Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AL ISTIHSAN

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Ushul Fiqih

Disusun Oleh :
AYU INTAN PRATIWI
Semester 3

Dosen Pengampu : Ahmad Balya, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
MISBAHUL ULUM GUMAWANG
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmad-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Al Istihsan.
Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu
Bapak Ahmad Balya, M.Pd.I., yang telah memberikan bimbingan dan arahan
dalam penyusunan makalah ini, dan juga kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini dari awal hingga akhir.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat kepada kita
semua. Penulis sangat berharap semoga pembaca dapat memberikan kritik dan
sarannya terhadap makalah ini agar kami dapat memperbaikinya pada makalah-
makalah berikutnya.

Belitang, Nopember 2023

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Istihsan..................................................................................... 2
B. Bentuk-Bentuk Istihsan............................................................................. 4
C. Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai Sumber
Hukum....................................................................................................... 7
D. Relevansi Istihsan dengan Sumber Hukum Islam lainnya........................ 9
E. Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi........................ 12

BAB III PENUTUP


Kesimpulan....................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam mekanisme ijtihad dan istinabath hukum Islam, Ilmu Ushul
Fiqih merupakan salah satu intrumen penting yang harus dilakukan. Dalam
pembahasan criteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan
sebagai salah satu syarat mutlak untuk menjaga supaya proses ijtihad dan
istinabath tetap pada jalan yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu
penjaganya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkuri
bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidak menjamin kesatuan hasil ijtihad dan
istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari Ilmu Ushul Fiqih ialah
Istihsan, pada makalah ini kami akan bahas semua tentang Istihsan.

B. RumusanMasalah
1. Apa pengertian Istihsan?
2. Jelaskan bentuk-bentuk Istihsan?
3. Apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai
Sumber Hukum?
4. Bagaimana Relevansi Istihsan dengan sumber hukum islam lainnya?
5. Apa saja contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi?

C. Tujuan
1. Mengetauhi Pengertian Istihsan.
2. Mengetahui bentuk-bentuk istihsan.
3. Mengetauhi apa saja Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan
sebagai Sumber Hukum.
4. Mengetauhi Relevansi Istihsan dengan sumber hukum Islam lainnya.
5. Mengetauhi Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi berasal dari kata “al-hasan”, yang berarti
sesuatu yang baik. Abu Hanifah tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar
pemakaian istihsan yaituٍ ‫رحس‬B‫( اس‬astahsin) berarti saya menganggap baik. 1 Arti
lain dari istihsan adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu. 2 Dari pengertian
secara etimologi tersebut, maka tergambar adanya sesorang yang telah
menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan tetapi ada hal yang
mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan untuk
diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.
Istihsan dapat diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-
hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul,
istihsan adalah sebagai berikut:
1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustafa juz 1:37, “Istihsan adalah
semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu
keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu
dari Al-Quran dan As-Sunnah.”
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “Istihsan
adalah pengembalian suatu kemaslahatan yang bersifat juz’I dalam
menanggapi dalil yang bersifat global.”
4. Istilah istihsan dikalangan Ulama Hanafiyah sebagaimana yang dikutip
oleh al-Sarkhasi:
‫ ز ياجعّهانشزعٕيٕك الُنصاٗن اراُئا‬ٚ‫ انًعمتاالجٓر أد غائةانز٘ا ٗف ذقد‬.(‫ا‬
“Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu
yang syara “menyerahkannya kepada kita.”

