Anda di halaman 1dari 14

QIYAS SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih yang dibina oleh
Moch. Cholid Wardi, M.H.I

Oleh :

Moh Darul Umam (20383041069)


Zakki Fuadi (20383041120)

Sulistiana Irhamni (20383042026)


Desy Asri Ramadhani (20383042050)

Ratu Intan Mahalia (20383042080)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


IAIN MADURA
JUNI 2021

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah Swt. Yang telah memberikan
kita berbagai macam nikmat, sehingga aktivitas hidup yang kita jalani akan selalu
membawa keberkahan baik di dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat
kelak. Shalawat serta salam tak lupa selalu kami haturkan pada junjungan nabi besar
Muhammad Saw. Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen pengampu mata kuliah
Ushul Fiqih, Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I serta teman-teman sekalian yang
telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga makalah ini
terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, besar harapan kami jika ada
kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makalah
kami di lain waktu. Semoga makalah ini bisa bermanfaat, dan pembaca sekalian
bisa mengambil hikmah dari makalah kami.

Pamekasan, 12 Juni 2021

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL..................................................................................1
KATA PENGANTAR..................................................................................2

DAFTAR ISI...............................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................ 4
B. Rumusan masalah........................................................................ ..4
C. Tujuan............................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................5

A. Pengertian Qiyas............................................................................. 5
B. Rukun dan Syarat Qiyas................................................................. ..6
C. Macam-macam Qiyas....................................................................... 7
D. Dasar Hukum Qiyas.......................................................... ..........7
E. Pandangan Imam Abu Hanifah Terhadap Qiyas.....................................9
F. Contoh Qiyas dalam Kehidupan...........................................................10

BAB III PENUTUP....................................................................................13


A. Kesimpulan......................................................................................... 13
B. Saran...............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam tradisi hukum islam dikenal adanya sumber hukum yaitu Al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’, dan qiyas. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum islam.
Apabila dalam Al-Qur’an tidak ditemui hukum yang dicari maka beralih pada
as-sunnah. Apabila dalam as-sunnah tidak ditemukan maka beralih pada ijma’.
Jika tidak ditemukan dalam ijma’ maka haruslah merujuk pada qiyas.
Qiyas merupakan salah satu metode istinbath hukum yang populer di
kalangan mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i menempatkan qiyas di urutan
keempat setelah Al-Qur’an, Hadist dan ijma’. Qiyas digunakan sebagai jalan
menggali hukum. Dengan cara qiyas, para mujtahid telah mengembalikan
ketentuan hukum sesuai dengan sumbernya, Al-Qur’an dan Hadist. Sebab,
hukum islam kadang tersurat jelas dalam nash Al-Qur’an atau Hadist secara
eksplisit, kadang juga bersifat tersirat secara implisit. Hukum islam
adakalanya dapat diketahui melalui redaksi nash, yakni hukum-hukum yang
secara tegas tersurat dalam Al-Qur’an dan Hadist, adakalanya harus digali
melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian itu
dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan qiyas?
2. Apa saja rukun dan syarat qiyas?
3. Apa saja macam-macam qiyas?
4. Apa yang menjadi dasar hukum qiyas?
5. Bagaimana pandangan Imam Abu Hanifah terhadap qiyas?
6. Seperti apa contoh qiyas dalam kehidupan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian qiyas,
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat qiyas,
3. Untuk mengetahui macam-macam qiyas,
4. Untuk mengetahui dasar hukum qiyas,
5. Untuk mengetahui pandangan Imam Abu Hanifah terhadap qiyas,
6. Mengetahui contoh qiyas dalam kehidupan.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
yang bisa menyamainya.1 Secara istilah, qiyas adalah pemindahan hukum yang
terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui
dengan logika bahasa. 2 Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi
perdebatan ulama, antara mengartikan qiyas sebagai metode penggalian hukum
yang harus tunduk pada nash, dan mengartikan qiyas sebagai sumber hukum
yang berdiri sendiri di luar nash.3 Menurut ulama ushul fiqih, pengertian qiyas
secara terminologi sebagaimana dipaparkan Amir Syarifuddin terdapat
beberapa definisi, diantaranya :4
1. Al-Ghazali dalam al-Mustasfa mendefinisikan qiyas: menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum.
2. Ibnu Subki dalam bukunya Jam’u al-Jawmi memberikan definisi qiyas:
menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui
karena kesamaannya dalam illat hukumnya menurut pihak yang
menghubungkan (mujtahid).
3. Imam Baidhowi dan mayoritas ulama syafi’iyyah mendefinisikan qiyas:
membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui
dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum
bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.
4. Qiyas menurut Abu Zahrah adalah: menghubungkan sesuatu perkara yang
tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash
hukumnya karena keduanya berserikat dalam illat hukum.
5. DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas: menyatukan sesuatu yang
tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan
hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya.
6. Menurut ulama ushul fiqih, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nash nya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena adanya persamaan illat
antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.

1
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami (Kediri: Dar al-Fikri, 2001), 571.
2
M. Noor Harisudin, Pengantar Ilmu Fiqih (Surabaya: Buku Pena Salsabila, 2013), 73.
3
Sakirman, “Metodologi Qiyas dalam Istinbath Hukum Islam,” Yudisia: Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam 9, no. 1 (Januari-Juni, 2018), 39,
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/3672/2558.
4
Ibid., 39-40.

5
B. Rukun dan Syarat Qiyas
Rukun Al-Qiyas ada empat, yaitu:5
1. Asal (pokok), yaitu suatu peristiwa baru yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Asal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran)
atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat
membandingkan).
2. Furu’ (cabang), yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Furu’ disebut juga
maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul
(yang dibandingkan).
3. Hukum asal, yaitu hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nash
dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada furu’ seandainya ada
persamaan illat-nya.
4. Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada furu’.
Seandainya sifat itu terdapat persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum far’u sama dengan hukum asal.
Tiap-tiap rukun di atas mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:6

a. Asal dan furu’.


Telah diterangkan bahwa asal dan furu’ berupa kejadian atau
peristiwa. Peristiwa pertama mempunyai dasar nash. Karena itu
ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai nash
sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu asal disyaratkan
berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash, sedang furu’ berupa peristiwa yang belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya.
b. Hukum asal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
1) Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
2) Illat hukum asal itu adalah illat yang dapat dicapai oleh akal.
3) Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum
yang berlaku khusus untuk suatu kejadian atau peristiwa tertentu.
c. Illat
Ada 4 macam syarat yang disepakati oleh para ulama, yaitu:
1) Sifat illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau oleh akal dan
pancaindera.

5
Achmad Yasin, Ilmu Ushul Fiqh: Dasar-dasar Istinbath Hukum Islam (Surabaya: UINSA Press,
2013), 76-77.
6
Ibid., 78-81.

6
2) Sifat illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan
bahwa illat itu ada pada furu’.
3) Illat harus berupa sifat yang sesuai, relevan dengan kemungkinan
hikmah hukum.
4) Illat itu tidak hanya terdapat pada asal saja, tetapi haruslah berupa
sifat generik yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain
selain dari asal itu.

C. Macam-macam Qiyas
Qiyas berdasarkan kekuatan illat pada ashal, dibagi menjadi tiga:7
1. Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada
hukum ashal. Karena illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada
pada ashal.
2. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u sama kualitasnya
dengan hukum yang ada pada ashal, karena kualitas illat pada keduanya
juga sama.
3. Qiyas adna, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat far’u lebih lemah
dibandingkan dengan illat yang ada pada ashal. Artinya, ikatan illat yang
ada pada far’u sangat lemah dibanding ikatan illat yang ada pada ashal.
Sedangkan dilihat dari segi kejelasan illat sebagai landasan hukum,
qiyas dibagi menjadi dua: 8
1. Qiyas Al-Jali, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum ashal, atau nash tidak menetapkan illatnya, tetapi dipastikan
bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antar ashal dengan far’u.
2. Qiyas Al-Khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.

