Anda di halaman 1dari 18

DEFINISI AL HUKM DALAM USHUL FIQIH, MACAM-MACAM AL

HUKM, DAN MAHKUM’ALAIH AHLIYAH ‘AWARID AHLIYAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fikih yang diampu oleh bapak
Dr. Imam Amruzi Jaelani, M.Ag.

Disusun oleh kelompok 2:

Muh. Thoriq Wafdi (23382041045)

Shafa Irillah Ghazali (23382041064)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI'AH

FAKULTAS SYARI'AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2024
KATAPENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang melimpahkan rahmat serta


hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Definisi Al Hukm Dalam Ushul Fiqih, Macam-Macam Al Hukm, dan
Mahkum’alaih Ahliyah ‘Awarid Ahliyah” ini dengan baik. Ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada bapak Dr. Imam Amruzi Jaelani,
M.Ag. selaku dosen mata kuliah Ushul Fikih. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyiapkan serta
memberikan masukan dalam penyusunan makalah ini.

Peyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan dari pembaca sangatlah
diharapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Khususnya, bagi kami sebagai penyusun.

Pamekasan, 17 Maret 2024

Penyusun
DAFTAR ISI

Sampul.................................................................................................................... i

Kata Pengantar.................................................................................................... ii

Daftar Isi.............................................................................................................. iii

BAB I : PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar Belakang..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................ 1

C. Tujuan Masalah.................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................... 2

A. Pengertian Hukum (Al-Hukm)............................................................. 2

B. Macam-macam Hukum........................................................................ 3

C. Mahkum Alaih...................................................................................... 9

BAB III : PENUTUP.......................................................................................... 14

A. Kesimpulan......................................................................................... 14

B. Saran................................................................................................... 14

Daftar Pustaka.................................................................................................... 15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas tentang metodologi dalam


menetapkan hukum-hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan
manusia. Latar belakang dari ilmu ini sangat erat dengan sejarah
perkembangan Islam itu sendiri.

Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh


tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah.
Ilmu ini tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada
sejak zaman Rasulullah dan sahabat.

Objek kajian dalam Ushul Fiqh antara lain adalah sumber-sumber


dan dalil-dalil hukum syara’, hukum syara’ dan hal-hal yang berhubungan
dengannya, seperti hakim (pembuat hukum), mahkum fih (perbuatan
hukum), dan mahkum. Selain itu, Ushul Fiqh juga membahas tentang
kaidah-kaidah, mujtahid, dan metodologi ijtihad.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan hukum menurut ushul fiqh?

2. Apa saja macam-macam al-hukm?

3. Jelaskan tentang mahkum alaih?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui apa itu hukum dan hal yang mencangkupnya.

2. Untuk mengetahui macam-macam al-hukm(hukum).

3. Untuk mengetahui apa itu mahkum alaih.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum (Al Hukm)

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti mencegah atau


memutuskan. Menurut terminologi ushul fiqh kata hukum (hukm) berarti
ketentuan Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan amal perbuatan
orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, anjuran untuk melakukan
atau anjuran untuk meninggalkan, takhyir yang berarti kebolehan bagi
orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan,
atau ketentuan yang menetapkan suatu sebagai sebab, syarat, atau mani’
(penghalang). 1 Maksud dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam
defenisi tersebut ialah ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan Hadits
hukum dalam Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia.
Misalnya firman Allah yang artinya: “Hai orangorang yang beriman,
penuhilah akad-akad (perjanjian) itu ...”. (Q.S. al-Maidah: ). Ayat tersebut
adalah ketentuan Allah tentang kewajiban memenuhi janji.

