Di susun oleh:
1
KATA PENGANTAR
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan yang kami miliki
dan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadiri bahwa dalam
penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata
kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan yang kami harapkan sebagai bahan
koreksi untuk kami.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di tengah perkembangan teknologi pendidikan yang semakin
maju dan fasilitas pendidikan yang semakin berkembang, tidak
dipungkiri bahwa krisis pendidikan telah menimpa pendidikan modern di
seluruh belahan negara, baik itu negara maju atau negara berkembang,
dimana sistem pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
negara, yang akhirnya mengakibatkan jumlah dan angka pengangguran
yang semakin meningkat. Meluasnya kekerasan pada pelaku pendidikan,
akibat krisis kepimimpinan dan hilangnya qudwah hasanah (contoh yang
baik) di keluarga dan di lembaga pendidikan, yang bersumber dari
hilangnya aqidah shahihah (aqidah yang benar) dan nilai-nilai kemuliaan
dari wajah pendidikan modern.
1
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta : Gaya Media Pratama. Cet
Pertama. Hal 30.
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2001,
Jakarta, Pt.Gramedia, Hal 338
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu agama?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa memhami pengertian ilmu agama
BAB II
PEMBAHASAN
5
2.1 Pengertian Ilmu Agama Islam
Islam adalah adalah agama yang Syamilah Mutakamilah,
universal dan telah disempurnakan Allah,syariat dan hukum-hukumnya
adalah universal yang tidak terbatas oleh ruang waktu dan tempat,
sempurna dan menyempurnakan terhadap agama-agama sebelumnya
sehingga ia tidak hanya menjadi rahmat bagipengikutnya, namun juga
merupakan Rahmatan Lil Alamin, rahmat dan kasih sayang bagi semesta
alam dan semua ummat manusia.
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian
agama islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Dari segi
kebahasaan Islam berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima
aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Pengertian Islam demikian itu, menurut Maulana Muhammad Ali
dapat dipahami dari firman Allah yang terdapat pada ayat 202 surat Al-
Baqarah yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam islam secara kesuluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-
langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Dari uraian di atas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa
kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan
berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan
kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian
dilakukan atas kesadaran dan kemauan sendiri, bukan paksaan atau
berpura-pura, malainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai
makhluk yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan
tunduk kepada Tuhan.
Secara istilah islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal
dari Allah SWT, nama islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar
biasa dengan nama agama lainnya. Kata islam tidak mempunyai
hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari
suatu negeri. Kata islam adalah anama yang diberikan oleh Tuhan
sendiri. Hal ini demikian dapat dipahami dari petunjuk ayat-ayat Alquran
diturunkan oleh Allah Swt.2
2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta : Gaya Media Pratama. Cet
Pertama.
Ilmu dalam perspektif islam menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah
Ilmu an-Nafi`, semua ilmu yang bermanfaat, dan mengajarkan ilmu tersebut
6
kepada ummat manusia, karena sebab mendasar tersesatnya ummat ini dari
jalan Allah dan terjerumusnya mereka ke dalam kesesatan adalah tidak
adanya ilmu dalam beramal. Oleh karena itu menurut Ibnu Taimiyah
menuntut ilmu adalah Ibadah, safar dalam mencari ilmu adalah Jihad,
mengajarkannya kepada orang yang belum tahu adalah Shadaqah, dengan
ilmu seorang hamba mengenal dan menyembah Allah serta memuliakan
dan mentauhidkannya.
Hal 30.
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2001,
Jakarta, Pt.Gramedia, Hal 338
3
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, 2005, Jakarta : Gaya Media Pratama. Cet
Pertama. Hal 30.
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam,
2001, Jakarta, Pt.Gramedia, Hal 338
8
4. Ilmu tentang sumber pengetahuan religius. Sumber pengetahuan ini
ada dua, yakni sumber primer: Al-Qur’an dan Sunnah;dan sumber
sekunder, yakni ijma’dan tradisi para sahabat.
4H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU
AGAMA& ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press
5 H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid,h.235
intelektual (aqliy);(2)
Klasifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok (ushul)dan ilmu tentang
cabang-cabang (furu’).6
6 H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU
AGAMA & ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press
7 H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid, h. 287.
8 H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid, h. 148.
9 H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. Ibid, h. 170
Pada abad ke-3 H, ‘Ali ibn Madini (w. 234 H) menulis kitab tentang
asbab al-nuzal (latar belakang turunnya al-Quran), Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn
salam menulis kitab tentang nasikh wa masukh (penghapusan atau
pembatalan ayat al-Quran), qiraat (variasi bacaan al-Quran) dan tentang
fadhail al-Quran (keutamaan-keutamaan al-Quran), Muhammad ibn Ayyub
al-Dharis (w. 293 H) menulis tentang kitab tentang ayat-ayat makiyyah dan
madaniyah. Pada abad ke-4 Abu Bakt Muhammad ibn al-Qasim al-Anbari
(w. 328 H) menulis kitab ‘Ajaib al-Quran (keajaiban- keajaiban dalam al-
Quran) membahas tentang keutamaan-keutamaan al-Quran , bacaan al-quran
dengan tujuh dialek, penulis mushaf, dan tentang jumlah surat, ayat dan
kalimat dalam al-Quran. Pada masa ini juga penulisan tentang ilmu-ilmu al-
Quran dilakukan oleh Abu al-Hasan al_Asy’ari, abu Bakr al-Sijistani (w. 330
H), Abu Muhammad al-Qashab Muhammad ibn ‘Ali al- Adfawi (w. 388 H).
13
Adapun tafsir batbiniyyah adalah penafsiran yang hanya terbatas
pada pengambilan arti batinnya al-Quran saja dan meninggalkan arti lahirnya
. Tafsir aliran ini dinilai menyalahi ketentuan dasar syariah dan kaedah-
kaedah, dan dengan demikian, dia jauh dari konteks al- Qur’an yang
sebenarnya. Termasuk dalam kategori tafsir bi al-ra’y juga adalah
bentuk penafsiran baru yang muncul pada abad-abad Al-Jawahir fi Tafsir al-
Quran (permata-permata tentang penafsiran al-quran) oleh thanthawi Jauhari
(1286-1358 H/ 1870-1949 M). Tafsir ini, antara lain memuat uraian tentang
berbagai ilmu pengetahuan umum yang diisyarattkan oleh ayat-ayat al-
Quran, suatu uraian yang tidak pernah dilakukan oleh para musafir.
Pada masa kenabian, hanya ada sedikit hadits nabi yang ditulis oleh
para sahabat. Memang mereka lebih menekankan pada penghapalan dan
penulisan yat-ayat al-Quran yang telah diwahyukan Allah kepada nabi
secara bertahap. Nabi senidiri di awal kenabiaannya mencegah para sahabat
untukmenulis hadits, dan hanya mengizinkan penyampaiannya kepada
14
orang lain secara lisan.
Setelah itu pada awal abad kedua hijriyah banyak dari para tabi’in
yang memerintahkan muridnya untuk menulis hadist, yakni ketika
kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak adalagi, seperti yang dilakukan
syaid ibn al-Musayyab (w. 105) kepada muridnya, Abd al-Rahman Ibn
harmalah.orang yang pertama sekali menyambut perintah khalifah untuk
membukukan hadist ini adalah Muhammad ibn muslim ibn syihab al-Zuhri
(w. 124 H)
Ilmu hadist dirayah ini juga sering disebut dengan istilah ‘ilm al-
Hadist dan ushul al- Hadist. Banyak sekali macam-macam ilmu yang
masuk dalam ilmu hadist ini, sehingga sering para ilmu penulis ini
mengatakan bahwa bahasannya tidak mencakup semuanya. Diantara ilmu-
ilmu hadist yang terpenting adalah ‘ilm al-Jarh wa ta’dil (ilmu tentang cara
menilai baik dan buruknya periwayat hadist), ‘ilm rijal al-Hadist (ilmu
tentang tokoh-tokoh Hadist), ‘ilm mukhtalaf al-Hadist (ilmu yang
melahirkan hadist-hadist yang lahirnya kontradiktif serta kemungkinan
untuk mengkompromikannya), ‘ilm ‘ilal al-Hadist (ilmu tentang sebab-
sebab yang menjadikan tercelanya hadist-hadist), ‘ilm gharib al-Hadist
(ilmu tentang kata-kata dalam hadist yang mengandung arti samar-samar
atau aneh) dan ‘ilm nasih al-Hadist wa mansukhih (ilmu tentang
kontradiktif, yang tidak dikompromikan, sehingga jalan keluarnya adalah
15
dengan cara menjadikan salah satunyasebagai penghapus hukum yang ada
pada hadist lainnya).
Sebagai reaksi dari faham jabr ini muncul faham ikhtiyar, yakni bahwa
manusia itu bebasberkehendak dan menentukan perbuatannya, dan dengan
kehendak ini ia pun bisa melakukan mana yang benar dan mana yang yang
salah. Oleh karena itu, faham ini juga disebut faham qadariyyah. Faham ini
pertama sekali dikemukakan oleh Ghaylan ibn Marwan al-Dimasyqi,
sehingga oleh sebagai ulama ia dianggap sebagai tokoh Mu’tazilah. Namun,
dalam hal konsep iman ia cenderung kepada faham Murji’ah, yakni
pengakuan akan adanya Allah dan rasul-Nya, walaupun tanpa diikuti dengan
perbuatan. Oleh karena itu, disuatu waktu ia disebut Mu’tazili (pengikut
aliran Mu’tazilah) atau qadari (pengikut aliran Qadariyah), dan dilain waktu
ia disebut juga Murji’i (pengikut aliran Murji’ah). Penyebaran faham
qadariyyah ini dibantu oleh seorang teman Ghaylan yang bernama Ma’bad
ibn Khalid al-Juhani (w. 80 H), sehingga ada pendapat yang menyatakan,
17
bahwa Ma’bad lah orang pertama yang mengemukakan faham ini.
Pendiri lain aliran Ahl al-Sunnah wa al- Jama’ah adalah Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333 H). meskipun faham al-Asy’ari dan al-Maturidi ini
muncul sebagai reaksi dari faham Mu’tazilah, tetapi faham keduanya tidak
selalu sama. Mereka memiliki persamaan, misalnya tentang sifat- sifat
Allah, tentang kekekalan Al-quran dan tentang orang mukmin yang
melakukan dosa besar. Dalam hal perbuatan manusia, al-Maturidi
sependapat dengan Mu’tazilah, yakni manusia sendirilah yang menentukan
perbuatannya. Pada umumnya, pengikut mazhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali
mengikuti faham teologi al-Asy’ari sedangkan pengikut mazhab Hanafi
mengikuti faham al-Maturidi. Namun demikian, pada abad ke- 7 H
dikalangan pengikut mazhab Hanbali muncul gerakan baru, yang disebut
aliran Salaf, yakni faham yang menganjurkan mengikuti faham kaum
19
Muslimin pada masa dahulu (para sahabat). Tokoh aliran ini adalah Ibn
Taimiyyah (661-728 H) di Suriah, yang kemudian pada abad ke-12 H
dihidupkan kembali oleh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab (1115-1201 H)
di semenanjung Arabia.
Filosuf Islam terkenal yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn
Ishaq al-Kindi (796- 873 M). Ia sebenarnya bukan hanya seorang filosuf,
tetapi juga seorang ilmuan. Buku-buku yang ditulisnya berkaitan dengan
berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti matematika, astronomi, farmasi,
psikologi, dsb. Ia pun menjelaskan, bahwa tidak ada pertentangam antara
filsafat dengan agama, meskipun dalam pemikirannya banyak diperngaruhi
oleh Aristotales, Plato dan Neo- Platonisme. Kemudian muncul filosuf-
filosuf yang tak kalah populer dengan al-Kindi. Abu Nashr Muhammad
ibn Muhammad ibn Tarkhan al-Farabi (257-339 H / 872-999 M), misalnya
di samping seorang filosuf, juga seorang ilmuwan yang menulis buku-buku
tentang filsafat, logika, ilmu politik, fisika, psikologi, matematika,
kimia, dsb. Kalau al-Kindi mendapat gelar “al- Failasuf al-’Arabi”
(Filosuf Arab), maka al-Farabi mendapat gelar ”al- Mu’ailim al -Tsúni”
(Guru Kedua, gelar Guru Pertama diberikan kepada Aristotales). Dalam
pemikiran politik, ia bahkan dinilai pencetus pertama ide-ide tentang
sistem politik yang kemudian dikenal dengan sistem demokrasi.
Filosuf Muslim yang lebih populer dari keduanya adalah Abu ‘Ali
Husain ibn ‘Abdullah ibn Sina (980-1037 M). Di samping seorang filosuf,
ia juga dikenal sebagai seorang dokter, dan telah menulis dua buah buku,
yakni Al Qúnún fi al-Thibb (Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran) dan Al-
Syifâ’ (Pengobatan). Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, buku
yang pertama menjadi buku pegangan di universitas-universitas di Eropa,
21
sehingga Ibn Sina diberi gelar sebagai “the Prince of the Physicians”.
Filosuf lainnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih (330-
420 H). Ia lebih menekankan pemikirannya pada filsafat akhlaq, dan dalam
bidang ini ia telah menulis sebuah buku berjudul Tahdzib al-
Akhlâq (Pembersihan Akhlaq).
23
Pemahaman al-Ghazali tentang ilmu akhlaq menyatu dengan ilmu
tasawuf,sebagaimana yang diungkapkan dalam kitabnya Ihya’Ulum al -Din.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas cara-cara seseorang
mendekatkan dirinya kepada Allah. Definisi lain tentang tasawuf adalah
mengambil jalan hidup secara zuhud ( Al-Zuhd), yakni menjauhkan diri
dari gemerlapnya dunia dan segala bentuknya, disertai dengan pelaksanaan
berbagai bentuk ibadah kepada Allah. Jalan menuju tasawuf ini dilakukan
dengan takhlali,tahalli dan tajalli. Takhalli adalah upaya mengosongkan
diri dari pada kenikmatan hidup duniawi, sedangkan tahalli adalah upaya
menghiasi diri dengan pemilikan sifat,sikap dan perbuatan.
24
hidup mewah para khalifah(dari Dinasti Umayyah maupun Dinasti
Abbasiyyah) dan keluarganya serta para pejabat negara pada masa itu, yang
berbeda sama sekali dengan sikap hidup yang di contohkan oleh Nab dan al-
Khualafa al –Rasyidun. Di antara para khalifah itu hanya khalifah ‘Umar
Ibn Aziz (99- 102 H /717-720 M ) yang memiliki sikap hidup sebagaimana
para al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap zuhud ini pertama muncul di Bashrah
dan Kufah, namun para zuhud kufahlah yang pertama kali memakai pakaian
wol kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakaioleh para
penguasa. Di antara zahid Kufah ini Sufyan al-Tsauri (97-161 H ) Abu
Hasyim (w. 150H ) jabir Ibn Hasyim (w. 190 H ). Di antara zahid Bashrah,
selain Hasan al –Bashri adalah Rabi’ah al- Adawiyah (96-185 H) 714-801
M ) yang terkenal dengan teori “hubb “(cinta)” kepada Allah. Dari kedua
kota inilah aliran zuhud pindah ke berbagai kota, sepert di Khurasan dengan
munculnya Ibrahim Ibn Adharn (w. 162 H), dan Madinah dengan
munculnya Ja’far al – Shadiq (w. 148 H).
Aliran zuhud tersebut pada akhir abad kedua Hijriah, yakni pada
masa Khalifah harun al- Rasyid (170-194 H / 786-809 M), berkembang
menjadi aliran tasawuf. Fungsinya pun mengalami perkembangan, kalau
semula alran zuhud berfungsi sebagai cara untuk beribadah kepada Allah,
maka setelah berkembangnya aliran tasawuf ia menjadi cara untuk
ma’rifah(melihat dengan mata hati) kepada Allah. Adalah Ma’uf al-
Karakhi(w.200 H) yang dipandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-
dasar tasawuf ini. Ia mendefinisikan faham tasawufnya dengan berdasarkan
pada faham “al-hubb” yang kemukan oleh Rabi’ah Adawiyyah. Dan faham
ini membawa pengaruh pada perubahan tujuan aliran spiritual ini. Kalau
jalan hidup spiritual pada masa-masa sebelumnya bertujuan untuk
membebaskan diri dari siksa neraka,maka tujuan dari tasawufnya adalah
untuk memperoleh ma’rifah kepada Allah.
25
faham hulul nya. Ittihad adalah faham tentang penyatuan manusia dengan
Allah,sedangkan hullil adalah faham tentang penempatan Allah pada
tubuh-tubuh manusia, setelah sifat-sifat kemanusiaannya dilenyapkan
(mirip dengan pantheisme). Al –Gazali menjadikan ma’rifah sebagai alat
untuk mencapai kebahagiaan sejati. Ma’rifah yang dimaksudnya adalah
mengetahui rahasia Allah dan peraturan-peraturannya tentang segala yang
ada.
Perbedaan antara ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh adalah kalau ilmu
fiqh membicarakan tentang dalil dan hukum yang bersifat rinci (juz’i),
maka ilmu ushul fiqh membicarakan tentang dalil atau ketentuan yang
bersifat garis besar (kulli) yang berfungsi sebagian besar metodologi dalam
memahami dalil-dalil terperinci. Dalil kulli ini misalkan amr (kata
perintah), nahy (kata larangan), amm ( kata yg menunjukan umum)
khashsh (kata yg menunjukan arti khusus), dsb. Demikian pula, kalau
tujuan mempelajari ilmu fiqh adalah memperpraktikan hukum-hukum
syariah pada perbuatan dan ucapan manusia, maka tujuan mempelajari ilmu
ushul fiqh adalah mempraktikan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap
dalil-dalil rinci untuk mengungkapkan hukum-hukum syariah yang terdapat
dari dalil-dalil itu. Contoh seorang ahli ushul fiqh membahas tentang
hukum wajib dalam suatu kata perintah (amr), sedangkan alhli fiqh
membahas kewajban sholat.
Hukum fiqh sudah keluar sejak zaman Nabi, terutama sejak priode
Madinah,meskipun baru di rumuskan dan di bukukan menjadi ilmu fiqh baru
pada awal abad kedua hijriyah, memang pada zaman sahabat sudah muncul
26
penggunaan logika dalam memahami huukum syariah, misalnya yang di
lakukan oleh umar dengan penggunaan qiyas ( analogi ) dan mashlahah
(kemanfaatan atau kepentingan umum) jika ia tidak menemukan dalil dalam
al- quraan dan hadits.
27
kalau usul fiqh merupakan ketentuan umum sebagai metedologi istinbath
al-ahkam ( memahami hukum-hukum yang terkandug di dalam dalil-dalil
yang rinci), maka qawaid fiqhiyah memudahkan dalam memahami
masalah-masalah fiqh. (b) kalau ilmu ushul fiqh muncul tidak lama setelah
munculnya ilmu fiqh ( bahkan secara ide lebih dahulu dari pada fiqh), (c)
terdapat persamaan antara ushul fiqh dengan qawa’id fiqhiyyah, yakni
kedua-duanya merupakan Kaedah- kaedah umum yang mencakup bagian-
bagiannya hanya, kalau ushul fiqh itu mencakup hukum- hukum fiqh pada
rincian masalah-masalah fiqh yang ada (juz’i).
Sebenarnya cikal bakal qawai’d fiqhiyah ini sudah ada sejak zaman
nabi, karena banyak di antara kata-kata Nabi yang mirip dengaan qawai’d
fiqhiyyah ini, misalnya “al- bayyinah ‘ala al-maddu’i wa al-yamin ala man
ankar”, saksi itu harus di bebankan terhadap orang yang menuduh,
sedangkan sumpah di bebankan terhadap orang yang tertuduh. Demikian
pula, kata- kata sahabat nabi dan generasi setelahnya, termasuk para ulama
mujtahid. Namun munculnya qawai’d fiqhiyyah sebagai ilmu yang
sistematis baru terjadi pada abad ke-3 hijriyah, atau satu abad setelah
munculnya ilmu fiqh dan ushul fiqh. Munculnya ilmu ini tidak terlepas dari
keinginan untuk mempermudah dalam memahami masalah-masalah yang
baru timbul itu jika terdapat persamaan atau keserupaan di antara
keduanya. Sehingga banyak ulama yg menuliskan buku tentang qawa’id
fiqh ini dengan nama al-asybah wa al-nazba’ir ( keserupaan dan
kesepadanan). Namun demikian, qawa’id fiqhiyyah ini tidak bisa menjadi
sumber hukum dalam berijtihad, ia hanya sekedar untuk memudahkan
seseorang untuk berijtihad atau mempelajari hukum-hukum fiqh.
29
melalui lisan. Awal pembukaan sejarah Islam itu bersamaan dengan
awal pembukuan Hadits, karena Hadits dibukukan itu merupakan peristiwa
sejarah yang dialami oleh Nabi. Pembukaan Hadits ini pertama kali
dilakukan oleh Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Syihab al-Zuhri (w.124 H)
sebagai respon terhadap instruksi khalifah ‘Umar Ibnu ‘Abd al-‘Aziz (99-
102 H / 717-720 M). Hadits yang diriwayatkan oleh al-Zuhri kemudian
menjadi dasar penulisan tiga buku sejarah tentang peperangan pada masa
Nabi (al-Maghazi) sayangnya buku pertama dan kedua tidak sampai ke
tangan kita dan tinggal buku ketiga yang ditulis oleh Muhammad Ibnu Ishaq
Ibnu Yasar (w 151 H / 768 M) buku ketiga ini ternyata lebih luas dari
kedua buku sebelumnya, karena ia mencakup tiga bagian, yakni tentang
sejarah masa jahiliyah sejarah masa Nabi dan sejarah peperangan Nabi.
30
(pembebasan Negeri-Negeri).
32
psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan intelektual untuk
merumuskan berbagai hubungan konseptual agama dan ilmu
pengetahuaan.13
11 Muhammad Abduh, Islam; Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani ,terj oleh Haris
Fadillah (Jakarta: Raja Grafindo, 2004) hal.4
12 Amtsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.230-231.
13
Osma Bakar, DR, Tawhid and Science; Islamic perspective on
Religion and Science, (Malaysia: sdn BHR, 2008), hal.60.
14Osma Bakar, DR Ibid, hal.149.
33
Panggilan Al-Qu’an untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu” telah
dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk
didalamnya pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada pengetahuan tentang
realitas Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu sina yang menyatakan, ilmu
pengetahuan disebuh ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan
pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan prinsip Tuhan.15
15 Osma Bakar, DR, Tawhid and Science; Islamic perspective on Religion and Science, (Malaysia:
sdn BHR, 2008), hal.150.
34
2.6 Tokoh-tokoh Pengembangan Ilmu Agama Islam
16
Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007), 59.
17 Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007), 60.
