Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ketika kita menelaah kitab-kitab ushul fiqh, terkhusus pembahasan mengenai
landasan hukum dalam Islam atau adillatul ahkam akan kita dapati adanya dalil
muttafaq ‘alaih (yang disepakati) dan adanya dalil mukhtalaf fiihi (yang
diperselisihkan). Di antara dalil muttafaq ‘alaih adalah al Quran, Sunnah, Ijma’, dan
Qiyas. Dan diantara dalil mukhtalaf fiihi adalah Istihsan.
Istihsan merupakan salah satu metode istinbath yang bisa dipergunakan oleh
ulama ushul ketika dihadapkan dengan suatu kasus baru yang tidak ada dasar
hukumnya di dalam al Quran maupun Hadis. Sementara kasus tersebut menuntut
segera dicariakn solusinya. Namun tentunya dalam beristinbath menggunakan
istihsan perlu ada standarisasi yang jelas, karena bila tidak dibatasi dengan aturan
yang ketat sangat dikhawatirkan akan timbul hukum yang bertentangan dengan tujuan
pembentukan hukum itu sendiri.
Perkara ini sangat dimungkinkan bisa terjadi, karena pembentukan hukum
yang didasarkan pada istihsan sangat rentan membuka pintu hawa nafsu bila
dilakukan dengan sembarangan. Sehingga jadilah metode ini sebagai bumerang yang
niat awalnya sebagai solusi malah menjauhkan manusia jalan kebenaran.
Berdasarkan uraian di atas, pemakalah akan menulis tentang : “Kedudukan
Istihsan dalam mengistinbathkan hukum”.

B. Rumusan masalah
Pembahsan yang akan kita fokuskan dalam makalah ini adalah :
1. Berapakah jenis atau macam Istihsan ?
2. Bagaimakah kekuatan istihsan dalam mengistinbathkan hukum ?
3. Bagaimakah relefansi istihsan dimasa kini dan mendatang ?

1
C. Tujaun penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pembagian atau macam-macam istihsan.
2. Untuk mengetahui kekuatan istihsan dalam mengistinbathkan hukum.
3. Umtuk mengetahui relefansi istihsan dimasa kini dan mendatang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan
Secara bahasa :

‫عد الشيء حسنا‬


Menganggap baik susuatu, atau bisa juga kita pahami dengan mencari sesuatu
yang lebih baik.1 Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya, diantaranya :
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumus yaitu :

a. ‫عدول عن قياس إىل قياس أعلى منه‬


Beralih dari satu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat darinya.

b. ‫عدول عن الدليل إىل العادة للمصلحة‬


Beralih dari sebuah dalil kepada adat atau kebiasaan untuk kemaslahatan.
Ibnu Subki mengatakan pendapat pertama tidak diperselisihkan oleh para
ulama, karena yang terkuat diantara dua qiyas yang diutamakan. Sementara
pada rumusan yang kedua ada yang menolaknya. Alasannya adalah bila daat
dipastikan adat istiadat itu baik karena berlaku seperti itu pada masa nabi dan
sesudahnya, serta tanpa ada penolakan dari Nabi atau yang lainnya, ini tentu
ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash atau ijma’. Dalam hal ini adat
istiadat harus diamalkan secara pasti. Namun, apabila tidak terbukti
kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.
2. Istihsan dikalangan ulama Malikiyah diantaranya sebagaimana yang dikemukan
oleh asy - Syathibi :

1
Dr. ‘Abdullah bin Yusuf al-Jadi’, Taisir ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Muassasatu ar-
Rayyan, tt), h. 193.