Jadi yang disebut hukum dalam kajian ushul fiqh adalah ayat-ayat
atau Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan mansia. Abdul
Wahhab Khallaf menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan ketentuan-
ketentuan Allah dan RasulNya itu, ada yang secara langsung seperti dalam
teks al-Qur’an dan Sunnah, dan ada pula yang secara tidak langsung
seperti ketentuan-ketentuan yang ditunjukkan oleh ijma’, qiyas, dan dalil-
dalil hukum lainnya seperti akan dijelaskan kemudian. Ketentuan-
ketentuan seperti itu adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga
secara tidak langsung, karena pada dasarnya ketentuan-ketentuan seperti
itu bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

1
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.), hlm. 26.
B. Macam-macam Al-Hukm (Hukum)

Ulama ushul fiqh membagi hukum syariat menjadi dua macam,


yaitu hukum taklif dan hukum wadh’i, yaitu:

a. Hukum Taklif

1) Pengertian

Hukum taklif adalah “hukum yang menghendaki dilakukannya


sesuatu perbuatan oleh mukalaf atau melarang mengerjakannya atau
disuruh memilih antara melakukan atau ditinggalkan.”2

2) Pembagian Hukum Taklif

Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia tidak


lain kecuali untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan ini akan dapat kita per-
oleh jika kita mau menaati hukum-hukum Allah secara konsekuen. Jika
kita perhatikan secara cermat, maka hukum-hukum Allah yang harus
kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan untuk
dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan hu-
kum wajib seperti shalat dan puasa. Adakalanya perintah ini bersifat
tidak tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus
dan tidak mesti seperti shalat sunah. Adakalanya perintah itu berupa
tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara pasti yang disebut
dengan haram seperti berzina. Dan adakalanya berupa tuntutan un- tuk
meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus kita
tinggalkan tetapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan
jengkol dan petai. Dan adakalanya hukum Allah itu bersifat pilihan
artinya seseorang diberikan keleluasaan untuk memilih antara
mengerjakan atau meninggalkan seperti makan dan minum.

Para ulama ushul figh membagi hukum taklif menjadi lima


macam yaitu wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Pembagian

2
Sapiudin Shidiq, M.AG., Ushul Fiqh, (Jakata: Prenadamedia Group, 2011), hlm. 124.
hukum taklif sebagaimana dijelaskan di atas adalah yang dianut oleh
jumhur ulama. Tetapi menurut ulama Hanafi hukum taklif itu terbagi
menjadi tujuh macam yaitu fardhu, wajib, mustahab, haram, makruh
tahrim, makruh tanjih, dan mubah. Pembahasan berikut ini difokuskan
kepada pembagian hukum taklif menurut jumhur:

1. Wajib

Definisi wajib menurut syara’ adalah ُ‫علَى َو ْج ِه اللُّ ُز ْو ِم فِ ْعلُه‬ َ َ‫طل‬


َ ‫ب‬ َ ‫َما‬
artinya: “sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar dikerjakan
secara pasti”.

Berdasarkan definisi di atas, wajib adalah ketentuan perintah


itu harus dilakukan oleh mukalaf sesuai dengan petunjuk yang telah
ditentukan. Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan
pahala jika dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan.
Contoh sesuatu yang hukumnya wajib untuk dilaksanakan seperti
shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan haji bagi orang yang
mampu, dan berbakti kepada kedua orang tua. Semua perintah terse
but hukumnya pasti dan tegas. Jika ditinggalkan akan mendatangkan
sanksi dari Allah SWT.

Para ulama Hanafiah mengatakan bahwa kalimat wajib bisa


disebut juga dengan makhtum.

2. Mandub (sunnah)

Secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah


ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukalaf
secara tidak tegas atau harus. Atau dengan kata lain perintah yang
tidak sampai kepada derajat wajib. Dalam masalah sunah ini,
konsekuensinya jika dilakukan akan mendapat pahala dan tidak
mendapat siksa jika ditinggalkan. Atau dengan istilah lain terpuji jika
dikerjakan dan tidak tercela jika ditinggalkan. Mandub dalam kajian
ushul fiqh disebut juga sunah, nafilah, tatawwu', mustahab, dan ihsan.
Contoh dari perkara yang sunah adalah mencatat utang, shalat sunah,
dan mengucapkan salam.

