Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“ ISTIHSAN, KEKUATAN ISTIHSAN DALAM IJTIHAD DAN RELEVANSINYA DI


MASA KINI “

Disusun Oleh :
Kelompok : Muhammad Yusuf Qardawi

1. Muhammad Abdillah Fidzikri


2. Sugiyono Purnomo

Dosen Pengampuh :

Drs.H. Henderi Kusmidi M.H.I

PROGRAM STUDI ILMU HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UIN FATMAWATI SUKARNO BENGKULU
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Fiqh: Istihsan,kekuatan
istihsan dan relevansinya kini dan mendatang”. Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Ushul FIKIH.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada
Bapak Drs. H. Henderi Kusmidi, M.H.I. selaku dosen yang telah memberikan bimbingan
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan baik itu pengetahuan,
pengalaman maupun kemampuan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran maupun kritik
membangun yang bertujuan agar hasil makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua
khalayak.
Akhir kata kami berharap, semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi
pembaca. Semoga Allah SWT akan senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah serta taufik-
Nya kepada kita semua. Amin.

Bengkulu, April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan ......................................................................................... 2

B. Macam-macan Istihsan .................................................................................. 2

C. Kekuatan Istihsan dalam ijtihad ..................................................................... 3

D. Relevansinya dimasa kini dan mendatang ..................................................... 6

E. Contoh Istihsan .............................................................................................. 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini
adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih
hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Istihsan ?
2. Macam macam Istihsan ?
3. Kekuatan Istihsan dalam ijtihad ?
4. Relevansinya di masa kini dan mendatang ?
5. Apa contoh Istihsan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Membahas dan memahami bersama tentang Istihsan lebih dalam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ISTIHSAN
Secara ethimologi, istihsan adalah menganggap baik terhadap sesuatu.
Sedangkan menurut ulama’ ushul, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan
kias jali (nyata) kepada kias khafi (samar), atau dari kulli kepada hukum takhshish
lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan
mementingkan perpindahan hokum.1
Dan didalam buku Ilmu Ushul Fikih karya Syekh Abdul Wahab Khallaf
dijelaskan bahwa Istihsan adalah memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari kias
jalli kepada kias khafi, atau dari hukum kulli kepada hukum isna’i. Jadi singkatnya,
istihsan yaitu meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lain, pada
suatu peristiwa atau kejadian ditetapkan berdasarkan dalil syara.
Apabila ada suatu kejadian yang tidak ada dalam nash mengenai hukum
kejadian itu, maka ada dua pendapat, yaitu: terang-terangan memperlakukan hukum
tertentu (nyata) atau tersembunyi yang menghendaki hukum lain. Atau seorang mujtahid
meminggalkan hukum yang jelas-jelas nyata kepada hukum lain yang samar dan
tersembunyi.
Seperti contoh: ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri dizaman
khalifah umar bin khotob. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu
adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum itu ditinggalkan kepada hukum lain,
berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini hukum berikutnya, dengan suatu dalil yang
menguatkannya.
Mula-mula peristiwa itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu
potong tangan. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum tersebut, yaitu pengecualian bagi pencuri yang mencuri pada
musim paceklik atau karena kelaparan. Dalam hal ini meskipun hukum pertama dianggap
kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

1
Madjid Nurcolish. Ar risalah Imam Syafi’i.Jakarta,Pusaka Firdaus 1993.
.

2
B. MACAM-MACAM ISTIHSAN
1. Istihsan menurut sandarannya:
Ulama Hanafiyah membagi menjadi empat macam:
a. Istihsan yang sandarannya qiyas khafi
Misalnya : mempersamakan hukum waqaf dengan sewa menyewa. yang
sandarannya nas.

b. Istihsan yang sandarannya nas


Misalnya: masalah tentang berpuasa, didalam Al Qur’an telah dijelaskan bahwa
dan minum dapat membatalkan puasa. Tanpa di jelaskan pengecualiannya.
Kemudian di istihsankan makan dan minum tidak membatalkan puasa jika dengan
syarat jika lupa.

