Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
yang diampu oleh :
oleh:
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan dan kesalahan karena
pengalaman yang kami miliki sangat minim. Oleh karena itu, kami harapkan
kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk mencapai kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh di luar apa yang telah diejlaskan
dalam nash Al-Qur’an dan Hadis, para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya yang
disebut ijtihad. Disamping 4 dalil syara’ yang disepakati, terdapat dalil-dalil yang yang
penggunaanya sebagai dalil tidak disepakati. Dalam makalah ini kita akan menjelaskan 3
dalil hukum yang tidak disepakati istihsan, istishhab, dan mahsalah mursalah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Istihsan, dasar hukumnya dan macam-macamnya?
2. Apa definisi istishhab, bentuk-bentuknya dan contoh dari istishhab?
3. Apa definisi dari mashlahah mursalah, macam-macamnya, dan syarat dari
mashlahah mursalah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari istihsan, dasar hukumnya dan macam-macamnya
2. Untuk mengetahui definisi dari istishhab, bentuk-bentuknya dan contoh dari
istishhab
3. Untuk mengetahui definisi dari mashlahah mursalah, macam-macamnya dan
syarat-syarat dari maslahah mursalah
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istihsan
1. Pengertian Istihsan
Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu dengan baik . sedangkan menurut istihlah
ushul fiqh terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama antara lain:
Lebih mengunggulkan qiyas khafiy daripada qiyas jaliy berdasarkan alas an tertentu
Pengertian Qiyas Jali didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah seperti mengqiyaskan memukul kedua orang tua larangan mengatakan “uf atau Ah”.
Qiyas Khafi didasarkan atas ‘illat yang ditarik dari hukum ashal, seperti mengqiyaskan
pembunuhan denagn benda tajam disebabkan persamaan ‘illat yaitu adanya kesengajaan.
Qiyas Jali lebih kuat daripada qiyas Khafi, tetapi jika mujtahid memandang bahwa qiyas
Khafi lebih besar meshlahatnya, maka Qiyas Jali boleh ditinggalkan.
أن يعدل اإلنسان عن أن يحكم في المسألة بمثل ما حكم به في نظائرها إلى خالفه لوجه أقوى
يقتضي العدول عن األول
1
Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. (Jakarta:Amzah, 2011). Hlm 197
4
Seorang Mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya
berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada factor yang
lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan tersebut dari hukum yang pertama.
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba
Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk mereka itulah orang=orang yang
mempunyai akal.” (Az-Zumar:17-18)
2. Jenis-jenis Istihan
Dari beberapa definisi daitas, dpat disimpulkan tentang hakikat dari istihsan, yaitu
seorang mujahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum
tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk qiyas lain yang dinilai lebih
kuat, atau nash yang ditemukannya, atau ‘uruf yang berlaku, atau keadaan darurat atau
hokum pengecualian. Alasanya adalah karena dengan cara itulah si mujahid menganggapnya
sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatn dan lebih menjauhkan
kesulitan bagi umat.
1. Istihsan Qiyasi
Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang
didasarkan kepada Qitas Jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada Qiyas Khafi,
karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan yang
kuat yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan.2
Contoh dari istihan qiyasi yang dilandaskani oleh qiyas khafi adalah dalam penetapan
hukum bersih tidaknya air yang bekas dijilat burung buas seperti gagak atua elang. Nash
Syara’ tidak ada menyebutkan hukumnya. Dalam kasus inicara yang bias ditempuh ulama
2
Prof. Dr.H. Amir Syariffudin. UsHul Fiqh jilid 2. (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008). Hlm 353
5
adalah melalui qiyas yaitu meng-qiyas-kannya kepada air yang bekas dijilat binatang uas
yang hukumnya tidak bersih. ‘illat yang digunakan dalam qiyas ini adalah dagingnya sama-
sama haram untuk dimakan, sehingga hukum air yang habis dijilat oleh gagak atau elang juga
sama-sma tidak bersih.
