Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENGANTAR ILMU FIQH

HAKIM, MAHKUM FIH, MAHKUM A’LAIH, IJTIHAD DAN IKHTILAF


MATA KULIAH PENGANTAR ILMU FIQH

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 1


1. Sri Adji Putrawardana (23.02.01.0002)
2. Affan Gaffar (23.02.01.0008)

DOSEN PENGAMPU :
Imat Ruhimat, M.M.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NIDA EL-ADABI


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah


Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan Rahmat serta Karunia-Nya kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Hakim, Mahkum Fih, Mahkum A’laih, Ijtihad
dan Ikhtilaf tepat waktu. Shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam yang syafaatnya kita nantikan kelak.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Imat Ruhimat, M.M. beliau selaku Dosen dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqh. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hakim, Mahkum Fih, Mahkum
A’laih, Ijtihad dan Ikhtilaf secara mendalam.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Imat Ruhimat, M.M. selaku
Dosen dari mata kuliah Pengantar Ilmu Fiqh yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan kegiatan makalah ini.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangannya, Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan
terselesaikannya makalah tentang Hakim, Mahkum Fih, Mahkum A’laih, Ijtihad dan Ikhtilaf
ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Bogor, 6 November 2023

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1

1. Latar belakang masalah .......................................................................................................1

2. Maksud dan Tujuan .............................................................................................................1

3. Rumusan masalah ................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................2

1. Hakim .................................................................................................................................2

a. Mazhab Asy’ariah ........................................................................................................2

b. Mazhab Mu’tazilah ......................................................................................................2

c. Mazhab Maturidiyah ....................................................................................................3

2. Mahkum Fih ......................................................................................................................3

3. Mahkum A’laih..................................................................................................................4

4. Ijtihad .................................................................................................................................5

5. Ikhtilaf ................................................................................................................................7

BAB III PENUTUP .................................................................................................................15

1. Kesimpulan ........................................................................................................................15

2. Saran ..................................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Karakteristik hukum Islam yang bersendikan nash dan didukung dengan akal
merupakan ciri khas yang membedakannya dengan sistem hukum lainnya. Ijtihad
memegang peranan signifikan dalam pembaruan dan pengembangan hukum Islam. Hal ini
merupakan pantulan dari sebuah pepatah dari seorang Syahrastani yang kemudian
berkembang menjadi statement populer di kalangan para pakar hukum Islam yaitu “teks-
teks nash itu terbatas, sementara problematika hukum yang memerlukan solusi tidak
terbatas”.

Mediator utama dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan adalah dengan


berijtihad. Sebagai sebuah mediator, ia juga memerlukan perangkat-perangkat supaya
mampu menghasilkan solusi-solusi cerdas dan tepat bagi problem-problem tersebut.

Di antara sekian banyak wilayah cakupan fan ushul fiqh yang amat penting untuk
diketahui adalah konsep tentang hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum alaih. Sebab
sebelum seseorang terjun untuk menjawab persoalan sebuah hukum, ia diharuskan untuk
mengetahui terlebih dahulu apa itu hukum, kemudian siapa pembuatnya dan siapa
obyeknya.

2. Maksud Dan Tujuan

Maksud dan tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu :

a. Agar memahami apa itu Hakim.


b. Mengerti tentang Mahkum Fih dan Mahkum A’laih
c. Memahami tentang Ijtihad dan Ikhtilaf

3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah makalah ini yaitu :

a. Apa pengertian Hakim?


b. Jelaskan tentang Mahkum Fih dan Mahkum A’laih?
c. Jelaskan pengertian tentang Ijtihad dan Ikhtilaf

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Hakim

Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam fiqih,
istilah hakim semakna dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti pihak
penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki.

Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari
hukum syari’at adalah Allah Swt. (QS. Al-An’am: 57)

ِ ‫ﺺ اْﻟَﺤﱠﻖ َوُھَﻮ َﺧْﯿُﺮ اْﻟﻔَﺎ‬


‫ﺻِﻠْﯿَﻦ‬ ‫اِِن اْﻟُﺤْﻜُﻢ اِﱠﻻ ِ ﱣ;ِ ۗﯾَﻘُ ﱡ‬
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenar-benarnya dan Dia Pemberi
Kehidupan yang paling baik.”

Secara hakikat hakim adalah Allah swt. Semata, tidak ada yang lain. Para utusan
Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua
tidak menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar
menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun
secara adat mereka juga terkadang disebut hakim.

Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep di atas. Terbukti,
mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-Rusul atau
khitab al-Mujtahidin. Perbedaan ulama dalam hal ini hanya berkisar tentang hukum Allah
yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, apakah akal dengan sendirinya mampu
mengetahui hukum-hukum tersebut ataukah perlu perantara para rasul untuk dapat
mengetahuinya.

Terkait perbedaan ini, Abdul Wahab Khallaf membagi menjadi tiga kelompok:

a. Mazhab Asy’ariyah

Yakni para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa akal
dengan sendirinya tidak akan mampu mengetahui hukum-hukum Allah SWT tanpa
mediasi para rasul dan kitab-kitabnya. Kelompok ini berargumen bahwa yang
disebut dengan kebaikan adalah sesuatu yang telah ditunjukkan oleh syari’ bahwa
hal itu memang baik. Sementara kejelekan adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh
syari’ bahwa hal itu memang jelek. Kebaikan dan keburukan tidak dapat ditentukan
oleh penalaran akal semata.

b. Mazhab Mu’tazilah

Yakni para pengikut Washil bin Atha’ yang menyatakan bahwa


dengansendirinya akal mampu mengetahui hukum-hukum Allah tanpa melalui
perantara rasul atau kitab. Mereka berhujjah bahwa sesuatu itu dikatakan baik