Tingkatan sunah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1) Sunah muakkadah (sunah yang kuat). Yaitu sunah yang selalu


ditekuni oleh Nabi dan Nabi tidak pernah meninggalkannya kecuali
sekali atau dua kali saja untuk menunjukkan bahwa hal itu bukan
suatu kewajiban. Posisi sunah muakkadah ini akan menguatkan
bahwa orang yang meninggalkan sunah ini tidak mendapat dosa
tetapi mendapat celaan, sunah muakkadah ini dapat dikatakan
sebagai penyempurna kewajiban.

2) Sunah ghairu muakkad (tidak kuat), yaitu sunah yang jika


dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak
mendapat siksa juga tidak tercela. Yang termasuk sunah ghairu
muakkadah ini adalah semua perbuatan yang tidak ditekuni oleh
Rasul dalam mengerjakannya. Nabi hanya melakukannya sesekali
saja dan terkadang tidak mengerjakannya.

3) Sunah tambahan (zaidah). Yang dimaksud dengan sunah tambahan


ini adalah, yaitu sesuatu yang dianggap sebagai pelengkap bagi
mukalaf. Dan sunah ini tidak sejajar dengan dua sunah terdahulu.
Yang dimaksud dengan sunah zaidah ini ialah mengikuti Rasul
dalam segala perbuatannya berupa kebiasaan Rasul sebagai manu-
sia biasa. Dan jika ditiru merupakan hal yang positif bagi mukalaf
karena merupakan bagian bukti dari cinta kepada Rasul. Dan bagi
yang meninggalkannya, maka tidak dikatakan orang jahat karena
hal ini tidak termasuk syariat Rasul.

3. Haram

ُّ ‫علَى َو ْج ِه‬
‫الل ُر ْو ِم‬ َ ‫ع ْن فِ ْع ِل ِه‬ َّ ‫ارعُ ْالك‬
َ ‫َف‬ ِ ‫ش‬ َ َ‫طل‬
َّ ‫ب ال‬ َ ‫َما‬

Artinya:” Tuntutan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak


dikerjakan secara pasti."
Berdasar definisi di atas, maka hukum haram tidak ada tawar-
menawar kecuali harus ditinggalkan. Konsekuensi dari hukum haram
ini maka seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan
kehinaan dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan
kemuliaan.

Haram dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1) Haram asasi (asal), yaitu hukum yang ditegaskan oleh Allah


bahwa hukum itu haram sejak dari permulaan atau haram secara
zat (realitas/esensial), karena di dalamnya terkandung kerusakan
dan bahaya terhadap agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

2) Haram disebabkan sesuatu yang lain. Maksudnya hukum asal


sesuatu ini tadinya bukan haram. Tetapi mungkin berupa hukum
wajib, sunah, atau mubah. Tetapi hukum itu dibarengi oleh
sesuatu yang baru yang hukumnya haram seperti shalat dengan
pakaian hasil mencuri.

4. Makruh

Makruh ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar


seseorang tidak mengerjakan sesuatu, tetapi perintah untuk tidak
mengerjakan sesuatu ini sifatnya tidak pasti atau tidak tegas. Atau
dengan perkataan lain larangan yang tidak sampai ke derajat haram.

5. Mubah

Mubah ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah kepada


seseorang untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan.
Atau dengan kata lain Allah tidak menyuruh dan tidak melarang.
Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan berpahala dan jika
ditinggalkan maka tidak berdosa.3

b. Hukum wadh’i

3
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt.), hlm.
105-115.
1. Pengertian Hukum Wadh’i

Hukum wadh'i ialah hukum yang men- jadikan sesuatu itu


sebagai suatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang
lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain.

2. Pembagian Hukum Wadh’i

Menurut Abdul Wahab Khallaf dan Wahbah Zuhaeli, pembagian


hukum wad'i bukan hanya terbatas kepada tiga bagian sebagaimana
disebutkan di atas tetapi masuk juga kedalamnya rukhsah, azimah, s
hih, dan butlan. Maka kedua ulama ushul fiqh di atas mendefinisikan
hukum wad'i adalah "hukum yang menghendaki adanya sesuatu itu
sebagai sebab bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau sebagai
penghalang atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan
(rukhsah) atau sebagai pengganti hukum ketetapan pertama (azimah)
atau sebagai yang sahih dan tidak sahih."