Pembedaan hukum antara air sisa minuman burung buas dengan sisa minuman
binatang buas ini ditetapkan berdasarkan istihsan qiyasi yaitu mengalihkan ketentuan hokum
dari hokum yang berdasarkan qiyas Jali (najis dan haram) kepada hokum yang berdasarkan
qiyas khafi (suci dan halal), karena adanya alasan yang kuat untuk kemaslahatan.
2. Istihsan Istitsnai3
Istihsan Istitsna’i ialah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang
berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang berbentuk khusus.
Istihsan Istitsna’i dapat dibagi dalam beberapa macam sebagai berikut:
a. Istihsan bi An-Nashsh
Istihsan Istitsna’i ialah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum kepada
ketentuan lain dalam bentuk pengecualian. Karena ada nashsh yang mengecualikanya baik
nashsh tersebut Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Contoh Istihan Ististna’i adalah tidak batalnya puasa orangyang makan atau minum
karena lupa, padahal menurut ketentuan umum makan dan minum membatalkan puasa.
Ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan Hadis:
صائِم فَأ َ َك َل أ َ ْو َ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َم ْن نَ ِس:ع ْن أَبِي ُه َريرة رضي هللا عنه قال
َ ي وهو َ
ُسقَاه ْ ّ ص ْو َمهُ فَإِنَّ َما أ
َ طعَ ّمهُ هللاُ و َ ب فَ ْليُتِ َّم
َ ش َِر
Dari Abu Hurairah Alaihi salam katanya Rasulullah SAW bersabda:”Barang siapa yang
lupa sedang ia berpuasa kemudian makan atuaminum, maka hendaklah ia menyempurnakan
puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya.”4
b. Istihsan bi Al-Jima’
Istihsan bi Al-ijma’ ialah pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan
lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikanya.
3
Abd. Rahman Dahlan... Hlm. 200
4
Shahih muslim hadis nomor 1952
6
Contohnya kebolehan jual beli barang pesanan (salam dan istitsna’) yang bertentangan
dengan hokum asal jual beli yang mengharuskan adanya barang pada saat akad.
Istihsan bi Al-Urf ialah pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum,
berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya kebolehan mewakafkan benda bergerak
seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat setempat. Padahal wakaf biasanya
hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah
d. Istihsan bi Ad-Dharurah
Istihsan bi Ad-Dharurah ialah suau keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk
mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi
kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Contohnya menghukumkan sucinya air sumur atau
kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya.
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama
kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’, mereka ini adalah
mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka berpendapat bahwa
menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 185
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Al-
Baqarah:185)
5
Abd. Rahman Dahlan... hlm. 201
7
Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’
adalah Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah dan Syiah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan
istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara
menggunakan nalar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil Syara’.6 Seperti
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 49
َوأَنِح ُك ْم بَينَ ُهم ِب َما أ َ ْنزَ َل هللاُ والَ تَت َّ ِب ْع أ َ ُهوا َء ُه ْم
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut yang diturunkan Allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Ayat diatas menunjukkan bahwa tidak boleh menetapkan hukum kecuali berdasarkan
nashsh, dan dilarang mengikuti hawa nafsu. Selain itu, Rasulullah SAW tidak pernah
menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya adalah nalar murni, melainkan
menunngu turunnya wahyu. Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu
belaka.
Istihsan itu landasannya adalah akal, dimana kedudukan orang yang terpelajar dan
tidak adalah sama. Jika menggunkan itihsan dibenarkan tentu orang boleh menetapkan
hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Perbedaan argumen diatas hanya perbedaan pendapat dari penggunaan istilah. Sebab
kritik yang dikemukakan asy-Syafi’i terhadap istihsan adalah istihsan yang semata-mata
didasarkan kepada pertimbangan akal murni, tanpa didasarkan kepada pertimbangan murni,
tanpa didasarkan kepada dalil syara’.
Pada hakikatnya istihsan dengan segala bentuknya adalah mengalihkan hukum syara’
dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain yang didasarkan kepada dalil
syara’ yang lebih kuat.