D. Dasar Hukum Qiyas


Sebagian besar para ulama fiqih dan para pengikut mazhab empat
sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah
dalam menetapkan hukum dalam ajaran islam. Hanya saja mereka berbeda
pendapat tentang kadar penggunaan macam-macam qiyas yang boleh
digunakan dalam mengistinbatkan hukum.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang memperbolehkan dasar hujjah,
ialah Al-Qur’an, Al-Hadist, dan perbuatan sahabat serta akal sehat.9

1. Al-Qur’an
Allah Swt. Berfirman:

7
Sakirman, “ Metodologi Qiyas dalam Istinbath Hukum Islam,” Yudisia: Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam 9, no. 1 (Januari-Juni, 2018), 52-53,
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia/article/download/3672/2558.
8
Ibid., 53.
9
Achmad Yasin, Ilmu Ushul Fiqh: Dasar-dasar Istinbath Hukum Islam (Surabaya: UINSA Press,
2013), 71.

7
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan uli Al-amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q.S. al-Nisa:59)
Dari ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa Allah Swt.
Memerintahkan kaum muslim agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadist. Jika tidak ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist
hendaklah mengikuti pendapat uli Al-amri. Jika tidak ada pendapat dari uli
Al-amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada Al-
Qur’an dan Al-Hadist, yaitu menghubungkan atau memperbandingkannya
dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadiat. Dalam hal ini banyak
cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.

2. Al-Hadist
Rasulullah Saw. Pernah menggunakan qiyas waktu menjawab
pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
“Sesungguhnya seorang wanita dari suku Juhainah pernah menghadap
Rasulullah Saw, ia berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernazar
melaksanakan ibadah haji. Tetapi, ia tidak sempat melaksanakannya
sampai ia meninggal. Apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya?
Rasulullah Saw. Menjawab: benar, laksanakanlah haji untuknya. Tahukah
kamu, seandainya ibumu mempunyai hutang, tentu kamu yang akan
melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah karena hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar”. (H.R. Al-Bukhari dan al-Nasa’i).
Pada Hadist di atas Rasulullah Saw. Mengqiyaskan hutang kepada
Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan
menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang
kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nazarnya untuk menunaikan
ibadah haji. Kemudian Rasulullah Saw. Menjawab dengan mengqiyaskan
pada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang,
maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah
lebih utama dibayarkan dengan dibandingkan hutang kepada manusia. Jika
hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih
utama harus dibayar. Dengan cara demikian Rasulullah menggunakan qiyas
aulawi. 10

3. Perbuatan Sahabat

10
Ibid., 71-74.

8
Para sahabat Nabi Saw. Banyak melakukan qiyas dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Seperti alasan
pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih
utama diangkat menjadi khalifah dibandingkan sahabat-sahabat yang lain,
karena dialah yang diminta Nabi Saw. Mewakili beliau sebagai imam salat
di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah Saw. Ridha Abu Bakar
menggantikan beliau sebagai imam salat, tentu beliau lebih ridha jika Abu
Bakar menggantikan beliau sebagai khalifah, kepala pemerintahan.

