ISTISHAB
Disusun oleh:
1. Khoirina Ulfa (2231061)
2. Nataliya (2231050)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
batas waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini berjudul “Istishab”. Makalah ini di susun untuk memenuhi salah
satu tugas kelompok dalam perkuliahan Ushul Fiqh. Didalamnya terdapat pembahasan
mengenai hal-hal yang bersangkut paut sumber hukum Islam.
Sebagai tim penyusun, kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh
dari kata sempurna, baik yang berkenan dengan substansi maupun tata tulisnya.
Walaupun demikian, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat sebagai bahan
literasi untuk menambah wawasan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I...................................................................................................................................1
1. Latar belakang..........................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................................3
A. Pengertian Istishab....................................................................................................3
B. Rukun Istishab..........................................................................................................5
C. Syarat-syarat Istishab...............................................................................................5
D. Macam-macam Istishab............................................................................................6
E. Kehujjahan Istishab..................................................................................................7
F. Penerapan Istishab....................................................................................................8
BAB III..............................................................................................................................10
A. Kesimpulan..............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Menetapkan hukum untuk suatu masalah harus berlandaskan dalil atau alasan
yang mendukung. Dalam penetapan hukum islam, al-Qur’an dan al-Sunnah
merupakan pedoman yang digunakan oleh para ulama. Namun pada hakikatnya, kedua
sumber hukum tersebut terkadang dipandang tidak cukup untuk menentukan hukum
pada setiap masalah, karena adanya beraneka ragam masalah baru selalu bermunculan
seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman.1
Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengkaji ulang istishab
sebagai dalil hukum, yaitu menetapkan sesuatu berdasarkan status asal. Adakalanya
asal segala sesuatu adalah mubah, bebas dari tuntutan, hukum asal masih relevan, dan
adakalanya sifat asal adalah tetap. Istishab dapat diterapkan pada banyak kasus, baik
bidang hukum keluarga, hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum ekonomi.
Seperti jika terdapat hukum asal suatu perkara meupakan mubah misalnya
makanan, maka hukum asalnya yaitu mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Jika hukum asal pada suatu kasus adalah haram misalnya pergaulan
bebas, maka hukum asalnya yaitu haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya,
contohnya seperti dengan melalui ikatan perkawinan.2
Dalam hukum Islam sendiri terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum
yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara
1
Misbahuzzulam, “Al-Majaalis”, Jurnal Dirasat Islamiyah, Vol. 1, No.1 (2013), hal. 108.
2
Saidurrahman, Istishab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjaun History, Jurnal
Asy-Syir’ah Vol. 45, No. 01, 2011, hal. 1049.
1
umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu diantaranya akan
menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
2
BAB II
PENDAHULUAN
A. Pengertian Istishab
Secara lughawi (etimologi) Istishab berasal dari kata istishaba dalam istif’al
yang berarti istimrar al-shahabah (sahabat) yang artinya dalam lughawi yaitu selalu
3
menyertai atau menemani. Istishab dapat diartikan juga dengan membawa dan
melepaskan sesuatu, seperti:
“Tetap berpegang teguh dengan dalil akal atau dalil syar’i, bukan karena tidak
mengetahui adanya dalil, melainkan karena mengetahui tidak adanya dalil yang
mengubahnya setelah berusaha keras mencari.”
3
Imron Rosyadi, Muhammad Muinudinnillah Basri, Ushul Fiqh Hukum Ekonomi Syari’ah,
(Muhammadiyah University Press, 2020), hal. 99.
4
Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, (Bumi Aksara, 2021),
hal. 90.
5
Misbahuzzulam, Al-Majaalis, Jurnal Dirasat Islamiyah, Vol. 1, No.1 (2013), hal. 113.
3
Selain itu, definisi istishab yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh
berbeda- beda, namun dapat disimpulkan bahwa:
a. Segala hukum yang ada pada masa saat ini terjadi karenaadanya hukum di masa lalu,
b. Segala hukum yang ada di masa lalu tetap berlaku pada masa saat ini kecuali jika
ada yang mengubahnya,
c. Segala hukum yang ada pada masa saat ini pasti telah ditetapkan pada masa lalu.
