Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM SYARIAT, AL-HUKMU, AL-HAKIM, AL-MAHKUM FIIH, AL-


MAHKUM ALAIH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Pengantar Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Dr. Bambang Iswanto, M.H

Disusun Oleh:

1. Muhammad Abdurrahman (2221508003)


2. Muhammad Ridho Arief Rausan Fikri (2221508008)
3. Zahratun Nisa (2221508010)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTANAJI MUHAMMAD


IDRIS SAMARINDA
2023

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat, hidayah, dan izin-Nya proses penyusunan makalah yang berjudul Hukum
Syariat, Al-Hukmu, Al-Hakim, Al-Mahkum Fih, Al-Mahkum Alaih dapat berjalan
lancar dan terlaksana dengan baik.

Hal ini tentu tidak lepas dari hasil usaha kelompok 1 dalam proses
penyusunan makalah ini, kami juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr.
Bambang Iswanto, M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Ushul Fiqh,
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Sebagai bahan evaluasi kami dalam proses pembelajaran kedepannya, kami


sangat berharap adanya kritik dan masukan guna menunjang proses interaksi dalam
kegiatan diskusi pembelajaran. Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi para
pembacanya.

Samarinda, 4 Maret 2023

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan Perumusan Masalah...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Pengertian Hukum Syariat..................................................................................3
B. Al-Hukmu (Hukum)...........................................................................................4
C. Al-Hakim (Pembuat Hukum).............................................................................8
D. Mahkum Fih (Objek Hukum).............................................................................9
E. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)......................................................................11
BAB III PENUTUP...................................................................................................13
A. Kesimpulan.......................................................................................................13
B. Saran.................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara garis besar ushul fiqh merupakan ilmu pengetahuan yang


berkaitan dengan kaidah-kaidah yang menuju pada rumusan hukum melalui
dali-dalil yang terperinci, dengan kata lain ushul fiqh merupakan suatu kajian
yang mengemukakan cara penetapan hukum melalui suatu dalilnya.1
Sebagai sebuah metodologi yang sangat penting dalam syariat Islam.
Dalam kajiannya terdapat berbagai macam dasar-dasar pemikiran rasional
yang berguna untuk menetapkan suatu syariat yang berlaku dalam Islam.2
Dalam pembahasan ushul fiqh terdapat berbagai aspek dalam hukum
syariat yang merupakan unsur penting sebagai dasar berlakunya syariat Islam,
sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah dan para Khulafaur
Rasyidin. Diantara aspek-aspek tentang pembahasan hukum syariat adalah
kajian mengenai Al-Hakim (pembuat hukum), Al-Hukmu (Hukum), Mahkum
Fih (Objek Hukum) dan Mahkum Alaih (Subjek Hukum).3

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan hukum syariat dalam mengatur permasalahan


yang dihadapi oleh umat Islam?
2. Bagaimana kedudukan hukum dalam menetapkan perilaku orang-
orang mukallaf?
3. Bagaimana kedudukan Al-Hakim dalam menciptakan sebuah hukum?

1
Nurhayati and Ali Imran Sinaga, Fiqh & Ushul Fiqh, ed. Habibie (Prena Media Group, 2018).
2
Muhyar Fanani, “Ilmu Ushul Fiqh (Kajian Ontologi Dan Aksiologi),” n.d.
3
Muhammad Aziz, Ushul Fikih Madrasah Aliyah Peminatan Keagamaan Kelas 12, ed. A. Khoirul
Anam (Jakarta: Kementrian Agama Ri, 2020).

1
4. Apa faktor yang mendasari suatu perbuatan orang mukallaf dapat
dikategorikan sebagai objek hukum?
5. Mengapa manusia khususnya orang yang disebut mukallaf dikatakan
sebagai subjek hukum?

