Anda di halaman 1dari 12

ISTIHSAN DAN MASLAHAH MURSALAH

Makalah
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
dosen pengampu H. DR. Syahrul Anwar, M.Ag
Dr. Fathimah Madaniyyah, S.Pd.I, M.Pd I.

oleh:
Novian Syarif A. 1213060095
Putri Husnul K. 1213060097
Rahma Puspa N. 1213060098
Riki Maulana 1213060109
Salwa Rikardy 1213060117
Syifa Mega 1213060123
Ujang Jejen M. 1213060129
Windy Rahmadani 1213060137

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa
shalawat serta salam kami junjungkan kepada nabi besar kita Muhammad SAW, semoga
syafaatnya mengalir kepada kita dihari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul “Ihtisan dan Maslahah Mursalah” bertujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Selama proses penyusunan makalah ini banyak kendala yang
dihadapi, namun berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, semua kendala tersebut dapat
teratasi. Oleh Karena itu kami selaku penulis berterima kasih teman teman yang sudah
bekerjasama dengan baik.
Penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat kemampuan yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyemppurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khsusnya agi penulis sehingga tujuan yang diharapkan tercapai, Amin.

Bandung, 17 Oktober 2021

Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Istihsan
B. Maslahah Mursalah
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertumbuhan ushul fiqih tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak
zaman Rasulullah saw. Di zaman Rasulullah sumber hukum Islam hanya ada dua yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, maka para sahabat langsung
bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi setelah Rasulullah wafat, muncullah berbagai
cara untuk menetapkan suatu hukum.
Bertebarnya para sahabat di berbagai daerah juga mempengaruhi para sahabat
dalam menetapkan hukum. Akibatnya, dalam kasus yang sama, hukum di satu daerah
dapat berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan cara
pandang dalam menetapkan hukum pada kasus tersebut.
Dalam makalah ini, akan membahas dua metode penetapan hukum yang dipakai
para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum yaitu masalahah mursalah dan istihsan

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis menyimpulkan bahwa akan meneliti tentang:
1. Apa yang dimaksud dengan istihsan?
2. Apa fungsi dari istihsan?
3. Apa saja macam-macam istihsan?
4. Apa yang dimaksud dengan maslahah mursalah?
5. Apa fungsi dari maslahah mursalah?
6. Apa saja macam-macam maslahah mursalah?

