Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Hukum Taklifi dan Wadh’i

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Muzayyin M.E

Disusun Oleh :

1. Ayudia Ramadani (224105010046)


2. RB. Ahmad Maulana (224105020003)
3. M.Taqwa Choiruzzady (223105020003)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD

SIDDIQ JEMBER

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Hukum Taklifi dan Wadh’i” dengan tepat waktu.

Terimakasih kepada Bapak dosen yang senantiasa telah membantu baik


secara moral maupun materi. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan
yang telah memberi dukungan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan tepat waktu.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa
bermanfaat bagi perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................... 2

DAFTAR ISI......................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 6

C. Tujuan .............................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian hukum taklifi dan wadh`i ........................................... 7

B. Pembagian dalam hukum taklifi...........................................................8

C. Pengertian hukum wadh`i............................................................... 12

D. Pembagian dalam hukum wadh’i.................................................. 15

E. Perbedaan hukum taklifi dan wadh’i............................................ 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya


disyari’atkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia ini, baik
dalam masalah-masalah keagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan mengkuti
ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketentraman dan
kenyamanan , serta kebahagian dalam hidupnya. Fungsi hukum diatas telah
dinyatakan secara tegas oleh Allah SWT dalam surat Al-nisa ayat 105 yang
berbunyi :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu dapat enetapkan hukum kepada manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu”

Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil
dari ajaran-ajaran islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan
menjalani kehidupan akhirat yang kebahagian atau kesengsaraannya ditentukan
oleh akumulasi pahala dari perbuatan-perbuatan baik didunia ini. Sementara
ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari ajaran agama termasuk bagian yang
menyediakan pahala tersebut. Demikian, menaati ketentuan-ketentuannya itu,
disamping akan membawa ketentraman, kenyamanan serta kebahagiaan dalam
kehidupan di dunia ini, juga akan membawa pada kebahagiaan dalam kehidupan
akhirat kelak.

Ilmu ushul fiqh memiliki manfaat yang besar dalam konteks ilmu syariah.
Secara khusus, ilmu ini sangat penting dan bermanfaat bagi para mujtahid yang
bertanggung jawab dalam menyimpulkan hukum berdasarkan berbagai dalil, nash,
dan logika berpikir. Menurut Al-Ghazali, "ilmu yang paling dihormati adalah ilmu
yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis dan rasional, serta
mendukung penerapan syariat, dan di antaranya adalah ilmu ushul fiqh." Hal ini

4
merupakan persyaratan penting dari syariat dan logika. 1 Ushul fiqh merupakan
tempat perlindungan terakhir bagi para fuqaha (ahli hukum Islam) dalam
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah yang dihadapi umat.
Pemahaman taqlid semata tidaklah dapat diterima, karena manusia diberi akal
untuk terus berpikir dengan logika yang ada dalam ajaran agama. Dalam syariat
Islam, terdapat dua jenis hukum yang dikenakan kepada mukallaf (orang yang
memiliki kewajiban hukum). Pertama adalah hukum taklifi, yaitu hukum yang
mengharuskan pelaksanaannya, dan kedua adalah hukum wadh'iy, yaitu hukum
yang diberikan sebagai anjuran.

Pembahasan mengenai hukum taklifi adalah salah satu aspek yang dibahas
dalam Ushul Fiqh. Sebenarnya, salah satu tujuan utama dari studi Ushul Fiqh
adalah untuk menarik kesimpulan mengenai hukum taklifi dari berbagai sumber
yang ada. Karena kedudukan hukum taklifi sangat penting dalam pembahasan ini,
maka dalam pembahasan ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hal-hal
tersebut. Tujuan dari karya ilmiah ini adalah untuk memahami pendapat yang
berbeda dari para imam mazhab tentang hukum taklifi, memahami perbedaan
antara hukum taklifi dan hukum wadh'i, dan mengetahui berbagai macam
pembahasan mengenai hukum taklifi dalam ilmu ushul fiqh.2