Secara lebih jelas penjelasan tentang pembagian hukum wadi


yang terdiri dari sebab, syarat, penghalang, rukhsah, azimah, sahih, dan
butlan dapat dilihat dalam uraian berikut ini:

a) Sebab

Sebab ialah sesuatu yang oleh syari' (pembuat hukum)


dijadikan sebagai konsekuensi adanya sesuatu yang lain yang
menjadi akibatnya Dan tidak adanya sebab menjadikan sesuatu
yang lain itu pun tidak ada. Dengan demikian, dapat dikatakan
sebagai hukum sebab akibat di mana adanya sebab pasti ada akibat.

Muhammad Abu Zahra membagi sebab menjadi dua


macam:

1) Sebab yang tidak dari perbuatan mukalaf. Sebab ini


merupakan sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai
pertanda adanya hukum.
2) Sebab yang dari perbuatan mukalaf. Seperti pembunuhan
yang dilakukan oleh mukalaf dengan sengaja merupakan
sebab adanya hukum qishas, perjalanan jauh merupakan sebab
adanya rukhshah bolehnya tidak berpuasa dan nikah
merupakan sebab bolehnya berkumpul. 4

b) Syarat

Ulama’ mendefinisikan syarat:

ِ‫عدَ ُم ْال ُح ْك ِم َو ََل يَ ْلزَ ُم م ِْن ُو ُج ْو ِده‬ َ ‫علَ ْي ِه ُو ُج ْود ُ ْال ُح ْك ِم يَ ْلزَ ُم م ِْن‬
َ ‫عدَ ِم ِه‬ ْ ‫ه َُو ْاْل َ ْم ُر الَّ ِذ‬
ُ َّ‫ي يَت ََوق‬
َ ‫ف‬
‫ُو ُج ْود ُ ْال ُح ْك ِم‬

Artinya: "Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya


hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum. Tetapi
tidaklah lazim dengan adanya ada hukum."

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa syarat ialah


ada dan tidak adanya hukum tergantung kepada ada dan tidak
adanya sesuatu. Artinya adanya sesuatu itu dapat menimbulkan
pengaruh (atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum. Jadi syarat
dapat dikatakan sebagai sesuatu yang keluar dari hakikat yang
disyaratkan (masyruth), yang mengakibatkan tidak adanya
masyruth karena tidak adanya syarat. Tetapi adanya masyruth
tidak disyaratkan adanya syarat

c) Penghalang (mani’)

Secara bahasa, mani"(‫ )المانع‬artinya penghalang. Dalam


istilah ushul fiqh man'i berarti: "sesuatu yang dengan wujudnya
dapat meniadakan hukum atau membatalkannya". Timbulnya
mani' ini ketika sebab dan syarat itu telah tampak secara jelas.

d) Rukhsah dan Azimah

4
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt), hlm. 56.
Rukhsah ialah keringanan hukum yang diberikan oleh
Allah ke- pada mukalaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Adapun
azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah
disyariatkan oleh Allah sejak semula di mana tidak ada
kekhususan lantaran suatu kondisi.

e) Al-Shihhah dan al-Buthlan

Seperti halnya azimah dan rukhsah, sebagian ulama ushul


fiqh seperti Abdul Wahab Khallaf dan Wahbah Zuhaili
memasukkan al- Shihhah dan al-Buthlan ke dalam bagian hukum
wad'i. Oleh karena itu, al-Shihhah dan al-Buthlan dalam bab ini
akan dibahas dalam bagian hukum wad'i yang kelima.

