Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

USHUL FIQIH

“PENCIPTA HUKUM / SUMBER HUKUM (AL-HÂKIM), OBYEK


HUKUM (AL-MAHKÛM BIH), DAN SUBYEK HUKUM (AL-MAHKÛM

‘ALAIH)”

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Materi Ushul Fiqih


Dosen Pengampu:
Alaika Abdi Muhammad, S.Th.I, M.Ag.

Disusun Oleh:

Shina Af’idatuz Zahwa 210101150

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO

2022
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kita Kesehatan
jasmani dan rohani sehingga kita bisa menyelesaikan tugas Makalah ini yang berjudul
“Pencipta Hukum / Sumber Hukum (al-Hâkim), Obyek Hukum (al-Mahkûm bih), dan
Subyek Hukum (al-Mahkûm ‘alaih)” dengan tepat waktu.
Tidak lupa shalawat salam tercurah limpahkan kepada baginda Rasulullah SAW
semoga kita semua mendapatkan syafa'atnya di hari kiamat.
Kami mengucapkan Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Alaika Abdi
Muhammad, S.Th.I, M.Ag. Selaku dosen mata kuliah Materi Ushul Fiqih.. Makalah ini di
susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Materi Ushul Fiqih. Makalah ini di susun dengan
tujuan agar pembaca maupun penyusun dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang
Materi Al Hakim,Mahkum bih, dan Mahkum alaih.
Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam proses pembuatan makalah ini. Oleh
karena itu saya menantikan kritik dan saran untuk penyempurnaam makalah ini.

Bojonegoro, 13 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan ......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................2

A. Pengertian Hakim....................................................................................2
B. Pengertian Mahkum Bih.........................................................................4
C. Pengertian Mahkum Alaih.....................................................................6

BAB III PENUTUP .................................................................................................10

A. Kesimpulan ..............................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bih dan
mahkum alaihi. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai
pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita
mengetahui serta memahami apa itu al-hakim, mahkum fihi dan mahkum alaihi.
Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang
sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman
lebih dalam penggunaanya. Konsep dasar tentang al-hakim, mahkum fihi dan
mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta
penggunaanya dalam hukum islam. Di antara masalah yang sangat penting
yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak
mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim)
itu.Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap
hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan dasar bahwa hukum syara’ itu ialah
kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa
pembuat hukum(lawgiver) ialah Allah SWT.
Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut
Al-Quran.Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama
bagi hukum Islam,sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum
yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya. Harus kita ketahui bahwa
dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan tidak pernah
terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang
muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh
karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang
hukum syar’i.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Al-Hakim dalam Ushul Fiqh?
2. Apa yang dimaksud dengan Mahkum Bih?
3. Apa yang dimaksud dengan Mahkum 'Alaih?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Agar bisa memahami makna Al-"akim dalam ilmu Ushul Fiqh.
2. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum Bih beserta
penjabarannya.
3. Agar bisa mengerti sekaligus tau tentang apa itu maksud Mahkum 'Alaih beserta
penjabarannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Hakim
Secara hakikat hakim adalah Allah swt Semata. Para utusan Allah hanya
sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja. Mereka semua tidak
menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid cuma sekedar
menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun
secara adat mereka juga terkadang disebut hakim, (Abdullah Yusuf al-Juda’i, 1997:
71).
Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati konsep di atas.
Terbukti, mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-
Rusul atau khitab al-Mujtahidin. Perbedaan ulama dalam hal ini hanya berkisar
tentang hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, apakah akal
dengan sendirinya mampu mengetahui hukum-hukum tersebut ataukah perlu
perantara para rasul untuk dapat mengetahuinya.1
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa indonesia,
yang maknanya yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang
menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu.
Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan
kata qhadi. Dari segi etimologi fiqh, kata hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian
hakim yang memutus perkara di pengadilan.2
Adapun menurut terminologi Ushul Fiqh maka makna dan cakupanya jauh
lebih luas, kata hakim menunjuk kepada pihak yang menciptakan dan menetapkan
1
Al Madaris. Volume 2 (1) 2021
2
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta:AMZAH,2010), hal. 87-88.