Perbuatan baik adalah tindakan yang dianggap positif menurut nalar karena
memiliki manfaat, sementara perbuatan buruk adalah tindakan yang dianggap
negatif oleh nalar karena memiliki potensi bahaya. Hukum-hukum Allah
mengenai perbuatan individu yang memiliki tanggung jawab ukurannya
didasarkan pada penilaian mereka sendiri, baik atau buruk. Hukum ini terkadang
terkait dengan tuntutan, pilihan, atau penentuan, sedangkan hukum yang terkait
dengan perbuatan individu dalam bentuk penentuan dengan hukum Wadh'i.Selain
itu, penulisan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai jenis hukum

1
Abu Hamid Gazali and Abdullah Mahmud Muhammad Umar, Al-Mustasfa Min Ilm Al
Usul (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010)
2
Meirison Meirison, “Riba and Justification in Practice in Scholars’ Views,”
TRANSFORMATIF2, no. 1 (September 20, 2018), h. 348, doi:10.23971/tf.v2i1.922

5
taklifi, membedakannya dengan hukum wadh'i, dan memahami pembahasan
hukum taklifi dalam usul fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hukum takfili?
2. Apa saja pembagian dalam hukum taklifi?
3. Apa yang dimaksud hukum wadh’i?
4. Apa saja pembagian dalam hukum wadh’i?
5. Apa perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum taklifi
2. Untuk mengetahui pembagian dalam hukum taklifi
3. Untuk mengetahui pengertian hukum wadh’i
4. Untuk mengetahui pembagian dalam hukum wadh’i
5. Untuk mengetahui perbedaan hukum taklifi dan hukum wadh’i

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Taklifi

Dalam arti etimologi, kata "hukum" (al-hukm) dapat diperjelas sebagai


"mencegah" atau "memutuskan". Namun, menurut terminologi ushul fiqh, hukum
(al-hukm) memiliki pengertian sebagai berikut: Itu adalah Khitab (kalam) Allah
yang mengatur tindakan orang mukallaf, baik dalam bentuk Iqtidla (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir
(kemampuan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau penghalang).3

Hukum taklifi merujuk pada hukum yang mengandung tuntutan (untuk


dilakukan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau pilihan antara melakukan
atau tidak melakukan. Dengan kata lain, ini adalah tuntutan untuk melakukannya
atau tidak melakukannya, atau memberikan kebebasan untuk memilih antara
melakukan atau tidak melakukan.4

Hukum taklifi ialah firman(titah) Allah yang berbentuk Tholab(tuntutan) dan


takhyir (pilihan) atas perbuatan. Pada umumnya ulama’ ushul fiqih
mendefinisikan hukum taklifi dengan “sesuatu yang mengandung perintah untuk
berbuat atau tidak berbuat ataupununtuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat
suatu perbuatan”.Hukum taklifi dinamai demikian karena hukum-hukumnya baik
perintah, larangan atau pilihan berkaitan secara langsung dengan perbuatan
mukallaf.

3
ʿAbd-al-Wahhāb Ḫallāf, ʿIlm uṣūl al-fiqh (al-Qāhira: Dār al-ḥadīṯ, 2003), h.76
4
Muḥammad al-Huḍarī, Uṣūl al-fiqh (Ṣaidā: al-Maktaba al-ʻAṣrīya, 2003).

7
B. Pembagian Hukum
1. Wajib

Pada umumnya ulama’ushul fiqih menjelaskan, kata wajib secara


etimologi berartitetap. Sedangkan secara terminology ialah perbuatan yang
dituntut Allah untuk dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti ( tidak
boleh tidak) dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya
diberi pahala dan jika ditinggalkan,maka ia dikenakan dosa.Para ahli ushul
memberikan definisi wajib menurut syara, sebagai tuntutan yang keras yang
diberikan oleh syara' kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan.
Definisi lain mengatakan bahwa wajib adalah suatu perbuatan yang, jika
dilakukan, akan mendapatkan pahala, tetapi jika ditinggalkan, akan dianggap
berdosa.

Wajib ini dapat diidentifikasi melalui penggunaan kata-kata tertentu atau


tanda-tanda lain. Wajib yang dinyatakan melalui penggunaan kata-kata
termasuk dalam bentuk perintah seperti dalam firman Allah: "Dirikanlah
Shalat untuk mengingat Aku" (QS. Thaha:14). Wajib juga dapat dikenali
melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan
kewajiban, seperti dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu..." (QS. Al-Baqarah: 183). Dalam firman diatas telah bisa di
implementasikan ketika saat bulan ramadhan yang mana kita sebagai muslim
yang berakal dan baligh serta tidak ada halangan diwajibkan untuk berpuasa
dibulan ramadhan dan jika tidak berpuasa maka merupakan dosa besar
dihadapan Allah.