c. Istihsan yang sandarannya ‘urf


Contoh: di dalam suatu masyarakat terdapat kebiasaan menjual buah yang masih
dipohon dan belum masak. Di dalam islam jual beli yang demikian tidak
diperbolehkan. Namun jual beli tersebut dapat menjadi halal dengan cara istihsan
jika akan terjadi permasalahan/pertikaian jika jual beli tersebut tidak dilaksanakan.

d. Istihsan yang sandarannya darurat


Misalnya masalah tentang saksi. Sebenarnya yang wajib menjadi saksi adalah
orang yang melihat kejadian itu secara langsung. Namun ketika orang yang
melihat kejadian itu secara langsung sudah meninggal dan tidak ada lagi yang
secara langsung melihatnya, maka diperbolehkan menghadirkan saksi tak
langsung( saksi yang telah mendengar cerita dari saksi langsung)2

C. KEKUATAN ISTIHSAN
Dari Definisi istihsan dan penjelasan terhadap macam-macamnya jelaslah
bahwaa pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri.
Menurut istilah para ahli hukum,istihsan di artikan dengan dua makna yaitu: 3
a. Mempergunakan ijtihad dan segala daya fikir dalam menentukan sesuatu yang syara’
serahkan urusannya kepada pendapat-pendapat kita sendiri.

2
Khalaf Abdullah Wahhab.Ilmu Ushul Fiqh ,Semarang,Dina Utama 1994.
3
Helmy Masdar.Ilmu Ushul Fiqh ,Bandung,Gema Risallah Press.1996.

3
Seperti mut’ah yang tersebut dalam firman Allah swt ; Al baqarah 236.
“ tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka.
orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Mut’ah dalam ayat ini di ukur menurut keadaan si suami,kaya atau miskin, menurut
makruf dan menentukan jumlah nafaqah,karena Allah mewajibkan yang demikian
menurut kemampuan masing-masing

b. Dalil yang mengimbangi qiyas atau meninggalkan qiyas dan menetapkan apa yang
lebih bermanfaat bagi manusia.

Sebenarnya sebelum Abu Hanifah mempergunakan istilah istihsan,lebih dahulu istilah


tersebut telah dipergunakan oleh ulama-ulama sebelumnnya.

Sesudah Abu Hanifah menduduki kedudukannya sebagai seorang mujtahid,seorang


filosuf dalam bidang hukum,kerapkalilah kalimat tersebut dipergunakannya dalam
mengimbangi qiyas.Umpamanya Abu Hanifah berkata ;“Qiyas memutuskan
begini,sedang istihsan memutuskan begitu,kami mengambil istihsan .Qiyas
memutuskan begini ,akan tetapi kami beristihsan,andaikan tak ada riwayat4
Tentulah saya menggunakan qiyas.Kami menetapkan demikian dengan jalan
istihsan,tidak bersesuaian dengan qiyas”.

Muhammad Ibnul Hasan seorang murid Abu Hanifah berkata ;


“Adalah Abu Hanifah ber-munadlarah dengan sahabat-sahabatnya tentang
qiyas.Mereka dapat membantahnya ,tetapi apabila Abu Hanifah mengatakan ; Saya
ber-istihsan,tiadalah adalagi orang yang menandinginya,karena banyak dalil-dalil
yang dikemukakan tentang istihsan dalam berbagai masalah”.5

4
Helmy Masdar.Ilmu Ushul Fiqh ,Bandung,Gema Risallah Press.1996.
5
Helmy Masdar.Ilmu Ushul Fiqh ,Bandung,Gema Risallah Press.1996.

4
Kemudian murid-muridnya yang mencapai derajat ijtihad mengikuti jejaknya
dan banyaklah masalah-masalah yang timbul dari mereka yang berdasarkan istihsan
hingga memberi pengertian bahwa istihsan itu merupakan suatu dalil hukum dan
menjadilah masalah-masalah yang berdasarkan istihsan merupakan suatu macam
pengetahuan yang harus di ketahui oleh para mujtahid.
Muhammad Ibnul Al Hasan berpendapat bahwa mengetahui masalah-masalah istihsan
adalah suatu syarat dari syarat-syarat ijtihad.6

Abu Hanifah sendiri berkata :


“Barang siapa mengetahui Al Kitab dan As Sunnah,pendapat para sahabat Rosulullah
dan apa yang di-istihsankan oleh para fuqoha,dapatlah dia ber-ijtihad terhadap hal-hal
yang dihadapinya dan dia menjalankan yang demikian itu terhadap
shalatnya,puasanya,hajinya dan segala yang disuruh dan yang dilarang.Maka apabila
dia ber-ijtihad dan ber-qiyas kepada yang menyerupainya dapatlah dia beramal
dengan yang demikian walaupun dia bersalah dalam ijtihadnya”.

Apa yang dinukilkan oleh Abu Hanifah,dinukilkan juga dari imam Malik dan murid-
muridnya.Imam Malik pernah berkata ;
“Istihsan ialah sembilan persepuluh ilmu”

Asbagh,seoarang murid Imam Malik berkata;


“Istihsan dalam bidang ilmu terkadang-kadang lebih menang dari qiyas”
Para Ulama Malikiyyah dengan tegas-tegas menta’rifkan istihsan dengan
pengecualian.

Imam Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwafaqat berkata: “Barang siapa yang


mempergunakan dalil istihsan,ia tidaklah kembali kepada semata-mata perasaannya
dan kemauannya saja,akan tetapi ia kembali kepada apa yang telah ia ketahui dari
pada tujuan syar’i secara keseluruhan pada berbagai contoh hal yang menuntut
qiyas,hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemaslahatannya dari satu
segi atau dari segi yang lainnya ia bisa mendatangkan kerusakan”.

6
Khalak Syekh Abdullah Wahhab. Ilmu Ushul Fikih ,Jakarta,Rineka Cipta 1995.

5
Allah swt berfirman :
“Dan tidaklah Allah menjadikan kamu dalam agama dari kesukaran”.(ayat 78:S.22 Al
Hajj)

Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa:7


1. Ulama’ Hanafiyah
Abu Hanifah banyak menggunakan istihsan. Bahkan dalam beberapa kitab
fiqihnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut tentang istihsan.

2. Ulama’ Malikiyah
Imam malik berpendapat bahwa dalil yang kuat dalam hukum. Abu Zahra berkata
bahwa Imam Malik juga sering berfatwa menggunakan istihsan.

3. Ulama’ Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mangakui
adanya istihsan.

4. Ulama’ Syafi’iyah
Secara umum, golongan Al Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan. Dan mereka
benar-benar menjauhi penggunaan istihsan sebagai dalil/ istinbat hukum. Bahkan
Imam Syafi’i berkatan “barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah
membuat syari’at sendiri”.

D. RELEVANSI ISTIHSAN DI MASA KINI DAN MENDATANG


Istihsan akan selalu relevan dengan perkembangan zaman. Mengapa? Karena
istihsan merupakan salah satu sumber hukum islam yang akan dijadikan pedoman jika
umat menghadapi suatu permasalahan dan tidak ada jawaban didalam nash. 8Dengan
digunakannnya istihsan, diharapkan mampu memberikan jalan atau solusi kepada
permasalahan umat dan memberikan kemaslahatan.
Semakin berkembang dan majunya suatu peradaban maka semakin besar pula
permasalahan yang akan dihadapi oleh umatnya. Jika kita sebagai umat yang hidup

7
Madjid Nurcolish. Ar risalah Imam Syafi’i.Jakarta,Pusaka Firdaus 1993.
.
8
Madjid Nurcolish. Ar risalah Imam Syafi’i.Jakarta,Pusaka Firdaus 1993