1
Abu Zahrah, Ushul, op.cit., h. 402
2
Amir Syarifuddin, UshulFiqh, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), h. 305.

v
)‫ن ااأْل وقثمَاعاوانرايم ٗف حكىانعادٔج اشثْٓااٍياالٕص ل‬ّٛ‫ق اسانظْازانٖذ ذسثقا‬ٛ‫ ٌٕك يعارضانه‬ٚ ‫ن مانٖذ‬ٛ‫ اند‬.(‫ب‬
‫ن مانٖذ عارّض ٕفّق ٗف انٕقجفٌاانًعمّْٕتإناجة‬ٛ‫ٓظٍْز اند‬ٚ
“Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum
diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian
yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-
dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu
lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.”
5. Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Definisi yang lebih baik adalah
menurut Al-Hassan Al-Khurki di atas.”
6. Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan
adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan
manusia, dan lain-lain.
Adapun Dalil Syara’ yang menetapkan perpindahan tersebut
disebut dengan Sanad al-Istihsan atau secara singkat Istihsan dapat
didefinisikan yaitu: “Menguatkan suatu dalil atas dalil lain yang
berlawanan dengan Tarjih yang diakui oleh syara’.3
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa Istihsan dalam pengertian
bahasa ialah: Menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah Ulama
Ushul ialah: Berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas Jalli
(Qiyas Nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas Samar), atau dari Hukum Kully
(Umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan
dia mencela akalnya dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi
apabila terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat dalam Nash mengenai
hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu terdapat dua segi yang
saling bertentangan yaitu: Pertama, “Segi nyata yang menghendaki suatu
hukum” dan kedua, “Segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain”
Imam Abu Hanifah al-Hasan al -Karkhi mengemukakan definisi
bahwa Istihsan ialah: “Penetepan hukum dari seorang mujtahid terhadap
suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan

3
Acep Djazuli dan I. Nurol Aen, UshulFiqh (Bandung: Gilang Aditya Press, 1997), 130-
133

vi
pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpangan itu”. Di antara definisi-definisi
Istihsan yang ada, maka definisi ini merupakan definisi yang paling
mengena dalam menjelaskan hakekat Istihsan menurut pandangan
Madzhab Hanafi, sebab definisi tersebut bisa mencakup seluruh macam
Istihsan serta dapat menyentuh pada azas dan inti pengertian yang
dimaksudkannya. Azas yang dimaksud ialah adanya diktum hukum yang
menyimpang dari kaidah yang berlaku, karena faktor lain yang mendorong
agar keluar dari keterikatannya dengan kaidah itu yang dipandang justru
akan lebih dekat pada tujuan syara‟ dibanding seandainya tetap terpaku
dan berpegang teguh pada kaidah di atas. Sehingga dengan demikian
berpegang pada Istihsan dalam pemecahan kasus itu lebih kuat dari pada
menggunakan Dalil Qiyas.

B. Bentuk-Bentuk Istihsan
Ulama usul mengemukakan pembagian istihsan dilihat dari berbagai
segi sebagai berikut:
1. Dari segi pengertiannya Istihsan dilihat dari segi pengertiannya dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Beralih dari qiyâs jali kepada qiyâs khafî karena ada dalil yang
mendukungnya
b. Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli (kaidah
umum), didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.
2. Dari segi Sandarannya Istihsan dilihat dari segi sandarannya, yaitu:
a. Mazhab Hanafi dan Muhammad Abu Zahrah membagi Istihsan atas
tiga bagian, yakni: Istihsan dengan nas, Istihsan dengan jimak, dan
istihsan dengan darurat.
b. ‘Abd al-Wahab Khallaf membaginya atas dua bagian, yaitu istihsan
qiyas khafi dan istihsan ‘urf.

