedaan universitas Islam dan universitas lainnya.
Menurut beliau, perbedaannya di perguruan tinggi umum lainnya itu yang
diajarkan adalah ilmu pengetahuan Barat yang sekuler, tidak dikaitkan dengan
agama, terutama tidak dikaitkan dengan Tuhan. Kalau di Universitas Islam Negeri
semua ilmu-ilmu sains itu dikaitkan dengan Tuhan.
Jadi, memang ciri yang paling prinsip dalam universitas Islam adalah
konsep dasar filsafat keilmuannya. Pada universitas Islam konsep dasar keilmuan
itu berdasar kepada konsep ilmu menurut Islam, seperti yang digambarkan di atas.

BAB III
PENUTUP

IAIN telah tumbuh dan berkembang sejak beberapa dasawarsa yang lalu,
dan telah menunjukkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Hasilnya telah banyak alumninya yang berkiprah di tengah-tengah kehidupan
bangsa dan negara. Pelayanan kehidupan beragama, seperti dai, guru agama,
pegawai, pemikir dan hakim agama adalah merupakan profesi alumni IAIN.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, maka IAIN harus lebih
membuka diri untuk menyahuti tuntutan masa depan. Dalam rangka untuk
menyahuti perkembangan zaman ada tiga hal pokok yang harus menjadi
perhatian, pertama masalah kurikulum yang senantiasa dievaluasi agar sesuai
dengan kemajuan zaman, kedua kualitas dan ketiga pembaruan kelembagaan.
Idealnya, konsep Universitas Islam adalah mengembagkan berbagai ilmu
baik yang tergolong perennial konowledge maupun acquired knowledge. Akan
tetapi bukanlah sesuatu yang salah dalam konsep pendidikan Islam seandainya
target ideal itu belum tercapai untuk membina suatu lembaga yang penekanannya
kepada salah satu jenis ilmu lainnya. IAIN sebelum menjadi sebuah universitas
penekanannya tetap kepada ilmu yang tergolong perennial knowledge dengan
tidak mengabaikan mata kuliah yang tergolong kepada acquired knowledge yang
relevan dengan fakultas dan kejuruan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium


Baru Jakarta: Kencana, 2018.

Danim, Sudarwan. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2003.

Daulay Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di


Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2014.

Fadjar, A. Malik (ed), PlatformReformasi Pendidikan dan Pengembangan


Sumber Daya Manusia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Fridiyanto, Dinamika Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Jurnal Management


Education, Higher Education Management, Islamic Higher Education,
2019.

Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Buku Tahunan Institut Agama Islam
Negeri Al Jamiah Al Islamiah Al Hukumiah, Yogyakarta, 1960

Nata, Abudin. Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam


di Indonesia, Bogor: Kencana, 2003.

PP No. 60 Tahun 1999

Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001.

23
Syafri Ulil Amri, Menuju Perguruan Tinggi Islam:Antara Da’wah dan
Intelektualisme Islam, dalam Jurnal Dakwah, STID Muhammad Natsir,
2009.

Tim Penyusun. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai