Anda di halaman 1dari 13

MAQAMAT DAN HAL

DISUSUN UNTUK MEMENUHI NILAI MATA KULIAH


AKHLAK TASAWUF

Disusun oleh :
Novia Damayanti

Dosen pengampu :
Irfan Hasanuddin, M.A

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH OTTO ISKANDAR DINATA


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Serpong, Tangerang Selatan
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah tentang “Maqamat dan Hal”. Kemudian shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW
yang merupakan lentera atas segala dimensi kegelapan sehingga telah
memberikan ruang keterbukaan bagi kita dalam memasuki pintu-pintu keilmuan
sebagaimana kita dapat mengenal ilmu akhlak tasawuf bab maqamat dan hal.
Dalam hal ini merupakan tugas yang disusun dalam rangka memenuhi nilai
harian.
Selanjutnya tak ada apapun dalam perjalanannya yang tak lepas dari
sekecil dan sedikit dari yang namanya kesulitan, hambatan, rintangan dan
sebagainya. Seperti pula dalam penulisan/penyusunan makalah ini. Dan oleh
sebab itu beribu terima kasih kami haturkan kepada segala pihak yang telah
berpartisipasi dalam rangka penyusunan makalah sederhana ini.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
makalah ini diwaktu yang akan datang.

Tangerang Selatan, 6 Agustus 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan Makalah ............................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat ...................................................................... 3
B. Macam – Macam Maqamat ........................................................... 3
C. Pengertian Hal ............................................................................... 6
D. Macam – Macam Hal .................................................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 10
B. Saran .............................................................................................. 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan


hal/ahwal. Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak
mungkin ada tasawuf baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan
tanpa kehadiran maqamat dan hal.
Dalam menjalani proses maqamat yang berat itu, jiwa seseorang sufi
terbang mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup, manusia dan
Tuhan Yang Maha Agung dan indah. Pada saat yang sama ia juga mengalami
hal/ahwal; merasakan nikmatnya berada puncak spiritual yang tak terkatakan
dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak kenikmatan dan keindahan
ruhani itu secara terbatas oleh Abu Yazid disebut Ijtihad, Hallaj menyebutkan
hulul, Al-Ghazali menamainya ma’rifat, Al-Sarraj menyebutnya Al-
musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya dengan mahabbah.
Begitulah setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri untuk
melukiskan nikmat dan indahnya bertemu dengan Sang Kekasih, walaupun
kata-kata itu sebenarnya tidak dapat menggambarkan sejatinya pertemuan itu
karena keterbatasan-keterbatasan (bahasa) manusia. Allahu a’lam bishawab.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan maqamat ?
2. Apa saja macam-macam maqamat ?
3. Apa yang dimaksud dengan hal ?
4. Apa saja macam-macam hal ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan umum penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi nilai mata
kuliah Akhlak Tasawuf. Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini yaitu
untuk membahas berkenaan dengan maqamat dan hal dalam ilmu akhlak
tasawuf.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah.
Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang
berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik
melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.
Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka
waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.

B. Macam – Macam Maqamat


Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak
sama pendapatnya. Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan
lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-
zuhud, al-wara‟, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridha. Penjelasan atas
masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Al-Taubah (taubat)

Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti


“kembali” dan “penyesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi
adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan

3
berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh
Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan:
(1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat
dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat karena
memandang kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan taubat tersebut,
yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena
merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa
atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan
riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi
dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu
menggapai maqam yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak
ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi :
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui”. (Ali Imron:135)

2. Al-Zuhud

Secara etimologis, zuhud berarti ragaba „ansyai‟in wa tarakahu,


artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-
dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Mengenai pengertian zuhd ini terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi
berkata: “Zuhd ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi
menguasai.” Ali bin Abi Talib ketika ditanya tentang zuhd, menjawab: “Zuhd

4
berarti tidak peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik
seorang yang beriman atau tidak.”

3. Al-Wara‟

Wara‟, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan


dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara‟ dalam pandangan sufi adalah
meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang
menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Dalam kitab Al-
Luma‟ dijelaskan bahwa orang-orang wara‟ dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, wara‟ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara‟ orang
yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di
dada. Ketiga, wara‟ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.

4. Al-Faqr (kefakiran)

Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat,


butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.

5. Al-Shabr (sabar)

Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar


adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan
diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang
ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran. Di kalangan para sufi sabar diartikan
sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi
segala laranganNya dan dalam menerima segala cobaan-cobaan yang
ditimpakanNya pada diri kita.

5
6. Tawakkal

Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin


Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan
Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti
semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-
Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.

7. Ar-Ridha (kerelaan)

Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan


pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah,
menerima qadha dan qadar dengan hati senang.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha
dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan
Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur
jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah
yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah SWT.

Beberapa sikap yang termasuk maqamat itu sebenarnya merupakan


akhlak mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu
membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak
yang mulia. Hal yang demikian identik dengan proses takhali yaitu
membersihkan diri dari sifat yang buruk dengan taubat dan menghiasi diri
dengan sifat yang baik, dan hal ini disebut dengan istilah tahali sebagaimana
dikemukakan dalam tasawuf akhlaki.

C. Pengertian Hal

Secara bahasa, hal berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut


Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak
yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama. Sedangkan

6
menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai
buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan
mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan
sebagainya.

D. Macam-Macam Hal

Dalam hal ada beberapa macam wujud, antara lain :

1. Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga
dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya.
2. Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah
karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak
senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati
karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.

3. Thuma‟ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia
telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.

4. Raja‟
Raja‟ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang
hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja‟ atau
optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:

7
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).

5. Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu
berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi
merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang
diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia
seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang
kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang
disebut al-Uns.

6. Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala.
Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa
yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan
Allah.

8. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi
menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga
pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai
mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang
murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seorang salik
terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah.
Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal
tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan
menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu
bertemu dan bersama Allah.

8
9. Mahabbah

Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal.


Seperti halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid
menyebut mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati
seseorang cenderung kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang
dari-Nya tanpa usaha.
Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-
185 H). Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan
cinta dan rindu yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak
tertuang dalam syair-syairnya.

10. Yaqin

Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa


cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara
langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang
mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang
diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al
Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang
kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya
dengan segenap jiwanya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan


Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun
mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. mencapai
maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang
salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang
berbeda-beda. Maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-
wara‟, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridha.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan
yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai
buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Yang
pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih
dan suci.
Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi.
Adapun al-hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-
raja‟, ath-thuma‟ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.

B. Saran
Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang positif dari pembaca. Penulis
akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai bahan pertimbangan yang
memperbaiki maklah ini di kemudian hari. Semoga makalah berikutnya dapat penulis
selesaikan dengan hasil yang lebih baik lagi.

10

Anda mungkin juga menyukai