4. Akal sehat
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash Al-Qur’an dan Al-Hadist
ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada
yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan
mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syariah islam. Dalam peristiwa
itu atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak kejadian atau peristiwa yang
terjadi sekarang, tidak pernah terjadi di masa Rasulullah Saw, dan peristiwa
itu perlu ditetapkan hukumnya. Sedangkan hal itu tidak ada nash secara
khusus tentang masalah itu untuk dijadikan sebagai dasarnya. Tetapi
prinsip-prinsip umum peristiwa itu dapat dipahami dalam prinsip-prinsip
umum ajaran islam dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Dengan melakukan qiyas, maka hukum dari setiap perkara yang terjadi
dapat ditetapkan.11

E. Pandangan Imam Abu Hanifah Terhadap Qiyas


Qiyas, Sumber Hukum Keempat Imam Abu Hanifah. Qiyas dalam bahasa
lain dikatakan juga “analogi”. Qiyas berasal dari bahasa Arab yang merupakan
masdar dari ‫ قاس – يقيس – قياسا‬Yang artinya mengukur dan membandingkan
sesuatu yang semisalnya. Ada banyak definisi yang menjelaskan tentang ijma`.
Salah satunya seperti yang diutarakan Abu Zahra, ijma` adalah
‫االلحاق أمرغير منصوص علي حكمه بأمر أخرمنصوص علي حكمه ألشتراك‬
‫بينهما في علة الحاك‬
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya dalam nash dengan
perkara lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat. Dari definisi
di atas dapat ditarik beberapa point penting tentang qiyas, - Ada dua kasus yang
mempunyai illat yang sama.
a. Kasus yang lama telah ada hukumnya berdasarkan nash. Adapun hukum
yang baru belum ada nashnya.
b. Antara hukum yang lama dan hukum yang baru masing-masing memiliki
sebab yang sama.

11
Ibid., 74-75.

9
Jumhur ulama sepakat bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia
berada pada urutan keempat setelah Al-Quran, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama
yang menjadikan qiyas sebagai sumber hukum atau disebut mutsbitul
qiyaas,memiliki alasan yang kuat baik dari sisi nash maupun akal. Dalam nash
Al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh agar manusia dapat
menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Menurut Abu Zahra sendiri tidak
kurang dari 50 ayat berbicara agar manusia mau menggunakan akhlaknya. Di
antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah
pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).12

F. Contoh Qiyas Dalam Kehidupan


a. Ketika seorang mujtahid ingin mengetahui hukum yang terdapat
pada Bir, Wisky atau Tuak. Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk
kepada nash Al-Qur’an ternyata tidak satu pun nash yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukumnya. Maka untuk menetapkan hukumnya dapat
ditempuh dengan cara qiyas yakni mencari perbuatan yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang
diharamkan berdasar firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu,
dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Zat yang memabukkan itulah yang menjadi penyebab di
haramkannya Khamr. Haramnya meminum khamr tersebut berdasarkan
‘Illat hukumnya yakni memabukkan. Maka setiap minuman yang terdapat
di dalamnya yang ‘Illat-nya sama dengan khamar dalam hukumnya maka
minuman tersebut adalah haram.25 Dengan demikian, mujtahid tersebut
telah menemukan hukum untuk bir, wisky atau tuak yaitu sama dengan
hukum khamr, karena ‘Illat keduanya adalah sama. Kesamaan ‘Illat antara
kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya
menyebabkan adanya kesatuan hukum.
b. Dalam contoh lain Rasulullah bersabda: ‫اليرث القاتل‬
“Pembunuh tidak berhak mendapatkan bagian waris”. Menurut hasil
penelitian mujtahid, yang menjadi ‘Illat tidak berhaknya pembunuh
menerima warisan dari harta pewaris yang ia bunuh adalah upaya untuk
mempercepat mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh. ‘Illat

12
Askar Saputra, “Metode Ijtihad Imam Hanafi dan Imam Malik,” Syari’ah Hukum Islam 1, no. 1
(April, 2018): 24, http://journal.iaialmawar.ac.id.