vii
c. Mazhab Maliki membagi istihsan atas empat bagian, yakni: istihsan
dengan ‘urf, istihsan maslahat, istihsan ijma’, dan kaidah raf’ al-haraj
wa al-masyaqqat.
Berdasarkan pembagian yang dikemukakan di atas, maka berikut ini
akan dijelaskan satu persatu pembagian tersebut.
1. Istihsan dengan nas, yaitu istihsan berdasarkan ayat atau hadis. Maksudnya,
ada ayat atau hadis tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum. Contohnya, dalam kasus orang yang makan dan
minum di saat berpuasa karena ia lupa. Menurut kaidah umum (qiyas),
puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan sesuatuke dalam
kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai ia berbuka. Akan
tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadis Rasulullah saw
‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا – صلى هللا عليه‬: ‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة – رضي هللا عنه – َقاَل‬
‫ َفِإَّنَم ا َأْطَع َم ُه ُهَّللَا‬,‫ َفْلُيِتَّم َص ْو َم ُه‬, ‫ َفَأَك َل َأْو َش ِر َب‬, ‫وسلم – – َم ْن َنِس َي َو ُهَو َص اِئٌم‬
‫َو َس َقاُه – ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬4
‘Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang
makan atau minum karena lupa, tidaklah batal puasanya, karena itu hal
merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.
Berdasarkan hadis ini menunjukkan, bahwa tidak batal puasa orang
yang tidak sengaja makan atau minum. Yang dianggap membatalkan puasa
adalah sengaja makan atau minum. Sebab secara psikologi, makan atau
minum karena kelupaan tidaklah dilandasi oleh kesadaran, sehingga orang
yang makan atau minum tanpa sengaja tidak menyebabkan puasanya
batal.Namun demikian pengecualian ini hanya berkaitan dengan hak Tuhan,
dan tidak dapat diterapkan kepada tindak pidana yang berkaitan dengan hak
manusia meskipun dilakukan tanpa disengaja, misalnya dalam pembunuhan
karena khilaf yang tetap dikenai sanksi pidana bagi pelakunya.

4
Abi Isa Muhammad bin Isa ibn Saurah, Sunan al-Turmudzi, Kitab al-Saum ‘an
Rasulullah, Bab Ma Ja’a fi alSaimYa’kul au YasribNasiyan, No. Hadis 654 dalamMausu’ah al-
Hadis al-Syarif ver. 2 (CD ROM). Jami al-HuquqMahfuzah li Syirkah al- Baramij al-Islamiyag al-
Dauliyah, 1991-1997.

viii
2. Istihsan ijma’, yaitu meninggalkan qiyas karena ada kesepakatan umum. 5
Contohnya, penetapan sahnya akad jual beli yang tidak yang tidak
menghadirkan obyeknya, karena transaksi semacam itu sudah jelas dan
dikenal sepanjang zaman. Hal seperti ini menurut qiyas tidak sah, kerena
obyeknya tidak ada.
3. Istihsan qiyas khafi, yaitu qiyas yang antara asal dan cabangnya terdapat
perbedaan yang mempengaruhi hukumnya.6 Contohnya, seseorang yang
telah mewakafkan sebidang tanah pertanian. Secara istihsan, hak-hak yang
bersangkut paut dengan tanah itu, seperti hak mengairi, membuat saluran air
di atas tanah tersebut sudah tercakup dalam pengertian wakaf secara
langsung, meskipun hak-hak itu tidak disebutkan secara terinci. Sedangkan
secara qiyas, hak-hak itu tidak langsung masuk ke dalamnya, kecuali hak-
hak itu tercakup di dalamnya atas ketetapan nas.
4. Istihsan darurat, yaitu penetapan hukum suatu peristiwa yang menyimpang
dari hukum yang ditetapkan melalui qiyas, karena adanya keadaan darurat
yang mengharuskan menyimpangan tersebut, dengan maksud untuk
menghindari kesulitan.7 Contohnya syariat melarang seorang laki-laki
melihat aurat wanita, tetapi dalam keadaan darurat, misalnya dokter yang
hendak mengobati diperbolehkan oleh istihsan melihat aurat pasien wanita.
Kebolehan di sini hanya bisa berlaku ketika hendak mengobati, dan apabila
penyakit yang diobati itu telah sembuh, maka kebolehan tersebut kembali
menjadi terlarang.
5. Istihsan ‘urf, ialah sesuatu berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum. 8
Contohnya, sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijmak, seperti
pada nomor 2 di atas.
6. Istihsan maslahat, yaitu meningalkan qiyas karena adanya maslahat
(kebaikan). Contohnya, adanya jaminan bagi buruh yang berserikat. Menurut
5
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press,
1994), h. 53.
6
Ibid
7
Umar Syihab, Hukum Islam dan TransformasiPemikiran (Cet. 1; Semarang: PT.
KaryaToha Putra, 1996), h. 27
8
Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir:
DâralMaktabat al-Arabiyah, t.th.), h. 250