6
Wahbah zuhaili. Ushulu-l Fiqhu-l Islami jilid 2. (Damaskus:Darul Fikr, 1986). Hlm 749
8
B. Istishab
1. Pengertian Istishab
Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al (س ِت ْف َعا ِل
ْ ِ)ا
yang bermakna: ح َب ْه
َ ص ُ اِ ْس ِت ْم َر. Kalau kata ح َب ْه
َّ ارال َ ص
َّ الdiartikan dengan sahabat atau teman dan
ُ اِ ْستِ ْم َر
ار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu
menemani atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau
membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau
mencari sesuatu yang ada hubungannya.7
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwa istishab adalah:
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada
masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contohnya adalah sebagai
berikut:-- Seseorang yang mulanya ada wudhu, kemudian datang was-was dalam
hatinya, bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan
wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada
wudhu. Dan was-was yang datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang
semula.
Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang
lalu.Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A
dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan
selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-
laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali
7
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fikih.(Jakarta: Amzah, 2005). Hlm.142
8
Effendi, Satria.. Ushul Fiqih. (Jakarta: Kencana, 2005). Hlm. 121
9
Ibid. Hlm. 159
9
perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun
mereka telah lama berpisah.10
2. Bentuk-Bentuk Istishab
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan empat macam bentuk istishab seperti berikut:11
1) Istishab Al ibahah Al ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukuman asal dari
sesuatu yaitu mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum dibidang Muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang
mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya
makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain selama tidak ada dalil
yang melarangnya adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut
berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah:
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..."
Ayat tersebut menegaskan bahwa segala yang ada di bumi dijadikan untuk
umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makanannya atau boleh dilakukan
hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan. Dalam konteks ini jika ada
larangan, berarti pada makanan atau dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagi
kehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut, suatu makanan atau suatu
tindakan tetap dianggap halal atau boleh dilakukan seperti hukum aslinya, selama
tidak ada dalil yang melarang.
2) Istishab Al bara'ah Al ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa
pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang
mengubah statusnya itu, dan bebas dari hutang atau kesalahan sampai ada bukti yang
mengubah statusnya itu. Seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri
seseorang, ia harus mampu membuktikan nya karena pihak tertuduh pada dasarnya
bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali
10
Opcit. Hlm. 142
11
Ibid. Hlm. 160-161
10
dengan bukti yang jelas. Jadi, seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap
berada dalam status tidak bersalahnya sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.
3) Istishab Al hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang
sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang
memiliki sebidang tanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu
tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status
hukum itu, seperti dijual atau dihibahkannya kepada pihak lain. Seseorang yang sudah
jelas berhutang kepada Si Fulan, akan selalu dianggap berutang sampai ada yang
mengubahnya, seperti membayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang
membebaskan dari hutang itu. Seseorang yang jelas telah mengakadkan nikah
terhadap seorang wanita, maka wanita itu akan tetap dianggap sebagai istrinya sampai
terbukti telah diceraikannya.
4) Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetap nya sifat
yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat
hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap diangkat masih ada sampai ada bukti
bahwa ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih
selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.
Para ulama Ushul fiqih seperti yang dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, sepakat
bahwa 3 macam istishab yang disebut pertama diatas adalah sah dijadikan landasan hukum.
mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu istishab al-wasf. dalam hal ini
ada dua pendapat, yaitu:12
12
Ibid . Hlm. 161-162
11
2) Kalangan Hanafiah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishab al-wasf hanya
berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan
hak yang baru. Dalam contoh diatas, orang yang hilang itu meskipun ia masih
dianggap masih hidup yang dengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan
hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yang masih hidup,
namun jika ada ahli waris nya yang wafat, maka khusus kadar pembagiannya harus
disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup. Jika
terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih dulu wafatnya dibandingkan dengan waktu
wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannya yang disimpan tersebut dibagi
diantara ahli waris yang ada. Alasan mereka karena keadaannya masih hidup
semata-mata didasarkan atas dalil istishab yang berupa dugaan, bukan hidup secara
fakta.
