PENDAHULUAN
B. Rumusan masalah
Pembahsan yang akan kita fokuskan dalam makalah ini adalah :
1. Berapakah jenis atau macam Istihsan ?
2. Bagaimakah kekuatan istihsan dalam mengistinbathkan hukum ?
3. Bagaimakah relefansi istihsan dimasa kini dan mendatang ?
1
C. Tujaun penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pembagian atau macam-macam istihsan.
2. Untuk mengetahui kekuatan istihsan dalam mengistinbathkan hukum.
3. Umtuk mengetahui relefansi istihsan dimasa kini dan mendatang.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan
Secara bahasa :
1
Dr. ‘Abdullah bin Yusuf al-Jadi’, Taisir ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Muassasatu ar-
Rayyan, tt), h. 193.
3
األخذ ملصلحة جزئية يف مقابلة دليل كلي
Mengguanakan kemaslahatan juz’i sebagai ganti dari dalil kulli.
Defenisi diatas mengandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya
menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang bersifat umum. Namun,
karena keadaan tertentu seorang Mujtahid melihat ada kemaslahatan yang khusus,
maka ia dalam menetapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang
ada, tetapi mengguanakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khsusu
tersebut.
3. Didalam kalangan ulama hanabilah ada 3 definisi sebagai berikut :
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 324-326
2
Imam Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh cet. ke-3, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 111
3
4
Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama, 2012), h. 136
4
B. Dasar hukum Istihsan
Para ulama yang menerima Istihsan sebagai dalil hukum memberikan dasar
Istihsan kepada al Quran dan as Sunnah. Adapun dalil yang berasal dari al Quran
adalah sebagai berikut :
5
Hamim Tohari, al Quran Tikrar (Jakarta: Sygma Creative Media Corp, 2014), h. 460
6
Ibid. h, 168
7
Ibid. h, 28
5
melawannya dengan dalil yang menuntut kemenangan itu atau juga istidlal dengan
mashlahah mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli,
semua itu merupakan istidlal yang shahih.8
C. Macam-macam Istihsan
Setelah menganalisis beberapa definisi Istihsan diatas, dapat ditarik
kesimpulan tentang hakikat dari istihsan yaitu mujtahid dalam melakukan ijtihad
untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil,
baik dalil itu dalam bentuk qiyas, kulli, atau kaidah umum. Sebagai gantinya ia
menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dianggap lebih kuat, atau nash
yang ditemukannya atau Urf yang berlaku atau keadaan darurat, atau hukum
pengecualian. Alasannya adalah dengan cara itulah mujtahid menganggapnya sebagai
cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan
kesulitan bagi ummat.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat
dilihat dari beberapa segi : dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan
gantinya maupun dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada
tiga macam :
a. Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dharir (qiyas jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan
qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tapi menggunakan qiyas khafi,
karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat).
b. Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam
menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum
itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus.9
8
Acep Djazuli dan I. Nurul Aen, Ushul Fiqh (Bandung : Gilang Aditia Press, 1997), h. 133
9
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, OP. Cit, h. 329
6
c. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum
pengecualian. Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada
dibawah perwalian karena belum dewasa atau mahjur ‘alaih li al-safahi (orang
yang diampu karena belum dewasa). Berdasarkan ketentuan yang bersifat
kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakukan
kebajikan dengan hartanya ( tabarru) berdasarkan pendekatan istihsan,
ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri.
Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya,
namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan
hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang hakikatnya adalah
melindungi harta orang yang dalam perwalian.
2. Ditinjau dari segi snadaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk
menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi keapa empat macam :
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid
meninggalkan qiyas yang pertama karena menemukan bentuk qiyas yang lain,
meskipun qiyas yang lain tersebut memiliki kelemahan, namun dari segi
pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi10.
Atau bisa juga disebut dengan pencetusan hukum melalui perenungan
dan penelitian yang mendalam atas sebuah kasus atau peristiwa yang memiliki
dua dalil, yaitu berupa qiyas jali dan qiyas khafi, dan masing-masing dalil
tersebut memiliki konsekuensi hukum tersendiri11. Cara ini merupakan cara
terbaik bagi mujtahid dalam menetapkan hukum. Dengan demikian,
menggunakan istihsan berarti berdalil dengan qiyas khafi. Istihsan seperti ini
disebut istihsan qiyas.
10
Ibid, h. 331
11
Dr. Moh. Bahrudin, M. Ag, Ilmu Ushul Fiqh (Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama
Raharja, 2019), h. 63
7
b. Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini dalam menetapkan
hukum mujtahid menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang
menuntunnya12.
Juga bisa diartikan dengan diperbolehkannya pelanggaran atas hukum
yang sudah ditetapkan secara universal dan menjadi kaidah umum, karena
secara spesifik terdapat nash dari al Quran dan Sunnah yang memperbolehkan
hal tersebut13. Umapamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau
inden). Pada saat berlangsung transaksi jaul beli, barang yang diperjual
belikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran
qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah karena
tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual beli berupa tersedianya barang
yang diperjualbelikan pada saat berlangsung transaksi. Namun cara begini
tidak diapakai karena telah ada nash yang mengaturnya, yaitu hadis nabi yang
melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada
ditempat kecuali pada jual beli salam(pesanan).
Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan
untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian
itu. Istihsan dalam bentuk ini disebut Istihsan Nash14.
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘Urf (adat kebiasaan). Dalam hal ini
mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi
menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada
kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Istihsan dalam
bentuk ini disebut istihsan al-‘Urf15.