ix
Imam Malik, bahwa hal itu diperlukan, sekalipun berdasarkan qiyas tidak
perlu ada jaminan, sebab yangberserikat pada umumnya memiliki kejujuran.
Namun Imam Malik melihat kebiasaan ada buruh yang tidak mempunyai
tanggung jawab.
7. Istihsan raf al-haraj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan kesulitan).
Hal ini merupakan kaidah yang qath’i, yakni meninggalkan masalah kecil
dan menghindari kesukaran. Contohnya, memperbolehkan pemakaian kamar
mandi umum tanpa ketentuan jumlah sewa, lama pemakaian dan banyaknya
air yang dipakai. Karena itu asal hukumnya tidak boleh, sebab termasuk
sewa menyewa, dan objeknya tidak jelas. Akan tetapi, hal ini dibatalkan oleh
Imam Malik.
Berdasarkan penjelasan tentang istihsan di atas dapat dipahami, bahwa
menurut Hanafi dan Maliki, istihsan tidak keluar dari dalil-dalil syarak,
melainkan beramal dengan dalil yang satu dan meninggalkan dalil yang lain.
Istihsan ini merupakan hasil pemikiran seorang mujtahid berdasarkan akalnya
dan juga sebagai istinbat hukum.

C. Perbedaan Ulama akan keabsahan Mazhab Istihsan sebagai Sumber


Hukum
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai keabsahan istihsan
sebagai dalil pokok dalam pengambilan hukum. Di antara ulama yang paling
santer dalam membela dan mengamalkan istihsan sebagai hujjah adalah ulama
Mazhab Hanafi. Di tambah sebagian ulama-ulama lainnya dari Madzhab
Maliki dan Hanbali. Hanya saja, ulama Mazhab Syafi'I memiliki pandangan
yang berbeda dalam memposisikan istihsan sebagai dalil pokok dalam
pengambilan hukum. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pandangan ulama yang membela dan mendukung istihsan dengan ulama yang
menentang istihsan. Mereka tidak berselisih dalam penggunaan lafaz istihsan,
karena kata yang mengandung makna hasan (baik) itu terdapat dalam teks Al-
qur’an dan sunnah. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Zumar (39) : 17-18.

x
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itu lah orang-orang
yang mempunyai akal.”
Surat Al-A’rafayat 145:

Artinya: Dan telah Kami tuliskanuntuk Musa pada luh-luh (Taurat)


segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka
(Kami berfirman): "Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah
kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya,
nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.
Selain itu juga, Rasulullah Saw, bersabda:
‫مارءاهالمسلمو ن حسنافھوعنداللهحسن‬
Artinya : “Sesuatu yang dipandang oleh kaum muslimin itu baik, maka
menurut Allah pun adalah baik. (HR. Ahmad).
Dari sini, ulama Mazhab Hanafi tetap berpegang kepada istihsan. Akan
tetapi mereka menggunakannya tetap berdasarkan kepada dalil-dalil yang
kuat. Bukan kepada hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan para ulama
yang menentang istihsan. Mereka berpendapat dalam posisi istihsan ini,
melakukan istihsan lebih utama dari pada melakukan qiyas. Karena
pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari pada dalil yang lemah.
Pada dasarnya dalam praktek istihsan ini, tidak mesti ada dalil yang
bertentangan, tetapi istihsan itu cukup dilakukan ketika ada dalil yang lebih
kuat, sekaligus menggugurkan dalil yang lemah. Atau istihsan itu dilakukan

xi
dengan cara meninggalkan qiyas Karena ada dalil-dalil lain yang lebih kuat
yang diambil dari teks Al-Qur’an, sunnah, ijma', adanya darurat, atau dari
qiyas khafi.