3
‫األخذ ملصلحة جزئية يف مقابلة دليل كلي‬
Mengguanakan kemaslahatan juz’i sebagai ganti dari dalil kulli.
Defenisi diatas mengandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya
menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang bersifat umum. Namun,
karena keadaan tertentu seorang Mujtahid melihat ada kemaslahatan yang khusus,
maka ia dalam menetapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang
ada, tetapi mengguanakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khsusu
tersebut.
3. Didalam kalangan ulama hanabilah ada 3 definisi sebagai berikut :

a. ‫العدل حبكم املسألة عن نظائرها لديل خاص من كتاب و سنة‬


Beralihnya seorang mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah
dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dari al Quran dan
Sunnah.

b. ‫أنه ما يستحسنه اجملتهد بعقله‬


Segala sesuatu yang dianggap baik oleh seorang Mujtahid berdasarkan akalnya.

c. ‫دليل ينقدح يف نفس اجملتهد ال يقدر على التميز عنه‬


Dalil yang muncul di diri Mujtahid yang ia tidak mampu menjelaskannya.2
4. Rahmat Syafi’i menambahkan bahwa Istihsan secara harfiyah diartikan meminta
kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.3
Dari pengertian di atas bisa kita simpulkan bahwa istihsan adalah meninggalkan
salah satu jenis ijtihad yang berlandaskan kaidah-kaidah seperti qiyas atau kaidah
syar’iyyah kulliyah kepada sesuatu yang dianggap mujtahid lebih kuat untuk
kemaslahatan manusia.4

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 324-326
2

Imam Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh cet. ke-3, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 111
3

4
Andewi Suhartini, Ushul Fiqih, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama, 2012), h. 136

4
B. Dasar hukum Istihsan
Para ulama yang menerima Istihsan sebagai dalil hukum memberikan dasar
Istihsan kepada al Quran dan as Sunnah. Adapun dalil yang berasal dari al Quran
adalah sebagai berikut :

1. ‫ الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه‬,‫فبشر عباد‬


Berikanlah kabar gembira kepada hambaku yang mendengarkan perkataan lalu
mengikutinya dengan sangat baik. (Q.S. az-Zumar : 17-18)5.

2. ‫وأمر قومك يأخذوا بأحسنها‬...


Dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-

naiknya. (Q.S. al-A’raf : 145)6.

3. ‫يريد اهلل بكم اليسر وال يريدكم العسر‬...


Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. (Q.S. al-Baqarah : 185)7.

Adapun dalil yang berdasarkan sunnah sebagai berikut :

‫ما رآه املسلمون حسنا فهو عند اهلل حسن‬


Apa yang dianggap baik bagi kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. ( H.R.
Ahmad Bin Hanbal).

Disamping kedua dalil hukum diatas, ulama Hanafiyah yang mengatakan


bahwasanya mengambil dalil dengan Istihsan itu hanyalah istidlal dengan qiyas khafi
yang memang atas qiyas jalli atau kemampuan qiyas atas qiyas lain yang

5
Hamim Tohari, al Quran Tikrar (Jakarta: Sygma Creative Media Corp, 2014), h. 460
6
Ibid. h, 168
7
Ibid. h, 28

5
melawannya dengan dalil yang menuntut kemenangan itu atau juga istidlal dengan
mashlahah mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli,
semua itu merupakan istidlal yang shahih.8

C. Macam-macam Istihsan
Setelah menganalisis beberapa definisi Istihsan diatas, dapat ditarik
kesimpulan tentang hakikat dari istihsan yaitu mujtahid dalam melakukan ijtihad
untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil,
baik dalil itu dalam bentuk qiyas, kulli, atau kaidah umum. Sebagai gantinya ia
menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dianggap lebih kuat, atau nash
yang ditemukannya atau Urf yang berlaku atau keadaan darurat, atau hukum
pengecualian. Alasannya adalah dengan cara itulah mujtahid menganggapnya sebagai
cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan
kesulitan bagi ummat.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat
dilihat dari beberapa segi : dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan
gantinya maupun dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1. Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada
tiga macam :
a. Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dharir (qiyas jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan
qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tapi menggunakan qiyas khafi,
karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat).
b. Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam
menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum
itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus.9

