Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ISTISHAB, URF DAN SYAR’U MANQABLANA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : H. Dr.Syahrul Anwar, M. Ag.

Dr. Fathimah Madaniyyah, S.Pd.I, M.Pd.I.

Disusun Oleh :
Rayhan Maulana M 1213060102
Rizki Nugraha 1213060114
Siti Fathonah Sihotang 1213060119
Vina Amalia Br.Sembiring 1213060130
Wanda Fitri Rahayu 1213060131
Widi Novianti 1213060133
Yuliana Sari 1213060139

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karuniaNya. Pada akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang satu apa
pun. Tak lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad
SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penulis makalah berjudul “Istishab, Urf dan Syar’u Manqablana” bertujuan untuk memenuhi
tugas Ushul Fiqh. Dalam penyusunan makalah ini kami mendapat banyak dorongan, bimbingan
serta keterangan-keterangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami selaku penulis berterima
kasih kepada Bapak H. Dr.Syahrul Anwar, M. Ag. Dan Ibu Dr. Fathimah Madaniyyah, S.Pd.I,
M.Pd.I. Atas segala dorongan dan bimbinganya.

Akhirul kalam, tidak lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusunan bahasa atau dari segi yang lainnya. Besar harapan penulis agar pembaca berkenan
memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
bagi berbagai pihak. Aamiin.

Bandung, 03 Juni 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................. .........4
A. Latar Belakang.........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................4
C. Tujuan Rumusan......................................................................................................................4
BAB II....................................................................................................................... .......................5
PEMBAHASAN.......................................................................................... ....................................5
A. Pengertian Istishab...................................................................................................................5
B. Macam-macam istishab..........................................................................................................6
C. Pengertian urf.........................................................................................................................8
D. Macam-macam urf...................................................................................................................9
E. Pengertian syar’u man qablana.............................................................................................10
F. Macam-macam syar’u man qablana......................................................................................11
G. Contoh dari istishab, urf dan syar’u man qablana..................................................................12
BAB IV...........................................................................................................................................13
PENUTUP.....................................................................................................................................13
A. Kesimpulan................................................................................................................... ..13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sumber dan dalil hukum islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan
yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al-Qur’an
dan sunnah, serta ijma dan qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan
sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu:
Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, Urf, Istishab, Madzhab Shahabi, dan Syar’u
Man Qablana.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Istishab?
2. Apa saja macam-macam istishab?
3. Apa pengertian urf ?
4. Apa saja macam-macam urf?
5. Apa pengertian syar’u man qablana?
6. Apa saja macam-macam syar’u man qablana?
7. Contoh dari istishab, urf dan syar’u man qablana.

C. Tujuan rumusan
1. untuk mengetahui pengertian Istishab
2. untuk mengetahui macam-macam istishab
3. untuk mengetahui pengertian urf
4. untuk mengetahui macam – macam urf
5. untuk mengetahui pengertian syar’u man qablana
6. untuk mengetahui macam – macam syar’u man qablana
7. untuk mengetahui apa saja Contoh dari istishab, urf dan syar’u man qablana

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istishab

Istishab adalah suatu metode hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada
dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya. Dengan makna lain, istishab
bukanlah merumuskan hukum yang murni baru, akan tetapi justru mencari hukum sekarang
yang didasarkan pada hukum lama.
Istishab didasarkan pada perkiraan yang kuat yaitu apabila sesuatu keadaan terus
berlangsung, maka hukumnya tetap, oleh karena itu tidak dianggap dalil yang kuat di dalam
istimbath al-ahkam, dengan pengertian lain, apabila ada dalil lain dalam al-Quran, al-Hadits,
Ijma maupun Qiyas, maka seluruhnya ini didahulukan daripada Istishan. Dengan kata lain,
dapat dipahami bahwa prinsip istiṣḥāb adalah memberlakukan hukum lama selama belum
ada hal lain yang mengubahnya. Sehingga pola istiṣḥāb bukan menciptakan hukum baru,
melainkan memertahankan dan melestarikan hukum lama.
Istishab sebagai salah satu metode ijtihad dengan cara menetapkan hukum sesuatu pada
hukum asalnya selama belum ada dalil lain yang merubah hukum tersebut. Dari definis i-
definisi tersebut diatas, kita juga dapat mengambil kesimpulan bahwa konsep istishab
sebagai penggalian hukum mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
 Segi waktu. Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu
lampau, (al-madhi), waktu sekarang (al-hadir) dan waktu yang akan datang (al-
mustaqbal). Tiga konsep waktu ini dalam istishab cenderung dipandang mempunya i
nilai yang sama hingga terbukti adanya pergeseran yang dapat menguba h
karakteristik hukum yang melekatnya.
 Segi ketetapan hukum. Istishab mengandung dua bentuk ketetapan hukum yaitu
ketetapan hukum boleh (itsbat) dan ketetapan hukum yang tidak membolehk a n
(nafy). Dengan demikian berarti bahwa yang dahulunya “belum pernah ada”, maka
keadaan “belum pernah ada” itu tetap diberlakukan untuk masa berikutnya. Begitu
pula, jika di masa sebelumnya “pernah ada”, maka keberadaannya tetap
diberlakukan untuk masa berikutnya.