2
ketika akal memandang hal itu baik. Sebaliknya sesuatu itu dipandang jelek ketika
akal memang menganggap jelek.

c. Mazhab Maturidiyah

Yakni para pengikut Abu Mansur al-Maturidi, mazhab ini menurut Khallaf
adalah mazhab penengah dan dianggap sebagai pendapat yang lebih kuat. Mazhab
ini menyatakan bahwa memang akal sehat itu mampu menilai mana yang baik dan
mana yang dianggap buruk. Namun, tidak secara otomatis akal mampu menentukan
hukum- hukum Allah, sebab kerja akal itu terbatas dan terkadang kerja akal itu
berbeda satu sama lain dalam menilai suatu perbuatan. Oleh karena itulah, dalam
menentukan hukum- hukum Allah tetap diperlukan adanya perantara utusan dan
kitab-kitabnya. Pada akhirnya apa yang dipegangi oleh mazhab ini sama dengan
pendapat mazhab Asy’ariyah yang tetap menyatakan bahwa untuk mengetahui
hukum Allah diperlukan adanya perantara.

2. Mahkum Fih

Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang
berkaitan dengan taklif/ pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah SWT ditujukan pada
manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini tidak lain adalah
sebagai bentuk uji coba/ ibtila’ dari Allah kepada para hambanya supaya dapat diketahui
mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang maksiat kepadaNya. Dengan
demikian sebuah taklif akan selalu berkaitan erat dengan perbuatan mukallaf dan perbuatan
inilah yang disebut dengan mahkum alaih.

Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika taklif itu
berupa taklif ijab atau nadb maka hukum tersebut akan terlaksana dengan adanya sebuah
tindakan atau perbuatan dan jika taklif itu berupa karahah atau haram, maka hukum
tersebut akan terlaksana pula dengan adanya tindakan/ perbuatan meninggalkan. Jadi
tindakan pencegahan atau meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai sebuah fi’lun
(perbuatan).

Terdapat beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan,


diantaranya adalah:

a. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf


sehingga tergambar tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya. Dengan
demikian seorang itu tidak diwajibkan melaksanakan sholat sebelum jelas rukun-
rukun dan kaifiyahnya.

b. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan


untuk memberikan taklif. Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan mampu
mengarahkan kehendak untuk melaksanakannya. Yang perlu diperhatikan dalam
masalah ini adalah mengenai pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah
imkan al-Ilm (kemungkinan untuk mengetahui) bukan pengetahuan secara praktis.
Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu memahami

3
hukum-huum syar’i dengan sendiri atau dengan cara bertanya pada ahlinya, maka
ia telah dianggap sebagai orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya.

c. Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau


ditinggalkan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika berupa
perbuatan yang mustahil untuk dikerjakan, seperti mengharuskan untuk
melaksanakan dua hal yang saling bertentangan, mewajibkan dan melarang dalam
satu waktu, mengharuskan manusia untuk terbang dll.

Meski demikian, ternyata masih ada sekelompok ulama yang memperbolehkan


taklif pada perbuatan yang mustahil. Pendapat ini dipegangi oleh ulama-ulama dari
kalangan Asy’ariyah. Mereka mengajukan hujjah andaikan taklif terhadap hal yang
mustahil itu tidak diperbolehkan maka tidak akan pernah terjadi, sementara kenyataannya
taklif itu telah terjadi, seperti pada kasus taklif yang diberikan pada Abu Jahal untuk
beriman dan membenarkan risalah rasul. Dalam hal ini Allah telah mengetahui bahwa Abu
jahal tidak akan pernah beriman. Pendapat ini disanggah jumhur bahwa maskipun pada
kenyataannya Abu jahal tidak beriman, namun taklif tersebut sebenarnya masih bersifat
mungkin dan tidak mustahil bagi abu jahal.

3. Mahkum ‘alaih

Definisi secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Ulama ushul fiqih
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab/ perintah Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.
Sehingga istilah mahkum alaih disebut dengan subyek hukum.

Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum yang
sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:

a. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Artinya, ia mampu


memahami nash-nash perundangan yang ada dalam al-Qur’an maupun as- Sunnah
dengan kemampuannya sendiri atau melalui perantara. Hal ini penting, sebab
seseorang yang tidak mampu memahami dalil/petunjuk taklif, maka ia tidak
mungkin melaksanakan apa yang telah ditaklifkan kepadanya. Kemampuan untuk
memahami dalil taklif hanya bisa terealisasi dengan akal dan adanya nash-nash
taklif. Akal adalah perangkat untuk memahami dan merupakan penggerak untuk
bertindak. Sifat dasar akal ini abstrak, tidak bisa ditemukan oleh indera zhahir, oleh
karenanya syari’ mengimbangi dengan memberikan beban hukum (taklif) dengan
sesuatu yang riil, yang bisa diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh. Pada saat
baligh inilah seorang dianggap mampu untuk memahami petunjuk-petunjuk taklif.
Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup dalam kategori mukallaf.

b. Seorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan yang
ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna Shalahiyah/ kecakapan.
Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa terwujud dengan akal. Terkait dengan
hal ini, Al-Amidi, sebagaimana dikutip oleh az- Zuhaili mengatakan bahwa para
cendikiawan Muslim sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai seorang
mukallaf adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif
adalah khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil, layaknya

4
batu padat dan hewan. Ulama ushul membagi jenis kecakapan ini menjadi dua
bagian yaitu:

1) Ahliyah al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak


dan kewajiban, Pijakan utama dari konsep ahliyah al-Wujub ini adalah
adanya kehidupan, artinya selama orang itu bernafas maka orang tersebut
bisa disebut sebagai ahliyah al- Wujub. Ahliyah ini terbagi menjadi dua,
yaitu :

a) Ahliyah al-Wujub Naqishah adalah jika seorang itu cakap


untuk menerima hak saja bukan kewajiban, seperti janin yang
masih berada dalam kandungan ibunya. Ia masih bisa menerima
hak untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa menerima kewajiban yang
dibebankan kepadanya.

b) Ahliyah al- Wujub Kamilah adalah ketika seorang itu


mampu menerima hak sekaligus kewajibannya. Ini berlaku kepada
setiap manusia.

2) Ahliyah al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak.


Artinya, tindakan orang tersebut baik berupa perbuatan maupun ucapan,
secara syariat telah dianggap “absah” (mu’tabaran syar’an). Terkait
dengan konsep ini, manusia terbagi menjadi tiga jenis klasifikasi, yaitu:

a) Pertama, Seseorang tidak mempunyai kecakapan bertindak


sama sekali seperti orang gila dan anak kecil.

b) Kedua, seorang tersebut mempunyai kecakapan bertindak


namun belum sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum
sampai pada taraf baligh dan orang idiot (ma’tuh).Ketiga,
Seseorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna
seperti seworang yang telah berakal dan baligh.

4. Ijtihad

Ijtihad sebagai kata bahasa arab berakar dari bahasa al-juhd, yang berarti al-thaqah
(daya kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berati al-masyaqah (kesulitan,
kesukaran). Sedangkan ijtihad dalam artian terminologi ishuliyah adalah kemampuan
secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at. Dalam
arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. misalnya,
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-
lain, mengatakan: “sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam
masalah-masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.” “dan pada hakikatnya
mereka (kaum sufi di Bashrah), dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah
mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kuffah yang juga mujtahid-
mujtahid dalam masalah hukum, tata Negara, dan lain-lain”.

5
Menurut Abdul Hamid Hakim, ijtihad adalah pengerahan kesanggupan berpikir
dalam memperoleh hukum dengan jalan istimbath (menarik kesimpulan) dari Al-Qur’an
As- Sunnah; sedangkan A. Hanafi mengartikan dengan tambahan “dengan cara-cara
tertentu.” Menurut At-Ta’ribat bab “Alif” ijtihat adalah keadaan dimana seorang fakih
mencurahkan kemampuan pikirannya untuk menemukan hukum islam yang masih zhonni
(dalam persangkaan).

Imam Syafi’i r.a. mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh mengatakan
“tidak tahu” dalam suatu permasalahan, sebelum ia berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk menelitinya. Sebagaimana juga seorang mujtahid tidak boleh mengatakan “aku tahu”
seraya menyebutkan hukum yang diketahui itu, sebelum ia mencurahkan kemampuan dan
mendapatkan hukum itu.

a. Syarat-syarat Mujtahid :

Syarat-syarat Mujtahid sebagai berikut :

1) Mengetahui segala ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.


2) Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya
3) Mengetahui Nasikh dan Mansukh.
4) Mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya secara sempurna.
5) Mengetahui ushul fiqh
6) Mengetahui rahasia-rahasia tasyrie’ (Asrarusyayari’ah).
7) Menghetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
8) Mengetahui seluk beluk qiyas.

b. Macam-macam Ijtihad

Macam-macam ijtihad sebagai berikut :

1) Ijma’, yaitu kesepakatan atau sependapat dengan suatu hal mengenai


hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah wafatnya Rasul.
2) Qiyas, yaitu menyamakan,membandingkan atau menetapkan hukum
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan yang
telah ditetapkan hukumya berdasarkan nash.
3) Ihtisan, yaitu menunggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu
peristiwa atau kejadian yang diteapkan berdasarkan dalil dan syara’.
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan.
4) Urf adalah kebiasaan yang dikenal orang banyak dan menjadi tradisi.
5) Istishab adalah menetapkan hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan
sebelumnya sehingga ada dalil yang menyebut perubahan tersebut.

c. Macam-macam Ijtihad menurut tingkatannya

Macam-macam Ijtihad menurut tingkatannya :

1) Ijtihad Muthalaq yaitu Ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan


sendiri norma dan kaidah yang dipergunakan sebagai sistem/metode
bagi seorang mujtahid.

6
2) Ijtihad Muntasib yaitu Ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan
cara mempergunakan norma dan kaidah istinbath imamnya.
3) Ijtihad Mazhab atau Fatwa yaitu Ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dalam lingkungan mazhab tertentu.
4) Ijtihad dibidang tarjih yaitu ijtihad dengan cara mentarjih dari beberapa
pendapat yang ada dalam satu lingkungan mazhab tertentu maupun dari
berbagai mazhab.

Sejarah mencatat, umat Islam melakukan ijtihad pada pertama kalinya yaitu dalam
permasalahan pengganti Nabi Muhammad SAW. sebagai khalifah atau kepala Negara
setelah beliau wafat. Kemudian setelah menjabat sebagai kholifah, Abu Bakar menghadapi
suatu masalah, sebagian orang Islam tidak mau membayar zakat setelah Nabi Muhammad
wafat, kemudian ia menyelesaikan masalah itu dengan ijtihad. Dalam Islam, ijtihad adalah
sebuah persoalan yang tidak akan pernah berhenti, yang ramai mulai zaman dahulu sampai
dengan zaman sekarang.

5. Ikhtilaf

Ikhtilaf adalah Perbedaan Pendapat Ulama Mazhab dalam Ranah Fiqih Islam. Islam
adalah agama yang membawa Rahmat ilahi berupa persatuan dan kebersamaan (i’tilaf dan
ta’awun) berdasarkan pada standar dan parameter kebenaran (Realitas Ketuhanan) yang
merupakan ujian pilihan bagi seluruh manusia. Islam bukan sekedar alternatif, tetapi
merupakan kewajiban mutlak (taklif) bagi setiap jin dan manusia. Karena Islam adalah
kumpulankebenaran imani (ideologis-konseptual), satuan kebenaran lapangan (realitas-
praktis) dan totalitas kebenaran bersikap (Etis). Adapun persatuan yang bersifat alami; di
mana manusia tak memiliki pilihan padanya. Seperti persatuan karena faktor nasab, suku,
ras, bangsa dan negara tetap dijaga dalam Islam.

Ikhtilaf (beda pendapat) merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah swt.
Sesungguhnya segala kemakmuran yang ada di jagat raya ini termasuk tegaknya kehidupan
tidak akan terwujud bila manusia diciptakan dalam keadaan yang sama dalam segala hal,
mulai dari proses penciptaan sampai pada metode berpikir hasil ciptaan Allah itu (QS. Hud
: 118-119).

Imam Al-Subkiy membagi ikhtilaf menjadi tiga jenis, pertama, menyangkut usul
(pokok dan prinsip) yaitu yang menyimpan dari kandungan Alqur’an dan tidak diragukan
lagi merupakan tindakan bid’ah dan sesat. Kedua, menyangkut perselisihan pendapat dan
peperangan yang bisa menjadi haram jika tidak menginginkan kemaslahan-kemaslahan.
Ketiga, menyangkut masalah furu’ (cabang) seperti ikhtilaf dalam hal halal-haram atau
sejenisnya.

Prof DR. Minhajuddin membagi dalam dua bagian besar yakni:Pertama, ikhtilaf
dalam kepastian nas dan kualitasnya, Kedua. Ikhtilaf dalam pemahaman nas dan
hikmahnya.

7
Perselisihan ulama fiqh yang menyangkut masalah furu’ merupakan sesuatu yang
ada sejak dahulu (masa Rasulullah saw dan sahabat). Pada masa itu ikhtilaf yang terjadi
tidak sampai menimbulkan perpecahan karena Rasulullah saw selalu berusaha
mengembalikan segala urusan mereka melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.

Adapun pada masa sahabat ikhtilaf yang terjadi cukup membahayakan umat, seperti
berikut:

a. Ikhtilaf ketika wafatnya Rasulullah saw.


b. Ikhtilaf dalam hal penguburan Rasulullah saw
c. Ikhtilaf dalam hal pengganti Rasulullah saw
d. Ikhtilaf dalam memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat.
e. Perselisihan seputar masalah fiqh.

Faktor Penyebab Ikhtilaf

Secara umum dapat dikatakan, bahwa ikhtilaf pada periode Abu Bakar dan Umar
bin Khatab, baik antara keduanya maupun di antara para sahabat lainnya. memang ada,
namun sangat terbatas. Hal ini disebabkan antara lain, karena mereka tidak berikhtilaf pada
masalah- masalah prinsip agama. perbedaan faham di antara mereka tidak menjadikannya
keluar dari masalah pokok yang diperselisihkan dan unsur musyawarah tetap mereka
pelihara dan hormati.

Sempitnya ruang lingkup ikhtilaf pada kedua priode tersebut di atas tampaknya sulit
dipertahankan, hal ini karena semakin bertambah luasnya wilayah dan pengaruh Islam di
seputar jazirah Arab dan di luarnya. Tambahan lagi Wilayah-wilayah yang dikuasai Islam,
bermacam-macam pola hidup, tradisi dan adat kebiasaannya. Semua ini. merupakan salah
satu faktor umum timbulnya ikhtilaf.

Sesungguhnya, Ikhtilaf dalam fiqhi yang telah timbul, menyangkut masalah furu’
dalam agama sejak priode sahabat dan sesudahnya. melahirkan aneka macam sebab dan
faktor di kalangan Ulama.

Oleh karena itu sebagian Ulama baik salaf maupun khalaf, cenderung mengangkat
ke permukaan dalam bentuk kajian dan tulisan.

Berikut ini penulis mencoba mengemukakan dalam kajian sederhana ini, faktor-
faktor khusus penyebab ikhtilaf dalam masalah furu.’

a. lkhtilaf dalam qira’at.


b. lkhtilaf ash-Shabah dalam memahami hadist
c. lkhtilaf dalam menetapkan dan menilai suatu hadist
d. Adanya nas Alquran yang memiliki makna ganda
e. Adanya sejumlah nas yang saling bertentangan (ta’arudh)
f. Adanyakasus-kasustertentuyangtidakadanas-nyasecarasharih.

8
Lebih rinci dapat di uraikan sebagai berikut:

a. Ikhtilaf dalam qira’at

Salah satu yang merupakan faktor perbedaan pendapat para fuqaha ialah faktor
qiraat. Sesungguhnya telah datang dari Rasulullah saw qira’at secara mutawatir
hanya saja sebab wurudnya mengundang perbedaan pendapat ulama dalam meng-
istinbat-kan hukum antara lain:

Ikhtilaf pada wudhu tentang mencuci atau membasuh kedua kaki. Allah SWT
berfirman:

‫ﺼٰﻠﻮِة ﻓَﺎْﻏِﺴﻠُْﻮا ُوُﺟْﻮَھُﻜْﻢ َوا َْﯾِﺪﯾَُﻜْﻢ ِاﻟَﻰ‬


‫ٰﯾٓﺎ َﯾﱡَﮭﺎ اﻟﱠِﺬْﯾَﻦ ٰاَﻣﻨُ ْٓﻮا ِاذَا ﻗُْﻤﺘ ُْﻢ ِاﻟَﻰ اﻟ ﱠ‬
‫ﺴُﺤْﻮا ِﺑُﺮُءْوِﺳُﻜْﻢ َوا َْرُﺟﻠَُﻜْﻢ ِاﻟَﻰ اْﻟَﻜْﻌﺒَْﯿِۗﻦ‬ ِ ‫اْﻟَﻤَﺮاِﻓ‬
َ ‫ﻖ َواْﻣ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basulah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki .. . “(al-Maidah : 6).

Dalam ayat ini, terjadi perbedaan qira’at dikalangan ulama misalnya, Nafi, Ibn
Amir, dan al-Kisa’iy, membaca “(waarjulakum) dengan: waarjulakum sedangkan
Ibnu Kasir, Abu ‘Amru dan Hamzah, membaca: waarjulikum dengan: Olehnya itu
perbedaan qiraat di sini merupakan salah satu sebab ikhtilaf.

Jumhur ulama dalam hal ini, cenderung dengan qiraat nasab, karena itu kita
berkewajiban membasuh kedua kaki pada wudhu’ tidak dengan menyapunya. Yang
menjadi sebab perbedaan pendapat di antara mereka karena adanya dua bacaan yang
dikenal oleh mereka mengenai ayat wudhu yaitu waarjulakum dan waarjulikum.
Ulama yang membaca wa arjulakum, berarti di athaf-kan kepada anggota yang
dibasuh; dan bacaan wa arjilakum karena di-athaf-kan kepada anggota yang disapu.

b. lkhtilaf ash-Shabah dalam memahami hadist

Bahwa sesungguhnya sahabat Rasulullah SAW dalam periwayatan hadist,


tidaklah sama derajat dan daya nalar di antara mereka. Sebahagian di antara mereka
menelaah dan meriwayatkan hadist, maksimal dua buah hadist. Hal ini karena Nabi
SAW tidaklah selamanya sebagai periwayat hadist, kadang- kadang ia berprilaku
sebagai pemberi fatwa, qadhi, atau melakukan sesuatu yang hanya didengar, atau
dilihat oleh sahabat yang hadir di majelis Nabi, lalu yang mendengar dan melihat
langsung Nabi berbuat, menyampaikannya kepada yang lainnya. dan demikianlah
seterusnya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan pengetahuan mereka terhadap hadist Nabi
berbeda-beda. Sahabat, misalnya yang lebih sering berkumpul bersama dengan Nabi,
dapat dibayangkan akan lebih banyak penelaahan dan pengetahuannya terhadap
hadist.

9
c. Ikhtilaf dalam menetapkan dan menilai suatu Hadits

Dimaksudkan di sini, bahwa para sahabat tidaklah serta merta mengamalkan


suatu hadist, tanpa mengetahui dan memahami lebih jauh kualitas hadist tersebut.

Sebagai contoh, yaitu ketika Abu Bakar al-Shiddiq imintai tanggapannya oleh
sahabat lain tentang pewarisan kakek perempuan, beliau tidak sesegera mungkin
mengambil keputusan. sebelum ia meyakini kualitas hadist dimaksud di atas.

Dalam kondisi tertentu, kadang-kadang suatu hadist tidak sampai kepada


seorang mujtahid, maka dia berfatwa sesuai dengan lahiriyah ayat atau hadist lain
atau dengan cara qiyas pada masalah yang sudah pernah terdapat pada masa
Rasulullah SAW. Terkadang pula dalam masalah yang sama, suatu hadist yang
sampai kepada mujtahid yang lain. Kemudian dia berfatwa sesuai dengan hadist
tersebut maka akhirnya fatwa mereka berbeda.

Dari sisi lain, suatu hadis yang sampai pada seorang mujtahid, tetapi dia
melihat di dalamnya ada illat (kausalitas hukum) yang menghalangi untuk
mengikutinya, misalnya dia berkeyakinan bahwa hadis itu sanadnya tidak sah dan
tidak sampai pada Rasulullah SAW. karena adanya orang yang tidak diketahui
(majhul) atau hafalannya kurang cakap, atau karena hadis tersebut munqati’ atau
mursal. Kemudian yang lainnya mengikuti hadist tersebut, karena memilih jalur
hadis yang sahih. Namun yang lain tidak mengamalkan karena adanya ‘illat yang
telah disebutkan. Hal ini menjadi penyebab perbedaan pendapat.

Illat tersebut di atas menunjukkan kehati-hatian dan ketelitian para sahabat


Nabi, dalam mendeteksi kualitas suatu hadist sebelum mengamalkannya. Oleh
karena itu, ikhtilaf yang terjadi dalam kaitan ini, semata-mata bertujuan untuk
pemeliharaan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum kedua sesudah Alquran.

d. Adanya nas Alquran yang memiliki makna ganda (musytarak).

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menalar suatu nas tentang
maksud Tuhan dengan suatu lafal yang mengandung beberapa makna. Ulama
menyadari bahwa yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT sendiri.

Dari segi makna suatu lafal dalam bahasa Arab dikenal salah satu istilah yang
disebut al- musytarak: yaitu suatu lafal yang pada dasarnya mengandung dua
pengertian atau lebih. Sebagai contoh konkrit, perbedaan pendapat ulama tentang
kata “quru”, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 2: 228.:

Ayat ini secara umum menjelaskan jumlah ‘iddah wanita haid yang ter-talak.
Perselisihan ulama mengenai hal ini adalah kata “quru’’ yang kemungkinannya
berarti suci atau haid pada posisi yang bersamaan.

Ulama yang berpendapat bahwa kata “quru” berarti suci, alasannya karena
‘iddah wanita yang tertalak baru terhitung ketika ia suci. Dalam kondisi haid, ulama

10
tidak mempermasalahkan bahwa ‘iddahnya belum terhitung. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat sebagian sahabat seperti: ‘Aisyah, Ibnu Umar dan Said bin Sabit
serta Imam Syafi’ iy.