2
hukum syariat secara hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang
mencipta dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa
Allah; Al-Hakim adalah Allah). sebagaimana firman Allah Ta’ala, pada surah Al-
An’am ayat ke-12, "Katakanlah:"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata
(Al-Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa
(azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Penetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan
yang paling baik".
Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang
berhak mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu,hamba-
hambanya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangannya. Dalam konteks
penetapan hukum, di lingkungan ulama Ushul Fiqh dikenal dua istilah yaitu Al-
Mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm (yang
membuat hukum menjadi nyata). Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah,
yang berhak membuat dan menetapkan hukum. Yang berhak membuat dan
menetapkan hukum itu hanyalah Allah Subhanahu Wata’ala, tidak siapapun yang
berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali,
selain digunakan istilah al-hakim dan Asy-Syaari’ (pembuat syariat), harus pula
ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam, bukan karena beliau memiliki
wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi karena beliaulah yang diberi
tugas, antara lain, menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang juga bersumber dari
wahyu Allah Subhanahu Wata'ala. Dalam konteks inilah dikenal dua macam bentuk
wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam yaitu yang
biasa disebut dengan istilah wahyu matluw (wahyu yang dibacakan/Al-Qur'an) dan
wahyu ghairu matluw (wahyu yang tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).3
Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat
diambil pengertian bahwa hakim adalah:
1. Pembuat hukum, yang menetapkan hukum yang memunculkan hukum dan
yang membuat sumber hukum.
2. Hakim adalah yang menemukan hukum yang menjelaskan hukum, yang
memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.4

3
Muhammad Ma'shum Zainy al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Figh (Jombang:Darul Hikmah
Jombang,2008), hal. 166-167. Dengan sedikit tambahan dan pengurangan dari penyusun makalah ini.

3
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat
bahwa Al-Hakim adalah Allah Subhanahu Wata'ala. Dialah pembuat hukum dan
menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua
mukallaf. Dan dari pemahaman seperti ini pulalah, para ahli ushul bersepakat untuk
membuat sebuah teori bahwa "Tidak ada hukum kecuali yang bersumber dari Allah,
sedangkan dasar munculnya teori tersebut adalah firman Allah ta'ala pada ayat-ayat-
Nya yang mulia, yaitu:

a) Al-An'am:57
‫ِإِن ٱْلُح ْك ُم ِإاَّل ِهَّلِلۖ َيُقُّص ٱْلَح َّق ۖ َو ُهَو َخْيُر ٱْلَٰف ِصِليَن‬

"Menetapkan hukum itu hanyalah Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Dia pemberi keputusan yang paling baik".
b) Al-Maidah;44,45 dan 45
‫َٰٓل‬
‫َو َم ن َّلْم َيْح ُك م ِبَم ٓا َأنَز َل ٱُهَّلل َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱْلَٰك ِفُروَن‬
- “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
‫َّٰظ‬ ‫َٰٓل‬
‫َو َمن َّل ْم َيْح ُك م ِبَمٓا َأ نَز َل ٱلَّل ُهَفُأ ۟و ِئَك ُهُم ٱل ِلُموَن‬

“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan


Allah maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.
‫َو َأ ِن ٱْح ُك م َبْيَنُهم ِبَمٓا َأ نَز َل ٱُهَّلل‬
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah”.

B. Pengertian Mahkum Bih


Mahkum bih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu
hukum (perbuatan hukum).
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum
bih adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah
syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan
4
Dzurrotun Ainin Faizah, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi.
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum bihimahkum-fihi-dan-mahkum.