5
 Segi dalil hukum. Istishab mendasarkan ketetapan hukum berdasarkan hukum yang
sudah ada, selama tidak ada dalil lain yang menyatakan sebaliknya. Parameter
penting dari konsep istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada
pengetahuan seseorang atas dalil hukum. Pengetahuan tentang dalil menjadi
kerangka dasar menetapkan posisi hukum asalnya.
Dengan mendasarkan pada beberapa definisi di atas, Muhammad Taqi al-Hakim
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamaluddin Imam menyatakan bahwa unsur-uns ur
istishab (arkan al-istishab) ada tujuh unsur. Pertama, adanya keyakinan (al-yaqin) terhadap
realitas hukum. Kedua, adanya keraguan (al-syakk) sebagai bandingan dari sifat yakin.
Ketiga, adanya kesatuan keterkaitan antara realitas yang diyakini dengan realitas yang
diragukan. Keempat, baik hal diragukan maupun yang diyakini keduanya memang betul-
betul ada (factual ada). Kelima, adanya kesatuan masalah antara yang diyakini dan yang
diragukan baik pada aspek tema, objek maupun tingkatan masalahnya. Keenam, adanya
persambungan waktu antara hal yang diyakini dan yang diragukan. Ketujuh, keyakinan itu
lebih dahulu ketimbang yang diragukan.

B. Macam-macam istishab

Istishhab terdiri atas beberapa macam seperti berikut.


1. Istishhab hukm al-ibahah al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang
dasar)
Yang dimaksud dengan istishhab bentuk pertama ini adalah, setelah datangnya Islam,
pada dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang
bermanfaat, selama tidak ada dalil syara' yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya.
Ketentuan istishhab bentuk pertama ini hanya berlaku di bidang muamalah. Ketentuan
istishhab bentuk pertama ini didasarkan pada ayat-ayat Qur'an antara lain:
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu." (Al-Baqarah: 29)
"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarka n-
Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) pada hari kiamat". Demikianlah Kami menjelaska n
ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui." (Al-A'raf: 32)

6
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-Maidah: 87)
2. Istishhab ma dalla asy-syar'aw al-'aql'ala wujudih (istishhab terhadap sesuatu
yang menurut akal atau syara' diakui keberadaannya)
Yang dimaksud istishhab bentuk kedua adalah tetap berlakunya hukum sesuatu, baik
keberlakuannya ditinjau dari syara' maupun dari logika, sampai ada alasan atau dalil lain
yang mengubah keberlakuan hukum tersebut.
3. Istishhab al-'umum ila an yarid at-takhshish (menetapkan hukum berlaku umum
sampai ada yang mengkhususkannya)
Sebagian ulama lainnya menambahkan nama lain, yaitu: istishhab an-nash ila an yarid
an-naskh (tetapnya hukum sesuatu yang didasarkan oleh suatu nash, sampai ada yang
menashkannya. Pada dasarnya semua ulama juga sepakat dengan istishhab bentuk ketiga ini,
karena konteks pembicaraan pada bentuk yang ketiga ini berkaitan dengan waktu setelah
datangnya syari'at sampai berhentinya wahyu karena wafatnya Rasulullah. Persoalan yang
timbul hanya berkaitan dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kriteria yang
harus dipenuhi untuk menyatakan suatu. nash bersifat 'amm atau khashsh. Demikian juga
perbedaan seputar apakah suatu nash dipandang tetap berlaku atau sudah dinashkan oleh
dalil lain.
4. Istishhab al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus
berlainan dengan sifat)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishhab yang keempat sebagai
dalil syara'. Dalam hal ini, ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah secara mutlak menerima nya
sebagai dalil syara'. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyyah berpendapat istishhab
bentuk ini hanya dapat menjadi dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru, tetapi
tidak dapat menjadikan dalil untuk menetapkan hukum yang berlaku.