Perbuatan yang dilakukan oleh mukalaf bisa dihukumi sah


atau bata. Jika perbuata di telah sesuai dengan tuntutan syariat dan
telah sempurna rukun dan syaratnya, maka perbuatan tersebut
telah dapat dihukumi sah (benar) oleh hukum syariat. Tetapi jika
perbuatan itu tidak sesuai dengan tuntutan syariat dan tidak
disempurnakan syarat dan rukunnya maka perbuatan itu dihukumi
batal menurut hukum syariat. Contohnya, orang berpuasa yang
telah menahan diri dari makan dan minum sejak fajar sampai
terbenamnya matahari maka puasanya dikatakan sah dan ia akan
mendapatkan pahala. Tetapi jika ia minum di tengah hari. maka
puasanya dihukumi batal dan berdosa. Contoh lain akad jual beli
yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya maka hukum
jual beli itu sah. Tetapi jika akad itu mengandung tipu muslihat
maka akad jual beli itu gugur dan batal jual belinya. 5

C. Mahkum Alaih

5
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt.), hlm.
125-126.
Mahkum alaihi ialah mukalaf yang layak mendapatkan khitab dari
Allah di mana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.

Seseorang dikatakan mukalaf jika telah memenuhi syarat-syarat


berikut ini:

a. Mukalaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas al-
Qur'an atau sunah baik secara langsung maupun melalui peran-
tara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat
melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya.
Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka
orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukalaf.

b. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan


kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak atau
wajar untuk menerima perintah.

Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk meneri-


ma atau menjalankan hak dan kewajiban dapat dikelompokan menjadi dua:

a. Tidak sempurna, artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak


baginya kewajiban. Contoh janin yang ada dalam perut ibu. Bagi-
nya ada beberapa hak, la berhak menerima harta pusaka dan bisa
menerima wasiat tetapi tidak mampu melaksanakan kewajiban.

b. Secara sempurna, artinya apabila sudah layak baginya beberapa


hak dan layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang su
dah dewasa (mukalaf).

Ulama ushul fiqh membagi ahli menjadi dua:

1. Ahliyatul Wujub(wajib)

Ahliyatul wujub ialah kelayakan seseorang untuk ditetapkan


kepadanya hak dan kewajiban. Kelayakan inilah yang membedakan
manusia dengan bina Kang. Kekhususan yang ada pada manusia ini
oleh para fuqaha disebut zimmah, yaitu sifat naluri manusia untuk
menerima hak orang lain dan menjalankan kewajiban dirinya untuk
orang lain.

Ahliyatul wujud cakupannya bersifat menyeluruh untuk semua


jenis manusia tanpa memandang laki-laki atau perempuan, anak-anak
atau sudah baligh, punya akal atau gila, sehat atau sakit. Jadi, setiap
manusia yang mana saja tanpa terkecuali mempunyai kelayakan un-
tuk menerima hak dan kewajiban. Tidak ada manusia yang lepas dari
kelayakan itu. Karena Ahliyatul wujub itu dipandang sebagai sifat ke-
manusiaan. Dengan kata yang lebih tegas Wahbah Zuhaili
mengatakan bahwa ahliyatul wujub adalah sebuah ketetapan yang
diperuntukkan untuk manusia dari mulai penciptaannya sampai
kepada kematian. 6

Abdul Wahab Khallaf membagi ahliyatul wujub menjadi dua


macam:

a. Ahliyatu al-wujub al-naqisah

Ahliyatul al-wujub al-naqisah yaitu orang yang dianggap


layak untuk mendapatkan hak tetapi tidak layak untuk
dibebankan ke- wajiban atau sebaliknya. Contoh pertama adalah
janin yang be- rada dalam perut ibunya, janin ini berhak
mendapatkan warisan, wasiat dan wakaf akan tetapi tidak dapat
dibebani kewajiban pada dirinya terhadap orang lain seperti
memberi nafkah, memberi hibah, dan sebagainya. Adapun
contoh yang kedua adalah mayat yang meninggalkan utang.

b. Ahliyatu al-wujub al-kamilah

Ahliyatul al-wujub al-kamilah yaitu orang yang layak


untuk menda- patkan hak dan layak untuk menjalankan
kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak
lahir, pada masa kanak-kanak- nya, tamyiz, dan setelah baligh.