Pendapat lainnya. bahwa kata “quru” berarti haid, alasannya adalah:

1) Hadis Rasulullah SAW yang bersabda:

Dari “Aisyah, ia berkata bahwa Fatimah binti Abu Hubaisyi


mendatangi Rasul dan berkata, ya Rasulullah saya sedang mengalami
darah istihadhah (darah penyakit) maka saya dalam keadaan tidak
bersih. Kemudian Rasulullah bersabda darah itu adalah darah irqun,
bukan darah haid. Apabila darah haid tiba, maka berhentilah salat,
apabila selesai, (sesuai dengan kebiasaan waktu haid) maka mandilah
dan bersihkan darah tersebut dan laksanakan salat.

2) Bahwa wanita yang tertalak seharusnya menunggu sampai tiga kali


haid dan bukan tiga kali suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Abu Bakar,
Umar, Usman dan Ali.

Dari kedua pendapat di atas, penulis berasumsi bahwa walaupun ikhtilaf dalam
memahami ayat tersebut tidak terhindarkan, namun kedua pendapat dapat difahami
dan dimengerti keberadaannya.

Dimaksudkan bahwa pendapat pertama mengacu pada masa terhitungnya


‘iddah’ sedangkan pendapat kedua yaitu mengacu dari masa lamanya menunggu.
Selain itu pula kata “quru” termasuk kategori lafal yang mengandung pengertian
musytarak (lebih dari satu arti).

e. Adanya sejumlah nas yang tampaknya saling bertentangan (ta’ arudh).

Salah satu faktor penyebab ikhtilaf ialah adanya sejumlah nas yang tampaknya
saling bententangan baik yang bersumber dari Alquran maupun Sunnah Nabi.

Jika kita renungkan sejenak hakekat ta’arudh (pertentangan nas), dilihat dari
nas yang dijadikan pijakan maka sebenarnya tidak ada pertentangan di antara nas
karena keduanya bersumber dari Allah SWT ( Q.S. 4: 82).

Berikut ini dikemukakan beberapa contoh yang berkaitan dengan ta’arudh al-
’adillat (pertentangan nas), misalnya pernyataan sebagian ulama tentang batalnya
wudhu dengan menyentuh zakar (alat kelamin).

Imam Syafi’iy, Hambali, Ishak dan Malik berpendapat bahwa wudhu batal.
Nas yang dijadikan landasan adalah hadis yang bersumber dari Basrah binti Shafwan,
sebagaimana berikut:

“Bahwa Nabi SAW berkata: Barang siapa yang menyentuh alat kelaminnya,
maka hendaklah ia berwudhu’ lebih dahulu sebelum salat.”

11
Sahabat yang mengikuti petunjuk hadis tersebut ialah: Umar, Abu Hurairah,
Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas. Aisyah dan Saad bin Abi Waqqas.

Adapun Abu Hanifah cenderung berpendapat bahwa hal yang demikian itu
tidak membatalkan wudhu. Beliau mengacu pada hadis Thalak bin Ali sebagai
berikut:

“Bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh
alat kelaminnya ketika ia sedang sembahyang. Maka Nabi berkata tiadalah ia
kecuali bagian dari engkau.” (HR. Tirmiziy).

Sahabat yang mengikuti petunjuk hadis kedua ini, ialah: Ali, Umar. dan Ibnu
Mas’ud. Tampaknya kedua kelompok yang bertentangan ini masing- masing
memiliki alasan dan hujjah yang cukup kuat. Penulis beranggapan bahwa walaupun
kedua hadis tersebut, dari sisi lafal dan makna berbeda, ulama hadis telah membahas
dan mengajukan alternatif- alternatif metode penyelesainnya.

Penyelesaian dimaksud akan memberi petunjuk secara substantif


sesungguhnya pertentangan dalam hadis tidak ada.

f. Adanya kasus-kasus tertentu yang tidak ada nas-nya secara sharih.

Salah satu yang menjadi sebab adanya ikhtilaf di antara para ulama, yaitu
adanya kasus- kasus tententu yang tidak tersebut nas-nya secara tekstual dalam
Alquran dan Hadis. Jelasnya bahwa Rasulullah wafat, masih saja dijumpai sebagian
kasus yang tidak mendapatkan tanggapan konkret atas kepastian hukumnya. Hal ini
difahami, bahwa Alquran memang tidak menjelaskan suatu kasus secara terinci,
petunjuknya turun secara mujmal (umum), muthlaq (pasti), mubham (tidak jelas) dan
lain-lain. Dalam kaitan tersebut. peranan hadis sebagai bagian dari ijtihad Nabi, dan
para sahabat besar dalam menjelaskannya, mendapat tempat tersendiri.

Kasus-kasus yang muncul kemudian cukup banyak, sedang nas Alquran dan
Hadist yang menyangkut hokum begitu terbatas. Pada akhirnya ulama dalam
mengantisipasi ketetapan hukum suatu kasus berbeda dan pada gilirannya terjadilah
ikhtilaf dalam pemahaman dan penafsiran.

Kenyataan ini, terlihat pada priode Abu Bakar bahwa salah satu dari karakter
beliau, bila diperhadapkan pada suatu kasus yang tidak ada nasnya secara jelas, ia
tidak serta merta mengambil keputusan, tetapi ia menghimpun para pemuka dan
kalangan sahabat dan fuqaha meminta saran dan pendapat, apabila beliau mendapat
persetujuan maka dengan spontan mengambil keputusan.