C. Tujuan Penelitian
Makalah ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai definisi istihsan dan
maslahah mursalah serta fungsi dan macam-macamnya. Selain itu, penulisan makalah ini
sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ushul Fiqih.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Istihsan
Didalam bahasa Arab, Istihsan diartikan dengan “menganggap sesuatu itu baik” atau
“mengikuti sesuatu yang baik” serta “menganggap baik/bagus”. Definisi istihsan
dikalangan para ulama ahli ushul fiqih berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing
masing dan kemampuannya dalam menyimpulkan pengertian istihsan didalam kata-kata.
Ada 3 definisi menurut madzhab hanafi diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut al-Bazdawi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan keharusan menggunakan
Qiyas dan berpindah kepada Qiyas yang lebih kuat atau men-takhshish Qiyas dengan
dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi.
2. Menurut an-Nasafy bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas menuju kepada
suatu Qiyas yang lebih kuat atau dalil yang berlawanan dengan Qiyas Jalli.
3. Menurut Abu Hasan al-Karkhi bahwa Istihsan ialah: Perpindahan seorang mujtahid di
dalam memberikan hukum dalam suatu masalah, seperti yang sudah diberikan hukum
padanya kepada hukum yang berbeda dengan hukum yang sudah ditentukan tersebut,
karena ada segi yang lebih kuat dari hukum sebelumnya (hukum pertama) sehingga
menyebabkan perpindahan dari hukum tersebut (hukum pertama kepada hukum
selanjutnya / kedua).
Selain madzhab Hanafi, adapula definisi istihsan menurut madzhab maliki, ialah:
1. Menurut Ibnu Arabi bahwa Istihsan ialah meninggalkan ketetapan dalil dengan cara
mengecualikan dan meringankan, karena ada perhitungan yang menentangnya di dalam
sebagian dari ketetapannya.
2. Menurut asy-Syatibi bahwa Istihsan ialah: (Istihsan menurut pendapatku dan menurut
pendapat Ulama-ulama Hanafiyah) yaitu; Beramal dengan dalil yang lebih kuat di
antara dua dalil.
3. Menurut Ibnu Rusyd bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas yang membawa
kepada yang berlebih-lebihan (melampaui batas) di dalam hukum dan berpindah
kepada hukum lain yang merupakan pengecualian.
Sedangkan Ulama Hambali memberikan definisi Istihsan antara lain seperti yang telah
dikemukakan oleh ath-Thufi (definisi yang paling baik) ialah: Perpindahan dari suatu
hukum tentang suatu kasus, karena ada dalil syara' yang khusus. Dari definisi-definisi di
atas dapat diketahui bahwa mereka sepakat untuk menerima dua hal, yaitu sebagai berikut:
1. Ahli Ushul Fiqh (Madzhab Hanafi dan Hambali) mereka berbeda di dalam
memformulasikan kata-katanya, tetapi mereka sepakat bahwa pengertian Istihsan ialah:
Perpindahan dari suatu hukum kepada hukum lainnya dalam sebagian kasus atau
meninggalkan suatu hukum, karena adanya hukum lain yang lebih kuat atau
pengecualian yang bersifat Juz’iyyah dari hukum yang Kulliyah atau mengkhususkan
sesuatu hukum yang umum dengan hukum yang khusus. Mereka sepakat pula bahwa
perpindahan ini harus ada sandarannya yaitu yang berupa Dalil Syara' yakni berupa
Nash atau Ma‟qul-nya Nash atau Mashlahat atau ‘Urf yang shahih. Dalil-dalil sandaran
ini disebut Wajh al-Istihsan atau Sanad al-Istihsan.
2. Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan
umumnya Nash dan kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan
Qiyas serta kadang-kadang dari hukum yang merupakan penerapan kaidah-kaidah yang
Kulliyah. Oleh karenanya dapat diartikan bahwa Istihsan ialah: Perpindahan dari suatu
kasus tertentu kepada hukum lain, karena adanya Dalil Syara' yang mengharuskan
perpindahan tersebut sesuai dengan jiwa syariat Islam.

B. Fungsi Istihsan
Fungsi istihsan adalah Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-
masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih
kuat dalam pandangan mujtahid.
Istihsan merupakan bentuk metode ijtihad dengan cara memperhitungkan atau
mencari hukum suatu masalah agar lebih baik dengan sebab tertentu selama hal itu tidak
melanggar syariat islam. Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan
ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan
berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contoh istihsan dengan sunnah Rasulullah Saw
adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang
berpuasa.
Contoh Penerapan istihsan dalam ekonomi keuangan menurut Madzhab Hanafiyah
bila seseorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya
itu hak pengairan, hak membuat saluran air diatas tanah itu dan sebagainya, hal ini
ditetapkan berdasarkan istihsan.

C. Macam-Macam Istihsan
Menurut Ulama Hanafiyah, istihsan terdapat tiga macam diantaranya ;
1. Berpidahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi.contohny yaitu
ketika ada hak pergairan tanah pertanian. apabila tanah itu diwaqafkan maka hak lalu
lintasnya tidaka akan termasuk harta waqaf jika tidak disebutkan dengan jelas pada
mewaqafkannya, karena waqaf diqiyaskan dengan jual beli yaitu berpindahnya
kepemilikan dari pemiliknya dan berakibatkan hilang dari pemiliknya. Dan didalam
jual beli hak pengairan tersebut tidak termasuk. Dan hal tersebut terjadi pada waqaf.
Sedangkan menurut istihsan qiyas khafi . tanah waqaf tersebut disamakan dengan
ijarah atau sewa menyewa yang artinya sama sama mengambl manfaat meskipun
bukan pemiliknya. Maka dapat disimpulkan bahwa jikapun tanah tersebut diwaqafkan
dengan waktu yang tidak rinci maka bisa diambil manfaatnya meskipun tanah tersebut
bukan miliknya, adanya saling menguntungkan.
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada yang
khusus. Contoh: Kasus pencurian pada masa kelaparan, sudah tercantum
berdasarkan nash umu pada qur’an surat Al-Maidah : 38 artinya : ”Pencuri laki-laki
danpencuriperempuan hendaklah dipotong tangannya”. Ditinau dari ayat diatas maka
barang siapa yang mencuri baik perempuan maupun laki laki maka akan dipotong
tangannya. Tetapi pada kekhalifahan Umar bin khattab beliau tidak melakukan hal
tersebut jika ada orang yang mencuri pada masa kelaparan karena kondisinya darurat
dan hal tersebut melihat dari sisi kemaslahatan manusianya. Jika perbuatan pencuri itu
tetap salah tetapi karena melihat situasi dan kondisi maka hal tersebut menjadi
mudharat.
3. Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan
kekecualian. Contoh: ketika ada orang diamanahi untuk menitipkan suatu barang dan
harus bertanggung jawab atas barang tersebut dan jika orang yang menitipkan tersebut
meninggal dunia maka orang yang dititipi harus menggangti barangnya jika lalai dalam
pemeliharannya. Tetapi dalam masalah ini melihat dari istihsan , maka jika dititipi nya
kepada ayah, dia tidak diwajibkan untuk menggantinya karena ia bisa menggunakan
harta anaknya untung membiayai hidupnya.