Oleh sebab itu apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau
pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang
meng-Itlak-kan hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah: “Pangkal sesuatu
adalah kebolehan” 6Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali
para Mujatahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya.
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-
hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya
terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja
dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi
tidak untuk mentsabitkan.
Terdapat tiga unsur pokok dalam penerapan istiṣḥāb, yaitu segi waktu,
ketetapan hukum, dan dalil hukum.8 Dari sisi waktu, istiṣḥāb menghendaki
keterhubungan tiga waktu, masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Hukum pada masa sekarang dan yang akan datang akan tetap langgeng selama hukum
6
Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Amzah, 2005), hal. 146.
7
Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 143.
8
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal. 135.
4
pada masa lalu tidak ada apapun yang mengubahnya. Oleh karena-nya, ketiga waktu
tersebut saling berkait.
B. Rukun Istishab
C. Syarat-syarat Istishab
Para ulama telah membuat syarat-syarat yang harus ada agar Istishab dapat digunakan
sebagai dalil, yaitu:10
c. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan Istishab benar adanya, baik dari dalil
shar‘i ataupun dari dalil akal. Artinya, bukan hanya sekedar dugaan.
9
Misbahuzzulam, Al-Majaalis, Jurnal Dirasat Islamiyah, Vol. 1, No.1 (2013), h. 114.
10
Ibid, hal. 114
5
Karena bila demikian halnya, maka itu tidak disebut menggunakan Istishab, melainkan
disebut mengunakan dalil tersebut.
e. Tidak terjadi kontradiktif antara Istishab dengan nash yang ada. Bila terjadi
kontradiktif antara keduanya, maka yang didahulukan adalah apa yang tertera pada
nash, karena nash memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Istishab. Wahbah al-Zuhayliy menukil pernyataan al-Khawarizmiy yang berbunyi:
“Bila seorang mufti ditanya, maka hendaklah dia mencari jawabannya pada al-Qur’an,
lalu al-Sunnah, lalu Ijma’, lalu Qiyas. Bila dia tidak mendapatkan jawabannya pada
empat sumber hukum ini, maka barulah dia beralih kepada Istishab11.
D. Macam-macam Istishab
Imam Abu Zahrah dalam kitab ushul fiqh membagi istishab ke dalam empat hal yaitu:
a. Istishab al-Ibaḥah al-Ashliyyah
Sesuatu yang bermanfaat bagi manusia hukumnya boleh, selama belum ada dalil
yang menunjukkan bahwa hukumnya haram. 12
Contoh: pohon yang ada di hutan merupakan milik bersama dan setiap orang berhak
untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, kecuali jika terdapat firman
Allah:
“Dialah yang menjadikan segala yang ada di muka bumi ini untuk kalian.” (Q.S. al-
Baqarah:29).
Pada ayat diatas dapat diartikan bahwa mencari rezeki adalah hak setiap orang
selama halal dan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya haram.
11
Wahhab al;Zuhayliy, Usul al-Fiqh al-Islamiy, vol. 02 (Damaskus: Daf al-Fikr 1406 H/ 1986 M),
hal. 860.
12
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,, (Bandung: Kencana, 2018) hal.
101.
6
Tetap berada pada hukum asal yang belum ada perubahannya. Setiap manusia tidak
memiliki beban, hal ini tetap berlaku sampai dengan adanya dalil yang menyatakan
perubahannnya.13
Contoh: wudhu seseorang hukumnya sah jika tidak ada hal yang membatalkannya.
