DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
RESTI ANGGRAINI CHANDRA (11920521997)
EKONOMI SYARIAH
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesempatan serta
kesehatan sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Hakim,Mahkum Fiih,dan Mahkum Alaih” pada waktu yang telah ditentukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh.
Sholawat beserta salam semoga tercurahkan kepada junjungan alam yakni baginda
tercintakita, Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat kelak.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu saya menyampaikan
permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca. Selanjutnya penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat dan
dapat digunakan dengan semestinya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakim........................................................................................................... 2
2.2. Mahkum fih .................................................................................................. 5
2.3 Mahkum Alaih .............................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum fih dan mahkum
alaih. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang
berbeda-beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami
apa itu hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih. Karena semua pengertian pemahaman
mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam
penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.
Konsep dasar tentang; al-hakim, mahkum fih, dan mahkum alaih penuh perbedaan
pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam hukum islam. Sebagai
mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua umat islam dalam kehidupan
sehari-hari.
B. RumusanMasalah
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Hakim dalam Ushul Fiqh ?
2. Apa yang dimaksud dengan Mahkum Fih ?
3. Apa yang dimaksud dengan Mahkum ‘Alaih ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar bisa memahami makna Al-Hakim dalam ilmu Ushul Fiqh.
2. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum fih beserta
penjabarannya.
3. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum ‘Alaih beserta
penjabarannya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakim
A. Pengertian Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam istilah
fiqih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang
sama maknanya dengan qadi. Dalam kajian ushul fiqih kata hakim disini berarti pihak
penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki. Ulama ushul fiqh sepakat bahwa yang
menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah.
Hal ini ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalam surat Al-An’am 6:57 yang berbunyi:
ْ ُ ْ ُ َّ ه
ُّ ّلِل ۖ َي ُق ٓ َ ُ َْ ْ َ َ َ ُ ْ َّ ُ ْ ِى َ ى ٰ َ ى َ ى َّ ى َ ى
ص َّل
ِ ِ ِ إ مك ح ٱل ن إ ۚ
ِِ ِِۦ هب ون لجِ ع تست ا م ى ندع
ِ ِ ا م ۚ ۦهِ ِ قل ِإّن عَل بين ٍة من ر ِّن وكذب
ب مت
ي َِ ْ ْٱل َح َّق ۖ َو ُه َو َخ ْْ ُي ْٱل َف ٰ ِص ِل
artinya
Katakanlah (Muhammad),”Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Quran) dari
Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan
azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu)
hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan diappemberi keputusan yang
terbaik.”
Meskipun ulama ushul fiqh sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah namun
mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya
dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah atau akal secara
independen bisa juga mengetahuinya perbedaan pendapat ini berpangkal dari perbedaan
pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baikdan buruk suatu hal. 1
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang
maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu;
1
Misbahuddin,Ushul Fiqh I,(Makassar:Alauddin University Press,2013) hal.55
2
orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu, dan
yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk
menunjuk pengertian hakim di pengadilan.Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam
bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi.Dari segi etimologi fiqh, kata hakim
atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di pengadilan.2
Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil
pengertian bahwa hakim adalah;
1. Pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan hukum dan yang
membuat sumber hukum.
2. Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang
memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.3
B. Baik dan buruk
Perbedaan pendapat tentang baik dan buruk dalam kajian ushul fiqh berasal dari
perbedaan pendapat di kalangan para ahli ilmu kalam. Hal yang diperbedakan adalah
tentang apakah nilai baik dan buruk suatu benda merupakan sifat esensi dari benda itu atau
tidak. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:
2
Supriati Kusuma,Hakim Mahkum Fiih Mahkum Alahi,.Academia.edu.diakses pada tanggal 3 April 2021
pukul 14.00
3
Dzurrotun Ainin Faizah, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi ,
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-dan-mahkum.html ,3 April
2021 pukul 13.00.
