DOSEN PENGAMPU :
Imat Ruhimat, M.M.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Imat Ruhimat, M.M. beliau selaku Dosen dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqh. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hakim, Mahkum Fih, Mahkum
A’laih, Ijtihad dan Ikhtilaf secara mendalam.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Imat Ruhimat, M.M. selaku
Dosen dari mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqh yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan kegiatan makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangannya, Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan
terselesaikannya makalah tentang Hakim, Mahkum Fih, Mahkum A’laih, Ijtihad dan Ikhtilaf
ini dapat bermanfaat.
Penyusun,
i
DAFTAR ISI
1. Hakim .................................................................................................................................2
3. Mahkum A’laih..................................................................................................................4
4. Ijtihad .................................................................................................................................5
5. Ikhtilaf ................................................................................................................................7
1. Kesimpulan ........................................................................................................................15
2. Saran ..................................................................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Karakteristik hukum Islam yang bersendikan nash dan didukung dengan akal
merupakan ciri khas yang membedakannya dengan sistem hukum lainnya. Ijtihad
memegang peranan signifikan dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Hal ini
merupakan pantulan dari sebuah pepatah dari seorang Syahrastani yang kemudian
berkembang menjadi statement populer di kalangan para pakar hukum Islam yaitu “teks-
teks nash itu terbatas, sementara problematika hukum yang memerlukan solusi tidak
terbatas”.
Di antara sekian banyak wilayah cakupan fan ushul fiqh yang amat penting untuk
diketahui adalah konsep tentang hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum alaih. Sebab
sebelum seseorang terjun untuk menjawab persoalan sebuah hukum, ia diharuskan untuk
mengetahui terlebih dahulu apa itu hukum, kemudian siapa pembuatnya dan siapa
obyeknya.
3. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam fiqih,
istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak
penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki.
Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari
hukum syari’at adalah Allah Swt. (QS. Al-An’am: 57)
Secara hakikat hakim adalah Allah swt. Semata, tidak ada yang lain. Para utusan
Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua
tidak menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar
menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun
secara adat mereka juga terkadang disebut hakim.
Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep di atas. Terbukti,
mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-Rusul atau
khitab al-Mujtahidin. Perbedaan ulama dalam hal ini hanya berkisar tentang hukum Allah
yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, apakah akal dengan sendirinya mampu
mengetahui hukum-hukum tersebut ataukah perlu perantara para rasul untuk dapat
mengetahuinya.
Terkait perbedaan ini, Abdul Wahab Khallaf membagi menjadi tiga kelompok:
a. Mazhab Asy’ariyah
Yakni para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa akal
dengan sendirinya tidak akan mampu mengetahui hukum-hukum Allah SWT tanpa
mediasi para rasul dan kitab-kitabnya. Kelompok ini berargumen bahwa yang
disebut dengan kebaikan adalah sesuatu yang telah ditunjukkan oleh syari’ bahwa
hal itu memang baik. Sementara kejelekan adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh
syari’ bahwa hal itu memang jelek. Kebaikan dan keburukan tidak dapat ditentukan
oleh penalaran akal semata.
b. Mazhab Mu’tazilah
2
ketika akal memandang hal itu baik. Sebaliknya sesuatu itu dipandang jelek ketika
akal memang menganggap jelek.
c. Mazhab Maturidiyah
Yakni para pengikut Abu Mansur al-Maturidi, mazhab ini menurut Khallaf
adalah mazhab penengah dan dianggap sebagai pendapat yang lebih kuat. Mazhab
ini menyatakan bahwa memang akal sehat itu mampu menilai mana yang baik dan
mana yang dianggap buruk. Namun, tidak secara otomatis akal mampu menentukan
hukum- hukum Allah, sebab kerja akal itu terbatas dan terkadang kerja akal itu
berbeda satu sama lain dalam menilai suatu perbuatan. Oleh karena itulah, dalam
menentukan hukum- hukum Allah tetap diperlukan adanya perantara utusan dan
kitab-kitabnya. Pada akhirnya apa yang dipegangi oleh mazhab ini sama dengan
pendapat mazhab Asy’ariyah yang tetap menyatakan bahwa untuk mengetahui
hukum Allah diperlukan adanya perantara.
2. Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang
berkaitan dengan taklif/ pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah SWT ditujukan pada
manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini tidak lain adalah
sebagai bentuk uji coba/ ibtila’ dari Allah kepada para hambanya supaya dapat diketahui
mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat kepadaNya. Dengan
demikian sebuah taklif akan selalu berkaitan erat dengan perbuatan mukallaf dan perbuatan
inilah yang disebut dengan mahkum alaih.
Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika taklif itu
berupa taklif ijab atau nadb maka hukum tersebut akan terlaksana dengan adanya sebuah
tindakan atau perbuatan dan jika taklif itu berupa karahah atau haram, maka hukum
tersebut akan terlaksana pula dengan adanya tindakan/ perbuatan meninggalkan. Jadi
tindakan pencegahan atau meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai sebuah fi’lun
(perbuatan).
3
hukum-huum syar’i dengan sendiri atau dengan cara bertanya pada ahlinya, maka
ia telah dianggap sebagai orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya.
3. Mahkum ‘alaih
Definisi secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Ulama ushul fiqih
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab/ perintah Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Sehingga istilah mahkum alaih disebut dengan subyek hukum.
Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum yang
sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:
b. Seorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan yang
ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna Shalahiyah/ kecakapan.
Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa terwujud dengan akal. Terkait dengan
hal ini, Al-Amidi, sebagaimana dikutip oleh az- Zuhaili mengatakan bahwa para
cendikiawan Muslim sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai seorang
mukallaf adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif
adalah khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil, layaknya
4
batu padat dan hewan. Ulama ushul membagi jenis kecakapan ini menjadi dua
bagian yaitu:
4. Ijtihad
Ijtihad sebagai kata bahasa arab berakar dari bahasa al-juhd, yang berarti al-thaqah
(daya kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berati al-masyaqah (kesulitan,
kesukaran). Sedangkan ijtihad dalam artian terminologi ishuliyah adalah kemampuan
secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at. Dalam
arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. misalnya,
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-
lain, mengatakan: “sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam
masalah-masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.” “dan pada hakikatnya
mereka (kaum sufi di Bashrah), dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah
mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kuffah yang juga mujtahid-
mujtahid dalam masalah hukum, tata Negara, dan lain-lain”.
5
Menurut Abdul Hamid Hakim, ijtihad adalah pengerahan kesanggupan berpikir
dalam memperoleh hukum dengan jalan istimbath (menarik kesimpulan) dari Al-Qur’an
As- Sunnah; sedangkan A. Hanafi mengartikan dengan tambahan “dengan cara-cara
tertentu.” Menurut At-Ta’ribat bab “Alif” ijtihat adalah keadaan dimana seorang fakih
mencurahkan kemampuan pikirannya untuk menemukan hukum islam yang masih zhonni
(dalam persangkaan).
Imam Syafi’i r.a. mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh mengatakan
“tidak tahu” dalam suatu permasalahan, sebelum ia berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk menelitinya. Sebagaimana juga seorang mujtahid tidak boleh mengatakan “aku tahu”
seraya menyebutkan hukum yang diketahui itu, sebelum ia mencurahkan kemampuan dan
mendapatkan hukum itu.
a. Syarat-syarat Mujtahid :
b. Macam-macam Ijtihad
6
2) Ijtihad Muntasib yaitu Ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan
cara mempergunakan norma dan kaidah istinbath imamnya.
3) Ijtihad Mazhab atau Fatwa yaitu Ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dalam lingkungan mazhab tertentu.
4) Ijtihad dibidang tarjih yaitu ijtihad dengan cara mentarjih dari beberapa
pendapat yang ada dalam satu lingkungan mazhab tertentu maupun dari
berbagai mazhab.
Sejarah mencatat, umat Islam melakukan ijtihad pada pertama kalinya yaitu dalam
permasalahan pengganti Nabi Muhammad SAW. sebagai khalifah atau kepala Negara
setelah beliau wafat. Kemudian setelah menjabat sebagai kholifah, Abu Bakar menghadapi
suatu masalah, sebagian orang Islam tidak mau membayar zakat setelah Nabi Muhammad
wafat, kemudian ia menyelesaikan masalah itu dengan ijtihad. Dalam Islam, ijtihad adalah
sebuah persoalan yang tidak akan pernah berhenti, yang ramai mulai zaman dahulu sampai
dengan zaman sekarang.
5. Ikhtilaf
Ikhtilaf adalah Perbedaan Pendapat Ulama Mazhab dalam Ranah Fiqih Islam. Islam
adalah agama yang membawa Rahmat ilahi berupa persatuan dan kebersamaan (i’tilaf dan
ta’awun) berdasarkan pada standar dan parameter kebenaran (Realitas Ketuhanan) yang
merupakan ujian pilihan bagi seluruh manusia. Islam bukan sekedar alternatif, tetapi
merupakan kewajiban mutlak (taklif) bagi setiap jin dan manusia. Karena Islam adalah
kumpulankebenaran imani (ideologis-konseptual), satuan kebenaran lapangan (realitas-
praktis) dan totalitas kebenaran bersikap (Etis). Adapun persatuan yang bersifat alami; di
mana manusia tak memiliki pilihan padanya. Seperti persatuan karena faktor nasab, suku,
ras, bangsa dan negara tetap dijaga dalam Islam.
Ikhtilaf (beda pendapat) merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah swt.
Sesungguhnya segala kemakmuran yang ada di jagat raya ini termasuk tegaknya kehidupan
tidak akan terwujud bila manusia diciptakan dalam keadaan yang sama dalam segala hal,
mulai dari proses penciptaan sampai pada metode berpikir hasil ciptaan Allah itu (QS. Hud
: 118-119).
Imam Al-Subkiy membagi ikhtilaf menjadi tiga jenis, pertama, menyangkut usul
(pokok dan prinsip) yaitu yang menyimpan dari kandungan Alqur’an dan tidak diragukan
lagi merupakan tindakan bid’ah dan sesat. Kedua, menyangkut perselisihan pendapat dan
peperangan yang bisa menjadi haram jika tidak menginginkan kemaslahan-kemaslahan.
Ketiga, menyangkut masalah furu’ (cabang) seperti ikhtilaf dalam hal halal-haram atau
sejenisnya.
Prof DR. Minhajuddin membagi dalam dua bagian besar yakni:Pertama, ikhtilaf
dalam kepastian nas dan kualitasnya, Kedua. Ikhtilaf dalam pemahaman nas dan
hikmahnya.
7
Perselisihan ulama fiqh yang menyangkut masalah furu’ merupakan sesuatu yang
ada sejak dahulu (masa Rasulullah saw dan sahabat). Pada masa itu ikhtilaf yang terjadi
tidak sampai menimbulkan perpecahan karena Rasulullah saw selalu berusaha
mengembalikan segala urusan mereka melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.
Adapun pada masa sahabat ikhtilaf yang terjadi cukup membahayakan umat, seperti
berikut:
Secara umum dapat dikatakan, bahwa ikhtilaf pada periode Abu Bakar dan Umar
bin Khatab, baik antara keduanya maupun di antara para sahabat lainnya. memang ada,
namun sangat terbatas. Hal ini disebabkan antara lain, karena mereka tidak berikhtilaf pada
masalah- masalah prinsip agama. perbedaan faham di antara mereka tidak menjadikannya
keluar dari masalah pokok yang diperselisihkan dan unsur musyawarah tetap mereka
pelihara dan hormati.
Sempitnya ruang lingkup ikhtilaf pada kedua priode tersebut di atas tampaknya sulit
dipertahankan, hal ini karena semakin bertambah luasnya wilayah dan pengaruh Islam di
seputar jazirah Arab dan di luarnya. Tambahan lagi Wilayah-wilayah yang dikuasai Islam,
bermacam-macam pola hidup, tradisi dan adat kebiasaannya. Semua ini. merupakan salah
satu faktor umum timbulnya ikhtilaf.
Sesungguhnya, Ikhtilaf dalam fiqhi yang telah timbul, menyangkut masalah furu’
dalam agama sejak priode sahabat dan sesudahnya. melahirkan aneka macam sebab dan
faktor di kalangan Ulama.
Oleh karena itu sebagian Ulama baik salaf maupun khalaf, cenderung mengangkat
ke permukaan dalam bentuk kajian dan tulisan.
Berikut ini penulis mencoba mengemukakan dalam kajian sederhana ini, faktor-
faktor khusus penyebab ikhtilaf dalam masalah furu.’
8
Lebih rinci dapat di uraikan sebagai berikut:
Salah satu yang merupakan faktor perbedaan pendapat para fuqaha ialah faktor
qiraat. Sesungguhnya telah datang dari Rasulullah saw qira’at secara mutawatir
hanya saja sebab wurudnya mengundang perbedaan pendapat ulama dalam meng-
istinbat-kan hukum antara lain:
Ikhtilaf pada wudhu tentang mencuci atau membasuh kedua kaki. Allah SWT
berfirman:
Dalam ayat ini, terjadi perbedaan qira’at dikalangan ulama misalnya, Nafi, Ibn
Amir, dan al-Kisa’iy, membaca “(waarjulakum) dengan: waarjulakum sedangkan
Ibnu Kasir, Abu ‘Amru dan Hamzah, membaca: waarjulikum dengan: Olehnya itu
perbedaan qiraat di sini merupakan salah satu sebab ikhtilaf.
