Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HAKIM, MUHKAM FIH DAN MUHKAM ‘ALAIH

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

1. ALEX NURMANSYAH
2. EVITA NURYANTI

MK : USHUL FIQIH

DOSEN PENGAMPU:
MOH. ADZIKYAUNUHA, M.Pd.

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIAH MISBAHUL ULUM


(STIT-MU) GUMAWANG
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
Saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Hakim, Muhkam fih dan
Muhkam ‘alaih" dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi saya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Moh. Adzkiyaunuha
selaku guru Mata Kuliah "Ushul Fiqih". Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.Saya
berharap semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat
memberikan inspirasi terhadap pembaca. Selain itu, saran dan kritik dari Anda
saya tunggu untuk perbaikan makalah ini.

Belitang, 11 April , 2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................I

DAFTAR ISI..........................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

a. Apa yang disebut Hakim ?,...........................................................................1

b. Apa yang disebut Mahkum fiih ?..................................................................1

c. Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?.............................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Al – Hakim....................................................................................................2

B. Mahkum Fih..................................................................................................4

C. Mahkum ‘Alaih.............................................................................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................10

B. Saran............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-
cara menginstinbath(menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul
setelah fiqh, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul
fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang ulama menetapkan suatu
perkara untuk haram, ia telah mengkaji yang telah menjadi alasan perkara itu
diharamkan. Hukum haramnya disebut fiqh, dan dasar-dasar sebagai alasannya
disebut ushul fiqh. Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji
materi fiqh, hendaknya ia telah megkajiushul fiqh terlebih dahulu, sehingga dapat
mengethui alasan-alasan ulama menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan
mempelajari ushul fiqh ini tercapai, yaitu terhindar dari sifattaqlid atau sifat ikut-
ikutan karena buta terhadap dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
Gambaran orang yang mengkaji fiqh tanpa usul fiqh adalah seperti orang yang
membaca teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu
sharaf dalam bahasa Arab.
Demikian pentingnya ushul fiqh dan hubungannya dengan fiqh.Dalam
kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber hukum islam yang mencakup sumber
dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Dan dalam
Hukum syara’ terdapat berbagai aspek yaitu Hakim, Mahkum fiih, dan Mahkum
‘Alaih.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin
dicapai yaitu sebagai berikut:
a. Apa yang disebut Hakim ?,
b. Apa yang disebut Mahkum fiih ?
c. Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al – Hakim
Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam istilah fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum
dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, hakim
juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari hukum
syariat adalah Allah. Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum
(Al-hakim) itu ialah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum
Allah ialah para rasul-Nya.
Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada ummat
manusia.Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara’ itulah yang menjadi hakim
sesudah Rosul dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.Yang
diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan
mukallaf sebelum rasul dibangkit.
Golongan mu’tazillah berpendapat, bahwa sebelum rasul dibangkit, akal
manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik
atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.Oleh
kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan
meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan
pahala kepada para mekallaf yang berbuat baikberdasarkan kepada pendapatnya,
sebagaimana Allah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf
dengan perantara syara’.

2
Golongan Asy’ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara’ tidak diberi
sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu’tazilah dan
Asy’ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi’at: dipandang baik oleh akal yang tidak
bersesuaian dengan tabi’at dipandang buruk oleh akal.Titik perselisihan antara
golongan Mu’tazilah dengan golongan Asy’ariyah ialah tentang apakah perbuatan
itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan,
walaupun syara’ belum menerangkannya, sedang golongan jumhur berpendapat,
bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara’,
kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.1
Meskipun ulama ushul sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah SWT,
namaun mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang
dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu, atau akal dapat
mengetahui hukum itu dengan baik. Dalam hal ini, Abu Husen al-Bashri (w. 436
H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua kategori:
a. Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan
akal pikiran.
b. Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum
dan bentuknya.
Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam, yaitu:

1. Perbuatan dimana hanya dengan syariat dapat diketahui hukum, bentuk, dan
kedudukannya sebagai ibadah bagi pelakunya, seperti ibadah shalat’

2. Perbuatan dengan syariat berperan mengubah, menambah, atau mengurangi


persyaratan-persyaratan yang talah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini,
syariat memodifikasi sesuatu perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan
yang bersifatsyar’i.

1 Muin Umar, dkk, ushul fiqh 1, (Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN, 1986), hal. 26-27.

3
B. Mahkum Fih
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu
hukum (perbuatan hukum).2 Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan mahkum fih) ‫ )فِ ْي ِها َ ْل َمحْ ُكوْ ُم‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan
orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih
suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah, serta
batal.Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat
hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam. Misalnya
perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan
agama Islam, antara lain:

1. Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih, sebab


bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.

2. Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum


fih, dan bertalian dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:

َ ‫َوالَ تَ ْقتُلُو النَّ ْف‬


‫س‬

Artinya:

“Janganlah kamu membunuh manusia.”

3. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak


melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang
musafir/dalam prerjalanan jauh, maka masalah itu adalah mahkum fih,
bertalian dengan masalah ibadah.