3
sifat esensi dari suatu perbuatan, maka kekuatan akal pikiran yang sehat
secara independen mampu mengetahuinya. Artinya,untuk mengetahui
baik dan buruk sebagian dari perbuatan bisa dengan akal pikiran,tidak
tergantung kepada wahyu. Fungsi wahyu untuk memberitahukan
kepada manusia mana perbuatan yang menurut esensinya baik dan mana
yang buruk,bukan untuk menetapkan baik dan buruknya suatu
perbuatan. Wahyu memberitahukan suatu perbuatan adalah baik dan
buruk, dikemas dalam bentuk perintah dan larangan. Dari situ dapat
disimpulkan bahwa menurut aliran ini, fungsi akal untuk mengetahui
mana yang esensinya baik dan mana yang buruk, bukan untuk
menetapkan baik dan buruk, dan fungsi wahyu seperti yang dikemukan
di atas, untuk menginforasikan mana yang baik dan mana yang buruk
sehingga dapat memastikanapa yang telah ditemukan akal.
2) Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal nilai baik dan
buruknya,seperti ibadah, dan cara-caranya. Dalam hal ini,secara mutlak
diperlukan wahyu untuk mengetahui baik dan buruknya.
b. Kalangan Maturidiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan ada
pula yang buruk menurut esensinya. Di samping itu, ada pula hal-hal yang tidak
diketahui oleh akal baik dan buruknya. Menurut pendapat ini, meskipun akal
pikiran bisa mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan,namun umat manusia
tidak wajib dalam arti tidak berpahala mengikuti kesimpulan akal pikirannya
itu. Jadi, menurut aliran ini, masalah dosa dan pahala mutlak hanya dapat
diketahui dengan wahyu. Menurut aliran ini akal semata tidak dapat dijadikan
landasan hukum. Setiap ketetapan hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.
c. Kalangan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruknya.
Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sfat yang dating kemudian,bukan bersifat
esensial. Yang membuat sesuatu baik dan buruk adalah perintah dan larangan
Allah. Akal tidak punya kewenangan untuk menetapkan baik atau buruknya
sesuatu. Sesuatu dikatakan baik karena wahyu menilainya buruk, oleh karena
4
itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban taklif manusia dan oleh karena itu
belum ada pertimbangan dosa dan pahala bagi suatu tindakan. 4
Al-mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang dihubungankan dengan hukum asy-
Syari (Allah). Dengan kata lain, perbuatan hukum seorang mukalaf. Perbuatan mukalaf
disebut perbuatan hukum jika telah memenuhi persyaratan sebagai perbuatan hukum.
Artinya,tidak setiap perbuatan mukalaf menjadi perbuatan hukum. Di antara
persyaratannya adalah jika pelakunya berakal, balig,mumayiz,dan merupakan perbuatan
yang bersifat lahiriah. Adapun perbuatan batiniah,menurut perspektif fukaha dan para
hakim,bukan termasuk perbuatan hukum. Kalaupun ada perbuatan batin yang menjadi
perbuatan hukum,maka hal itu hanya menyangkut tanggung jawab secara individual
terhadap Allah,dan tidak ada hubungannya dengan hak dan kewajiban orang lain,seperti
niat dalam salat, dan berbohong dalam memberikan kesaksian tanpa diketahui hakim. Ada
adagium para fukaha dan para hakim yang menyatakan,”kami menetapkan
hukumberdasarkan indikator-indikator lahiriah saja. Allah-lah yang akan menetapkan
hukum berdasarkan indicator batin.” 5
1. Hukum tersebut harus dapat diketahui oleh mukalaf secara jelas (sempurna) sehingga dapat
diketahui cara menjalankannya. Jika hukum tidak dapat diketahui oleh mukalaf,baik secara
esensi maupun cara pelaksanaannya,maka hukum tersebut belum berlaku sebagai taklif
bagi mukalaf. Karena itu, hukum-hukum dalam Al-quran yang masih bersifat global
4
Misbahuddin.op.cit.hal 55-58
5
Abdul Mughits,Ushul Fikih bagi pemula,(Jakarta Barat:CV Artha Rivera,2008) hal.83
5
(mujmal) belum wajib dilaksanakan sebelum ada dalil lain yang menjelaskannya secara
terperinci,yaitu sunaj Nabi,seperti salat. Dalam Al-Qur’an terdapar perintah “dirikanlah
salat”,sementara salat sendiri secara bahasa artinya doa. Dalam Al-Qu’ran disebutkan “dan
tunaikan zakat”, tetapi belum dijelaskan batasan dan perinciannya. Karena itu,perlu
penjelasan secara terperinci dari sunah Nabi. Demikian pula bagi orang yang terisolir dan
dakwah islambelum sampai kepadanya,sehingga ia tidak mengetahui hukum syariat.
