dosen pengampu:
Imron rosyidi.M.H
disusun oleh:
Iskandar (S.HTN.1.2022.004)
FAKULTAS HUKUM
2023
1
KATA PENGANTAR
bangko, maret
2023
DAFTAR ISI
cover.......................................................................................................
.............1
2
kata
pengantar...............................................................................................
.....2
daftar
isi............................................................................................................
...3
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................
..4
1. latar
belakang............................................................................................5
2. rumusan
masalah....................................................................................5
3. tujuan dan
memfaat................................................................................5
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................
6
3. islam dan
negara....................................................................................
3
1.
kesimpulan.............................................................................................
..
2. daftar
pusaka...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bih, mahkum fih
dan mahkum alaih. Adapun istilah mahkum fih penyusun makalah tidak
membahasnya di makalah ini karena penyusun lebih menekankan pada tugas
dosen yakni pengertian al-hakim, mahkum bih dan mahkum alaih saja. Dalam
perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda
menurut para ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu
hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih. Karena semua pengertian pemahaman
mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat
dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.
Konsep dasar tentang; al-hakim, mahkum bih, dan mahkum alaih penuh
perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam
hukum islam. Sebagai mukallaf konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua
umat islam dalam kehidupan sehari-hari.
B. RumusanMasalah
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Hakim dalam Ushul Fiqh ?
2. Apa yang dimaksud dengan Mahkum Bih ?
3. Apa yang dimaksud dengan Mahkum ‘Alaih ?
C. TujuanPenulisan
4
1. Agar bisa memahami makna Al-Hakim dalam ilmu Ushul Fiqh.
2. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum Bih
beserta penjabarannya.
3. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum ‘Alaih
beserta penjabarannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim (Al-Hakim)
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia,
yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa
Arab, yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan
segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata
hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan.Untuk
pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata
qhadi.Dari segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian
hakim yang memutus perkara di pengadilan.[1]
Adapun menurut terminologi ushul fiqh maka makna dan cakupanya jauh lebih
luas, kata hakim menunjuk kepada pihak yang menciptakan dan menetapkan
hukum syariat secara hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah
yang mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-
Hakim Huwa Allah; al-Hakim adalah Allah). Sebagaimana Firman Allah ta’ala,
pada surah al-An’am ayat ke-57, “Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas
hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak
ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya.
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya
dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".
Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang
berhak mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu,
1
. Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta:AMZAH,2010), hal. 87-88.
5
hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya.Dalam
konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah
yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm
(yang membuat hukum menjadi nyata).Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-
hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan hukum.Yang berhak membuat
dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah Subhanahu Wata’ala, tidak siapapun
yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan
kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’ (pembuat syariat),
harus pula ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, bukankarena
beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena
beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat
yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks
inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu
matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu
yang tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).[2]
Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat
diambil pengertian bahwa hakim adalah;
1. Pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan hukum dan
yang membuat sumber hukum.
2. Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang
memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.[3]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat
bahwa Al-Hakim adalah Allah Subhanahu Wata’ala.Dialah pembuat hukum dan
menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua
mukallaf. Dan dari pemahaman seperti ini pulalah, para ahli ushul bersepakat
untuk membuat sebuah teori bahwa “Tidak ada hukum kecuali yang bersumber
2
. Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah
Jombang,2008), hal. 166-167. Dengan sedikit tambahan dan pengurangan dari penyusun makalah
ini.
3
. Dzurrotun Ainin Faizah, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi ,
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-
dan-mahkum.html ,Selasa, 29 April 2014.
6
dari Allah, sedangkan dasar munculnya teori tersebut adalah firman Allah ta’ala
pada ayat-ayat-Nya yang mulia, yaitu;
a) Al-An’am:57
“Menetapkan hukum itu hanyalah Allah.Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
7
suatu perintah atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas,
baik langsung maupun tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadits,
tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau
ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau
meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh
mukallaf tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah
atau larangan yang tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni
perintah melaksanakan shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut
masih bersifat umum, dan belum ada perincian tatacara,waktu,jumlah
rakaat dan rukun serta persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat
diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan
shalat.Karena itulah rasulullah SAWkemudian memberi contoh dan
penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah jelas
perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat
hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.
c)Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang
melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas
kemaampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab
perintah dan larangan Allah SWT adalah untuk dipatuhi dan demi
kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah dan
tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan yang manusia
tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah
Al-Baqarah;286.[4]
2. Macam-Macam MahkumBih
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi
kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’[5] yang terdiri atas :
4
. Dahlan,Op-Cit, hal. 93-94.
5
. Rachmad Syafe’i,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010)hal,331.
8
a) Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ :
misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu
tidak terkait hukum syara’.
b) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’,
misalnya perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum
syara’, yaitu hudud dan qishas.
c) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan
zakat.
d) Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya
hukum syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.[6]
1. Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia
mampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Untuk itu, para ulama’ ushul
fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan
pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia
6
. Ibid hal,332
7
. Khairul umam, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000), hlm 327.
9
berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila
dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum
berakal, maka mereka di anggap tidak bisa memahami taklif dari syara’.
Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk
dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia
dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
َع ِن النَاِئِم َح َّتى َيْسَتْيِقَض َو َع ِن الَّص ِبِّي َح َّتى َيْح َتِلَم َو َع ِن الَم ْج ُنْو ِن َح َّتى ُيِفْيَق: ُر ِفَع اْلَقَلَم َع ْن َثَالٍث
2. Syarat-syarat Taklif
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang
baru bias di kenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat,
yaitu:
8
. Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999), hlm 305.
10
di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak di bebani hukum
karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian juga orang
pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam
masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena
kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap
hilang.[9]
3. Ahliyah
a) Pengertian Ahliyah
ِص َفٌة ُيَقِّدُرهَا الَّش اِر ُع ِفى الَّش ْح ِص َتْج َع ُلُه َم َح ًّال صَاِلحًا ِلِخ طَاٍب َتْش ِرْيِع ٍّي
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari’
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
b) Pembagian Ahliyah
9
. A. Syafi’I Karim, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997), hlm 134.
11
Para ulama’ membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al-
wujud dan ahliyah al-ada’.
2) Ahliyah al-wujud
12
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke
dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya
masih kurang, seperti orang gila.
10
. Haroen, Op-cit, hlm 308.
11
. Karim, Op-cit, hlm 136.
13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi
etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim
yang memutus perkara di pengadilan. Kata hakim menunjuk kepada
pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.
Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan
menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa
Allah; al-Hakim adalah Allah). Selain digunakan istilah al-hakim dan
asy-Syaari’ (pembuat syariat), harus pula ditambahkan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan karena beliau memiliki wewenang
otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliaulah yang
diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat
yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala.
Kesimpulannya adalah Allah ta’ala sebagai pembuat syari’at dan
Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai penjelas bagi kita
untuk mengetahui syariat itu sendiri.
2. Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam
perbuatan tersebut, baik berupa tuntutan,pilihan atau wadl’iy. Sebagian
14
ulama ushul fiqh menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk
pengertian objek hukum.
3. Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan
mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab
(tuntutan) Allah ta’ala, yang disebut dengan mukallaf.Secara
etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum.
DAFTAR PUSTAKA
15