18
Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007)
35
Setelah filsafat mempengaruhi tradisi kalam, setelah al-Ghazali
muncul pemikir besar lain, Fakr al-Din al-Razi. Pencapaian al-Razi dalam
bidang kalam adalah sebagai berikut : sementara al-Ghazali telah
mengkritik proposisi-proposisi tertentu para filsuf, seperti keabadian alam
(bahwa alam tak diciptakan dalam waktu), al-Razi mengikuti filsafat Ibn
Sina, menciptakan sistem kalam untuk menjawab sistem sebelumnya. Inilah
pencapaian luar biasa al-Razi dalam ‘ilm al-kalam, yaitu menghasilkan
sebuah sistem kalam komprehensif untuk menjawab sistem filsafat.19
36
b. Sunan Ampel (Campa Aceh, 1401- Ampel, Surabya 1481)
Nama aslinya adalah raden rahmat. Sunan ampel adalah penerus cita-
cita serta perjuangan maulana malik ibrahim dan terkenal sebagai perencana
pertama kerjaan islam dijawa; ia memulai aktivitas nya dengan mendirikan
pesantren di Ampel Denta, dekat surabaya sehingga ia dikenal sebagai
pembina pondok pesantren pertama dijawa timur.
Di pesantren inilah sunan ampel mendidik para pemuda islam untuk
menjadi tenaga da’i yang akan disebar di seluruh jawa. Dari pemuda islam yag
di didik itu tercatat antara lain raden paku yang kemudian terkenal dengan
sunan Giri.
Nama aslinya adalah Raden Paku, disebut juga prabu sutmata dan
kadang-kadang disebut sultan Abdul Fakih. Ia adalah putra Maulana Ishak
yang ditugaskan Sunan Ampel untuk mengembangkan agama islam di
Blambangan.
37
Jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada
wayang dan gamelan, tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana,
seni pahat dan kesastraan.
i. Sunan Gunung djati (mekah, 144 – gunung jati, cirebon jawabarat 1570)
38
cara untuk sampai kepada tujuan. Menurut Hasan Langgulung
metodologi adalah cara-cara yang digunakan manusia untuk mencapai
pengetahuan tentang realita atau kebenaran. (Hasan Langgulung, 1992, h.
348) oleh karena itu, jika kita berbicara tentang metodologi, maka
pertama kali kita harus bicara tentang manusia sebagai kutub subjektif
dari pengetahuan, yaitu subjek yang mengetahui dan alam jagat yang
merupakan kutub objektif dari pengetahuan, yaitu objek yang dapat
diketahui.
20
Nata, H. Abuddin, 2003. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
42
Filsafat yunani juga di pengaruhi oleh pandangan mitologi yunani
yang bersifat spekulatif, tetapi ilmu pengetahuan yang berkembang belum
di dukung oleh data empiris yang di dasarkan pada eksperimen.
1. Wahyu
43
mustahil pula.
2. Akal
Prof. Wan menjelaskan bahwa aspek akal merupakan saluran
penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu
yang jelas, yaitu perkara yang dapat dipahami dan dikuasai oleh akal
dan tenang sesuatu yang dapat diserap oleh indera. Akal fikiran (al-
aql) bukan hanya rasio. Akal adalah “fakultas mental” yang
mensistematisasikan dan menafsirkan fakta- fakta empiris menurut
44
kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman inderawi
menjadikan sesuatu yang dapat dipahami. Akal adalah entitas spiritual
yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi.
3. Indera
Saeful Anwar mengutip al-Ghazali menyebutkan, panca indera
merupakan sarana penangkap pertama yang muncul dari dalam diri
manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka bentuk
susunan, dari partikular- partikular yang ditangkap indera kemudian
tamyiz (daya pembeda), yang menangkap sesuatu di atas alam empirik
sensual di sekitar usia tujuh tahun, kemudian disusul oleh akal yang
menangkap hukum-hukum akal yang tidak terdapat pada fase
sebelumnya. Panca indera diumpamakan sebagai tentara kalbu yang
disebar ke dunia fisis-sensual, dan beroperasi di wilayahnya masing-
masing dan laporannya berguna bagi akal. Pengetahuan inderawi
dimiliki manusia melalui kemampuan indera. Kemampuan itu
diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya manusia
dapat mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera menghubungkan
manusia dengan hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan indera
bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera dengan yang lain.
Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena indera
merupakan gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.
4. Ilham/Intuisi
Berbeda dengan yang dipahami dalam peradaban Barat, intuisi
bukan sekedar pemahaman langsung, oleh subjek, tentang dirinya;
kesadarannya; ‘diri’ lain selain dirinya; ‘dunia luar’ (external world),
yang universal, nilai- nilai, dan kebenaran rasional. Disamping semua
itu, intuisi, juga, adalah pemahaman langsung tentang kebenaran-
kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, realitas eksistensi-
eksistensi sebagai kebalikan dari esensi; dan karenanya, pada
tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi tentang eksistensi itu
sendiri. Sumber islam menurut Islam dan Barat memiliki perbedaan
yang mendasar. Kerangka epistemologi islam didasarkan pada
otentitas wahyu, sementara barat adalah hasil dari spekulasi-spekulasi
filosis berbasis indera dan akal. Sehingga pembatasan makna 'ilmu'
akan sangat berbahaya jika dikembangkan dalam sistem keilmuwan
bagi orang muslim. Hasilnya akan terjadi kekacauan.21
21
H. Abuddin Nata, Suwito, Masykuri Abdillah dan Armai Arief. 2003. Integrasi ILMU
AGAMA & ILMU UMUM. Jakarta : UIN Jakarta Press
45
2.10 Perspektif Barat tentang Ilmu Agama
46
mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena
keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi terliput di dalam gerak itu. Segala
obyektifitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung
yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber -“ada”-
an sendiri. Ruang justru gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu
adalah gagasan tentang gerak.
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua
kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini
adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk
mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara
rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris.
Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran
manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal.
Berbeda dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek
penelitian, Kant mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek
yang berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan
rasio manusia dan batas-batasnya.
47
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ilmu merupakan bagaikan cahaya dalam sebuah kegelapan. Seseorang yang
memahami apa hakikat sebuah ilmu, maka dia akan mengerti bagaimana cara
memperolehnya, memahaminya, mengamalkannya, dan juga menjaganya.
Banyak sekali para ilmuan, filosof, ulama yang berbondong-bodong untuk
menacari apa itu hakikat sebuah ilmu, hingga akhirnya banyak sekali pendapat,
teori-teori yang menjelaskan asal muasal dari ilmu itu sendiri. Sebelum agama
islam datang, ilmu sudah dipelajari di zaman yunani yang mana masih banyak
kerancuan di dalamnya. Kemudian islam datang dan membawa pemabruan
dengan mengadopsi dasar penemuan ilmu dari para ilmuan yunani. Sehingga
islam menaglami kejayaan pada zamannya karena telah mengembangkan ilmu
dan mengintegrasikanya dengan agama. Kemudian ada beberapa ulama yang
menentang atau berbeda pendapat mengenai adanya filsafat islam, yang
dianggap masih bersifat rancu. Dan juga adanya berbagai faktor dari para orang
islam sendri, yang sudah bisa berfikit kreatif tentang perkembangan ilmu,
berbeda jauh pada zaman kejayaanya dulu. Sekarang datanglah ilmuan eropa barat
yang sudah mengambil alih peran dalam percaturan dunia mengenai
perekmbangan imu pengetahuan. Di mana ilmuan eropa barat memisahkan antara
ilmu umum dengan ilmu agama, sehingga muncul lah ilmu yang bersifat sekuler,
yang jauh dari akan campur tangan tuhan. Yang pada hakikatnya ilmu itu
kemablinya hanya satu yakni Allah.
48
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abduh. 2004. Islam; Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani ,terj
oleh Haris Fadillah.Jakarta: Raja Grafindo hal.4.
iv