C. Tujuan Perumusan Masalah

1. Untuk mengetahui dasar hukum atau sumber dalil dari ditetapkannya


sebuah perkara yang berkaitan dengan permasalahan hukum.
2. Memahami ketetapan suatu hukum Allah dalam mengatur tingkah laku
manusia.
3. Mengindentifikasi makna hakim yang merujuk pada ketetapan Allah
sebagai pencipta hukum.
4. Mampu membedakan perbuatan manusia yang berkaitan dengan
syariat dan yang tidak berkaitan dengan syariat, mana yang perintah,
mana yang berupa larangan, mana yang berupa anjuran, mana yang
berupa kebolehan dan lain-lain.
5. Mampu membedakan manusia yang dikategorikan sebagai mukallaf
dan yang bukan sebagai mukallaf melalui akal, perbuatan dan
pemahamannya terhadap syariat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syariat

Hukum Syariat merupakan istilah populer dari Hukum Syara', disebut


demikian karena merupakan sejumlah aturan Allah SWT, yang mengatur
berbagai permasalahan manusia yang kaitannya dengan orang-orang yang
terbebani dengan hukum atau disebut orang-orang mukallaf. Adapun tujuan
dari ditetapkannya hukum syariat ini agar terciptanya kemaslahatan umat
manusia baik di dunia maupun di akhirat.4
Secara bahasa kata hukum (al-hukm) memiliki arti "memutuskan" atau
"mencegah". Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan oleh ulama Ushul
al-hukm berarti:

‫خطاب هللا المتعلق بأفعال المكلفين باالقتضاء أوالتخير أوالوضع‬


Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang
muka- laf, baik berupa iqtidla (perintah, larangan, anjuran
untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir
(kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan), atau wadl’I (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’
[penghalang]).”5
Dari pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa khitab Allah diartikan
sebagai kalam Allah. Kalam Allah bersifat al-kalam al-nafsi (kalam yang ada
pada Allah) yang tidak memiliki huruf maupun suara, kalam inilah yang
menjadi hakikat dari hukum syariat. Sehingga kita hanya mampu mengetahui
kalam nafsi melalui kalam lafzi, yakni kalam yang memiliki huruf maupun
suara yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur'an yang merupakan petunjuk dari
4
Dewi Masyitoh, FIKIH MA PEMINATAN IPA, IPS, BAHASA & MA KEJURUAN KELAS XII, ed.
Ahmad Nurcholis (Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah, 2020).
5
Wahbah az-Zuhaili

3
kalam nafsi Allah SWT. Dalam hal ini ayat-ayat Al-Qur'an merujuk pada
dalil-dalil hukum yang merupakan petunjuk dari kalam nafsi, maka dari itu
manusia hanya mampu menjangkau kalam lafzi dalam bentuk yang tertera
sebagai ayat-ayat Al-Qur'an. Sehingga populer di kalangan ulama ushul fiqh
bahwa hukum syariat merupakan teks dari ayat hukum itu sendiri yang
bertujuan untuk mengatur amal perbuatan manusia.

Maka hukum dalam pembahasan ini adalah hal-hal yang berkaitan


dengan dalil-dalil ahkam, hadist ahkam. Sejalan dengan hal tersebut sebagian
lain dari ulama seperti Abdul Karim Zaidan menafsirkan definisi khitab yaitu
kalam Allah yang baik secara langsung berupa ayat-ayat Al-Qur'an ataupun
yang tidak langsung berupa Hadits Rasulullah, ijma, maupun dalil-dalil syara'
lainnya yang semuanya bersandar pada petunjuk Allah SWT.6

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Najm : 3-4:

ٰ ‫ ِإ ْن هُ َو ِإاَّل َوحْ ٌى ي‬،‫ق َع ِن ْالهَوى‬


‫ُوحى‬ ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut


kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).7
B. Al-Hukmu (Hukum)