7
C. Pengertian urf

Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: ‫العرف‬merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat (
Urf‘ .kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi terbagi
menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau Khusus
dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para
ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentanga n
dengan syari'at.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." - QS. Al-A’raf: 199.
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu
yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. K ata al-
ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa
seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang
menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata
umum yang mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya
disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam
soal mu‘amalah maupun adat istiadat.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di
Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab
yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan
Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan
kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut
sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam
jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut,
sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalanga n
ulama
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat
atau tradisi itu selam tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasululla h.
Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan
masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang
dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi

8
untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum
Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang
baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa
persyaratan.

D. Macam – macam urf


Urf dibagi menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya ‘urf dapat dibagi
menjadi dua yaitu: ‘Urf Qauli dan ‘Urf ‘Amali
1. ‘Urf Qauli
Ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti
anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan, tetapi dalam
percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
2. ‘Urf ‘Amali
Ialah ‘urf yang berupa perbuatan, seperti jual beli dalam masyarakat tanpa
mengucapkan sighat akad jual beli, padahal menurut syara’ sighat jual beli itu
merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat melakukan jual beli tanpa sighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, maka syara’ membolehkannya.
Ditinjau dari segi keabsahan diterima atau tidaknya ‘urf, maka ‘urf dapat dibagi menjadi dua
yaitu: ‘Urf Sahih dan ‘Urf Fasid
1. ‘Urf Sahih
Ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Dengan kata lain,‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi yang halal,
atau bahkan sebaliknya. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melansungk a n
akad nikah, dipandang baik telah menjadi kebiasaan dalam masyarakatdan tidak
bertentangan dengan syara’.
2. ‘Urf Fasid
Ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Dan para ulama pun sepakat bahwa ‘urf Fasid tidak dapat menjadi landasan hukum,
dan kebiasaan tersebut batal demi hukum. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian
untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat, hal ini tidak dapat
diterima karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang dianjurkan agama Islam.

9
Ditinjau dari segi jangkauan ruang lingkupnya ‘urf dapat dibagi menjadi dua yaitu: Al-’urf
al-’am (adat kebiasaan umum), dan Al-’urf al-khas (adat kebiasaan khusus)
1. Al-’urf al-’am (adat kebiasaan umum)
Ialah ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan. Yang kebiasaan
tersebut bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai
wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga
tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarang yang ditempuh, dan hanya dibatasi
oleh jarak tempuh maksimum.
2. Al-’urf al-khas (adat kebiasaan khusus)
Ialah ‘urf atau adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat
tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, mengadakan halal bi halal yang biasa
dilakukan oleh masyarakat indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai
menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain
tidak dibiasakan dengan kegiatan tersebut.

E. Pengertian syar’u man qablana

Syar’u Man Qablana adalah hukum Syari’at sebelum kita (umat Islam). Para ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat yang diberikan kepada para nabi sebelum Nabi
Muhammad, yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak berlaku lagi bagi
umat Islam. Dan syariat sebelum Islam yang disebutkan dalam Quran dan Sunnah dan
secara tegas ditetapkan bahwa syariat itu berlaku bagi umat umat Islam, maka itu menjad i
bagian dari Syariat Islam. Meski Syar’u Man Qablana secara konsekuensi hukum berlaku,
namun keberlakuannya tersebut bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum
Islam, tetapi karena ditetapkan dalam Quran dan Sunah. Perbedaan pendapat diantara para
ulama Ushul Fiqih terjadi dalam persoalan Syar’u Man Qablana yang tercantum dalam
Quran, tetapi tidak ada ketegasan apakah bahwa hukum tersebut masih berlaku bagi umat
Islam atau tidak, karena tidak adanya nasakh atau penjelasanan yang membatalkanya.

10
F. Macam – macam syar’u man qablana

1. Ajaran yang mana telah dihapuskan oleh syariat rosullulloh (di mansyukh)

adapun menurut syariat nabi musa, bahwasanya seseorang yanh telah berbuat dosa
jika ingin bertaubat harus membunuh dirinya sendiri. Adapun contoh lain yaitu pakaian
yang terkena najis itu tidak dapat menjadi suci dan apabila ingin menjadikan suci
kembali maka bagian yang terkena najis harus dipotong. Namun, mengenai masalah
masalah tersebut para ulama telah sepakat agar tidak mengamalkannya karena syariat
kita telah mengatur nya.