4
meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab,
halangan, azimah, rukhshah, sah, serta batal.
Adapun yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan
mukallaf yaitu gerak atau diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi
ketentuan. wajib, sunnah, makruh atau haram,atau mubah adalah perbuatan mukallaf.
Terdapat beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan,
diantaranya adalah:
a. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf sehingga
tergambar tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya. Dengan demikian
seorang itu tidak diwajibkan melaksanakan sholat sebelum jelas rukun-rukun dan
kaifiyahnya.
b. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan taklif. Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan mampu
mengarahkan kehendak untuk melaksanakannya. Yang perlu diperhatikan dalam
masalah ini adalah mengenai pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah
imkan al-Ilm (kemungkinan untuk mengetahui) bukan pengetahuan secara praktis.
Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu memahami
hukum-huum syar’i dengan sendiri atau dengan cara bertanya pada ahlinya, maka
ia telah dianggap sebagai orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya,
(Wahab Khallaf,: 129).
c. Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika berupa perbuatan yang
mustahil untuk dikerjakan, seperti mengharuskan untuk melaksanakan dua hal
yang saling bertentangan, mewajibkan dan melarang dalam satu waktu,
mengharuskan manusia untuk terbang dll. Meski demikian, ternyata masih ada
sekelompok ulama yang memperbolehkan taklif pada perbuatan yang mustahil.
Pendapat ini dipegangi oleh ulama-ulama dari kalangan Asy’ariyah. Mereka
mengajukan hujjah andaikan taklif terhadap hal yang mustahil itu tidak
diperbolehkan maka tidak akan pernah terjadi, sementara kenyataannya taklif itu
telah terjadi, seperti pada kasus taklif yang diberikan pada Abu Jahal untuk
beriman dan membenarkan risalah rasul. Dalam hal ini Allah telah mengetahui
bahwa Abu jahal tidak akan pernah beriman. Pendapat ini disanggah jumhur bahwa
maskipun pada kenyataannya Abu jahal tidak beriman, namun taklif tersebut

5
sebenarnya masih bersifat mungkin dan tidak mustahil bagi abu jahal, (Az-Zuhaili,:
137).5
1. Macam-Macam Mahkum Bih
Para ulama Ushul Fiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu
dari segi kebenaranya yakni dari segi material dan Syara' 6yang terdiri atas:
a. Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara':
misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu
tidak terkait hukum syara".
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara".
Misalnya perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum
syara', yaitu hudud dan gishas.
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara' apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan
zakat.
d. Perbuatan yang secara material diakui syara' yang mengakibatkan adanya
hukum syara' misalnya: nikah, jual beli dan sewa menyewa.7
C. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama' Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum
alaih adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah ta'ala, yang
disebut dengan mukallaf Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum.
Dalam ushul fiqih, istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum).
Orang mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak melaksanakan
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan Nya.
Seluruh tindakan hukum mukallaf harus di pertanggung jawabkan. Apabila ia
mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya
terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat
resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.8

1. Dasar Taklif

5
Al Madaris. Volume 2 (1)2021
6
Rachmad Syafe'i,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010)hal,331.
7
6. Ibid hal,332
8
Khairul umam, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000), hlm 327.

6
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum)
sebelum ia mampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Untuk itu, para
ulama' ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah
akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila
ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan
anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal,
maka mereka di anggap tidak bisa memahami taklif dari syara' Termasuk ke
dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Orang
sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan
tidak sadar (hilang akal) hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wasallam:

‫ُر ِفَع اْلَقَلُم َع ْن َثَالَثٍة َع ِن الَّناِئِم َح َّتى َيْسَتْيِقَظ َو َع ِن الَّص ِبِّى َح َّتى َيْح َتِلَم َو َع ِن اْلَم ْج ُنوِن َح َّتى َيْع ِقَل‬

Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai
ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia Kembali
sadar(berakal)

(H.R. Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa'l, ibn majah, dan al-
daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib)9

2. Syarat-syarat Taklif
Para ulama' ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan
seseorang baru bias di kenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua
syarat, yaitu:
a. Orang itu telah mampu memahami khithab syar'i (tuntunan syara')
yang terkandung dalam al-Qur'an dan sunnah, baik secara langsung
maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu
pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanya
terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar'i dengan
demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami
khitab syar'i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif
b. Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul figh
disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak

9
https://wahdah.or.id/anak-kecil-telah-dicatatkan-amalannya/ diakses pada 12 Oktober 2022

7
cakap bertindak melaksanakan hukum, maka selurh perbuatan yang ia
lakukan belum atau tidak bisa di pertanggungjawabkan. Oleh sebab itu,
anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak
di kenakan tuntutan syara'. Orang gila juga tidak di bebani hukum
karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian juga orang
pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam
masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena
kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap
hilang.10
3. Ahliyah
a) Pengertian Ahliyah
Dari segi etimologi ahliyah berarti "kecakapan manangani suatu
urusan" Misalnya, seseorang di katakan ahli untuk menduduki suatu
jabatan/posisi: berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu. Secara
terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan: Suatu sifat
yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh syari' untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu
telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai
oleh syara'. Apabila seseorang telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap
telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik kepada orang lain. Oleh sebab itu, jual belinya sah,
hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah,
nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu dating kepada
seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan
perkembangan jasmani dan akalnya tiadak sekaligus.

b) Pembagian Ahliyah

Para ulama' membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al


wujud dan ahliyah al-ada’.