D. Relevansi Istihsan dengan Sumber Hukum Islam lainnya


Istilah pembaruan hukum Islam dimaknai dengan gerakan menetapkan
hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik
menetapkan hukum terhadap masalah baru yang belum ada ketentuan
hukumnya atau menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan
hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia
masa sekarang.9
Sebagai contoh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
bidang kedokteran telah memungkinkan pencangkokan kornea mata yang
diambil dari seseorang yang telah meninggal dunia. Apakah Islam akan
menutup mata terhadap perkembangan IPTEK ini?
Dalam usûl fiqh persoalan tahsiniyat tidak perlu dipertahankan bila
akan menyebabkan Tergangguya maslahat yang lebih utama yakni maslahat
hajiyyat atau daruriyyat. Karena itu pembolehan pencangkokan kornea mata si
mayat kepada si buta bertujuan untuk memelihara maslahat hajiyyat. Dengan
demikian larangan memotong dan mengambil anggota badan si mayat
dikalahkan oleh kepentingan lain yang lebih besar yaitu kemaslahatan orang-
orang yang masih hidup yang sangat memerlukan kornea mata agar mereka
dapat hidup sempurna dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai
khalifah di muka bumi.10Apalagi kornea mayat tersebut tidak dibutuhkan lagi
oleh simayit dan bahkan akan hancur, kembali kepada asalnya, tanah.
Di sinilah keluwesan hukum Islam dapat berubah sesuai dengan
keadaan dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami,
bahwa keadaan dan perkembangan masyarakat harus dijadikan pertimbangan

9
Iskandar, op.cit., h. 176.
10
Ibid., h. 181.

xii
hukum agar hukum itu betul-betul mempunyai arti dan fungsi di tengah-
tengah masyarakat serta mampu merealisasikan kemaslahatan dan menolak
kerusakan bagi umat. Menjadikan keadaan atau lingkungan perkembangan
baru yang timbul dalam masyarakat sebagai salah satu pertimbangan hukum,
merupakan pembaruan hukum Islam. Dengan cara demikian hukum Islam
mampu mewujudkan kemaslahatan di setiap waktu dan tempat.11
Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan hukum di sini, adalah
bahwa perkembangan baru itu atau perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masayarkat yang mempunyai kaitannya dengan ketentuan hukum perlu
mendapatkan pertimbangan agar suatu ketentuan hukum yang akan ditetapkan
dapat berlaku efektif dan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum yang
mengatur suatu masalah itu dapat terealisasi dan tepat sasarannya serta sesuai
dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.12
Asumsi di atas dapat ditelaah dari sikap khalifah Umar Ibn Khattab
yang tidak memberikan zakat kepada para muallaf, padahal para mualaf itu
menerima zakat pada masa Nabi saw., dan khalifah Abu Bakar. Sebab pada
masa khalifah kedua ini, Islam sudah kuat dengan kebudayaan dan
peradabannya yang sedemikian maju, sehingga orang-orang di luar Islam
tertarik dan bahkan bangga menjadi bagian keluarga muslim. Perkembangan
baru itu telah dijadikan pertimbangan hukum oleh Umar untuk menghapus
bagian zakat kepada muallaf. Demikian pula azan Jumat satu kali berubah
menjadi dua kali pada masa Usman bin Affan. 13 Hal itu dilakukan khalifah
Usman mengingat jumlah umat Islam telah berkembang pesat sehingga
dikuatirkan azan Jumat yang dikumandang sekali tidak dapat didengar oleh
semua laki-laki yang wajib shalat Jumat.
Jadi pembaruan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum
yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara
menjadikan perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum tersebut agar
11
Ibid., h. 184.
12
Ibid
13
Ibid