D. Maslahah Mursalah
Al Maslahih Al Mursalat atau disebut juga dengan istishlah adalah suatu
kemaslahatan yang tidak ada dalam syara' dan juga tidak ada dalam dalil untuk
mengerjakan atau meninggalkannya padahal dalam pelaksanaannya akan memberikan
kebaikan (maslahat) untuk masyarakat.
Misalnya, lembaga permasyarakatan (penjara) dan juga pembuatan mata uang
yamg dipakai sebagai alat pembayaran atau penukaran yang sah dari suatu negara dan lain
sebagainya. Para shahabat memperhatikan hal demikian sebagai kemaslahatan untuk
masyarakat. Begitu juga dengan tindakan-tindakan lainnya yang tidak ada dalam syara'
yang tidak disuruh atau dilarang namun melihat pentingnya untuk dilaksanakan seperti
yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khatthab dan juga Sayyidina Utsman ibn Affan
ketika menghimpun dan menuliskan Al Qur'an dalam satu mushaf, demikian dilakukan
atas prinsip Mashalih Al-Mursalat.
Imam Maliki (w. 97 H) berpendapat bahwa Mashalih al Mursalat adalah
kemaslahatan yang tidak disebutkan pembatalannya dan tidak juga disebutkan secara jelas
oleh nash tetapi tidak boleh bertentangan dengan nash itu sendiri sebagai sumber pokok.
Dalam kitab Al I’tisham oleh Imam Syatibi menyebutkan teori Maslahih al
Mursalat adalah suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’
yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan baik yang bersifat dharuriyah (primer)
maupun hujjiyah (sekunder). Sedang maslahat mursalah menurut Imam al-Ghazali adalah
memelihara tujuan-tujuan syari’at yang meliputi lima dasar pokok, yaitu; melindungi
agama (hifzh al diin), melindungi jiwa (hifzh al nafs), melindungi akal (hifzh al aql),
melindungi kelestarian manusia (hifzh al nasl), dan melindungi harta benda (hifzh al
mal).
Imam Maliki dan Imam Al Ghazali memiliki pendapat yang sama dalam ruang
lingkup operasional Mashalih al Mursalat dimana ini hanya berlaku dalam bidang
muamalah saja tidak dalam ibadah.

E. Fungsi Maslahah Mursalah


Maksud dari pengambilan maslahah tersebut adalah untuk mewujudkan manfaat,
menolak kemudharatan dan menghilangkan kesusahan manusia.
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun
makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Selanjutnya secara terminologi, terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan ulama
ushul fiqhi, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al
Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah mengambil manfaat
dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan bersama.
Suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan-tujuan manusia, karena
kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada hawa nafsu.