Dengan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua


perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua

2 Op.cit., Hasbiyallah, hal. 41.

4
perbuatan manusia yangmukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’, dan semua
itu disebut Mahkum Fih dalam hukum Islam.
Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi takhlif
sebelum tercapai syarat sahnya takhlif mengemukakan alasan :
a. Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak
dapat dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.

b. Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi


Gubernur Yaman beliau berkata:

“Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
adalah rasul Allah. Jika mereka telah menerimanya beri tahukan kepada mereka
bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan Allah mewajibkan zakat atas harta
kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan kepada yang miskin dari
mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat dan zakat bergantung kepada
penerimaan terhadap ajakan dan kalau mereka tidak menerima berarti tidak wajib
bagi mereka. Alasan ini dijawab bahwa yang dimaksud menerima kewajiban
shalat dan zakat, tetapi kewajiban menerima iman karena tidak mungkin
menerima kewajiban tanpa menerima iman.
c. Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat,
sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.

d. Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang


kafir tidak berhak menerima pahala.

e. Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka


dikenakan hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan
sholat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah yang
terkuat dalilnya karena didukung oleh dalil Al-Quran yang menunjukkan bahwa

5
orang yang kafir masih dibebani ibadah. Karena itu, mereka mendapat hukuman
tambahan di akhirat yang berati kebolehan takhlif sekalipun syarat belum tercapai
seperti yang dikemukakan oleh madzab Syafi’i.

Kalau dilihat dari segi pelaksanaan hukuman di dunia, orang yang kafir itu
tidak dituntut hukuman, tetapi hukumannya hanya di akhirat. Keduanya dilihat
dari segi pelaksanaan hukuman dunia dan akhirat hanya berbeda tenntang
hukuman akhirat.3

Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada
pembuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar’i mewajibkan atau
mensunnahkan suata perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu
merupakan perbuatan yang harus dikerjakan. Demikian juga
apabila syar,i mengharamkan atau memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut
juga merupakan perbutan yang harus ditinggalkan.
Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai
tiga syarat sebagai berikut:
a. Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
b. Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai
kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-
hukum yang dibuatnya,
c. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan,
sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan,
tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.

Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin


(mustahil) dapat dilakukan. Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits

3 Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. 2, hal. 327-333.

6
terdapat keterangan yang menuntut suatu perbuatan diluar kemampuan manusia,
seperti berjihat dengan jiwa dan harta, atau bersabar dan tidak suka marah.

C. Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun
syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua
macam, yakni:
a. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan
untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan
suatu taklif (pembebanan),
b. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorangmukallaf adalah akal dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para
ulamaushuliyyun dibagi kepada dua macam, yaitu:
1. Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan
kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, kanak-kanan maupun dewasa, sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar
dari kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih
hidup, kepantasan tersebut tetap dimiliknya,
2. Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk
dippandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila
mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan itu adalah sah dan
dapat menimbulkan akibat hukum, sehingga masa datangnya aliyatul
ada’ menurut syara’ adalah bersamaan dengan tibanya usiataqlif yang
dibatasi dengan aqil dan baligh.

Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:

7
1. Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal
mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’, dan
balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2. Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya
dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak
yang cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil
dianggap seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah
muamallah dianggap sah jual belinya.
Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk
melaksakan hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk
melaksanakan semua itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi.kondisi
tersebut disebut dengan awaridh ahliyah.
Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.
Samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia.
Halangansamawiyah ada sepuluh macam, yaitu:
a. Keadaan belum dewasa;

b. Sakit gila

c. Kurang akal

d. Keadaan tidur

e. Pingsan

f. Lupa

g. Sakit

h. Menstruasi

i. Nifas

j. Meninggal dunia.

8
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan manusia yang
menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu
ada tujuh macam, yaitu:

a. Boros,

b. Mabuk

c. Bepergian

d. Lalai

e. Bergurau (main-main)

f. Bodoh (tidak mengetahui)

g. Terpaksa (ikrah).4

Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-gangguan itu terbagi


kepada beberapa jenis antara lain:

a. Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang tidur.

b. Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya), seperti manusia makhluk


(orang yang lemah pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.

c. Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul ada’, tatpi hanya
mengubah sebagian hukum untuk kemaslahatan.

Maka terhadap poin a dan b diatas, tidak dibenarkan memelihara harta, demi
untuk memelihara hartanya sedangkan ahliyatnya tetap tidak hilang dan tidak pula
berkurang. Dan yang ketiga ahliyatul ada’ nya penuh, hanya tidak dibolehkan
mengendalikan hartyanya karena menjaga haknya.5

4 Ibid., hal. 43-44.


5 Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 2, hal. 136

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.


Dalam istilahfiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum
dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, hakim
juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.Abu Husen
al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua
kategori:Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui
dengan akal pikiran.Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut
menentukan hukum dan bentuknya.
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu
hukum (perbuatan hukum). Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang
dibebani hukum. Adapun syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban
hukum itu ada dua macam, yakni:Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan
atau tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara
langsung maupun melalui orang lain.
Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami
khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan)
Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.Kemampuan seseorang untuk
menerima kewajiban dan mnerima hak oleh para ulamaushuliyyun dibagi kepada
dua macam, yaitu, Ahliyatul wujub, Ahliyatul ada’,

10
Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:

1. Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal
mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’, dan
balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),

2. Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya
dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak
yang cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil
dianggap seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah
muamallah dianggap sah jual belinya. Ahwaridh ahliyah ada dua macam,
yakni samawiyah dan kasabiyah.

B. Saran

Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan kami


dengan adanya tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya pada mata
kuliah Ushul Fiqih kita bisa memahami tentang Hakim, Muhkam fih dan Muhkam
‘alaih.
Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kesalahan dalam penulisan
maupun dalam penyampaian. Untukitu, kritik dan saran yang membangun sangat
kami perlukan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

11
DAFTAR PUSTAKA

Umar Muin. Dkk. 1986. ushul fiqh 1. Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana
Perguruan
Umam Khairul. dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Kedua.

Karim Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. cet. Kedua.

Op.cit., Hasbiyallah, hal. 41.

Ibid., hal. 43-44.

12

Anda mungkin juga menyukai