Kenyataan lain yang muncul pada periodenya yaitu dipercayakannya Umar bin
Khattab sebagai qadhi (hakim) khususnya dalam menangani perselisihan-
perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam. Hanya saja, Abu Bakar dalam
menunjuk Umar sebagai qadhi tidaklah sepenuhnya wewenang itu dilimpahkan
kepadanya. Yang jelas, pada periode Abu Bakar, Umar pernah diserahi sepenuhnya
sebagai qadhi di Medinah.

12
Demikianlah tradisi Abu Bakar dalam mengangkat dan menunjuk penguasa di
setiap wilayah, selain ia sebagai penguasa pemerintahan juga sekaligus sebagai
penguasa agama (‘Imamat) dan qadhi.

Adapun dalam hubungannya terhadap ijtihad pada suatu kasus, maka Abu
Bakar sangat membatasi diri dalam berijtihad. Hal ini disebabkan kekhawatiran
beliau untuk terjebak pada kekhilafan dan kesalahan dalam menetapkan hukum. Abu
Bakar misalnya, jika berfatwa dan mengeluarkan pendapatnya berkata, “demikianlah
pendapatku, jika benar sesungguhnya dan Allah dan jika keliru. sesungguhnya dari
aku sendiri dan aku istiqfar kepada Allah.

Demikian juga halnya tradisi Umar selain landasan utamanya adalah Alquran
dan Sunnah Nabi jika ia tidak mendapatkan jawaban pada keduanya, maka ia
merujuk pada pengambilan keputusan Abu Bakar dan jika tidak ia dapatkan maka
beliau meminta pertimbangan kepada tokoh-tokoh sahabat. Beliau tidak ada
kesepakatan di antara mereka maka dengan spontan ia berijtihad.

Di antara kasus-kasus hukum yang tidak terdapat nas-nya dalam Alquran dan
Sunnah Nabi, maupun ijma’ ulama dan dalil-dalil mu’tabar lainnya seperti qiyas,
antara lain:

1) Kadar jaminan ganti rugi bagi binatang yang dilukai ataupun yang
dicederai oleh orang lain yang bukan pemiliknya.
2) Batas minimal masa menstruasi.
3) Hukum mengawasi wanita yang masih dalam ‘iddah yang diyakini telah
melakukan hubungan suami istri.

4) Hukum Suami yang hilang tidak ada kabar beritanya dalam waktu
tertentu, apa yang harus dilakukan oleh isterinya? apakah ia harus menunggu
empat tahun, ataukah ber’iddah empat bulan sepuluh hari yaitu batas waktu
‘iddah wafat?

5) Warisan wanita bertalak ba’in, yang penolakannya itu dilafazhkan ada


waktu suaminya sedang menghadapi kematian (maradh al-maut).

Kasus-kasus seperti tersebut di atas, penetapan hukumnya disandarkan pada


perkataan sahabat (qawl al- sahab’iy). Sebagian ulama cenderung untuk
menjadikannya hujjah syara yang wajib dipedomani, dan oleh kebanyakan ulama
menjadikannya hujjah syara’ atas dasar kredibilitas sahabat itu sendiri.

Dengan demikian ikhtilaf ulama dalam masalah fikih khususnya menyangkut


kasus-kasus yang tidak ada nas-nya, dapat dikatakan mengacu dari perbedaan
pendapat ulama tentang qa’ul al-sahaby yang menjadikannya sebagai hujjah syara’.

Dalam analisis ini, penulis tidak menyebutkannya secara terinci, untuk


mendapatkan gambaran lebih komprehensip ikhtilaf terhadap kasus-kasus di atas
dapat dilihat pada sejumlah buku-buku “Muqaranat al-Mazahib fi Usul al- fiqh”.

13
Metode Ulama Dalam Mengatasi Ikhtilaf

Dimaksudkan ikhtilaf di sini adalah terdapatnya dua buah nas atau lebih dari sisi
makna tampaknya bertentangan, yang sebagian ulama berpendapat bahwa kesemuanya
tidak mungkin diamalkan secara bersamaan.

Oleh karena itu para ulama menempuh berbagai macam cara (jalan) di dalam
mengkompromikan nas-nas tersebut.

Dipahami bahwa apa yang dikemukakan oleh Nabi berupa ayat-ayat Alquran dan
Hadis, sama-sama berasal dari Allah. Oleh karena itu tidak mungkin bertentangan di antara
keduanya. Namun pada kenyataannya ada sejum1ah nas (hadis) yang tampaknya tidak
sejalan dan bertentangan dengan hadis lain ataupun dengan Alqur’an. Bila demikian
halnya, maka pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Dalam kaitan tersebut, penulis
dituntut untuk mampu rnenggunakan pendekatan-pendekatan yang sah dan tepat menurut
yang dituntut oleh kandungan nas, yang bertentangan.

Dalam mengantisipasi kandungan nas misalnya, ulama tidak sependapat. Terhadap


sunnah Nabi, sebagian ulama menyebutnya dengan mukhtaliful hadits, sebagian lagi
menyebutnya dengan mukhtalafatul hadis dan pada umumnya ulama menyebutnya dengan
al-ta’ arudh. Untuk menyelesaikan nas hadis yang tampak bertentangan tersebut, cara yang
ditempuh oleh ulama tidak sama; ada yang menempuh satu cara ada pula yang menempuh
lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai
dalam hal ini antara lain:

1) Al-tarjih yakni meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki


argument yang lebih kuat.
2) Al-jam’u yakni kedua hadits yang tampak bertentangan itu dikompromikan,
atau sama- sama diamalkan sesuai dengan konteksnya.
3) Al-nasikh wa al-mansukh yakni petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan
sebagi penghapus sedang hadis yang satunya sebagai yang dihapus.
4) Al-tauqif yaitu menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat
menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.