Jumhur ulama dalam hal ini, cenderung dengan qiraat nasab, karena itu kita
berkewajiban membasuh kedua kaki pada wudhu’ tidak dengan menyapunya. Yang
menjadi sebab perbedaan pendapat di antara mereka karena adanya dua bacaan yang
dikenal oleh mereka mengenai ayat wudhu yaitu waarjulakum dan waarjulikum.
Ulama yang membaca wa arjulakum, berarti di athaf-kan kepada anggota yang
dibasuh; dan bacaan wa arjilakum karena di-athaf-kan kepada anggota yang disapu.
Oleh karena itu, dapat dikatakan pengetahuan mereka terhadap hadist Nabi
berbeda-beda. Sahabat, misalnya yang lebih sering berkumpul bersama dengan Nabi,
dapat dibayangkan akan lebih banyak penelaahan dan pengetahuannya terhadap
hadist.
9
c. Ikhtilaf dalam menetapkan dan menilai suatu Hadits
Sebagai contoh, yaitu ketika Abu Bakar al-Shiddiq imintai tanggapannya oleh
sahabat lain tentang pewarisan kakek perempuan, beliau tidak sesegera mungkin
mengambil keputusan. sebelum ia meyakini kualitas hadist dimaksud di atas.
Dari sisi lain, suatu hadis yang sampai pada seorang mujtahid, tetapi dia
melihat di dalamnya ada illat (kausalitas hukum) yang menghalangi untuk
mengikutinya, misalnya dia berkeyakinan bahwa hadis itu sanadnya tidak sah dan
tidak sampai pada Rasulullah SAW. karena adanya orang yang tidak diketahui
(majhul) atau hafalannya kurang cakap, atau karena hadis tersebut munqati’ atau
mursal. Kemudian yang lainnya mengikuti hadist tersebut, karena memilih jalur
hadis yang sahih. Namun yang lain tidak mengamalkan karena adanya ‘illat yang
telah disebutkan. Hal ini menjadi penyebab perbedaan pendapat.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menalar suatu nas tentang
maksud Tuhan dengan suatu lafal yang mengandung beberapa makna. Ulama
menyadari bahwa yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT sendiri.
Dari segi makna suatu lafal dalam bahasa Arab dikenal salah satu istilah yang
disebut al- musytarak: yaitu suatu lafal yang pada dasarnya mengandung dua
pengertian atau lebih. Sebagai contoh konkrit, perbedaan pendapat ulama tentang
kata “quru”, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 2: 228.:
Ayat ini secara umum menjelaskan jumlah ‘iddah wanita haid yang ter-talak.
Perselisihan ulama mengenai hal ini adalah kata “quru’’ yang kemungkinannya
berarti suci atau haid pada posisi yang bersamaan.
Ulama yang berpendapat bahwa kata “quru” berarti suci, alasannya karena
‘iddah wanita yang tertalak baru terhitung ketika ia suci. Dalam kondisi haid, ulama
10
tidak mempermasalahkan bahwa ‘iddahnya belum terhitung. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat sebagian sahabat seperti: ‘Aisyah, Ibnu Umar dan Said bin Sabit
serta Imam Syafi’ iy.
Dari kedua pendapat di atas, penulis berasumsi bahwa walaupun ikhtilaf dalam
memahami ayat tersebut tidak terhindarkan, namun kedua pendapat dapat difahami
dan dimengerti keberadaannya.
Salah satu faktor penyebab ikhtilaf ialah adanya sejumlah nas yang tampaknya
saling bententangan baik yang bersumber dari Alquran maupun Sunnah Nabi.
Jika kita renungkan sejenak hakekat ta’arudh (pertentangan nas), dilihat dari
nas yang dijadikan pijakan maka sebenarnya tidak ada pertentangan di antara nas
karena keduanya bersumber dari Allah SWT ( Q.S. 4: 82).
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh yang berkaitan dengan ta’arudh al-
’adillat (pertentangan nas), misalnya pernyataan sebagian ulama tentang batalnya
wudhu dengan menyentuh zakar (alat kelamin).
Imam Syafi’iy, Hambali, Ishak dan Malik berpendapat bahwa wudhu batal.
