Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

ISTISHAB
PENGERTIAN, KEHUJJAHAN, KEDUDUKAN
DAN MACAM-MACAM

Dosen Pengampu:
H. M. Ghufron, LC, MHI

Nama Kelompok:
1. Desty amalia ramadhani (C91217046)
2. Ilmi amaliya (C91217054)
3. M. Dhiyaulhaq (C91217132)

PRODI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian Istishab, Dasar Hukum, Kedudukan
serta Kehujjahannya” ini dengan baik. Sholawat dan salam kita sampaikan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita semua menuju jalan yang
benar yakni Agama Islam.

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh yang diberikan
pada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang berperan dalam penyusunan makalah ini. Kami sadar dalam penyusunan
makalah ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat menjadi pelajaran untuk
penulisan makalah yang baik dan benar.

Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipan-kutipan yang kurang
berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi pembaca. Aminn.

Surabaya, 20 September 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

HalamanJudul
Kata Pengantar..................................................................................................i
Daftar Isi...........................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan...............................................................................................1
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Istishab .......................................................................... 2
B. Kehujjahan istishab ......................................................................... 3
C. Kedudukan istishab sebagai sumber hukum islam........................... 4
D. Macam-macam istishab.................................................................... 5
Bab III Penutup
A. Kesimpulan ..................................................................................... 6
Daftar Pustaka .................................................................................................. 7

2
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam hukum islam terdapat dua ketentuan landasan hukum yaitu yang
disepakati dan yang tidak disepakati. Adapun landasan hukum yang disepakati oleh para
ulama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan landasan hukum
islam yang tidak disepakati salah satunya adalah istishab.

Istishab sendiri adalah dalil syar’I terakhir yang dapat digunakan sebagai
rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahan yang dihadapinya
apabila tidak terdapat penjelasan dalam al-quran dan as-sunnah.

Dalam peristilahan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut


keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam
ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa berikutnya,
kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari istishab ?
b. Bagaimana kehujjahan dari istishab ?
c. Bagaimana kedudukan istishab sebagai sumber hukum islam ?
d. Apa saja macam-macam istishab ?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa pengertian dari istishab.
b. Untuk mengetahui bagaimana kehujjahan dari istishab.
c. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan istishab sebagai sumber hukum islam.
d. Untuk mengetahui apa saja macam-macam istishab.

BAB II

PEMBAHASAN

A. ISTISHAB

1
Berbicara mengenai Istishab maka kita berbicara mengenai pengalian hukum
islam dengan metode atau cara istishab. Sebelum lebih jauh kita berbicara mengenai
istishab, kita membahas mengenai pengertian dari istishab itu sendiri. Istishab
menurut arti bahasa adalah membawa serta apa yang telah ada pada waktu yang
lalu. Ada juga Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang
telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum
tersebut.
Selain itu ada beberapa ulama yang menjelaskan mengenai pengertian dari
istishab diantaranya yaitu :
a. Menurut Abd al-Wahab Khallaf dalam fiqih islam :
“Menjadikan hukum yang telah tetap pada waktu yang lalu terus berlaku
sampai sekarang sehingga datang dalil yang merubahnya “
b. Menurut al-Saukani
“berlaku hukum suatu hukum atas suatu perkara selama belum ada dalil
yang merubahnya”
c. Menurut Wahba Al-Zuhaili dalam ushul fiqih islami
“Suatu hukum terhadap penetapan suatu perkara atau meniadakan nya
pada saat sekarang atau yang akan datang berlandaskan atas ketetapan
atau peniadaan hukum pada masa yang lalu karena tidak ada dalil yang
merubahnya.
Jadi dapat dikatakan bahawa istishab itu tidak lain hanyalah untuk
mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang
baru.
Atau Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku
pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.

B. Kehujjahan Istishab
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan istishab itu sendiri.
Perbedaan tersebut juga terjadi pada empat imam mazhab yaitu :
a. Pendapat Jumhur Hanafiyah yang akhir bahwa istishab itu merupakan hujjah
untuk menolak atau meniadakan bukan untuk menetapkan atau menguatkan,

2
mereka mengatakan bahwa istishab itu adalah suatu ulasan untuk
menetapkan sesuatu yang telah ada atas sesuatu yang ada, bukan untuk
menetapkan sesuatu belum ada.
b. Pendapat Jumhur Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabiyah, dan ahli dhohir,bahwa
istishab adalah dasar hukum islam secara mutlak untuk menetapkan hukum
yang telah tetap sampai datang dalil atas perubahannya, maka istishab itu
patut untuk menyatakan /menguatkan sesuatu sebagaimana juga patut untuk
menolaknya .
c. Menurut kebanyakan para muttakalim, bahwa istishab itu bukan merupakan
dasar hukum islam, karena ketetapan hukum pada masa yang pertama
membutuhkan dalil, demikian juga pada masa yang kedua. Pendapat ini
disampaikan oleh Wabha Al-Zuhaidi.
Adanya perbedaan pendapat mengenai kehujjahan istishab ini sendiri
merupakan suatu hal yang wajar dalam sumber hukum islam karena perbedaan itu
merupakan sunatullah yang tidak bisa kita pungkiri. Selain itu ada beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut diantaranya latar
belakang keilmuan, latar belakang kehidupan sosial dan lingkungan yang dihadapi
oleh masing-masing ulama dan setiap pemikiran yang berbeda antara satu ulama
dengan ulama yang lainnya.
C. Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para ahli ushul ada perbedaan paham tentang berpegang kepada istishab
sebagai sumber hukum,diantaranya:1
Menurut golongan hambaly,maliky dan dzahiry,bahwa istishab ini dapat menjadi
hujjah baik menafikan atau mengistimbathkan . menurut ibnu najain seorang ulama
penganut madzhab hanafi,ia menolak adanya istishab untuk dijadikan hujjah,dengan
alasan bahwa adanya sesuatu pada masa lalu diperlukan dalil dan pada masa sekarang
pun sama pula diperlukan dalil.
Menurut madzhab abu zaid seorang penganut madzhab hanafy,mengatakan ,bahwa
istishab itu adalah sumber hukum untuk membantah bukan untuk menetapkan sesuatu
1 Romli SA, Pengantar Ushul Fiqih Metodologi Penetapan Hukum Islam, (Palembang : Kencana, 2017), 78