10
A. Syafi'l Karim, fiqih-ushul figih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997), hlm 134.

8
1. Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang t telah
di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh
perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia
mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara' maka ia di anggap telah
memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia
melanggar tuntutan syara' maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap
untuk menerima hak-hak dan kewajiban.
2. Ahliyah al-wujud Adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima
hak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani
seluruh kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan
hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di
sebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta
bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima
ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta warisan. ia
dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang
meninggal dunia. Para ulama' ushul fiqh juga membagi ahliyah al-
wujud kepada dua bagian yaitu:
a. Ahliyah al-wujud an-naqishah Yaitu ketika seorang itu masih
berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap
memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-
hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya,
sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walau hanya untuk
sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima
menjadi miliknya.
b. Ahliyah al-wujud al-kamilah Yaitu kecakapan menerima hak
bagi seorang anak yang telah lahir kedunia sampai ia
dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang,
seperti orang gila. Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna
atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara', baik yang
bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani),
maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi
yang bersifat pemindahan hak milik.11
4. Pengertian Awaridl Ahliyah
11
Haroen. Op-cit, him 308.

9
Yang dimaksud awaridl ahliyah adalah gangguan halangan yang
menimpa ahliyah (yang dimaksud manusia) baik gangguan itu menimpa
ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang
menimpa ahliyatul ada' (kepantasan seseorang untuk diperhitungkan oleh
syara').
Awaridl ahliyah tersebut dapat pula dibagi kepada dua bagian:
1) Awaridi al-samawiyah, maksudnya halangan yang datangnya dari
Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu,
perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian)
dan lupa.
2) Awaridi al-mukhtasabah, maksudna halangan yang disebabkan
perbuatan manusia, seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah
pengampunan dan bodoh.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Al-Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang memunculkan


hukum, danyang membuat sumber hukum atau yang menemukan hukum, yang menjelaskan
hukum, yangmemperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum. Al-Hakim yang muthlaq
hanyalahAllah SWT. Namun, dengaan adanya manusia maka untukk menegakkan hukum-
Nya, Allahmengutus Rasul untukk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi
tiada, tugasitu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk
menegakkanhukum Allah SWT.

Mahkum fihi adalah perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan dengan perintah
syara’baik itu tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, maupun memilih pekerjaan
yangbersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal. Mahkum fih ialah
objekhukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengaan hukum syar'i,
yang bersifattuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu
pekerjaan, dan yangbersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta halangan.

10
Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum
syara.Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf
ataumanusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaih berarti orang
mukallaf(orang yang layak dibebani hukum taklifi).

DAFTAR PUTAKA

Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh (Jakarta: AMZAH,2010).


Ma shum Zainy al-Hasyimiy, Muhammad. Ilmu Ushul Fiqh (Jombang Darul
Hikmah Jombang.2008.
Faizah. Dzurrotun Ainin, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum
Alaihi. http://dzurrotumaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum bibimahkum-
fihi-dan-mahkum.html Selasa, 29 April 2014.
Syafe'i Rachmad,IlmuUsulliqih, ceLIV (Bandung: Pustaka Setia 2010).
https://tafsirweb.com/1928-surat-al-maidah-ayat-44.html
Referensi : https://tafsirweb.com/1929-surat-al-maidah-ayat-45.htmlُ
Referensi : https://tafsirweb.com/1933-surat-al-maidah-ayat-49.html

Umam, Khairul, Ushul Fiqih 1. (Bandung, ev pustaka setia, 2000).

Haroen, Nasroen, Ushul Fiqih 1, (Bandung, logos, 1999).


Karim, A.Syafi'l fiqih-ushul fiqih, (Bandung, ev pustaka setia, 1997).
Al-MadãrisVOL.2,NO.1,2021E-ISSN:
27459950https://journal.staijamitar.ac.id/index.php/almadaris

11

Anda mungkin juga menyukai