Penentuan status hukum pada masa lalu yang bentuk sebelumnya merupakan
penetapan untuk masa kedua karena pada masa pertama tidak sesuai dengan dalil
yang spesifik.14
Berdasarkan anggapan masih tetapnya sifat yang dipercayai ada pada masa lalu,
hingga saat ini sampai ada bukti dalil yang menyatakan perubahnya.16
Contoh: jika orang bertayamum , dalam shalatnya tidak batal, karena keabsahan
shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Kebiasaan ini akan terus berlanjut,hingga
ditemukannya dalil yang menunjukkan bahwa penetapan tersebut batal. 17
E. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil
syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:
13
Ibid, hal. 10
14
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,, (Bandung: Kencana, 2018) hal.
102.
15
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar’I dan Perbedaan Ulama Tentang Kedudukannya, vol.
5, no. 01, (2020), hal. 6.
16
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,, (Bandung: Kencana, 2018) hal.
103.
17
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar’I dan Perbedaan Ulama Tentang Kedudukannya, vol.
5, no. 01, (2020), hal. 7.
7
1. Ulama Hanafiyah: menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak
akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan
penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata
lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah
ada dan menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari ketetapan yang berlawanan
dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang
belum tetap hukumnya.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam): bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga
untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus
pula berdasarkan dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan
penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa
lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang
akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya
menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan
datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah: bahwa istishab bisa
menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada
yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa
lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni
(relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga
keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhan) bisa
dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada
tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah
SAW.
F. Penerapan Istishab
Dalam hukum pidana, konsep istishab sangat relevan dengan asas praduga tak bersalah,
di mana seorang terdakwa ketika menjalani proses peradilan dianggap tidak bersalah
sampai ada bukti hukum material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh
pengadilan.
8
Bidang Hukum Perdata
Penerapan konsep istishab dalam hukum perdata berlaku dalam bidang perikatan
ekonomi, bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari segala tanggungan berupa
kewajiban perdata. Misalnya, jika seorang penggugat melaporkan tergugat ke pengadilan
dengan gugatan untuk melunasi hutangnya, tergugat berhak untuk menolaknya hingga
penggugat mampu membuktikan di pengadilan.
Hukum Perkawinan
Jika menuruti konsep istishab, praktik nikah siri dianggap tidak pernah. Sebab, sesuai
dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa, suatu perkawinan baru
dinyatakan sah secara hukum negara jika dapat dibuktikan dengan akte nikah melalui
pencatatan perkawinan. Bukti ini sekaligus menjadi tanda lahirnya hak dan kewajiban
baru bagi pasangan suami istri.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai
umat islam sepatutnya kita mempelajari dan mengetahui setiap hukum-hukum yang ada.
Istishab merupakan juga suatu hukum yang dianggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya
semula selama belum terbukti sesuatu mengubahnya.
Dalam melihat hukum istishab, kita jangan hanya melihat dari satu sudut pandang saja, akan
tetapi mempelajari secara cermat mengenai seluk beluk istishab, Istishab itu sendiri dari
keseluruhan aspeknya.
Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode ijtihad ketika tidak ada
keterangan dalam dalil qur’an dan as-sunnah.
10
DAFTAR PUSTAKA
Misbahuzzulam, “Al-Majaalis”, Jurnal Dirasat Islamiyah, Vol. 1, No.1 (2013), hal. 108.
Saidurrahman, Istishab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjaun
History, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 45, No. 01, 2011, hal. 1049.
Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Amzah, 2005), hal. 146.
Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 143.
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal.
135.
Wahhab al;Zuhayliy, Usul al-Fiqh al-Islamiy, vol. 02 (Damaskus: Daf al-Fikr 1406
H/ 1986 M), hal. 860.
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,, (Bandung: Kencana,
2018) hal.101.
Ibid, hal. 10
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,, (Bandung: Kencana,
2018) hal.102.
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar’I dan Perbedaan Ulama Tentang
Kedudukannya, vol. 5, no. 01, (2020), hal. 6.
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,, (Bandung: Kencana,
2018) hal.103.
Efendi Sugianto, Istishab Sebagai Dalil Syar’I dan Perbedaan Ulama Tentang
Kedudukannya, vol.5, no. 01, (2020), hal. 7.
11