6
dizaman modern ini hanya menggunakan sistem hukum lama yang digunakan pada masa
Nabi saw ataupun masa sahabat dan tabi’in, maka tidak pas dan kemungkinan besar tidak
akan memberikan solusi yang tepat. Maka, disini istihsan dan sumber hukum islam
lainnya akan dibutuhkan guna menjawab permasalahan tersebut.
Seperti contohnya di masa kini, sedang booming mengenai belanja melalui
internet atau onlineshop. Menurut pembagian istihsan yaitu istihsan ijma’, aqad seseorang
yang memesan barang-barang dengan tukangnya tidak sah menurut penetapan qiyas
karena disamakan dengan jual-beli yang tidak hadir barangnya. Tetapi istihsan
menetapkan sebagai aqad yang sah karena perbuatan ini dilakukan oleh masyarakat
banyak, berarti disepakati kebolehannya. Dan juga, kemungkinan ditetapkannya
kebolehannya untuk langsung membeli ditempat produksi dan untuk memberikan
kemudahan orang yang berjualan untuk mengembangkan bisnisnya meskipun tidak
membuka lapak disemua tempat. Ini bukti bahwa islam adalah agama yang tidak
memberatkan umatnya. Jadi, istihsan sebagai sumber hukum islam akan selalu relevan
dengan perkembangan zaman. Baik sekarang maupun yang akan datang istihsan dan
sumber hukum islam yang lain akan digunakan untuk memberikan jawaban dari
permasalahan umat.

E. CONTOH ISTIHSAN
Bila seseorang telah mewakafkan sebidang tanah, maka hak pengairan dan hak
lalu lintas pada tanah itu ikut terbawa karena di-qiyas-kan dengan menyewakan. Hal ini
didasarkan pada manfaat tujuannya, meskipun tidak jelas kapan terjadi wakafnya. Sedang
qiyas Jaly dalam hal tersebut, yaitu hak pengairan dan hak lalu lintas karena termasuk
dalam wakaf yang telah di-qiyas-kan dengan jual beli.
Kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu
harus jelas, yaitu berapa lama seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai.
Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh
sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian
umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
Kasus orang yang makan dan minum karena lupa pada waktu ia sedang
berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan
sesuatu ke dalam tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu
berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadist Nabi SAW yang mengatakan:

7
“Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal puasanya karena hal itu
merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya.” (HR. Tirmidzi).
Dokter pria diperbolehkan melihat aurat wanita dalam proses pengobatan.
Menurut kaidah umum, seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan
tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka, untuk
kemaslahatan orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat
wanita yang datang berobat kepadanya.9

9
Madjid Nurcolish. Ar risalah Imam Syafi’i.Jakarta,Pusaka Firdaus 1993.

Helmy Masdar.Ilmu Ushul Fiqh ,Bandung,Gema Risallah Press.1996.

Khalak Syekh Abdullah Wahhab. Ilmu Ushul Fikih ,Jakarta,Rineka Cipta 1995.
.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai hukum islam yang dipertentangkan (mukhtalaf), istihsan masih
menjadi hukum yang samar, keabsahan hukumnya bergantung pada kepercayaan yang
individual, namun untuk menguatkan sumber istihsan alangkah baiknya kita berpegang
kepada madzab yang menyetujui istihsan sebagai sumber hukum misalnya, imam
Malikiyah dan imam Hanafiyah serta penganutnya. Agar segala permasalahan bukan
hanya sekedar menyalahkan orang akan tetapi, dilihat dari pengambilan madzab, serta
dalam segi kemanfaatannya. Begitupun halnya dengan relevansi istihsan terhadap
perkembangan zaman, baik saat ini maupun yang akan datang yang namanya sumber
hukum akan tetap digunakan meskipun, pada kenyataannya istihsan masih
dipertentangkan keabsahannya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Helmy Masdar. Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung, Gema Risalah Press. 1996

Khalaf Abdullah Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama. 1994

Khalaf Syekh Abdullah Wahab. Ilmu Ushul Fikih, Jakarta, Rineka Cipta. 1995

Madjid Nurcholish. Ar-Risalah Imam Syafi’i, Jakarta, Pusaka Firdaus. 1993.

Anda mungkin juga menyukai