Dalam mengartikan secara definitif pada kata "hukum", terdapat


berbagai macam pengertian yang sangat luas, namun secara sederhana hukum
dapat diartikan sebagai "seperangkat aturan tentang tingkah laku manusia
yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat,
berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya".
Kata hukum yang sering disandingkan dengan kata syara yang secara
etimologis berarti "jalan yang bisa dilalui air" dimaksudkan sebagai jalan
6
Prof. Dr. H. Satria Effendi Muhammad Zein, M.A., Ushul Fiqh, ed. Drs. H. Aminuddin Ya’qub,
M.Ag., H.M. Nurul Irvan, M.Ag., and Azharuddin Latif, M.Ag. (Jakarta: Kencana, 2017).
7
QS. An-Najm: 3-4

4
yang dilalui manusia menuju Allah SWT. Maka apabila kedua kata tersebut
digabungkan menjadi hukum syara timbul sebuah arti "seperangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam".8
Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum menjadi dua
macam, yakni hukum taklifi dan hukum wadh'i.
1. Hukum taklifi
merupakan hukum yang mengandung perintah, larangan,
ataupun memberikan pilihan kepada seorang mukallaf.9 Hukum
taklifi sendiri terbagi menjadi 5 yaitu:
a. Ijab (mewajibkan)
Yaitu perbuatan yang harus dikerjakan dan tidak
boleh ditinggalakan.
b. Nadb (anjuran untuk dikerjakan)
yaitu perintah yang tidak wajib untuk
dikerjakan, namun sangat diajunrkan.
c. Tahrim (mengharamkan)
Yaitu hukum yang mengandung tuntutan berupa
larangan yang harus ditinggalkan.
d. Karohah (makruh)
Yaitu perintah yang mengandung larangan
namun tidak harus dijauhi/ditinggalkan.10
e. Ibahah (membolehkan)

8
Aziz, Ushul Fikih Madrasah Aliyah Peminatan Keagamaan Kelas 12.
9
Zein, M.A., Ushul Fiqh.
10
Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. and M.M. Dr. Sohari, M.H., Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017).

5
Yakni aturan yang memberikan kebolehan
dalam memilih perbuatan untuk dikerjakan atau
ditinggalakan.11
2. Hukum Wadh’i
Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
mani', azimah, rukhsah, sah dan batal bagi segala sesuatu,
adapun pembagiannya hukum wadh'i dibagi menjadi lima
yaitu:
a. Sebab
Ulama ushul fiqh menjelaskan bahwa sebab
adalah sifat zahir, tetap serta menentukan hukum
karena syariat mengaitkan antara sebab dengan sifat.
Tanda-tanda sebab adalah adanya sebab mengharuskan
keberadaan hukum, dan tidaknya sebab mengharuskan
ketiadaan hukum. Contohnya, dijadikannya matahari
tergelincir sebagai sebab tanda dimulainya shalat
Zuhur.
b. Syarat
Syarat merupakan sesuatu yang mesti dipenuhi
terlebih dahulu sebelum melakukan suatu perbuatan.
Contohnya, disyaratkan untuk bersuci dari hadats besar
dan kecil sebelum melakukan shalat.
c. Mani’
Mani' atau penghalang merupakan sifat zahir
yang menjadi penghalang ketetapan suatu hukum, atau
segala sesuatu yang membuat tidak adanya suatu

11
Dr. H. Aklhmad Haries, S.Ag., M.S.I. and Maisyarah Rahmi, HS, Lc., M.A., Ph.D, Ushul Fikih:
Kajian Komprehensif Teori, Sumber, Hukum, Dan Metode, Istinbath Hukum (Bening Media
Publishing, n.d.).

6
hukum, atau batalnya sebab. Mani’ terbagi menjadi dua
macam yaitu
1) Mani’ terhadap hukum, yaitu sesuatu
yang menjadi penghalang suatu hukum,
seperti haid bagi wanita yang menjadi
penghalangnya dalam melaksanakan
shalat.
2) Mani’ terhadap sebab, yaitu sesuatu
yang menjadi penghalang berfungsinya
sebab, contohnya adalah hutang yang
menjadi penghalang bagi wajibnya zakat
harta yang dimiliki.
d. Azimah dan rukhshah
Azimah adalah hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf tanpa adanya uzur. Contohnya
kewajiban sholat lima waktu sejak semula dan berlaku
untuk setiap mukallaf dalam berbagai keadaan,
kewajiban meninggalkan (haram) makan bangkai dan
darah sebagai yang disyari’atkan sejak semula dan
berlaku untuk setiap mukallaf dalam berbagai keadaan.
Rukhshah adalah hukum yang berkaitan dengan
suatu perbuatan karena adanya uzur sebagai
pengecualian dari azimah, contoh shalat bagi seorang
musafir, memakan daging binatang buas dalam keadaan
terpaksa.
e. Sah dan batal
Sah dan batal adalah sesuatu yang dituntut oleh
Allah dari para mukallaf berupa perbuatan dan apa