8
Acep Djazuli dan I. Nurul Aen, Ushul Fiqh (Bandung : Gilang Aditia Press, 1997), h. 133
9
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, OP. Cit, h. 329

6
c. Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum
pengecualian. Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada
dibawah perwalian karena belum dewasa atau mahjur ‘alaih li al-safahi (orang
yang diampu karena belum dewasa). Berdasarkan ketentuan yang bersifat
kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakukan
kebajikan dengan hartanya ( tabarru) berdasarkan pendekatan istihsan,
ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri.
Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya,
namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan
hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang hakikatnya adalah
melindungi harta orang yang dalam perwalian.
2. Ditinjau dari segi snadaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk
menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi keapa empat macam :
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid
meninggalkan qiyas yang pertama karena menemukan bentuk qiyas yang lain,
meskipun qiyas yang lain tersebut memiliki kelemahan, namun dari segi
pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi10.
Atau bisa juga disebut dengan pencetusan hukum melalui perenungan
dan penelitian yang mendalam atas sebuah kasus atau peristiwa yang memiliki
dua dalil, yaitu berupa qiyas jali dan qiyas khafi, dan masing-masing dalil
tersebut memiliki konsekuensi hukum tersendiri11. Cara ini merupakan cara
terbaik bagi mujtahid dalam menetapkan hukum. Dengan demikian,
menggunakan istihsan berarti berdalil dengan qiyas khafi. Istihsan seperti ini
disebut istihsan qiyas.

10
Ibid, h. 331
11
Dr. Moh. Bahrudin, M. Ag, Ilmu Ushul Fiqh (Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama
Raharja, 2019), h. 63

7
b. Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini dalam menetapkan
hukum mujtahid menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang
menuntunnya12.
Juga bisa diartikan dengan diperbolehkannya pelanggaran atas hukum
yang sudah ditetapkan secara universal dan menjadi kaidah umum, karena
secara spesifik terdapat nash dari al Quran dan Sunnah yang memperbolehkan
hal tersebut13. Umapamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau
inden). Pada saat berlangsung transaksi jaul beli, barang yang diperjual
belikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran
qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah karena
tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual beli berupa tersedianya barang
yang diperjualbelikan pada saat berlangsung transaksi. Namun cara begini
tidak diapakai karena telah ada nash yang mengaturnya, yaitu hadis nabi yang
melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada
ditempat kecuali pada jual beli salam(pesanan).
Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan
untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian
itu. Istihsan dalam bentuk ini disebut Istihsan Nash14.
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘Urf (adat kebiasaan). Dalam hal ini
mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi
menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada
kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Istihsan dalam
bentuk ini disebut istihsan al-‘Urf15.
Umpamanya penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi
orang yang menggunakan pemandian umum, biasanya dikenai biaya tertentu
dalam bentuk tanda masuk, tanpa diperhitungkan banyaknya air yang
12
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, OP. Cit, h. 329
13
Dr. Moh. Bahrudin, M. Ag, Loc. Cit
14
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, OP. Cit, h. 332
15
Ibid.

8
disampaikannya dan lama waktu yang digunakannya. Hal ini sudah menjadi
kebiasaan umum yang berlaku dimana saja.
Kalau dikembalikan kepada hukum umum, maka sulit untuk diterima,
karena sudah ada ketentuan umum yang harus diikuti. Kalau dalam kasusu ini
mengikuti ketentuan jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual
beli itu untuk kadar uang yang ditentukan harus tertentu pula air yang
digunakan, padahal dalam cara pemandian umum tidak berlaku yang
demikian. Kalau mengikuti ketentuan sewa menyewa, yaitu tertentunya waktu
pemakaian barang yang disewa, padahal pada pemandian umum tidak ada
batasan waktu. Dengan demikian ketentuan umum jual beli dan sewa
menyewad ditinggalkan kepada adat kebiasaan yang berlaku ddan diterima
semua pihak.
d. Istihsan yang sandarannya adalah darurat. Dalam hal ini mujtahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan
darurat yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam bentuk ini disebut
istihsan al-darurah.
Umpamanya tidak diberlakukannya hukuman potong tangan terhadap
pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk mempertahankan hidup atau darurat,
sebagaimana telah disebutkan diatas16.
3. Menurut Syatibi, di kalangan mazhab maliki dikenal pula istihsan yang dalam
praktiknya dinamai dengan Istislah. Mereka membagi istihsan itu kepada tiga
macam:
a. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘urf
(kebiasaan)17. Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila seseorang
dalam sumpahnya menyebutkan tidak akan memakan daging, tetapi ternyata
kemudian dia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumpah
meskipun ikan itu dalam bahasa al-Quran termasuk dalam daging. Alasannya