6
Wahbah Zuhaili, Al-Wijiz Fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1999), Cet. Ke-2, hlm.157.
Singkat kata ahliyatul wujub kamilah selalu dikaitkan dengan
kehidupan manusią secara menyeluruh.

2. Ahliyah Ada(Ahli Melaksanakan)

Ahliyah ada ialah kelayakan mukalaf untuk dapat dianggap


baik ucapan dan perbuatannya menurut syura. Contoh, apabila
mukalaf mendirikan shalat, puasa atau haji maka semua itu bisa
diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban. Dan jika mukalaf
melakukan tindakan pi- dana, maka ia harus dihukum sesuai dengan
pelanggarannya itu.

Keadaan manusia jika dihubungkan kepada ahliyatul ada.


Maka dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:

a. Tidak mempunyai keahlian sama sekali. Maksudnya ialah


orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk
melaksana- kan hukum seperti anak-anak yang belum dewasa
atau kehilang- an kemampuan seperti orang gila. Maka
perkataan dan perbuatan anak dan orang gila itu tidak dianggap
secara hukum. Tetapi jika anak kecil atau orang gila itu berbuat
pidana terhadap jiwa atau harta, maka ia harus diberi hukuman
secara harta tidak secara. fisik. Maka jika orang gila membunuh
maka hukumannya mem- bayar diyah (denda) tidak wajib di-
qishas.

b. Tidak sempurna keahliannya yaitu anak yang masih remaja


sebe- lum dia baligh. Termasuk dalam kelompok ini pula orang
yang kurang akal. Karena orang yang kurang akal itu tidak
cacat akal- nya dan tidak kehilangan akal. Tetapi dia lemah
akalnya. Maka orang-orang semacam ini dianggap sah
perbuatannya yang di- pandang berguna baginya seperti
menerima hibah dan sedekah.
c. Sempurna keahliannya, yaitu orang yang sudah sampai usia
dewasa. Maka keahlian melaksanakan hak dan kewajibannya
dianggap sempurna dengan kedewasaan dan kematangan
berpikir.

3. Penghalang(Awaridh) dan Pembagiannya

Penghalang ialah keadaan yang membuat mukalaf tidak dapat


melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya.
Para ulama ushul menggolongkan penghalang keahlian ini menjadi
dua kelompok:

a. Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak dapat


diusaha- kan oleh manusia. la hadir dengan sendirinya tanpa
dikehendaki oleh manusia itu sendiri seperti: gila, kurang akal,
lupa, ketiduran, dan pingsan. Orang-orang yang terkena
penghalang seperti terse- but maka ia dihukumi dengan orang
yang tidak memiliki kemam- puan sama sekali untuk
melakukan kewajiban-kewajiban.

b. Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran


perbuat- an manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak
utang, dan boros.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa, hukum syara' berarti mencegah dan memutus- kan.


Adapun hukum menurut terminologi ushul fiqh adalah khitab (doktrin)
syari' (Allah) yang bersangkutan dengan per- buatan orang yang sudah
mukalaf.

Hukum dibagi dua:

1. Taklif, hukum yang menghendaki, melarang, atau disuruh memilih


antara melakukan atau meninggalkannya.

2. Wadh’i, hukum yang menjadi sebab, syarat, atau penghalang adanya


yang lain.

Mahkum alaih merupakan mukalaf yang layak mendapatkan khitab


dari Allah dimana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.

Awaridh (penghalang) merupakan keadaan dimana mukalaf tidak


dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya.

B. Saran

Kendatipun kapal akan karam, tegakkan hukum dan keadilan.


Daftar Pustaka

Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr, tt.

Shidiq, M.AG., Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakata: Prenadamedia Group, 2011

Khalla, Abdul Wahab f, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-
Islamiyah, tt.

Wahbah Zuhaili, Al-Wijiz Fi Ushul al-Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr,


1999.

Anda mungkin juga menyukai