F. Macam-Macam Masalahah Mursalah


Menurut Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A, Maslahah Mursalah dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Maslahah Mu’tabarah, yaitu maslahah yang terdapat kesaksian syara’ dalam
mengakui keberadaannya. Al-Maslahah bentuk pertama ini menjelma menjadi
landasan dalam Qiyas, karena ia sama dengan al-munasib ('illah yang merupakan al-
maslahah) dalam pembahasan qiyas. Jumhur ulama sepakat menyatakan, al-Maslahah
ini merupakan landasan hukum. Contohnya Seperti dalam kasus peminum khamer,
hukuman atas orang yang meminum minuman keras (arak dan semisalnya) dalam hadis
Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat
pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
2. Mashlahah Al-Mulghah, yaitu maslahah yang terdapat kesaksian syara’ yang
membatalkannya. Maslahah bentuk kedua ini adalah bathil, dalam arti tidak dapat
dijadikan sebagai landasan hukum karena ia bertentangan dengan nash. Contohnya,
Syara’ menetukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan
ramadan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan
berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan kasus ini al-Laits Ibnu Sa’ad langsung menetapkan dengan
hukuman berupa puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang
melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadlan. Dalam kasus ini, para
ulama memandang putusan hukum yang diberikan oleh al-Laits tadi bertentangan
dengan Hadits Rasullah di atas, karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus
diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul al-fiqh memandang
mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak
dengan dalil kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan yang bertentangan
dengan kehendak syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal.
Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al
Mulghah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.
3. Maslahah yang tidak terdapat kesaksian syara, mashlahah bentuk ini terbagi lagi
menjadi 2, yaitu; (1) maslahah Al- Gharibah, yaitu maslahah yang sama sekali tidak
terdapat kesaksian syara’ terhadapnya, baik yang mengakui maupun yang menolaknya
dalam bentuk macam atau jenis tindakan syara’; (2) maslahah Al- Mula’imah, yaitu
maslahah yang meskipun tidak terdapat nash tertentu yang mengakuinya, tetapi ia
sesuai dengan tujuan syara’ dalam lingkup hukum.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Didalam bahasa Arab, Istihsan diartikan dengan “menganggap sesuatu itu baik” atau
“mengikuti sesuatu yang baik” serta “menganggap baik/bagus”. Definisi istihsan dikalangan para
ulama ahli ushul fiqih berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing masing. Akan tetapi, dari
definisi-definisi para ulama tersebut dapat diketahui bahwa mereka sepakat untuk menerima dua
hal, yaitu mereka sepakat bahwa pengertian Istihsan ialah: Perpindahan dari suatu hukum kepada
hukum lainnya, karena adanya hukum lain yang lebih kuat atau pengecualian yang bersifat
Juz’iyyah dari hukum yang Kulliyah, dan mereka sepakat pula bahwa perpindahan ini harus ada
sandarannya yaitu yang berupa Dalil Syara’.
Kemudian Maslahah Mursalah atau bisa disebut juga dengan istishlah adalah suatu
kemaslahatan yang tidak ada dalam syara’ dan juga tidak ada dalam dalil untuk mengerjakan atau
meninggalkannya padahal dalam pelaksanaannya akan memberikan kebaikan (maslahat) untuk
masyarakat.
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna.
Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Selanjutnya
secara terminologi, terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh
defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al Ghazali mengemukakan bahwa pada
prinsipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka
memelihara tujuan-tujuan bersama.
Maslahah Mursalah terbagi kedalam tiga kategori, yaitu :
1. Maslahah Mu’tabarah;
2. Mashlahah Al-Mulghah;
3. Maslahah yang tidak terdapat kesaksian syara, mashlahah bentuk ini terbagi lagi menjadi 2,
yaitu: (1) maslahah Al- Gharibah; dan (2) maslahah Al- Mula’imah.
DAFTAR PUSTAKA
a. Jurnal / buku :
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progessif, 1997), 265
Acep Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997), 130-
133.
Kadenun, Kadenun. "Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam." QALAMUNA:
Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama 10.02 (2018).
Koto, Alaidin. (2013). Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. P.T Raja Grafindo Persada. Depok.
Hal. 101-102.
Jurnal. Herawati, A. (2014). Maslahat Menurut Imam Malik dan Imam al-Ghazali (Studi
Perbandingan). Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum, 12(1), 49 dan 52.

b. Artikel
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Istihsan#:~:text=Diantaranya%20adalah%3A,lebih%20ku
at%20dalam%20pandangan%20mujtahid

https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/maslahah-mursalah-dalam-kedudukannya-
sebagai-sumber-hukum-islam

Anda mungkin juga menyukai