16
Ibid. h. 333
17
Ibid.

9
kerena dalam ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu
bukan (tidak termasuk) daging.
b. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan
cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia.
Umpamanya tanggung jawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki
suatu barang bila barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan
pendekatan Qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi
waktu ia membantu ia bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara
seperti ini ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujudnya
kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
c. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan menghundarkan kesulitan dan
memberikan kemudahan kepada umat. Umpamanya ada sedikit kelebihan dalam
menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun
menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai
standar takaran yang berlaku18.

D. Kehujjahan istihsan dalam ijtihad


Jika kita menelaah kitab-kitab ushul maka kita akan menemui perbedaan pendapat
para fuqaha terhadap kehujjahan istihsan dalam ijtihad atau sumber hukum kepada
tiga kelompok :
1. Mazhab hanafi, maliki, dan mazhab hambali berpendapat bahwa istihan dapat
dijadikan landasan dalam menetapkan hukum19, dengan beberapa alasan sebagai
berikut :
a. Firman Allah :

.‫ أولئك الذين هداهم اهلل وأولئك هم أولوا األباب‬,‫الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه‬

18
Ibid. h. 334
19
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2017), h. 133

10
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk da mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (Q.S. Az-Zumar : 18)20.
Ayat tersebut menurut mereka memuji orang-orang yang mengikuti perkataan
(pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu
yang dianggap baik, oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b. Sabda Rasulullah :

‫ما رآه املسلمون حسنا فهو عند اهلل حسن‬


“Apa yang dianggap baik oleh seorang muslim maka dia disisi Allah juga baik”.
(H.R. Ahmad dalam kitab sunnah, ukan dalam musnadnya)21.
Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa
yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, karena merupakan sesuatu yang baik
di sisi Allah dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
2. Imam Muhammad Bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H), pendiri mazhab syafi’i, tidak
menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya, barangsiapa yang
menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syari’at
baru dengan hawa nafsu. Berikut alasannya :
a. Firman Allah :

‫يء مث إىل‬MM M M‫اب من ش‬MM M M‫الكم ما فرطنا يف الكت‬MM M M‫ائر يطري جبناحيه إال أمم أمث‬MM M M‫وما من دابة يف األرض وال ط‬

.‫رهبم حيشرون‬
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di muka bumi dan juga burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti itu.
Tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab, kemudian Tuhan
merekalah mereka dikembalikan. (Q.S. al-An’am : 6)22

20
Hamim Tohari, Op. Cit, h. 460
21
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, Loc, Cit
22
Hamim Tohari, Op. Cit, h. 132

11
.‫بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبني للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون‬
“Keterangan-keterangan dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al
Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”23. (Q.S. an-Nahl : 44)

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa


yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, suapaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling,
maka ketahuilah bahwasanya akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan dosa-dosa mereka. Dan kebanyakan manusia fasiq 24. (Q.S. al-
Maaidah : 49)