xiii
betul-betul mampu mewujudkan tujuan syariat yang dalam istilah usulfiqh,
disebut dengan maqasid al-syariah.
Salah satu metode istinbat hukum yang sangat relevan pembaruan
hukum Islam dalam perangkap pemeliharaan tujuan syariat adalah istihsan.
Karena istihsan sangat memperhatikan segi tujuan syariat yang hendak dicapai
demi kepentingan umat. Sedangkan pembaruan hukum Islam berusaha untuk
mengatur seluruh perbuatan hukum umat dengan ketentuan hukum yang
disusun berdasarkan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang berasal dari
Alquran dan hadis. Dengan kata lain pembaruan hukum Islam bertujuan untuk
menjamin kepentingan umat dengan mengatur seluruh perbuatan hukumnya
dengan ketentuan hukum yang dikembangkan dari kedua sumber utama
hukum tersebut demi kebahagiaan hidup mereka dunia akhirat. 14Namun perlu
dicatat bahwa pemakaian istihsan disaat ada masalah yang tidak ada
ketentuannya dalam Alquran dan hadis, sekalipun ada dalam qiyas tetapi
hasilnya masih belum mewujudkan kemaslahatan umat atau berbenturan
dengan maqasid al-syariah, maka dalam kondisi sepertiini mujtahid
meninggalkan qiyas dan menggunakan istihsan.
Berkaitan dengan maslahat, sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan
Imam Syafi`i yang tampak begitu keras menolak istihsan. Pada dasarnya
imam Syafi’I mempermasalahkan nama-nama yang diberikan kepada masing-
masing istihsan, seperti istihsan sunah dan istihsan ijma. Sebab keduanya tidak
layak dikategorikan dalam istihsan. Untuk istihsan darurat, Imam Syafi`i-pun
berpendapat, bahwa di mana ada darurat, di situ pula ada rukhsah. Hal ini
berdasarkan kaidah fiqh yang menerangkan, bahwa al-dharuratu tubiihu al-
mahdzurat, darurat atau kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang
dilarang.15Perbedaan ini hanya terletak pada lahiriahnya saja. Sebagai mana
diterangkan dalam Kitabnya al-Risalah, Imam Syafi`I berpendapat bahwa
tidak diperkenankan kepada siapapun untuk menggunakan istihsan bila hal itu
menghalangi hukum yang telah jelas pada al-Quran, Sunah dan qiyas pada
14
Ibid., h. 197
15
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 72.

xiv
sesuatu yang belum ada nasnya. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa
istihsan boleh dilakukan apabila berdasarkan al-Quran, Sunah, ijma dan qiyas
serta bila dalam keadaan darurat. Hal itu menunjukkan, bahwa imam Syafi’i
tidak menerima istihsan yang bertentangan dengan kepada dalil, baik dalil al-
Qur’an dan hadis maupun dalil ijma dan qiyas.

E. Contoh Istihsan sebagai Sumber Hukum dalam Ekonomi


Sebagaimana diketahui bersama bahwa tujuan pemberlakuan syariah
ialah guna mewujudkan maslahah dan menolak kerusakan, baik di dunia
mapun di akhirat. Hal ini bermakna bahwa setiap aspek dalam ajaran Islam
harus tertuju pada terwujudnya tujuan tersebut, tidak terkecuali pada ekonomi.
Oleh Karena itu, ekonomi syariah harus berperan menjadi sebuah solusi bagi
problematika perekonomian yang terjadi hari ini. Konsekuensi logisnya ialah,
bahwa guna menciptakan sebuah bangunan ekonomi syariah tidak bisa
dilepaskan dari teori kebaikan dan maslahah yang merupakan esensi dari
metodei stihsan.16 Ekonomi syariah yang cukup lama mengalami stagnasi
pengembangan dan tergeser dengan ekonomi konvensional tentu memiliki
peluang besar untuk dijadikan lahan ijtihad. Artinya, kerja keras (ijtihad) dari
para pakar hukum Islam diperlukan guna mencari terobosan-terobosan baru
dalam metode istinbath hukum. Untuk selanjutnya terobosan ideal tersebut
diderivasikan menjadi sebuah teori ekonomi syariah yang kemudian bisa
dijadikan kaidah pada tataran praktik.
Perbedaan yang cukup signifikan antara konsep ekonomi syariah dan
ekonomi konvensional terletak pada wilayah nilai etik. Diantara perilaku
ekonomi yang memiliki nilai etik adalah, etika pada perilaku konsumen, etika
keadilan distributif, dan etika yang dikaitkan dengan peran penguasa. Variabel
etika dalam ekonomi syariah ini tampaknya mempunyai posisi yang sangat
urgen dalam proses ijtihad dalam rangka mengembangkan ekonomi syariah.
Dalam mengembangkan ekonomi syariah, metode yang menekankan pada