Umpamanya penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi
orang yang menggunakan pemandian umum, biasanya dikenai biaya tertentu
dalam bentuk tanda masuk, tanpa diperhitungkan banyaknya air yang
12
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, OP. Cit, h. 329
13
Dr. Moh. Bahrudin, M. Ag, Loc. Cit
14
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, OP. Cit, h. 332
15
Ibid.
8
disampaikannya dan lama waktu yang digunakannya. Hal ini sudah menjadi
kebiasaan umum yang berlaku dimana saja.
Kalau dikembalikan kepada hukum umum, maka sulit untuk diterima,
karena sudah ada ketentuan umum yang harus diikuti. Kalau dalam kasusu ini
mengikuti ketentuan jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual
beli itu untuk kadar uang yang ditentukan harus tertentu pula air yang
digunakan, padahal dalam cara pemandian umum tidak berlaku yang
demikian. Kalau mengikuti ketentuan sewa menyewa, yaitu tertentunya waktu
pemakaian barang yang disewa, padahal pada pemandian umum tidak ada
batasan waktu. Dengan demikian ketentuan umum jual beli dan sewa
menyewad ditinggalkan kepada adat kebiasaan yang berlaku ddan diterima
semua pihak.
d. Istihsan yang sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini mujtahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan
darurat yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut
istihsan al-darurah.
Umpamanya tidak diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap
pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk mempertahankan hidup atau darurat,
sebagaimana telah disebutkan diatas16.
3. Menurut Syatibi, di kalangan mazhab maliki dikenal pula istihsan yang dalam
praktiknya dinamai dengan Istislah. Mereka membagi istihsan itu kepada tiga
macam:
a. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf
(kebiasaan)17. Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila seseorang
dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging, tetapi ternyata
kemudian dia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumpah
meskipun ikan itu dalam bahasa al-Quran termasuk dalam daging. Alasannya
16
Ibid. h. 333
17
Ibid.
9
kerena dalam ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu
bukan (tidak termasuk) daging.
b. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan
cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia.
Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki
suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan
pendekatan Qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi
waktu ia membantu ia bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara
seperti ini ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujudnya
kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
c. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan menghundarkan kesulitan dan
memberikan kemudahan kepada umat. Umpamanya ada sedikit kelebihan dalam
menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun
menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai
standar takaran yang berlaku18.
. أولئك الذين هداهم اهلل وأولئك هم أولوا األباب,الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه
18
Ibid. h. 334
19
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2017), h. 133
10
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk da mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (Q.S. Az-Zumar : 18)20.
Ayat tersebut menurut mereka memuji orang-orang yang mengikuti perkataan
(pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu
yang dianggap baik, oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b. Sabda Rasulullah :
يء مث إىلMM M Mاب من شMM M Mالكم ما فرطنا يف الكتMM M Mائر يطري جبناحيه إال أمم أمثMM M Mوما من دابة يف األرض وال ط
.رهبم حيشرون
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di muka bumi dan juga burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti itu.
Tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab, kemudian Tuhan
merekalah mereka dikembalikan. (Q.S. al-An’am : 6)22
20
Hamim Tohari, Op. Cit, h. 460
21
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, Loc, Cit
22
Hamim Tohari, Op. Cit, h. 132
11
.بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبني للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
“Keterangan-keterangan dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al
Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”23. (Q.S. an-Nahl : 44)
12
pakai penganutnya bukan didasarkan hawa nafsu, tetapi mentarjih salah satu dari
dua dalil yang bertentangan. Karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan
pembentukan hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Istihsan adalah meninggalkan salah satu jenis ijtihad yang berlandaskan kaidah-
kaidah seperti qiyas atau kaidah syar’iyyah kulliyah kepada sesuatu yang
dianggap mujtahid lebih kuat untuk kemaslahatan manusia
13
2. Macam macam Istihsan :
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi
b. Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini dalam menetapkan
hukum mujtahid menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang
menuntunnya.
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘Urf (adat kebiasaan).
d. Istihsan yang sandarannya adalah darurat.
3. Kehujjahan Istihsan dalam menisbatkan hukum, selama istihsan tersebut masih
berlandaskan kepada dalil syara’, maka dia bisa dijadikan untuk
mengistinbathkan hukum. Adapun jika dilandaskan kepada hawa nafsu, maka
dia tidak bisa dijadikan untuk mengistinbathkan hukum.
4. Relefansi istihsan dimasa kini dan dimasa mendatang. Istihsan akan senantiasa
relevan dengan perkembangan zaman dan tempat selama masih didasari oleh
dalil syara’. Dan dia bisa menjadi permaslahan jika didasari oleh hawa nafsu.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat dan manambah ilmu dalam bidang Ushul
Fiqh, meskipun penulis sadar masih banyak kesalahan dalam menulis. Semoga
pembaca bisa memaklumi dan bisa memberikan masukan serta nasehat atas
kesalahan dalam memahami istihsan, supaya bisa diperbaiki untuk masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jadi’, Dr. ‘Abdullah bin Yusuf. tt . Taisir ‘Ilmi Ushul al-Fiqh. Riyadh :
Muassasatu ar-Rayyan.
Bahrudin, Dr. Moh. M. Ag. 2019. Bandar Lampung : CV. Anugrah Utama
Raharja.h.63
14
Djazuli, Acep dan I. Nurul Aen. 1997. Ushul Fiqh. Bandung : Gilang Aditia Press.
Suhartini, Andewi. 2012. Ushul Fiqih. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama.
Syafe’i, Imam. 2007. Ilmu Ushul Fiqh cet. ke-3. Bandung: Pustaka Setia.
Tohari, Hamim. 2014. Al Quran Tikrar. Jakarta: Sygma Creative Media Corp.
Zein, Prof. Dr. H. Satria Effendi M. MA. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
15