Nas yang dijadikan landasan adalah hadis yang bersumber dari Basrah binti Shafwan,
sebagaimana berikut:
“Bahwa Nabi SAW berkata: Barang siapa yang menyentuh alat kelaminnya,
maka hendaklah ia berwudhu’ lebih dahulu sebelum salat.”
11
Sahabat yang mengikuti petunjuk hadis tersebut ialah: Umar, Abu Hurairah,
Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas. Aisyah dan Saad bin Abi Waqqas.
Adapun Abu Hanifah cenderung berpendapat bahwa hal yang demikian itu
tidak membatalkan wudhu. Beliau mengacu pada hadis Thalak bin Ali sebagai
berikut:
“Bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh
alat kelaminnya ketika ia sedang sembahyang. Maka Nabi berkata tiadalah ia
kecuali bagian dari engkau.” (HR. Tirmiziy).
Sahabat yang mengikuti petunjuk hadis kedua ini, ialah: Ali, Umar. dan Ibnu
Mas’ud. Tampaknya kedua kelompok yang bertentangan ini masing- masing
memiliki alasan dan hujjah yang cukup kuat. Penulis beranggapan bahwa walaupun
kedua hadis tersebut, dari sisi lafal dan makna berbeda, ulama hadis telah membahas
dan mengajukan alternatif- alternatif metode penyelesainnya.
Salah satu yang menjadi sebab adanya ikhtilaf di antara para ulama, yaitu
adanya kasus- kasus tententu yang tidak tersebut nas-nya secara tekstual dalam
Alquran dan Hadis. Jelasnya bahwa Rasulullah wafat, masih saja dijumpai sebagian
kasus yang tidak mendapatkan tanggapan konkret atas kepastian hukumnya. Hal ini
difahami, bahwa Alquran memang tidak menjelaskan suatu kasus secara terinci,
petunjuknya turun secara mujmal (umum), muthlaq (pasti), mubham (tidak jelas) dan
lain-lain. Dalam kaitan tersebut. peranan hadis sebagai bagian dari ijtihad Nabi, dan
para sahabat besar dalam menjelaskannya, mendapat tempat tersendiri.
Kasus-kasus yang muncul kemudian cukup banyak, sedang nas Alquran dan
Hadist yang menyangkut hokum begitu terbatas. Pada akhirnya ulama dalam
mengantisipasi ketetapan hukum suatu kasus berbeda dan pada gilirannya terjadilah
ikhtilaf dalam pemahaman dan penafsiran.
Kenyataan ini, terlihat pada priode Abu Bakar bahwa salah satu dari karakter
beliau, bila diperhadapkan pada suatu kasus yang tidak ada nasnya secara jelas, ia
tidak serta merta mengambil keputusan, tetapi ia menghimpun para pemuka dan
kalangan sahabat dan fuqaha meminta saran dan pendapat, apabila beliau mendapat
persetujuan maka dengan spontan mengambil keputusan.
Kenyataan lain yang muncul pada periodenya yaitu dipercayakannya Umar bin
Khattab sebagai qadhi (hakim) khususnya dalam menangani perselisihan-
perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam. Hanya saja, Abu Bakar dalam
menunjuk Umar sebagai qadhi tidaklah sepenuhnya wewenang itu dilimpahkan
kepadanya. Yang jelas, pada periode Abu Bakar, Umar pernah diserahi sepenuhnya
sebagai qadhi di Medinah.
12
Demikianlah tradisi Abu Bakar dalam mengangkat dan menunjuk penguasa di
setiap wilayah, selain ia sebagai penguasa pemerintahan juga sekaligus sebagai
penguasa agama (‘Imamat) dan qadhi.
Adapun dalam hubungannya terhadap ijtihad pada suatu kasus, maka Abu
Bakar sangat membatasi diri dalam berijtihad. Hal ini disebabkan kekhawatiran
beliau untuk terjebak pada kekhilafan dan kesalahan dalam menetapkan hukum. Abu
Bakar misalnya, jika berfatwa dan mengeluarkan pendapatnya berkata, “demikianlah
pendapatku, jika benar sesungguhnya dan Allah dan jika keliru. sesungguhnya dari
aku sendiri dan aku istiqfar kepada Allah.
Demikian juga halnya tradisi Umar selain landasan utamanya adalah Alquran
dan Sunnah Nabi jika ia tidak mendapatkan jawaban pada keduanya, maka ia
merujuk pada pengambilan keputusan Abu Bakar dan jika tidak ia dapatkan maka
beliau meminta pertimbangan kepada tokoh-tokoh sahabat. Beliau tidak ada
kesepakatan di antara mereka maka dengan spontan ia berijtihad.