2. Mandub

Secara etimologi mandub berarti sesuatu yang dianjurkan karena ia


bersifat penting.Sedangkan dari segi terminology, para ahli ushul fiqih
mendefinisikannya dengan berbagai ungkapan, antara lain :

 Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menyerukan untuk


melakukannya, tetapi tidak memestikan untuk melaksanakannya.

8
 Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ memberi pahala kepada
pelakunya tetapi tidak menimpakan dosa kepada orang yang tidak
melakukannya.
 Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ memerintahkan untuk
mengerjakannya, tetapisecara umum tidak mencela orang yang
meninggalkan perintah itu.

Ahli-ahli ushul menyatakan bahwa mandub merujuk pada sesuatu yang


diperintahkan oleh syara' agar dilakukan oleh individu yang berkewajiban
(mukallaf), namun tuntutan tersebut tidaklah sangat ketat. Dengan kata lain, setiap
tindakan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi jika tidak dilakukan,
tidak akan ada hukuman atau dosa yang dikenakan (iqab).5

Perbuatan mandub dapat diidentifikasi melalui penggunaan kata-kata dalam


teks yang menunjukkan anjuran, seperti "disunnatkan" atau "dianjurkan", atau
melalui penggunaan bentuk amar (perintah) dengan adanya tanda-tanda bahwa
tuntutan tersebut tidaklah keras dalam teks itu sendiri. Sebagai contoh, sunat
menulis atau mencatat hutang, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah (2:
282).Terjemahnya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
menjalankan sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberikan tempoh
sehingga ke suatu masa yang tertentu, maka hendaklah kamu menulis (hutang dan
masa bayarannya) itu… (QS. Al-Baqarah 282) Dari ayat diatas bisa kita terapkan
dalam kegiatan sehari hari . Karena sebagai manusia pasti pernah dan akan lupa
jadi bisa diterapkan untuk menulis catatan utang piutang agar bisa mengingat
untuk membayar ataupun menagih. Karena dasarnya hutang adalah kewajiban
yang harus dibayar. Sedangkan mencatat hutang adalah sebuah kesunahan.

5
Ibn ʻAqīl and Sudays, Al-Wāḍiḥ Fī Uṣūl al-Fiqh

9
3.Haram

Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah apa yang dituntut oleh syara’
untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.” Atau dengan kata lain dilarang
memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan
akan mendapat pahala. Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melalui lafal
nash seperti dalam QS. Al Maidah (5:3)

Terjemahnya:
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan
yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-Maidah 3)

Yang diamksud dengan haram ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari’


menurutmukallaf harus meninggalkannya ( melarang melakukannya) yang jika
mukallaf menjauhi larangan itu karena patut kepada Allah, maka ia akan diberi
pahalasedangkan jika melanggar larangan itu maka ia dinilai melakukan
pendurhakaankepada Allah sehingga akan dikenai dosa dan ancaman siksa.
Larangan tersebut merupakan suatu yang sangat tidak boleh dilakukan karena
selain mendapat dosa juga akan merugikan diri sendiri. Seperti halnya judi.judi
adalah kegiatan haram yang hanya akan merugikan diri sendiri, membawa
kemiskinan, keterpurukan serta kefakiran.

4. Makruh

Dari segi etimologi makruh berarti yang dibenci sedangkan dari segi
terminologyialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menurut mukallaf untuk
meninggalkan perbuatan tersebut secara tidak mesti ( menganjurkan untuk
meninggalkannya) yang jika mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh kepada
Allah maka ia akan di beri pahala tetapi jika ia melanggar larangan itu maka ia
tidak dikenai dosa dan ancamansiksa.

Menurut Amir Syarifuddin, bahwa hukum taklifi tentang makruh yaitu


:Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu
pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan

10
mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”. 6 Contohnya:
merokok.33 sebagaimana dalam QS. Al-Maidah (5: 101)Terjemahnya: Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun. (Al-Maidah : 101.)

5.Mubah

Dari segi etimologi mubah berarti melepaskan atau mengizinkan sedang dari
segiterminology yang dimaksud dengan mubah ialah Suatu perbuatan yang Asy-
Syari’memberikan pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau
meninggalkannya,yang jika melakukan salah satunya tidak diberi pahala dan tidak
pula diancamdengan dosa dan siksa. Sebagian ulama’ lain mendefinisikan mubah
dengan : suatu perbuatan yang tidak diberi ujian atau celaan jika mukallaf
mengerjakan ataumeninggalkannya. Menurut sebagian ulama’ hokum mubah itu
sendiri identic denganhalal dan jaiz (boleh).

Menurut Amir Syarifuddin, hukum taklifi tentang mubah adalah sebagai


berikut: Mubah adalah sesuatu yang memberikan pilihan untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu perbuatan. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban untuk
melakukannya atau meninggalkannya. Tidak ada perintah atau larangan. Hukum
dalam bentuk ini disebut "ibahah," sedangkan perbuatan yang diberikan pilihan
untuk dilakukan atau tidak dilakukan disebut "mubah." 7

Misalnya, jika Anda mempekerjakan seseorang untuk suatu pekerjaan tertentu,


maka Anda memiliki kuasa untuk melakukannya sendiri atau memberikan hak
kepada karyawan untuk melakukannya. Hak ini adalah aturan yang menentukan

6
Syarifuddin, Ushul fiqh.
7
Ibn ʻAqīl and Sudays, Al-Wāḍiḥ Fī Uṣūl al-Fiqh.

11
perlunya pekerjaan tersebut dilaksanakan sesuai kesepakatan. Sesuai dengan
aturan positifnya, Anda adalah pemilik manfaatnya. 8

Pada saat yang sama, penugasan pekerjaan tersebut dapat dianggap sebagai
izin untuk tinggal di rumah. Hal yang sama berlaku untuk perkawinan yang dapat
berjalan dengan baik jika persyaratan dan rukunnya terpenuhi. Perkawinan
memiliki konsekuensi hukum dan bukan sekadar sewa menyewa. Namun, hal
tersebut terkait dengan mahar yang harus dibayarkan sebagai imbalan dan manfaat
serta kenikmatan yang akan diterima oleh mempelai pria. Segala konsekuensi
perkawinan akan berlaku bagi kedua mempelai. 9 Contohnya adalah melakukan
perburuan setelah menyelesaikan ibadah haji dan sejenisnya.

C. Pengertian Hukum Wadh’i

Hukum wadh`i ialah firman (titah) Allah yang berbentuk ketentuan yang
menjadikansesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan
hokum taklifi. Olehkarena itu, pada hakikatnya, hokum Wadh’I sangat erat
kaitannya dengan hokum taklilfi, baik dalam bentuk sebab sehingga melahirkan
suatu musabbab suatu hokum taklifi ataudalam bentuk hokum syarat sehingga
dimungkinkan berlakunya masyruth suatu hokumtaklifi ataupun dalam bentuk
halangan (mani’).

Al-wadh' adalah masdar dari wadha'a yang dapat memiliki beberapa arti
seperti penurunan, penjatuhan, pukulan, pemalsuan, rekayasa, pengarangan, dan
peletakan. Dalam konteks hukum syariah, al-wadh' mewakili hukum wadh'i yang
berarti peletakan, yaitu proses peletakan sesuatu menjadi hukum syariah. 10Dalam
beberapa literatur usul fiqih berbahasa Indonesia, al-wadh' diterjemahkan sebagai
"ketetapan". Selain arti "peletakan", dalam definisi hukum, kata al-wadh' juga
dapat diartikan sebagai "tatakan" yang memiliki makna yang dekat dengan kata

8
AbdelHay, Usul al Fiqh Rise, Developments, Methodologies & Literature.
9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid II, h. 221
Ahmad Sholihin Siregar,Al-Wadh’i DanTekstualnya dalam Al-Qur’an,(AL-
10

QADHAjurnal Islam Dan Perundang-Undangan Vol.4 No.22017)hal. 56.

12
peletakan. Al-wadh' juga bisa dimaknai sebagai ukuran. Dengan pemahaman ini,
dapat dipahami bahwa hukum wadh'i adalah tatakan atau ukuran bagi hukum
taklifi. Al-wadh' dapat dimaknai sebagai tatakan dan model karena dekat
maknanya dan juga fungsi hukum wadh'i sebagai tatakan dan ukuran bagi hukum
taklifi.

Selanjutnya, hukum wadh'i sebagai tatakan dan ukuran bagi hukum taklifi
dapat dipahami dengan memposisikan hukum taklifi sebagai inti dari hukum
syariah. Perintah untuk berpuasa Ramadan adalah hukum taklifi. Hukum ini
kemudian diukur atau diletakkan di atas hukum wadh'i.

D. Pembagian Hukum Wadh’i

1. Sabab

Dari segi etimologi, sebab (sabab) berarti sesuatu yang dapat menyampaikan
kepadasesuatu yang lain. Sedangkan dari segi terminology ushul fiqih, sabab ialah
sesuatuyang dijadikan Asy-Syari’ sebagai pengenal terhadap adanya hokum taklifi
tertentu,yang jika ia ada maka hokum tertentu menjadi ada, dan jika ia tidak maka
hokumitupun menjadi tidak ada.Misalnya firman Allah dalam surahAl-Isra’ ayat
78, menyatakan:Artinya : “Dirikanlah Shalat setelahmatahari tergelincir
sampaigelap”.(Q.S. Al-Isra’ ;78)

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa kewajiban melaksanakan shalat zuhur


terjadi ketika matahari telah condong ke barat. Matahari yang condong ke barat
menjadi sebab kewajiban tersebut, sedangkan melaksanakan shalat zuhur adalah
akibat dari kondisi matahari tersebut. Hal yang sama berlaku dalam hal sakit atau
bepergian, di mana sakit atau bepergian menjadi sebab diperbolehkannya tidak
berpuasa pada bulan Ramadhan, dan bepergian jauh menjadi sebab
diperbolehkannya mengqasar shalat. Hukum haram, di sisi lain, berkaitan dengan
apa yang dijelaskan atau ditujukan (musabbab). Sebagai contoh, shalat adalah hal
yang dijelaskan, dan jika seseorang tidak melaksanakan shalat, maka itu dianggap
haram (dosa). Karena shalat diwajibkan bagi setiap Muslim.

13
Menurut Abu Zahrah, sebab itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Pertama,
sebab yang bukan hasil perbuatan manusia, atau dengan kata lain sebab yang
Allah tentukan sebagai tanda adanya hukum. Contohnya adalah ketika waktu
shalat tiba, menjadi sebab wajibnya melaksanakan shalat. Kedua, sebab yang
merupakan hasil dari perbuatan manusia, di mana suatu sebab timbul karena
tindakan manusia, seperti perjalanan jauh.

2. Asy-Syarth

Dari segi etimologi, Syarth (syarat) berarti sesuatu yang diperlukan untuk
adanyasesuatu yang lain. Sedangkan dari segi terminology ialah sesuatu yang
kepadanya bergantungkeberadaan sesuatu yang kedua, sedangkan sesuatu yang
pertama itu bukanlah merupakan sesuatu yang kedua itu, sementara ketiadaan itu,
sementaraketiadaan sesuatu yang kedua tidak mesti menyebabkan ketiadaan
sesuatu yany pertama.

Syarat adalah suatu kondisi yang harus terpenuhi agar suatu hukum berlaku,
dan jika kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka hukum tidak berlaku. Sebagai
contoh, haul (genap satu tahun) merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
kewajiban zakat harta perniagaan. Jika haul tidak terjadi, maka tidak ada
kewajiban zakat. Contoh lainnya adalah wudhu, seperti yang disabdakan Nabi
SAW, "Allah tidak menerima shalat seseorang yang berhadast, hingga ia
berwudhu" (HR. Bukhari). Wudhu adalah syarat yang harus terpenuhi agar shalat
sah, sehingga shalat dianggap sah ketika seseorang telah berwudhu sebelum
melaksanakan shalat. Dengan kata lain, tanpa wudhu, shalat tidak sah karena
syaratnya belum terpenuhi.

3. Mani’

Dari segi etimologi, Mani’ berarti penghalang. Sedangkan dari segi


terminology yangdimaksud dengan mani’ ialah sesuatu yang Asy-Sri’
keberadaannya menjadi ketiadaanhokum atau ketiadaan sebab maksudnya
batalnya sebab itu, sedangkan menurutulama’ lainnya suatu ketentuan syara’ yang
keberadaannya menegaskan hokum kasualdari sebab atau menegaskan akibat
hokum.Mani' dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi di mana tidak ada hukum

14
yang berlaku atau menghilangkan sebab hukum. Dalam pengertian ini, terdapat
dua jenis mani', yaitu:

a) Mani' (halangan) yang membebaskan dari hukum taklifi. Contohnya, orang


yang mengalami gangguan mental seperti gila, karena orang yang gila tidak
dianggap mukallaf (bertanggung jawab dalam menjalankan hukum agama).
Selama kondisi ini berlangsung, orang tersebut tidak diwajibkan untuk
mengqadha hukum-hukum taklifi yang tidak dapat dilakukannya.

b) Mani' yang membebaskan dari hukum taklifi, meskipun masih


memungkinkan untuk melaksanakan hukum taklifi tersebut. Sebagai contoh,
seorang wanita yang sedang mengalami menstruasi atau baru melahirkan bayi
tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat, bahkan dilarang melakukannya,
meskipun secara fisik dan mental dia masih mampu melakukan shalat. 11

4. Azimah dan Rukhsah

Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas (AlQur’an
dan Hadis) dan berlaku umum. Misalnya: Kewajiban salat lima waktu dan puasa
Ramadan. Haramnya memakan bangkai, darah, dan daging babi. Sedangkan
Rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah SWT sebagai keringanan
yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan-keadaan khusus. Sebagai contoh
Diperbolehkannya memakan bangkai bagi seorang mukallaf dalam keadaan
darurat, meskipun pada dasarnya bangkai haram hukumnya.Azimah adalah
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah kepada semua hamba-Nya sejak
awal. Ini berarti sebelum ada peraturan yang ditetapkan oleh Allah, tidak ada
peraturan sama sekali, sehingga setiap individu yang memahami hukum tersebut
wajib mengikutinya begitu hukum tersebut ditetapkan.

Menurut Imam Al-Badhawi, azimah adalah "hukum yang ditetapkan tanpa


perbedaan dengan dalil yang ditetapkan karena adanya alasan tertentu". Sebagai
contoh, jumlah rakaat dalam shalat Zuhur adalah empat rakaat, ini ditetapkan oleh

11
Musnad Razin,Ushul Fiqh,hal. 25

15
Allah sejak awal, di mana sebelumnya tidak ada peraturan mengenai jumlah
rakaat tersebut, hal ini disebut sebagai azimah. Namun, jika ada dalil lain yang
menunjukkan bahwa orang-orang tertentu diizinkan untuk melaksanakan shalat
Zuhur hanya dua rakaat, seperti orang yang sedang dalam perjalanan, maka
hukum tersebut disebut sebagai rukhsah. Dengan demikian, para ahli ushul fiqh
mendefinisikan rukhsah sebagai "hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil
yang ada karena adanya alasan tertentu".12

5. Ash-Shihhah, Al-Buthlan, dan Al-Fasad

Yang dimaksud dengan Ash-Shihhah ialah suatu perbuatan yang telah


memilikisebab, memenuhi berbagai rukun dan persyaratan syara’dan tidak
terdapat mani’ padanya. Kata kunci suatu perbuatan yang disebut sah ialah,
terpenuhinya semuakriteria yang dituntut dari suatu perbuatan yang disyariatkan,
baik dalam bidangibadah maupun dalam muamalah.Yang dimaksud dengan Al-
Buthlan Menurut bahasa berarti batal, rusak dan gugur hukumnya. Secara istilah
ialah tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas darisasarannya, menurut
pandangan syara’. Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak
memenuhi ketentuan yang di tetapkan oleh syara’, sehingga apa yangdikehendaki
oleh syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama sekali (tidak tercapai). Misalnya
suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atausuatu
perbuatan di laksanakan ketika ada mani’(penghalang).

