Disusun oleh
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga kami
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari seluruh komponen yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah yang berjudul “Sumber Dan Dalil”
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, serta seluruh Masyarakat Indonesia khususnya para mahasiswa untuk ke
depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih
baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin dalam
pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.
2
DAFTAR ISI
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
2.1 Pengertian Istishab.............................................................................................................................6
2.2 Syarat-syarat Istishab.........................................................................................................................6
2.3 Macam – Macam Istishab..................................................................................................................7
2.4 Contoh Istishab..................................................................................................................................8
2.5 Dasar Hukum Istishab........................................................................................................................8
2.6 Kehujahan Istishab............................................................................................................................8
2.7 Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat pada Zaman
Sekarang..................................................................................................................................................9
BAB III......................................................................................................................................................10
PENUTUP.................................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................10
3.2 Saran................................................................................................................................................10
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang
tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu dia
antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Metode yang digunakan para mujtahid untuk menarik atau menyimpukan sebuah hukum relatif
berjumlah banyak, dan salah satu metode yang digunakan untuk itu adalah istishab. Oleh karena itu dalam
makalah ini penulis mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan istishab mulai dari pengertian, syarat-
syarat, bentuk-bentuk, kaida-kaidahnya sampai pada relevansi istishab terhadap hukum positif yang
khusunya ada di Indonesia.
Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai upaya
menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali
ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
7. Bagaimana relevansi istishab dengan UU positif serta terhadap perkembangan masyarakat pada zaman
sekarang?
4
3. Memahami macam-macam istishab
7. Memahami relevansi istishab dengan UU positif serta terhadap perkembangan masyarakat pada zaman
sekarang
5
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para
ulama, di antaranya ialah:
1. Imam Isnawi Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut. 2
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan
dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.3
3. Abdul-Karim Zaidan Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula
selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya. 4Istishab juga dapat berarti melanjutkan
berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidak
terdapat yang mengubahnya.5 Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya
suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut. Jadi apabila
sudah ditetapkan suatu perkara pada sesuatu waktu, maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu, sebelum
ada dalil baru yang mengubahnya, sebaliknya apabila sesuatu perkara telah ditolak pada sesuatu waktu,
maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa, sebelum terdapat dalil yang menerima
(metsabitkan) perkara itu.6
Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi (Al-Baqarah :29)
b. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak
terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. v, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h. 364-5
2
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 144
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 365
4
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. i, Jakarta: Prenada Media, 2005, h. 159
5
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Cet. x, Bandung: PT Alma’arif, t.t, h. 140
6
Sulaiman Abdullah Sumber hukum islam permasalahan dan fleksibilitasnya.Cet 1.Jakarta: Sinar Mustika, 1995, h. 158
6
2.3 Macam – Macam Istishab
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati dan
sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah:
1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat
bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. 7 Misalnya seluruh
pepohonan di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak
menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan
tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan
memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul
fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus. Misalnya hukum
wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang
membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka
berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan.
Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu
apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid
(membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu
Hurairah).10 Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al-
Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.Ulama’ Hanafiyah berpendirian
bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang
telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada. Imam Ghazali menyatakan
bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu
merujukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.
Sedangkan Ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti kasus orang
yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku,
karena apabila sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan
shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya. 8
3. Istishab hukum akal sampai adannya hukum syar’i Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan
hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya
terhadap umat manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang
menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban
untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dri tuntutan dan
ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama
Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa
menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah,
istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada
maupun hukum yang akan datang.9
7
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 147
8
Tennie Ayhusnah, Makalah ushusl fiqh, http://ippnuteni.blogspot.co.id/2012/10/makalahushul-fiqh-istishab.html, Diposkan
Oktober 2012
9
Alindah, Sumber Hukum Islam, https://alindah41.wordpress.com/2016/09/04/sumber-hukumislam-istishab/, Diposkan
September 2012
7
4. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama fiqih
menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk
mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya,
karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka
mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya. Ulama Hanabilah dan
Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia
harus membatalkan shalatnya unruk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’ karena ijma’ menurut
mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan
keadaan tersedianya air.10
1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak akibat-
akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan) dengan penetapan hukum
semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi
hujjah untuk menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang
timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan sebagai hujjah untuk
menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
10
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, Cet. ii, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, h. 151-2
11
Tennie Ayhusnah, Makalah ushusl fiqh, http://ippnuteni.blogspot.co.id/2012/10/makalah-ushulfiqh-istishab.html, Diposkan
Oktober 2012
12
Alindah, Sumber Hukum Islam, https://alindah41.wordpress.com/2016/09/04/sumber-hukumislam-istishab/, Diposkan Septem
8
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang
ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka,
mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu
hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu
untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya
menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti
menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi
hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada yang adil
mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada adil
yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang
telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu
dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat
kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW.
Akibat hukum perbedaan kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah,
Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan pembagian warisan dari ahli
warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup,
sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan
kepada ahli waris lain. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang tidak bisa menerima warisan,
wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa
dibagi kepada ahli warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat, karena
penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini adalah karena
istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa
dibagi), bukan untuk menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan
wakaf).13
Istishab dipergunakan dalam Undang-Undang Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu
dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan kebanyakan dari
hukum Undang-Undang perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya seseorang itu dinyatakan
tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa orang tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam
hukum positif Indonesia khususnya dikenal dengan istilah praguga tak bersalah.
13
Tennie Ayhusnah, Makalah ushusl fiqh, http://ippnuteni.blogspot.co.id/2012/10/makalah-ushulfiqh-istishab.html,
Diposkan Oktober 2012
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat
Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.
2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya
semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
3. Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi
mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.
4.Dari kaidah-kaidah istishab dan perbedaan fuqaha dalam penerapannya, jelaslah bahwa istishab itu
sendiri bukanlah dalil syara’ dan bukan sumber istidlal, tetapi hanyalah pengamalan terhadap dalil yang
sudah ada dan pengakuan terhadap hukum yang sudah tsabit yang tak terdapat sesuatu yang
mengubahnya.
3.2 Saran
Dasar- dasar fiqih islam seperti istihhab sebaiknya diterapkan dalam kehidupan untuk menetapkan
hukum setelah sumber-sumber hukum yang lain. Dan diharapkan istihhab ini diterapkan dengan sebaik-
bainya dalam kehidupan, agar memperoleh ridho dari Allah SWT
10
11