16
Moh. Syarifudin, “MaslahahSebagaiAlternatifIstimbath Hukum dalamEkonomi
Syariah”, JurnalLentera, Volume 17 Nomor 1, Maret 2018, hal. 55-56.

xv
wawasan etis dengan harapan bisa memenuhi maksud diatas, istihsan sebagai
salah satu metode istimbat hukum Imam Hanafi, perlu dinaikkan derajat dan
posisinya guna dijadikan sebuah metode sentral dalam rangka pengembangan
ekonomi syariah. Ekonomi syariah yang dalam banyak hal merupakan
reinkarnasi dari fiqh mu’amalah sudah selayaknya mengembalikan kelenturan
dan elastisitas hukum Islam (fiqh) dengan menjadikan istihsan yang
mempunyai esensi kebaikan dan maslahah sebagai the ultimate goal dalam
proses tersebut.
Aturan-aturan dalam syariah memiliki keterkaitan dengan berbagai
dimensi pada aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek pada bidang ekonomi
hanya sebagai salah satu dari serangkaian kehidupan manusia. Esensi dari
ajaran istihsan semestinya memiliki implikasi pada tindakan ekonomi disetiap
individu muslim. Selain hal tersebut, para pelaku ekonomi muslim tidak bisa
melupakan implikasi-implikasi saat melakukan analisis ekonomi pada
framework agama Islam. Susunan yang mengutarakan dan implikasi dari
metode istihsan dalam pengembangan ekonomi syariah ini merupakan sebuah
tantangan dan juga tugas yang amat berat, yang harus selalu diusahakan oleh
para pelaku ekonomi muslim. Uraian di bawah ini akan berusaha
menderivikasikan teori metode istihsan ke dalam teori ekonomi Syariah.

Istihsan dalam Ekonomi Syariah


Kebaikan dan mafsadat tentu sudah diketahui secara akal, sedangkan
pengetahuan yang berkaitan dengan kedua hal tersebut termasuk pokok
bahasan syariah, yaitu mewujudkan maslahah/kebaikan dan menolak
mafsadat/kerusakan.17 Dalam ketentuan mengenai kegiatan ekonomi, konsep
kebaikan yang diredupsi dari istihsan merupakan sebuah ilustrasi dasar
tentang perwujudan nilai-nilai ajaran Islam di setiap aspek kehidupan
manusia. Konsep ekonomi syariah yang sebenarnya bukan hal yang baru
dalam dunia Islam, dahulu para pakar ekonomi syariah klasik telah

17
Muhammad Izzu al-Din Ibn Abi Salam, Qawa’id al-Ahkam fi MasalihalAnam, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), hal. 12.

xvi
memikirkan mengenai hal ini. Pemikiran mengenai ekonomi syariah muncul
sebagai salah satu tradisi intelektual muslim, walaupun masih sangat
sederhana sesuai dengan konteks zaman dan tantangan kehdiupan yang
berkembang pada saatitu. Selama ini, kajian dan pemikiran ekonomi syariah
tidak bisa dilepaskan dari pemikiran hukum Islam (fiqh). Dalam pemikiran
hukum Islam tidak bisa dilepaskan dengan prinsip maslahah, kebaikan, dan
keseimbangan. Dengan demikian, istihsan sebagai metode yang
merealisasikan prinsip tersebut tentu mempunyai keselarasan khusus dalam
keberlangsungan dan pengembangan hukum ekonomi syariah.
Upaya ini sebagai langkah internalisasi nilai-nilai ekonomi syariah
dalam seluruh aspek perekonomian bangsa. Penanaman nilai-nilai ekonomi
syariah ini akan mempunyai pengaruh terhadap perilaku economic agent.
Misalnya, ketika seseorang mengetahui bahwa kejujuran mempunyai
implikasi nilai-nilai ibadah kepada Allah, termasuk perilaku yang
bertentangan dengan syariah, seperti khianat, korupsi, serta mengurangi
takaran dan timbangan.18 Internalisasi nilai-nilai syariah dalam ekonomi
syariah di Indonesia sebagai upaya pengembangan karakter bangsa dan
keilmuan, apalagi orang Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. 19hal ini
bertujuan untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki orang Islam
dengan membawa prinsip dasar ekonomi Islam.20