Perbuatan seperti itudalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya :


dalam persoalan ibadah yaituorang yang melaksanakan ibadah sholat harus
memnuhi rukun dan syaratnya, apabilaada penghalang seperti haid atau nifas
maka sholatnya tidak sah atau batal. Yang dimaksud dengan Fasad adalah kondisi
perbuatan yang pada asalnya sesuaisyara’, tapi sifat dari perbuatan itu (di luar
rukun dan syarat) membuat cacat perbuatan asal tersebut, yaitu menyimpang dari
perintah as syaari’.Fasad hanya ada pada muamalat, sedang dalam ibadah yang
ada hanya sah dan batalsaja.Contohnya : orang kota berjual beli dengan orang

12
Chaerul Uman, Ushul Fiqih1,(Bandung: Pustaka Setia, 2013)hal. 250

16
dusun yang tidak mengetahui hargakota.Jual belinya secara asal adalah sah, tapi
ada sifat dalam jual beli itu, di luar rukun danakad jual beli, yaitu pengetahuan ttg
harga yang hanya diketahui salah satu pihak,yang menyimpang dari syara’.Akad
yg fasad tidak wajib diulang, tapi cukup menyempurnakan apa yang dianggap.

E. Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i

Perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh'i dapat dijelaskan sebagai
berikut:

Hukum taklifi, menurut para ahli ushul fiqh, merujuk pada ketentuan-
ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berkaitan langsung dengan perbuatan orang
mukallaf. Ini dapat berupa perintah, larangan, anjuran, atau memberi kebebasan
memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Hukum taklifi memberikan arahan
langsung tentang tindakan yang harus dilakukan atau dihindari oleh individu yang
berkewajiban menjalankan hukum tersebut.

Sementara itu, hukum wadh'i adalah ketentuan hukum yang mengatur tentang
sebab, syarat, dan mani (penghalang kecakapan) untuk melaksanakan hukum
taklifi. Hukum wadh'i memberikan penjelasan tentang hubungan antara suatu
peristiwa dengan hukum taklifi13.Sebagai contoh, hukum taklifi menjelaskan
bahwa umat Islam wajib melaksanakan shalat, sedangkan hukum wadh'i
menjelaskan bahwa tenggelamnya matahari di tengah hari menjadi tanda yang
menunjukkan kewajiban seseorang untuk melaksanakan shalat zuhur.

Ada dua perbedaan mendasar antara kedua jenis hukum ini. Pertama, hukum
taklifi mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan kepada individu
yang berkewajiban, sedangkan hukum wadh'i memberikan penjelasan tentang
hubungan antara suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Kedua, hukum taklifi
selalu berada dalam batas kemampuan individu yang berkewajiban
melaksanakannya, sedangkan hukum wadh'i dapat melibatkan aspek yang berada
di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Sebagai

. Muḥammad Ibn-ʿAbd-al-Ḥamīd al-Samarqandi and Rihi Murad, Al -Mizan Fi Uṣūl al-Fiqh,


13

Tab`ai, Manshurat Muhammad `Ali Baydun (Bairūt: Dār al-Kutub al-ʿIlmīya, 2004), h. 215

17
contoh, tergelincirnya matahari bukanlah dalam kemampuan manusia dan
bukanlah aktivitas manusia, namun menjadi tanda yang ditetapkan oleh Allah
untuk menandai masuknya waktu shalat zuhur.

Dengan demikian, perbedaan tersebut menggambarkan bahwa hukum taklifi


memberikan arahan langsung tentang perbuatan yang harus dilakukan atau
dihindari oleh individu, sedangkan hukum wadh'i memberikan penjelasan tentang
hubungan antara peristiwa atau kondisi tertentu dengan kewajiban dalam hukum
taklifi.14

14
‫الشميري عبدالجبار إبراهيم حكيم‬, ”‫ الفتوى على الفقه أصول علم أثر مدى‬,: ‫“تطبيقية دراسة‬, ‫القلم مجلة‬, 9 224
,2017 doi:10.35695/1946-000-008-007.

18
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum taklifi dan hukum wadh'i adalah dua konsep penting dalam hukum
Islam yang terkait dengan pembentukan kontrak atau perjanjian. Meskipun
keduanya berhubungan dengan perjanjian, terdapat perbedaan penting antara
keduanya.