4. Kaidah-Kaidah Istishab
Para ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada
istishab, diantaranya adalah:
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus
sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi.
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia
hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah,
selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu
yang tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.
Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan.
Melalui kaidah ini, maka seseorang yang telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya
itu apakah telah batal atau belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia
telah berwudu, dan wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan pengecualian
dalam masalah shalat. Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka
12
kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah wudunya,
maka ia wajib berwudu kembali.
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya
dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam
kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan
meyakinkan bahwa ia bersalah.13
C. Mashalah Mursalah
MaslahahMursalah menurut istilah terdiri dari 2 kata yaitu maslahah dan mursalah.
kata Maslahah menurut bahasa berarti "manfaat", dan kata Mursalah berarti "lepas".14 Al
mashlahah al mursalah artinya mutlak (umum), menurut istilah ulama Ushul adalah
kemaslahatan yang oleh syar'i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkannya, tidak ada dalil
syara yang menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu.15
13
pendekatan kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan
penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan
hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid
asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan
menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum
Islam melalui kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam.
Hukum Islam akan kaku (prigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.17
2. Macam-Macam Mashlahah
1) Al Maslahah Al mu'tabarah, yaitu Maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah
ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan
berjihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuhnya, diwajibkan hukuman qishas
untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khamar untuk memelihara
akal, ancaman hukuman zinah untuk memelihara Kehormatan dan keturunan, serta ancaman
hukum mencuri untuk menjaga harta.
2) Al Maslahah Al Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap Maslahah oleh akal pikiran, tetapi
dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syariat. Misalnya, ada
anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak wanita
adalah Maslahah. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syariat,
yaitu ayat 11 surat an-nisa yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali
pembagian anak perempuan. Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang
dianggap maslahat itu bukan maslahat di sisi Allah.
17
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya
dengan Pembaharuan Hukum Islam,( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) Hlm. 104
18
Opcit. Hlm . 149-150
14
Namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syariat, yaitu dalam hal ini adalah untuk
memelihara jiwa dan harta.
Para ulama Ushul fiqih sepakat bahwa MaslahahMursalah tidak sah menjadi landasan
hukum dalam bidang ibadah, karena bidang Ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya
diwariskan oleh Rasulullah, dan oleh karena itu bidang ibadah tidak berkembang.
19
Opcit. Hlm. 150
20
Ibid. Hlm. 151
15
2) Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah MaslahahMursalah sebagai landasan
hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya. contohnya, Umar Bin Khattab
pernah menyita sebagian harta para pejabat dimasanya yang diperoleh dengan cara
menyalahgunakan jabatannya.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut dan beberapa alasan lain yang tidak dapat disebut
semua dalam tulisan Ini, kalangan Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian dari kalangan
Syafi'iyah menganggap sah MaslahahMursalah sebagai landasan hukum. Adapun alasan-
alasan yang dikemukakan oleh pihak yang menolak MaslahahMursalah sebagai dalil hukum,
menurut pihak kedua ini adalah lemah. Karena kenyataannya berlawanan dengan dalil
tersebut, dimana tidak semua kebutuhan manusia ada rinciannya dalam Alquran dan Sunnah.
Disamping itu, untuk menetapkan bahwa suatu MaslahahMursalah itu secara sah dapat
difungsikan, membutuhkan beberapa persyaratan yang ekstra ketat. dengan persyaratan-
persyaratan itu, adanya kemungkinan bahwa MaslahahMursalah akan disalahgunakan oleh
berbagai pihak dapat dihindarkan.
4. Syarat-Syarat MaslahahMursalah
1) Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat haqiqi yaitu yang
benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan
berupa dugaan belakang dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa
melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir
ini adalah anggapan bahwa untuk menjatuhkan thalak itu berada di tangan wanita
bukan lagi di tangan pria adalah maslahat palsu, karena bertentangan dengan
ketentuan syariat yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada di
tangan suami.
2) Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan
kepentingan pribadi.
3) Sesuatu yang dianggap masalah hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada
ketegasan dalam Alquran atau sunnah Rasulullah, atau bertentangan dengan ijma'.
21
Ibid, Hlm. 152
16
Contoh-contoh penerapan atau penggunaan maslahahmursalah antara lain:
1) Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai
khalifah pertama pengganti nabi untuk memimpin umat dalam meneruskan
tugas imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan mempertahankan
berlakunya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW Seorang khalifah
sangat dibutuhkan pada saat itu, dan ini merupakan suatu maslahat yang sangat
besar, namun hal ini tidak ditemukan dalil khusus dari teks syariat yang membenarkan
atau menyuruh atau membatalkannya (melarang).
2) Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf.
Padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa Rasulullah SAW. Alasan yang
mendorong mereka malakukan pengumpulan pengumpulan itu tidak lain kecuali
semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atan kehilangan
kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar hafidz dari generasi
sahabat.22
3) Pada penjelasan pasal 7 UU No.1 tahun 1974 disebutkan “untuk menjaga kesehatan
suami isteri dan keturunan, perlu diterapkan batas-batas umur untuk perkawinan”.23
Dalam KHI pasal 15 disebutkan bahwa penetapan batas usia nikah minimal 19 tahun
laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan ditujukan untuk kemaslahatan keluarga dan
rumahtangga.24 Sebagaimana kita tahu tiadak ada nash yang mewajibkan atau pun
melarang umat islam menikah pada usia tertentu.
4) Penguasaan barang tambang oleh negara yang ditetapkan dalam UU No. 11 tahun
1967 tentang pokok Pertambangan, pada hakikatnya demi tercapainya kemaslahatan.
Pemerintah sebagai pengendali umat berkewajiban menggunakan barang tambang
sebaik-baiknya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.25 Dalam
sebuah Hadist ahad riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasul SAW melarang
kepemilikan sumber garam di Ma’rab oleh peorangan atau individu, sebagaimana
pada hadits riwayat Abu Dawud yang lain, bahwa setiap umat memiliki hak yang
sama terhadap air, api dan rumput. Pada kedua nash tersebut jelas ada pelarangan
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum. (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994) Cet II,
Hlm. 429.
23
Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta; Depag RI,
2001), Hlm. 32.
24
Ibid. Hlm. 136
25
Ujang Firmansyah, Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Penguasaan Barang Tambang dalm UU No. 11/1967
Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Skripsi, (IAIN SGD;Bandung, 2000), hal. 61
17
monopoli barang tambang oleh perorangan atau individu, tetapi tidak disebutkan
kebolehan ataupun larangan monopoli barang tambang oleh negara/pemerintah.26
Kesimpulan
26
Ibid. Hlm . 61
18
Istihsan adalah Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakam
prinsip kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan
dalil yang umum.
Macam-macam istohsan ada dua yaitu Istihsan Qiyasi dan Istihsan Itstisna’i dan
Istihsan Itstitsna’i dibagi menjadi Istihan UrfIstihsan Dhoruroh, Istihsan Masalah
Mursalah
Istishab adalah sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada dalil yang
menunjukkan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap
menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan
Masalah Mursalah adalah kemaslahatan yang oleh syar'i tidak dibuatkan hukum
untuk mewujudkannya, tidak ada dalil syara yang menunjukkan dianggap atau
tidaknya kemaslahatan itu
DAFTAR PUSTAKA
19
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum. Jakarta: PT Pustaka Firdaus,
1994. Cet II,
Al-Suyuthi, Jalal al-Din Abd al-Rahman “al-Asybah wa al-Nazhair”,Singapura: Sulaiman
Mar’i, T.Th
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta:Amzah, 2011
Dirjen Bimas Islam & Haji, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan.
Jakarta; Depag RI. 2001
Effendi, Satria.. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2005
20