Ayat pertama di atas, menurut Imam Syafi’i menegaskan kesempurnaan al


Quran untuk menjawab segala sesuatu, ayat kedua menjelaskan bahwa di
samping al Quran ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci
hukum-hukum yang terkandung dalam al Quran sehingga menjadi lebih lengkap
untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan
istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi.
Kemudian ayat yang ketiga menurut imam Syafi’i memerintahkan manusia
untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan larangan mengikuti
kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah
kesimpulan hawa nafsu, oleh karena itu tidak sah dijadikan landasan hukum25.
Dapat kita ambil kesimpulan, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan
perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang
berdasarkan hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Adapun istihsan yang
23
Ibid, h. 272
24
Ibid, h. 116
25
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, Loc, Cit

12
pakai penganutnya bukan didasarkan hawa nafsu, tetapi mentarjih salah satu dari
dua dalil yang bertentangan. Karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan
pembentukan hukum.

E. Relefansi istihsan dimasa kini dan mendatang


Istihsan yang didasarkan kepada dalil syara’ akan selalu relevan dengan
perkembangan zaman. Kerena istihsan merupakan salah satu sumber hukum Islam
yang akan dijadikan pedoman jika umat menghadapi permasalahan dan tidak ada
jawaban di dalam nash. Dengan digunakannya istihsan (tidak dibangun diatas hawa
nafsu), diharapkan mampu memberikan jalan atau solusi kepada permasalahan umat
dan memberikan kemaslahatan.
Jadi, sebagai sumber hukum Islam yang mukhtalaf fiihi istihsan akan selalu
relevan selama tidak di dasari oleh hawa nafsu. Baik sekarang maupun masa yang
kan datang yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar dari permasalahan ummat yang
semakin berkembang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Istihsan adalah meninggalkan salah satu jenis ijtihad yang berlandaskan kaidah-
kaidah seperti qiyas atau kaidah syar’iyyah kulliyah kepada sesuatu yang
dianggap mujtahid lebih kuat untuk kemaslahatan manusia

13
2. Macam macam Istihsan :
a. Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi
b. Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini dalam menetapkan
hukum mujtahid menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang
menuntunnya.
c. Istihsan yang sandarannya adalah ‘Urf (adat kebiasaan).
d. Istihsan yang sandarannya adalah darurat.
3. Kehujjahan Istihsan dalam menisbatkan hukum, selama istihsan tersebut masih
berlandaskan kepada dalil syara’, maka dia bisa dijadikan untuk
mengistinbathkan hukum. Adapun jika dilandaskan kepada hawa nafsu, maka
dia tidak bisa dijadikan untuk mengistinbathkan hukum.
4. Relefansi istihsan dimasa kini dan dimasa mendatang. Istihsan akan senantiasa
relevan dengan perkembangan zaman dan tempat selama masih didasari oleh
dalil syara’. Dan dia bisa menjadi permaslahan jika didasari oleh hawa nafsu.

B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat dan manambah ilmu dalam bidang Ushul
Fiqh, meskipun penulis sadar masih banyak kesalahan dalam menulis. Semoga
pembaca bisa memaklumi dan bisa memberikan masukan serta nasehat atas
kesalahan dalam memahami istihsan, supaya bisa diperbaiki untuk masa yang akan
datang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jadi’, Dr. ‘Abdullah bin Yusuf. tt . Taisir ‘Ilmi Ushul al-Fiqh. Riyadh :

Muassasatu ar-Rayyan.

Bahrudin, Dr. Moh. M. Ag. 2019. Bandar Lampung : CV. Anugrah Utama

Raharja.h.63

14
Djazuli, Acep dan I. Nurul Aen. 1997. Ushul Fiqh. Bandung : Gilang Aditia Press.

Suhartini, Andewi. 2012. Ushul Fiqih. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam

Kementerian Agama.

Syafe’i, Imam. 2007. Ilmu Ushul Fiqh cet. ke-3. Bandung: Pustaka Setia.

Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Tohari, Hamim. 2014. Al Quran Tikrar. Jakarta: Sygma Creative Media Corp.

Zein, Prof. Dr. H. Satria Effendi M. MA. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

15

Anda mungkin juga menyukai