7
yang ditetapkan-Nya untuk mereka berupa syarat dan
sebab, apabila mukallaf melaksanakannya terkadang
menghukuminya sah dan terkadang menghukuminya
tidak sah, sebab dan syarat tersebut.
Jika yang dilakukan itu perbuatan wajib;
contohnya sholat, puasa dan haji, serta disempurnakan
syarat dan rukunnya, maka efek yang diperoleh adalah
terbebas kewajibannya, tidak mendapat hukuman di
dunia dan berhak mendapat pahala akhirat.
Jika yang dilakukan itu sebab syar’i contohnya
perkawinan dan memenuhi syarat dan rukunnya, maka
efek yang diperoleh adalah halal bergaul suami istri.
Jika yang dilakukan itu adalah syarat wudhu
bagi orang yang sholat serta disempurnakan syarat dan
rukunnya wudhu, maka efek yang diperoleh adalah
terwujudnya sholat yang sah.12

C. Al-Hakim (Pembuat Hukum)

Kata "hakim" secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang memiliki
arti; orang yang menetapkan atau memutuskan hukum, yang menetapkan
segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Sedangkan
menurut terminologi ushul fiqh memiliki makna yang cakupannya lebih luas,
kata hakim merujuk pada pihak yang menetapkan ataupun yang menciptakan
suatu hukum syariat secara hakiki, dalam hal ini seluruh ulama sepakat bahwa
Allah-lah yang menciptakan serta menetapkan hukum syariat bagi seluruh
hamba-Nya.13 Hal tersebut sudah mahsyur di kalangan para alim ulama yang

12
Masyitoh, FIKIH MA PEMINATAN IPA, IPS, BAHASA & MA KEJURUAN KELAS XII.
13
Aziz, Ushul Fikih Madrasah Aliyah Peminatan Keagamaan Kelas 12.

8
sepakat bahwa pembuat hukum adalah Allah SWT., sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-An'am : 57 yang berbunyi:

‫قُلْ ِإنِّى ع َٰلى بَيِّنَ ٍة ِّم ْن َّربِّى َو َك َّذ ْبتُ ْم بِ ِهۦ  ۚ  َما ِع ْن ِدى َما تَ ْستَ ْع ِجلُونَ بِ ِٓۦه  ۚ ِإ ِن ْال ُح ْك ُم ِإاَّل‬
َ‫صلِين‬ ِ ‫ق  ۖ  َوهُ َو َخ ْي ُر ْال ٰف‬ َّ ‫هَّلِل ِ  ۖ يَقُصُّ ْال َح‬

"Katakanlah (Muhammad), Aku (berada) di atas keterangan


yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu
mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan
azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.
Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang
terbaik."14
Menurut mufassir ayat tersebut memiliki makna bahwa hanya Allah-
lah yang memiliki kuasa dalam menetapkan suatu hukum, sebab pada
hakikatnya hukum tersebut berasal dari Allah SWT, sehingga tiada siapapun
yang dapat menciptakan hukum selain Allah. Sehingga timbul sebuah
ketetapan berupa ganjaran pahala bagi hamba yang taat, dan hukuman atau
siksaan bagi hamba yang melanggar perintah Allah, maka hendaklah seorang
hamba tidak melalaikan hak dan kewajibannya sebagai makhluk Allah SWT.15