2. Ajaran yang telah ditetapkan rosullulloh

ajaran ini adalah ajaran yang sudah biasa kita amalkan dalam kehidupan kita sehari
hari dan sudah ditetapkan oleh rosullulloh saw.contohnya dalam perintah menjalanka n
ibadah puasa. yang mana para ulama berpendapat bahwasanya kita diwajibkan
mengamalkan syariat yang telah ada didalam alquran dan sunnah diantaranya yaitu
firman allah swt yang artinya : hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu
berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertaqw (qs. al- baqoroh ayat 183).

adapun ajaran ini terbadi menjadi dua macam, yaitu:

a. Ajaran yang diberitakan kepada kita, baik melalui al-quran atau sunnah.

Akan tetapi tidak diwajibkan kepada umat muslim sebelum kita, contohnya yaitu,
firman allah swt : ‘Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa
nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang
sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa
baginya’ (qs. Almaidah ayat 45).

mayoritas ulama seperti ulama hanifiyahh, malikiyyah, dan juga syafi'iyah mereka
berpendapat bahwasanya syariat yg ditetapkan kepada bani isroil itu berlaku untuk
semua umat islam karena tida ada dalil yang menghapus, namun ada beberapa pendapat
sebagian ulama lainnya mengatakan bahwasanya syariaf sebelum kita tidak berlaku
karena sifat syariat kita menghapus syariat syariah sebelumnya. Syariat bani isroil untuk
mereka, sedangkan syariat ummat Islam untuk seluruh umat manusia.

11
b. Ajaran yang tidak disebut sebut (diceritakan) oleh rosullulloh saw.

para ulama berpendapat bahwasanya umat islam tidak wajib mengamalkan syariat
yang ada sebelum kit dan juga yang tidak disebut sebut oleh syariat kita.

G. Contoh dari istishab, urf dan syar’u man qablana


 Contoh dari istishab.
Siti dan Adul adalah suami istri, namun Adul telah lama meninggalkan Siti tanpa
thalaq. Suatu hari, Thoriq datang dan ingin melamar Siti. Tapi terhalang karena status
awalnya (kembali pada hukum asal) Siti masih istri sah Adul. Kembali pada hukum
asal/awal adalah pemberlakuan istishab.
 Contoh Urf
a. Qauly (perkataan) contohnya perkataan 'lahmun' yang berarti daging,
orangbiasa mengartikan daging pada ayam dan sapi. Padahal ikan juga
mempunyai daging.
b. Amaly (perbuatan) contohnya setiap adat istiadat di tiap daerah.
c. Shahih (baik) tradisi pemberian perhiasan kepada calon istri.
d. Fasid (buruk) kebiasaan menyontek
e. 'Am (umum) kebiasaan menyumbangkan uang di masjid pada saat shalat
jum'at
f. Khash (khusus) kebiasaan memberikan mahar pada setiap daerah memilik i
cara yang berbeda.
 Contoh syar’u man qoblana yang juga berlaku untuk umat islam
a. Berpuasa
b. Beribadah haji
c. Khitan
d. Meninggalkan riba, dll
 Contoh syar’u man qoblana yang tidak berlaku untuk umat islam
a. Memotong bagian yang terkena najis, dalam syairat kita cukup disucikan
b. Diharamkan segala binatang berkuku bagi umat nabi musa
c. Menebus dosa / taubat dengan nyawa sebagaimana disyariatkan kepada uamt
nabi musa.

12
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istishab adalah suatu metode hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada
dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya. Dengan makna lain, istishab
bukanlah merumuskan hukum yang murni baru, akan tetapi justru mencari hukum sekarang
yang didasarkan pada hukum lama.
Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyaraka dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama usuhl fiqh,
urf disebut dengan adat (adat kebiasaan).
Syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus
Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadannya,
seperti syariat Nabi Ibrahim as. Syariat Nabi Musa as. Syariat Nabi Daud as. Dll. Istilah
syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syaria’at-syari’a t
sebelum islam sebagai agama ketika dilahirkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A. 2015. USHUL FIQH. Jakarta: kencana. Halaman
140.
Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori ke Aplikasi Oleh Dr. Moh.
Mufid, Lc., M.H.I.
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2008 cet 5
Rachmat Syafe’,Ushul Fiqh, Bandung,Pustaka Setia:2010
https://ushulfiqih.com/syaru- man-qablana-hukum-syariat-sebelum-islam/
https://rikiyuniagara.wordpress.com/hukum- islam/syaru- man-qablana-syariat-sebelum- islam/
https://sinar5news.com/pembagian-dan-kedudukan-syaru- man-qablana/

14

Anda mungkin juga menyukai