Dalam kondisi seperti itu,orang terseut tidak berkewajiban menjalankan hukum syariat
hingga ia mengetahuinya.
2. Hukum harus diketahui bahwa ia berasal dari zat yang berwenang membuat hukum dan
memberikan taklif. Dalam hukum islam,sumber hukum syariat adalah Allah dan Rasul-
Nya. Hal ini penting ditegaskan untuk mengetahui tujuan dari pelaksanaan hukum.
3. Hukum harus memungkinkan dapat dilaksanakan oleh mukalaf. Jika hukum berada di luar
batas kemampuan mukalaf,maka hukum tidak berlaku. Demikian juga hukum yang
keberadaanya mustahil dianggap tidak sah.6
B. Masyaqqah (halangan/rintangan)
Apabila masyaqqah itu wajar dan mampu diatasi,maka masyaqqah tersebut tidak
berpengaruh (tidak memberatkan dan tidak pula meringankan. Contohnya seperti lapar
ketika berpuasa, ini tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan puasa. Apabila
masyaqqah tersebut tidak wajar dan tidak mampu diatasi oleh mukallaf,kecuali dengan
kekuatan yang extra dan kesulitan yang sangat,maka hulumnya menjadi berbeda-
beda/beragam misalnya:
a. Masyaqqah yang tidak wajar yang muncul pada perbuatan mukallaf karena sebab
khusus seperti puasa dalam keadaan sakit atau bepergian.
b. Masyaqqah yang tidak wajar yang muncul bukan dari zat atau watak suatu
perbuatan, namun semata mata dari kemauan mukallaf sendiri untuk melakukan
perbuatan yang berat.7
6
Ibid.hal 83-84
7
Shindu Irwansyah,Perbuatan dan pertanggungjawaban hukum dalam bingkai ushul fikih,Tahkim jurnal
perdaban dan hukum islam.vol 1 No.1,2018.hal 88-101.
6
2.3 Subjek Hukum (al-Mahkim ‘Alaih)
A. Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia mampu untuk
melaksanakan hukum tersebut. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa
dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa
dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan
kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan
anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka
di anggap tidak bisa memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang
yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak
dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang) : orang tidur sampai ia
bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari,
Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi
thalib).
8
Abdul Mughits.op.cit.hal 84
7
kecil,gila,pingsan,epilepsy,dan tidur dianggap belumatau bukan mukalaf.
Artinya,ia terbebas dari beban hukum,karena tidak dapat memahami hukum.
C. Ahliyah
a) Pengertian Ahliyah
Dari segi etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”.
Misalnya, seseorang di katakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti
ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
9
Ibid.hal 84-85
8
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna
jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila
seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu
tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada
orang lain. Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk
menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat
kecakapan bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui
tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak
sekaligus.
b) Pembagian Ahliyah
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujud dan
ahliyah al-ada’.
1) Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap
sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut
syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala.
Apabila ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap
untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
2) Ahliyah al-wujud
Adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak dan menjadi haknya,
tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang
menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di
sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya di
rusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian
juga halnya dalam masalah harta warisan , ia dianggap cakap untuk menerima harta
waris dari keluarganya yang meninggal dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga
membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
9
Yaitu ketika seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di
anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang
harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan
selamat, walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia
terima menjadi miliknya.
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai
ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang
gila.
Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani
tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat
rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik.
10
Supriati Kusuma,Hakim Mahkum Fiih Mahkum Alahi,.Academia.edu.diakses pada tanggal 3 April 2021
pukul 14.00
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kata hakim secara etimologi berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam istilah
fiqih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan
yang sama maknanya dengan qadi. Dalam kajian ushul fiqih kata hakim disini berarti
pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki. Ulama ushul fiqh sepakat
bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah.
Al-mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang dihubungankan dengan hukum asy-
Syari (Allah). Dengan kata lain, perbuatan hukum seorang mukalaf. Perbuatan mukalaf
disebut perbuatan hukum jika telah memenuhi persyaratan sebagai perbuatan hukum.
Artinya,tidak setiap perbuatan mukalaf menjadi perbuatan hukum.
3.2 Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mughits. 2008. Ushul Fikih bagi pemula. Jakarta Barat:CV Artha Rivera.
12