Oleh karena itu para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa yang disebut
Al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT., sementara yang
menyampaikan hukum-hukum tersebut kepada umat manusia adalah para
Rasul-Nya.16

D. Mahkum Fih (Objek Hukum)

Mahkum fih merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang


mukallaf yang kaitannya dengan taklif/pembebanan.17 Baik perbuatan yang
14
QS. Al-An'am : 57
15
Haries, S.Ag., M.S.I. and Rahmi, HS, Lc., M.A., Ph.D, Ushul Fikih: Kajian Komprehensif Teori,
Sumber, Hukum, Dan Metode, Istinbath Hukum.
16
Sanusi, M.A. and Dr. Sohari, M.H., Ushul Fiqh.
17
Isnu Cut Ali, “HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH (Studi Pemahaman
Dasar Ilmu Hukum Islam),” Al-Madaris Jurnal Pendidikan Dan Studi Keislaman 2, no. 1 (2021): 75–

9
berkaitan dengan hukum taklifi, atau perbuatan yang berkaitan dengan hukum
wadh'i. Contohnya dalam potongan firman Allah pada QS. Al-Baqarah: 43
yaitu:

َ‫َوَأقِي ُموا الص َّٰلوة‬

Dan dirikanlah Shalat18


Ayat ini memiliki kaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yaitu
tuntutan untuk mengerjakan Shalat. Para ulama ushul fiqh merumuskan
beberapa syarat sahya suatu taklif atau pembebanan hukum diantaranya:

1. Mukallaf mesti mengetahui perbuatan apa yang akan ia kerjakan,


tujuannya agar diperoleh dengan jelas dan dapat dilaksanakannya.
Oleh karena itu seorang mukallaf tidak terkena tuntutan hukum
jika ia belum mengetahui tata cara dari perbuatan yang akan
dikerjakannya, misalnya seorang mukallaf yang hendak
mendirikan shalat namun ia belum tahu persis tata cara, rukun, dan
syarat melaksanakan shalat, maka orang tersebut tidak dibebankan
pada tuntutan hukum.
2. Mukallaf mesti tahu dengan sumber taklif. Artinya seorang
mukallaf harus tahu bahwa tuntutan tersebut berasal dari Allah
SWT. Sehingga melaksanakan taklif adalah wujud dari ketaatan
untuk melaksanakan hukum Allah semata.
3. Tidak sah menurut syarat mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik
menurut zatnya maupun karena hal lain. Misalnya mewajibkan dan
mengharamkan sesuatu pada waktu bersamaan.
4. Tidak sah mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain
melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya mengerjakan shalat

88, https://doi.org/10.47887/amd.v2i1.13.
18
QS. Al-Baqarah: 43

10
agar orang lain berhenti mencuri. Yang ditaklifkan disini mestinya
hanya memberikan nasehat kebaikan dan melarang yang buruk.19

E. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)

Mahkum alaih merupakan seorang mukallaf yang perbuatannya


berkaitan dengan syariat. Adapun perbuatan seorang mukallaf dapat
ditetapkan sebagai perbuatan hukum yang sah apabila telah memenuhi dua
persyaratan yaitu:
1. Seorang mukallaf (orang yang dibebankan hukum) mesti mampu
memahami dalil taklif baik hukum-hukum yang tertera pada Al-
Qur'an maupun Hadits. Kemampuan untuk memahami dalil taklif
hanya bisa terealisasi dengan akal dan adanya nash-nash taklif.
Maka syariat mengimbangi pemberian beban hukum yang bisa
diketahui oleh indera luar dalam kategori ini disebut taraf baligh.
Sebab sifat dasar dari akal adalah abstrak sehingga tidak bisa
ditemukan dengan indera zhahir, maka anak kecil, orang gila atau
orang-orang yang telah hilang akalnya tidak diklasifikasikan
sebagai orang mukallaf.
2. Seorang mukallaf harus Ahlan lima khulifa bihi atau cakap
terhadap perbuatan yang dibebankan kepadanya. Adapun
kecakapan tersebut hanya bisa terwujud dengan akal. Maka dari itu
Al-Amidi, mengatakan bahwa para cendikiawan muslim sepakat
bahwa syarat untuk menjadi seorang mukallaf adalah berakal dan
memahami dengan apa yang ditaklifkan. Para pakar ushul
membagi jenis kecakapan ini menjadi dua bagian yaitu:

19
Hj Rusdaya Basri and M Ag, Ushul Fikih 1 (Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, n.d.).

11
a. Ahliyah Al-Wujud, yakni kecakapan dalam menerima
hak dan kewajiban, ahliyah ini terbagi lagi menjadi dua
yaitu; Ahliyah Al-Wujub Naqishah, yaitu seseorang
yang cakap dalam menerima hak saja, tetapi belum bisa
menerima kewajiban yang ditaklifkan kepadanya,
misalnya janin yang masih dalam kandungan, ia
memiliki hak waris namun belum menerima kewajiban,
kemudian Ahliyah Al-Wujub Kamilah yaitu
kemampuan seseorang dalam menerima hak dan
kewajibannya, ini berlaku pada setiap orang mukallaf.
b. Ahliyah Al-Ada' yaitu kecakapan seseorang dalam
bertindak. Artinya tindakan orang tersebut baik berupa
perbuatan ataupun ucapan secara syariat telah dianggap
sah. Mengenai konsep ini manusia terbagi menjadi tiga
klasifikasi diantaranya:
1) Orang yang tidak memiliki kemampuan dalam
bertindak sama sekali seperti anak kecil atau
orang gila.
2) Orang yang kemampuan dalam bertindak
namun belum sempurna seperti anak kecil yang
3) masih mumayiz dan orang idiot.
4) Orang yang mampu dan cakap dalam bertindak
secara sempurna, dalam hal ini dikategorikan
sebagai orang yang baligh dan berakal.20

20
Cut Ali, “HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH (Studi Pemahaman Dasar
Ilmu Hukum Islam).”

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan dalam pembahasan


maka dapat disimpulkan:

B. Saran

13
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Muhammad. Ushul Fikih Madrasah Aliyah Peminatan Keagamaan Kelas 12.
Edited by A. Khoirul Anam. Jakarta: Kementrian Agama Ri, 2020.
Basri, Hj Rusdaya, and M Ag. Ushul Fikih 1. Parepare: IAIN Parepare Nusantara
Press, n.d.
Cut Ali, Isnu. “HUKUM, HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH (Studi
Pemahaman Dasar Ilmu Hukum Islam).” Al-Madaris Jurnal Pendidikan Dan
Studi Keislaman 2, no. 1 (2021): 75–88. https://doi.org/10.47887/amd.v2i1.13.
Fanani, Muhyar. “Ilmu Ushul Fiqh (Kajian Ontologi Dan Aksiologi),” n.d.
Haries, S.Ag., M.S.I., Dr. H. Aklhmad, and Maisyarah Rahmi, HS, Lc., M.A., Ph.D.
Ushul Fikih: Kajian Komprehensif Teori, Sumber, Hukum, Dan Metode,
Istinbath Hukum. Bening Media Publishing, n.d.
Masyitoh, Dewi. FIKIH MA PEMINATAN IPA, IPS, BAHASA & MA KEJURUAN
KELAS XII. Edited by Ahmad Nurcholis. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah,
2020.
Nurhayati, and Ali Imran Sinaga. Fiqh & Ushul Fiqh. Edited by Habibie. Prena
Media Group, 2018.
Sanusi, M.A., Dr. H. Ahmad, and M.M. Dr. Sohari, M.H. Ushul Fiqh. Jakarta:
Rajawali Pers, 2017.
Zein, M.A., Prof. Dr. H. Satria Effendi Muhammad. Ushul Fiqh. Edited by Drs. H.
Aminuddin Ya’qub, M.Ag., H.M. Nurul Irvan, M.Ag., and Azharuddin Latif,
M.Ag. Jakarta: Kencana, 2017.

14

Anda mungkin juga menyukai