Walaupun cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti


bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena selain itu
ulama pada umumnya lebih mengutamakan cara al-jam’u, dan al-taufiq, sepanjang cara itu
dapat diterapkan, juga untuk cara penye1esaian yang diberi istilah yang berbeda, ternyata
hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan.

Keempat tahap metode penyelesaian dalam mengatasi ikhtilaf al-adillat sebagaimana


telah dikemukakan di atas, cara yang disebutkan terakhir perlu ditempuh oleh penulis bila
ternyata ketiga cara yang disebutkan terdahulu tidak dapat diselesaikan. Dengan
menempuh cara al-taufiq seseorang akan dapat terhindar dari pengambilan keputusan yang
keliru.

14
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan


maupun teknologi terus berkembang dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut
menimbulkan dan melahirkan berbagai permasalahan yang kompleks, diantaranya adanya
perbedaan pendapat (Ikhtilaf) terutama yang menyangkut ubudiyah. Masalah tersebut jika
tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan ketidak stabilan, ketidak tentraman dan
ancaman bagi kehidupan manusia.

Pembahasan hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadi sangat penting
terutama terkait dengan kondisi-kondisi tertentu, pribadi-pribadi tertentu, masyarakat
(komunitas) tertentu, yang terbebani “masalah” pen-taklif-an ubudiyah yang sifatnya
fundamen, seperti penentuan waktu shalat, arah kiblat, puasa, wukuf, zakat dan lain-lain.
Untuk menjawab permasalahan tersebut telah ditemukan sebuah instrumen yaitu Ijtihad.

2. Saran

Islam adalah agama yang haq, dilaksanakan berdasarkan keimanan dan


ketakwaan yang murni, dibangun atas dasar firman Allah dan sunnah Rasulullah, dan
dipelihara oleh ukhuwwah dan keharmonisan umat yang terhormat. Agama ini sangat
menjunjung tinggi peran akal, menghormati perbedaan pendapat yang bermanfaat bagi
khazanah ilmiah Islamiah, perbedaan yang berorientasi kepada kebenaran. Allah dan
Rasul-Nya mencela perbedaan atau ikhtilaf yang berujung khilaf atau permusuhan dan
perpecahan, melarang ikhtilaf yang bertujuan mencari kemenangan dan melumpuhkan
kawan seiman. Muslimin seyogianya semaksimal mungkin menahan diri dari segala
ikhtilaf dan perbedaan, jangan suka berbanyaktanya dan memperdebatkan masalah-
masalah yang tidak berguna untuk kemajuan dan kemaslahatan umat. Kalau pun harus
berbeda, dan perbedaan itu masih dalam batas kebolehan, maka sikap yang paling arif dan
bijaksana adalah setuju dalam perbedaan dan tetap membangun serta menjaga ukhuwwah
Islamiah dalam ketidakseragaman.

15
DAFTAR PUSAKA

‘Athiyyat Mustafa Musyarrafat, al-Qadha fi al- Islam, (Mishr: Mathabi’ Dar al-Qad, 1966)
Abdullah, Muhammad Sulaiman. (2004). al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar as-
Salam.

Al-Judai’, Abdullah bin Yusuf. (1997). Taysiir ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasah ar-
Rayyan

Al-Nasa’iy, op cit h. 100


Az-Zuhaili, Wahbah. (1999). Al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar al-Fikr

Harun Nasution, Ijtihad dalam sorotan Ahmad Azhar Basyir, Munawir Sjadzali, I. Zainal
Ibrahim Hosen, Harun Nasution, Muchtar Adam, Mauhammad Al Bagir, (Bandung; Al-
Mizan, 1996).

Ikhsan, M. (2016). Membedah Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Ikhtilaf di Kalangan


Ulama. Nukhbatul ’Ulum, 2(1), 140–158. https://doi.org/10.36701/nukhbah.v2i1.10

Imam Abi Isa Muhammad bin Surat al-Tirmiziy, Sunan al-Tirmiziy,(Indonesia, Maktabat
Dahlan, I. 1384 H)

Irwansyah, S. (2018). Ajaran Pokok Murji’ah. Tahkim, Jurnal Dan Peradaban Dan Hukum
Islam, 1(1), 88–101.

Jamrah, S. A. (2014). Ikhtilaf Dan Etika Perbedaan Dalam Islam. Toleransi, 6(2), 223–240.

Khallaf, Abdul Wahab. (1978). ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Daar al-Qalam.

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Makalah disajikan dalam seminar
yang diadakan oleh Dirasah Ulya Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam di Medan
Sumatra Utara , 1991

Moh.tholib, Kedudukan Ijtihat dalam Syariah islam, Al-Ma’arif, Bandung;1974, hal. 9.Baca
juga. Muhammad Roy Purwanto, Teori Hukum Islam dan Multikulturalisme (Jombang:
Pustaka Tebuireng, 2016)

Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria, 2004).

Mustafa Said al Khan, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-ushuliyyat fi ikhtilaf al-Fuqaha,


(Muassat al-Risalat . 1981) h. 36-37. Bandingkan dengan Waliy Allah Abd Rahim Al-
Dalawy,Hujjah Allah al-Balighat, (Beirut: Dar al-Ma’arifat, tth,)

Sadat, A. (2015). Ikhtilaf Di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin. Al-Risalah Jurnal Ilmu Syariah
Dan Hukum, 15(2), 181–191

iii
Thoha Jabir Fayyadh al-Ulwany, adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Fahmi
dengan judul Beda pendapat , bagaimana menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1991)

Tihami, H. M. A. (2000). Antropologi Fiqh (Gambaran tentang Isyarat dan Pendekatan). In


Al- Qalam (Vol. 17, Issue 85, pp. 120–149).

iv

Anda mungkin juga menyukai