Hukum Taklifi: Hukum taklifi berkaitan dengan pembentukan kontrak yang


melibatkan tawaran (ijab) dan penerimaan (qabul). Dalam konteks ini, penawaran
adalah tindakan yang menunjukkan niat untuk melakukan kontrak, sedangkan
penerimaan adalah persetujuan terhadap tawaran yang diajukan. Kesepakatan atau
kontrak terbentuk ketika pihak yang menawarkan dan pihak yang menerima
secara sah dan sempurna setuju pada syarat-syarat kontrak.Hukum taklifi
didasarkan pada prinsip kesepakatan yang bebas antara kedua belah pihak, dan
keabsahan kontrak tergantung pada pemenuhan persyaratan tertentu, seperti
ketidakterpaksaan, kejelasan dan kepastian tawaran, serta kesanggupan hukum
pihak-pihak yang terlibat.Hukum Wadh'i: Hukum wadh'i terkait dengan perjanjian
yang dilakukan secara sukarela antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konteks
ini, salah satu pihak membuat wadah atau komitmen untuk memberikan sesuatu
kepada pihak lain tanpa memerlukan tawaran dan penerimaan seperti dalam
hukum taklifi.

Hukum wadh'i lebih bersifat sukarela dan dapat mencakup perjanjian seperti
hibah, wakaf, atau sumbangan. Kontrak wadh'i didasarkan pada niat baik dan
kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, dan tidak memerlukan elemen-
elemen formal seperti dalam hukum taklifi.Jadi, hukum taklifi berkaitan dengan
pembentukan kontrak melalui tawaran dan penerimaan, sedangkan hukum wadh'i
berkaitan dengan perjanjian sukarela tanpa melibatkan tawaran dan penerimaan.
Keduanya merupakan bagian penting dari hukum Islam yang mengatur hubungan
kontrak dan perjanjian dalam konteks yang berbeda.

19
B. Kritik dan Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga bisa menambah wawasan pengetahuan


kepada penulis serta para pembaca dalam memahami setidaknya sedikit yaitu
tentang Hukum Taklifi dan Wadh’i. Dan kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata kesempurnaan karena keterbatasan ilmu yang kami miliki. Kami sangat
mengharapkan bimbingan, saran serta kritik dari semua pihak yang membaca
makalah ini yang bersifat membangun dan konstrutif demi perbaikan makalah ini
agar lebih baik di kemudian hari.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdur Rohman, Ushul Fiqh, Jakarta : Hamzah, 2014

Prof Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007

Mahmudah, N., Alkautsar, M. S., Fatmawati, M., & Neralis, K. (2020). Hukum
Wadh’i Dalam Sinkronisasinya Dengan Hukum Taklif. El-Ahli: Jurnal Hukum
Keluarga Islam, 1(2), 82-100.

DS, M. R. (2012). PEBANDINGAN HUKUM SYARA’(Hukum Taklifi dan Hukum


Wadh’i). Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 8, 77-90.

Abdel Hay, Muhammad Fawzy. Usul al Fiqh Rise, Developments, Methodologies


&

Literature. Cairo: Dar al-Salam, 2016.

Gazali, Abu Hamid, and Abdullah Mahmud Muhammad Umar. Al-mustasfa min
ilm al

usul. Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010.

Ḫallāf, ʿAbd-al-Wahhāb. ʿIlm uṣūl al-fiqh. al-Qāhira: Dār al-ḥadīṯ, 2003.

Huḍarī, Muḥammad al-. Uṣūl al-fiqh. Ṣaidā: al-Maktaba al-ʻAṣrīya, 2003.

Ibn ʻAqīl, Abū al-Wafāʼ ʻAlī, and ʻAbd al-Raḥmān ibn ʻAbd al-ʻAzīz Sudays.
AlWāḍiḥ Fī Uṣūl al-Fiqh. Al-Ṭabʻah 1. Silsilat Al-Rushd Lil-Rasāʼil al-Jāmiʻīyah

222. al-Riyāḍ: Maktabat al-Rushd Nāshirūn, 2008.

Meirison, Meirison. “Implementasi Tanqih Al-Manath Dalam Penerapan


Hukum.”

Nizham Journal of Islamic Studies; Vol 2 No 1 (2014): Mazhab Hukum Islam

“Riba and Justification in Practice in Scholars’ Views.” TRANSFORMATIF 2,

no. 1 (September 20, 2018): 348. doi:10.23971/tf.v2i1.922.

21
22

Anda mungkin juga menyukai