Di antara kasus-kasus hukum yang tidak terdapat nas-nya dalam Alquran dan
Sunnah Nabi, maupun ijma’ ulama dan dalil-dalil mu’tabar lainnya seperti qiyas,
antara lain:
1) Kadar jaminan ganti rugi bagi binatang yang dilukai ataupun yang
dicederai oleh orang lain yang bukan pemiliknya.
2) Batas minimal masa menstruasi.
3) Hukum mengawasi wanita yang masih dalam ‘iddah yang diyakini telah
melakukan hubungan suami istri.
4) Hukum Suami yang hilang tidak ada kabar beritanya dalam waktu
tertentu, apa yang harus dilakukan oleh isterinya? apakah ia harus menunggu
empat tahun, ataukah ber’iddah empat bulan sepuluh hari yaitu batas waktu
‘iddah wafat?
13
Metode Ulama Dalam Mengatasi Ikhtilaf
Dimaksudkan ikhtilaf di sini adalah terdapatnya dua buah nas atau lebih dari sisi
makna tampaknya bertentangan, yang sebagian ulama berpendapat bahwa kesemuanya
tidak mungkin diamalkan secara bersamaan.
Oleh karena itu para ulama menempuh berbagai macam cara (jalan) di dalam
mengkompromikan nas-nas tersebut.
Dipahami bahwa apa yang dikemukakan oleh Nabi berupa ayat-ayat Alquran dan
Hadis, sama-sama berasal dari Allah. Oleh karena itu tidak mungkin bertentangan di antara
keduanya. Namun pada kenyataannya ada sejum1ah nas (hadis) yang tampaknya tidak
sejalan dan bertentangan dengan hadis lain ataupun dengan Alqur’an. Bila demikian
halnya, maka pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Dalam kaitan tersebut, penulis
dituntut untuk mampu rnenggunakan pendekatan-pendekatan yang sah dan tepat menurut
yang dituntut oleh kandungan nas, yang bertentangan.
14
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pembahasan hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadi sangat penting
terutama terkait dengan kondisi-kondisi tertentu, pribadi-pribadi tertentu, masyarakat
(komunitas) tertentu, yang terbebani “masalah” pen-taklif-an ubudiyah yang sifatnya
fundamen, seperti penentuan waktu shalat, arah kiblat, puasa, wukuf, zakat dan lain-lain.
Untuk menjawab permasalahan tersebut telah ditemukan sebuah instrumen yaitu Ijtihad.
2. Saran
15
DAFTAR PUSAKA
‘Athiyyat Mustafa Musyarrafat, al-Qadha fi al- Islam, (Mishr: Mathabi’ Dar al-Qad, 1966)
Abdullah, Muhammad Sulaiman. (2004). al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar as-
Salam.
Al-Judai’, Abdullah bin Yusuf. (1997). Taysiir ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasah ar-
Rayyan
Harun Nasution, Ijtihad dalam sorotan Ahmad Azhar Basyir, Munawir Sjadzali, I. Zainal
Ibrahim Hosen, Harun Nasution, Muchtar Adam, Mauhammad Al Bagir, (Bandung; Al-
Mizan, 1996).
Imam Abi Isa Muhammad bin Surat al-Tirmiziy, Sunan al-Tirmiziy,(Indonesia, Maktabat
Dahlan, I. 1384 H)
Irwansyah, S. (2018). Ajaran Pokok Murji’ah. Tahkim, Jurnal Dan Peradaban Dan Hukum
Islam, 1(1), 88–101.
Jamrah, S. A. (2014). Ikhtilaf Dan Etika Perbedaan Dalam Islam. Toleransi, 6(2), 223–240.
Khallaf, Abdul Wahab. (1978). ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Daar al-Qalam.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Makalah disajikan dalam seminar
yang diadakan oleh Dirasah Ulya Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam di Medan
Sumatra Utara , 1991
Moh.tholib, Kedudukan Ijtihat dalam Syariah islam, Al-Ma’arif, Bandung;1974, hal. 9.Baca
juga. Muhammad Roy Purwanto, Teori Hukum Islam dan Multikulturalisme (Jombang:
Pustaka Tebuireng, 2016)
Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria, 2004).
Sadat, A. (2015). Ikhtilaf Di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin. Al-Risalah Jurnal Ilmu Syariah
Dan Hukum, 15(2), 181–191
iii
Thoha Jabir Fayyadh al-Ulwany, adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Fahmi
dengan judul Beda pendapat , bagaimana menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1991)
iv