3
hukum. Contoh hakim dapat menolak permintaan ahli waris membagikan harta orang
yang pergi tanpa tujuan dan belum diketahui akan kematiannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa istishab itu boleh dijadikan sumber hukum
dalam perdebatan,dan tidak dapat dijadikan dalil untuk diri sendiri. Tetapi segolongan
ulama ada juga yang mengatakan bahwa istishab ini bisa menjadi sumber hukum
untuk menafikan bukan untuk mengistmbathkan ,alasannya karena istishab itu
merupakan suatu cara istidlal yang telah menjadi fitrah manusia dan mereka
melakukan dengan ketetapannya.
Untuk kedudukan istishab ada penetapan dalil untuk istishab yaitu melaui dua
model dalil yaitu :
a. Dalil syara’ berdasarkan penelitian terhadap hukum syara’ bahwa hukum
syara’ itu tetap berlaku karena berdasarkan dalil yang menetapkan. Contoh
setiap sesuatu yang menimbulkan mabuk ditetapkan syara’ menjadi haram,
kecuali apabila telah berubah sifat-sifat dan telah hilang sifat yang
memabukkan.
b. Dalil akal, bahwa permulaan/asal sesuatu itu adalah menguatkan
hukumnya, contoh tidak adanya tuduhan terhadap seseorang itu halal
darahnya karena murtad kecuali apabila sudah ada dalil yang menyatakan
kemurtadannya, karena yang asal adalah haram darahnya

D. Macam-macam Istishab2
a. Istishab Baroatul Ashliyah atau disebut juga dengan istilah Istishab
Adamul Ashliyah yaitu meniadakan hukum sam’iyat (hukum yang belum
jelas dasar nashnya) sebelum datangnya syara’ sebagaimana bebasnya
seseorang dari tanggungan beban syara’ sampai datang dalil yang
menyebabkannya. Contoh anak kecil itu bebas beban syara’ sampai ia
baligh, demikian juga orang yang tidak mengerti.
b. Istishab Madilul Syar’i Awil Aqli Ala Wujudihi yaitu hukum yang
ditetapkan oleh syara’ atau akal tentang keberadaannya, sebagaimana orang

2 Mansykur, Anshari . USHUL FIQIH, Diantama, Surabaya, 2008, hlm.106-108.

4
itu selalu menanggung hutang sampai datang nya dalil yang menyatakan
dibayarnya hutang tersebut atau dibebaskannya.
c. Istishabul Hukmi yaitu ketetapan hukum yang berlandaskan kepada asal
hukumnya sehingga datang dalil yang menyatakan perubahannya,
sebagaimana hukumnya sesuatau yang tidak diharamkan oleh syara’ adalah
mubah (boleh)
Contoh : segala sesuatu yang bermanfaat dimana syara’ tidak menghendaki
hukum tersebut sehingga mubah hukumya.
d. Istishab washfi yait ketetapan hukum asal yang berdasarkan atas sifatnya
sampai datang sifat lain yang merubahnya, sebagaimana sifat air itu adalah
suci maka selamanya air itu suci sampai datang dalil-dalil yang
mengatakan najisnya yaitu adanya perubahan warna dan bau.

BAB III

KESIMPULAN

1. Istishab adalah hukum yang ada dimasa lalu tetapi tetap digunakan sampai
sekarang. Dapat dikatakan bahwa istishab itu untuk mempertahankan hukum yang
telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru.
2. Hanafiyah dan malikiyyah menjadikan istishab liddaf’I la lil isbat yaitu dalil dalam
menetapkan sesuatu yang pada asalnya sudah ditetapkan dan bukan menjadi hujjah
menetapkan suatu perkara yang belum ada sedangkan syafi’iyyah dan hanabillah
berpendapat bahwa istishab itu hujjah liddaf’I wa lil isbat yaitu menetapkan hukum
yang sudah ditetapkan diawal kemudian menetapkan seolah-olah dengan dalil baru.
3. Istishab ada dua macam : pertama, istishab yang melangsungkan berlakunya hukum
akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang
mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil
syara’ tentang keharamannya, adalah mubah atau halal. Kedua, melangsungkan

5
hukum syara’ berdasarkan suatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang
mengubahnya.
4. Macam-macam istishab ada 4:
a. Adamul Ashliyah yaitu meniadakan hukum sam’iyat (hukum yang belum jelas
dasar nashnya)
b. Istishab Madilul Syar’I Awil Aqli Ala Wujudihi yaitu hukum yang ditetapkan
syara’ atau akal tentang keberadaanya.
c. Istishabul Hukmi yaitu ketetapan hukum yang berlandaskan kepada asal
hukumnya.
d. Istishab Washfi yaitu ketetapan hukum asal yang berdasarkan atas sifatnya
sampai datang sifat lain yang merubahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Mansykur. 2008. Ushul Fiqih. Surabaya: Diantama

SA Romli. 2017. Pengantar Ushul Fiqih Metodologi Penetapan Hukum Islam. Palembang :
Kencana.

Anda mungkin juga menyukai