10
semacam ini terdapat juga kasus seseorang membunuh orang yang telah
menentukan wasiat baginya. Oleh sebab itu, pembunuh orang yang
berwasiat dikenai hukuman yang sama dengan hukuman orang yang
membunuh ahli warisnya, yaitu sama-sama tidak berhak memperoleh harta
warisan dan wasiat.
Contoh di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut; A telah
menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah
ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang
diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah Timbul persoalan: Apakah A tetap
memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya
dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan
ada pula persamaan '‘Illat-nya. Perbuatan itulah pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena
ingin segera memperoleh harta warisan.
Berdasarkan beberapa contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam
melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan
hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar
hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu,
dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai '‘Illat yang sama pula.
Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama
dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.13
c. Sebagai contoh menjual harta anak yatim adalah peristiwa yang
perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nass yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut furu’. Untuk menetapkan hukumnya
dicarikan suatu peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nass
yang illat-nya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan
harta anak yatim disebut asal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan
hukumnya berdasar nass yaitu haram (hukum asal) berdasarkan firman
Allah Swt.

)۱٠( ‫ص َل ْونَ سَ ِعي ًْرا‬


ْ َ‫َارا ۗ َوسَي‬ ْ ِ‫ا َِّن ا َّل ِذيْنَ يَ ْأ ُك ُل ْونَ اَ ْم َوا َل ا ْليَ ٰتمٰ ى ُظ ْل ًما ِا َّن َما يَ ْأ ُك ُل ْونَ ف‬
ً ‫ي بُ ُط ْونِ ِه ْم ن‬
Artinya: ”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.(Q.S,4:10)
Persamaan illat antara kedua peristiwa ini, ialah kedua tindakan
berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkan
hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim

13
M. Sabarudin Nasir, “Qiyas dan Permasalahannya,” di akses dari
http://repository.unsada.ac.id.

11
yaitu sama-sama haram. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
- Asal, ialah dalil larangan memakan harta anak yatim.
- Furu’, ialah menjual harta anak yatim.
- Hukum asal, ialah haram.
- Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. 14

14
Achmad Yasin, Ilmu Ushul Fiqh: Dasar-dasar Istinbath Hukum Islam (Surabaya: UINSA Press,
2013), 90-91

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qiyas merupakan penetapan hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian
yang tidak ada nashnya dalam Al-Quran dan Hadist dengan cara
membandingkan peristiwa tersebut dengan peristiwa lain yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Qiyas digunakan apabila hukum suatu perkara
tidak ditemukan dalam Al-Qur'an, Hadist, dan ijma'. Rukun qiyas ada empat,
diantaranya asal, furu', hukum asal dan illat. Masing-masing rukun diatas
memiliki syarat yang harus dipenuhi. Hukum qiyas diperbolehkan untuk
dilakukan atas dasar hujjah, yaitu Al-Qur'an, Hadist, perkataan sahabat, dan
akal sehat manusia. Contoh hukum Qiyas seperti, pembunuh tidak berhak
mendapatkan harta waris, wisky atau tuak dan menjual harta anak yatim.
B. Saran
Saran untuk pembaca :
Diharapkan untuk lebih mendalami tentang qiyas melalui berbagai sumber
yang valid dan bisa menerapkan hal-hal baik yang terkandung di makalah ini.
Saran untuk penulis selanjutnya :
Diharapkan itu lebih rinci lagi dalam mengulas bab tentang qiyas, agar para
pembaca bisa lebih memahami persoalan tentang qiyas secara mendalam.

13
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh Al-Islami. Kediri: Dar Al-Fikri, 2001.
Askar Saputra. Metode Ijtihad Imam Hanafi dan Imam Malik, vol.1. Kolaka: Jurnal
Syari’ah Hukum Islam, 2018.

M. Sabarudin Nasir. Qiyas dan Permasalahannya. Jakarta Timur: Universitas


Darma Persada.
Noor, M Harisudin. Pengantar Ilmu Fiqih. Surabaya: Buku Pena Salsabila, 2013.

Sakirman. Metodelogi Qiyas Dalam Istinbath Hukum Islam, vol.9. Lampung:


Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 2018.
Yasin, Achmad. Ilmu Ushul Fiqh. Surabaya: UINSA Press, 2013.

14

Anda mungkin juga menyukai