18
Bambang Iswanto, “Peran Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional, Badan Wakaf
Indonesia dan BaznasDalamPengembangan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia”,
JurnalIqtishadia, Volume 9, Nomor 2, 2016, hal. 425
19
Akhmad Mujahidin, “PerananKearifanLokal (Local Wisdom)
DalamPengembanganEkonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”, JurnalIlmiahSyari’ah,
Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016, hal. 157.
20
UginLugina, “PengembanganEkonomiPondokPesantren Di Jawa Barat”, Risalah: Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam, Volume 4, Nomor 1, 2018, hal. 62.

xvii
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Istihsan suatu hal yang baik dan dijadikan pedoman untuk melakukan suatu
hal. Istihsan merupakan suatu metode istinbath hukum yang dapat dijadikan
hujjah, mazhab maliki dan hanafi menyatakan bahwa istihsan memiliki
peranan yang penting dalam pengembangan hukum Islam.
2. Pembaruan hukum Islam berarti gerakan ijtihad yang menetapkan hukum
yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik menetapkan
hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya
maupun menetapkan hukum baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama
yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa
sekarang.
3. Istihsan mempunyai relevansi dengan pembaruan hukum Islam, relevansinya
itu terletak pada tujuan hukum Islam. Karena pembaruan Hukum Islam
bertujuan untuk merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia
semaksimal mungkin yang mrupakan maaqasid syariat.

xviii
DAFTAR PUSTAKA

Abi Isa Muhammad bin Isa ibn Saurah, Sunan al-Turmudzi. Kitab al-Saum ‘an
Rasulullah, Bab Ma Ja’a fi alSaimYa’kul au Yasrib Nasiyan, No. Hadis
654 dalam Mausu’ah al-Hadis al-Syarif ver. 2 (CD ROM). Jami al-
HuquqMahfuzah li Syirkah al- Baramij al-Islamiyag al-Dauliyah, 1991-
1997.

Akhmad Mujahidin, “Peranan Kearifan Lokal (Local Wisdom) Dalam


Pengembangan Ekonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”,
JurnalIlmiah Syari’ah, Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember 2016.

Badran Abu al-Ainaini Badran, Ushul Fiqh al-Islamiy (Mesir: Mu‟assasah


Syababal Iskandariyah, t.th).

Bambang Iswanto, “Peran Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional, Badan


Wakaf Indonesia dan Baznas Dalam Pengembangan Hukum Ekonomi
Islam di Indonesia”, Jurnal Iqtishadia, Volume 9, Nomor 2, 2016.

Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana,
2006),

Hasan Hamid Hasan, Nasabiyah al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah (Mesir: Dâral


Maktabat al-Arabiyah, t.th.).

Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali


Press, 1994).

Moh. Syarifudin, “Maslahah Sebagai Alternatif Istimbath Hukum dalam Ekonomi


Syariah”, Jurnal Lentera, Volume 17 Nomor 1, Maret 2018.

Muhammad Izzu al-Din Ibn Abi Salam, Qawa’id al-Ahkam fi MasalihalAnam,


(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999).

Ugin Lugina, “Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren di Jawa Barat”,


Risalah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Volume 4, Nomor 1, 2018.

Umar Hubeis dan A. Yazid, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid II (Cet. IX;
Surabaya Pustaka Progresif, 1985).

Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Cet. 1; Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 1996).

xix
xx

Anda mungkin juga menyukai